High School Examen [Completed]

By Southern_South

1.4M 142K 10.9K

Dari 5.000 murid Hanya 50 yang lulus Di saat puluhan ribu orang harus mengikuti ujian masuk dengan persentase... More

i
P r o l o g
BAB I - 01
BAB I - 02
BAB I - 04
BAB I - 05
BAB I - 06
BAB I - 07
BAB 1 - 08
BAB I - 09
BAB I - 10
BAB I - 11
BAB I - 12
BAB I - 13
BAB I - 14
BAB I - 15
BAB I - 16
BAB I - 17
BAB I - 18
BAB I - 19
BAB I - 20
BAB II - 21
BAB II - 22
BAB II - 23
BAB II - 24
BAB II - 25
BAB II - 26
BAB II - 27
BAB II - 28
BAB II - 29
BAB II - 30
BAB II - 31
BAB II - 32
BAB II - 33
BAB II - 34
BAB II - 35
BAB II - 36
BAB II - 37
BAB II - 38
BAB II - 39
BAB II - 40
E p i l o g
01 | E-mail
02 | E-mail
03 | E-mail
04 | E-mail
05 | E-mail
06 | E-mail
V i s u a l
V i s u a l N o n - M C
?
Dari Giona [Old Version]
Dari Gabriel [Old Version]

BAB I - 03

41.5K 5.1K 732
By Southern_South

*

*

*

SAAT PINTU KACA kantin terbuka otomatis, aku langsung masuk dan seketika udara sejuk dari pendingin ruangan menyingkirkan hawa panas di tubuhku. Udara luar lumayan menyengat karena matahari sudah merangkak ke puncaknya.

Kantin yang kumasuki ini sangat besar. Warna putih yang mendominasi memberikan kesan steril. Ada konter pemesanan dan pembayaran membentang panjang di satu sisi, berdekatan dengan partisi alumunium berpola yang memisahkan area publik dengan dapur. Setiap tingkat dihubungkan dengan dua eskalator dan tangga di antara keduanya.

Aroma berbagai macam makanan lezat mengambang di udara, menyelusup ke dalam hidung dan membuat perutku keroncongan. Menu-menu yang tersedia hari ini ditampilkan di beberapa monitor yang tersebar. Orang-orang sudah duduk di meja sembari menyantap makan siang. Semuanya berkelompok, mulai dari kelompok senior sampai kelompok siswa baru. Agaknya hanya aku yang belum memiliki teman. Seakan sendirian belum cukup menyebalkan, ketika sepasang mata menyadari kedatanganku, berpasang-pasang mata yang lain ikut-ikutan mengawasiku. Aku membalas tatapan mereka secara menyeluruh dengan angkuh, dan sialnya tak ada tanda-tanda takut pada binar mata mereka. Beberapa bahkan tersenyum miring dan mendelik dengan gaya yang menjijikan. Tanganku berusaha meredam keinginan untuk melemparkan garpu ke mata mereka. Betapa pun bencinya, kondisi psikologisku masih normal.

Aku mengantre di area khusus untuk murid baru. Sejujurnya, mataku membidik menu terbaik. Namun, Gateral tidak memperbolehkan kami membawa uang. Untuk makan siang ini, semua murid baru diberi kupon makan siang gratis senilai 50 prestise yang tak kuketahui maknanya apa. Namun, daftar harga pada menu di sini juga menggunakan prestise, bukan rupiah. Kusimpulkan alat tukar di Gateral memang seperti ini.

Aku duduk sendirian menikmati dimsum udang yang terasa hambar saat kejadian di ruangan interogatif tadi terbentang nyata di kepalaku.

Setelah menyiram si mata abu-hijau tadi, aku diserahkan pada sekelompok murid yang membawaku ke sebuah ruangan. Aku ditempatkan di sebuah kursi di depan meja panjang berwarna merah berisikan jajaran murid yang memperkenalkan diri sebagai anggota inti GSC (Gateral Student Council). Mereka menodongku dengan berbagai kalimat yang memojokkan.

"Kau tahu orang yang kau perlakukan tak sopan itu siapa? Dia adalah Giona Osvaldo, murid terbaik di Gateral, peraih peringkat paralel teratas, pemegang kursi Brie dan anggota Royal Class! Dengan kata lain, dia adalah wajah Gateral yang sesungguhnya. Dan dia adalah penulis novel yang kau bela mati-matian itu!"

Aku terbahak mendengar kalimat terakhir. Sepengetahuanku, Paul Marvin adalah pria. Namun, tawaku mendapat delikan tajam dari mereka hingga aku pun perlahan merapatkan mulut dengan canggung.

Mereka menegurku dan mengatakan bahwa apa yang mereka beritahukan barusan bukanlah lelucon dan Paul Marvin adalah nama pena Giona.

Sontak aku langsung kehilangan tenaga. Tulang dan sendiku seakan rontok semua. Lemas. Mengapa harus dia? Mengapa bisa sekebetulan dan sememalukan ini?

Penyesalanku karena telah menyiramnya semakin bertambah. Dan penyesalan terbesarku adalah membawa novel Paul Marvin ke sini. Andaikan benda itu tidak kubawa, kejadian memalukan ini tak akan pernah ada. Sangat sulit bagiku menerima Giona sebagai Paul Marvin, bahkan sampai sekarang. Dan lebih sulit lagi menerima kenyataan bahwa kesempurnaan yang dia miliki terus bertambah di daftar catatanku. Para elite GSC mengatakan, "Giona Osvaldo adalah putri dari pemilik Gateral."

Kalimat itu terus terputar berulang-ulang, menolak untuk kuhentikan. Dia anak dari pemilik Gateral. Begitu efektifnya kalimat itu untuk membungkamku. Kalaupun aku membanggakan diri sebagai anak kepala sekolah atau anak mantan donatur mayor atau keduanya, tetap saja tak akan berarti apa-apa.

"Kau seharusnya mendapatkan 3 hukuman yang telah kami tetapkan. Kau harus bersyukur karena Profesor Briana Osvaldo melarang hukuman itu meskipun yang dipermalukan adalah putrinya sendiri."

Aku tertohok oleh pernyataan terakhir yang membuatku merasa bersalah. Tambahan lagi. Giona adalah putri dari profesor yang mengundangku ke sini. Semua yang kurasakan ini membuatku tak nyaman dan semua ketidaknyamanan ini membuatku ingin pulang. Sungguh.

Gambaran kejadian itu buyar ketika daun telingaku menangkap gelombang bunyi yang kutafsirkan sebagai 'Jane, Jane, dan Jane'. Tak perlu susah payah mencari, sumbernya tidak lain adalah sekelompok orang yang duduk membelakangiku.

"Gila sekali Alexandra Jane itu, berani menyiram Giona Osvaldo di depan umum. Aku, jangankan menyiramnya, menatap matanya saja sudah canggung setengah mati."

"Dia tidak tahu kalau Paul Marvin yang diidolakannya itu adalah Giona. Mungkin dia berharap Paul Marvin adalah pria yang bisa dia kencani, haha. Kujamin dia juga tak tahu kalau Giona adalah bagian penting dari sekolah ini. Pasti dia sangat menyesal. Sayang sekali, ya, di hari pertama ini orang-orang sudah memandangnya negatif, padahal citranya sudah lumayan bagus di GMNSO meskipun dia kalah. Hah, dia merusak dirinya sendiri."

"Dengar-dengar, dia anaknya Alexander Fausto, donatur mayor itu, maksudku, mantan donatur. Kenapa, ya, Alexander berhenti jadi donatur?"

Tadinya mereka akan kubiarkan, tetapi aku tak terima kalau papaku ikut dibicarakan. Aku menggebrak meja lalu berdiri menatap nyalang para penggosip itu. Mereka langsung memutar kepalanya ke arahku. Mulutnya terbuka, terkejut menyadari keberadaanku.

"Kau semua bilang apa tadi? Tak bisa, ya, membicarakanku tanpa membawa-bawa papaku? Lagipula kenapa kalau papaku menghentikan bantuannya? Kau takut tak bisa makan di sini?" Kalimat sinisku menyerap semua kebisingan hingga yang tersisa hanyalah hening yang menggantung di udara.

Merasa belum puas, aku kembali mengoceh, "Kenapa diam? Kalian kira aku tak berani melawan? Cih! Jangankan kalian. Giona saja tak berarti apa-apa." Mungkin, entahlah. Aku berusaha menyingkirkan fakta bahwa dia adalah Paul Marvin. Bahwa dia adalah anak pemilik Gateral di saat aku berperan sebagai anak kepala sekolah yang terabaikan. Dan aku juga tak peduli kalau ternyata orang-orang yang kulawan ini adalah anak presiden, menteri, gubernur, atau apa pun itu. Ya, walaupun akan ada penyesalan setelahnya. Selalu ada, malah.

Kukira akan ada perang mulut yang tak terelakkan. Namun, ternyata, orang-orang itu tak menimpali. Sepertinya mereka takut. Meskipun sama-sama bungkam, yang lain justru menyorotku dengan tatapan menertawakan, termasuk Megan di pojok sana. Dia menyedot jusnya dengan penuh gaya dan tersenyum miring. Aku mengabaikannya dan kembali memaki-maki para penggunjing tadi sampai aku mendengar suara. "Tolong berhenti berisik, gadis kaya raya!"

Aku terkejut saat melihat orang yang berbicara itu ternyata lelaki Turki yang muncul di videotron. Guven Reyhan Tefvik. Bibirku tersenyum hampa. Apa lagi tambahan masalah hari ini? Apa aku sudah punya banyak pembenci?

"Oh, kau juga ada urusan denganku? Harusnya tidak, 'kan? Dan kau tidak berisik karena tak ada orang yang menggunjingmu."

"Oh tentu saja tak ada. Aku belum pernah berbuat onar di sini."

"Sekarang kau melakukannya!" Aku berdesis sinis.

"Siapa? Bukan aku yang menggebrak meja."

Tanganku mengepal kuat. "Iya," timpalku. "Karena bukan kau yang dibicarakan."

Aku meninggalkan tempat terkutuk ini secepatnya sebelum aku menjadi gila.

***

Semburat merah menyala di ufuk barat ketika seluruh siswa baru dikumpulkan di stadion Gateral. Kami duduk berjajar rapi di atas rumput sintetis, sementara Andrion Akello berdiri di depan. Agak ke kiri di belakang Andrion, ada puluhan meja berderet panjang yang masing-masing dijaga oleh dua anggota GSC.

Kami menunggu beberapa saat sampai langit di atasku berwarna abu mutiara dan semakin lama semakin gelap. Lampu-lampu stadion menyala serentak membuat keadaan di sini menjadi terang. Udara semakin dingin, aku harus merapatkan ritsleting jaket dan memeluk kedua lenganku. Sialnya, beberapa nyamuk berdengung mendekat, dan aku betul-betul gemas ingin menggeplak serangga itu, tapi aku tak mungkin menepuk-nepuk tanganku di udara. Itu akan kelihatan aneh.

"Malam ini akan ada pembagian tempat tinggal untuk kalian semua," ujar Andrion dengan mikrofon di tangan. "Seperti yang kalian ketahui, di Gateral Independent School, tinggal di hostel adalah kewajiban dan kalian hanya akan mendapat cuti untuk pulang ke rumah selama satu semester sekali, jika ...." Ucapan Andrion terpotong.

Jika apa?

"... kalian mampu berada di kelas reguler A ke atas."

Apa lagi ini? Ada berapa klasifikasi murid di sini? Mengapa untuk pulang dan menemui keluarga saja harus bergantung pada kelas?

"Semua pasti sudah tahu bahwa kami menerapkan sistem kasta berdasarkan kecerdasan kalian. Gateral memiliki 5 kelas. Ada 100 kelas Reguler C yang ditempati murid dengan hasil Gate Examen terendah. Mereka akan ditempatkan di Hostel C yang memiliki fasilitas terbawah di antara hostel lainnya."

Aku melihat beberapa wajah tampak kecewa dan sepertinya mereka mendapatkan hasil examen yang buruk.

Andrion Akello kembali melanjutkan. "Lalu ada 50 kelas Reguler B yang ditempati murid peringkat menengah dan 50 Kelas Reguler A yang ditempati oleh murid peringkat atas di Gate Examen. Mereka juga akan menempati hostel sesuai tingkatan kelasnya dan tentunya Hostel A memiliki fasilitas yang lebih baik."

Otakku masih berputar menemukan jawaban dari pertanyaan, "Aku berada di kelas mana?" Namun ... sungguh, aku tak bisa menebaknya. Sebab, alasan aku diundang juga tak begitu jelas.

"Kelas yang lebih bagus dari Reguler A, B, C adalah E-Class, diisi oleh 20 murid terbaik di setiap angkatan. Mereka akan ditempatkan di E-Hostel dan tentunya mendapatkan segala fasilitas yang tidak akan mengecewakan. Tidak seperti hostel reguler yang mewajibkan penghuninya berbagi kamar, di E-Hostel, setiap murid akan mendapatkan satu kamar dengan segala kelengkapan yang akan sesuai dengan ekspektasi kalian."

Oke. Segala perbedaan ini memang kedengaran seru namun agak menjengkelkan. Mungkin ada yang lebih seru lagi, sebab baru empat kelas yang disebutkan. Dan katanya, ada lima kelas di sini. Berani taruhan kalau yang selanjutnya adalah Royal Class, istilah yang sudah pernah kudengar, tetapi belum kuketahui artinya.

"Kalian pasti sudah pernah mendengar ini, Royal Class. Ini adalah kelas tertinggi yang diperuntukkan bagi 20 siswa terbaik dari seluruh angkatan, baik dari tingkat Middle School maupun High School. Semua anggota Royal Class akan ditempatkan di Royal Hostel—hostel termewah yang kami miliki yang berada di puncak bukit pulau ini. Di Royal Hostel, kalian akan mendapatkan segala hal terbaik dari Gateral. Ada juga Royal Hostel VIP yang hanya diberikan kepada dua orang setiap tahunnya. Untuk sekarang fasilitas itu dimiliki Hasegawa Bara dan Giona Osvaldo, sebagai Brie, atau siswa dan siswi terbaik di tahun ini."

Akhirnya pertanyaanku mengenai Royal Class dan pin emas itu terjawab sudah. Jadi, Andrea Cazqi pengisi kelas fisika di GateralTV itu masuk ke dalam 20 siswa terbaik di Gateral bersama semua jajaran murid dengan pin perak di podium. Dan Brie adalah Giona dengan Si Jepang Hasegawa yang sama-sama mengenakan pin berwarna emas. Kenyataan ini semakin melucuti rasa percaya diriku. Masalahnya dugaanku benar—aku terlibat masalah dengan orang-orang penting di hari pertama. Hari per-ta-ma. Idiot, memang.

Andrion Akello bicara lagi, "Aku yakin di antara kalian untuk tahun ajaran sekarang tak akan ada yang menjadi bagian dari Royal Class. Jika kalian ingin mendapatkannya, kalian harus berjuang keras untuk lulus di Royal Examen yang akan diselenggarakan setahun sekali. Di examen itu kalian akan bersaing dengan ratusan pendaftar termasuk dengan seluruh anggota Royal Class. Jika nilai kalian pada examen itu mampu menembus dua puluh besar, maka kalian akan masuk ke dalam kelompok elite tersebut. Selamat berjuang!"

Rupanya prestasi akademis adalah segalanya di sini. Nilai dan peringkat didewakan. Aku paham hari-hariku selanjutnya pasti tak akan mudah, apalagi ditambah hari pertama yang kacau ini. Jadi, aku harus pandai-pandai menjaga diri agar tetap berada di jalur aman selama aku belum bisa pulang.

Andrion beranjak pergi, kemudian para anggota GSC mengomando agar kami berbaris mengantre menuju meja-meja metal yang sempat kuperhatikan. Rupanya, mereka menggeledah kami satu per satu.

Di barisan lain, Megan ketahuan membawa ponsel dan arloji yang ia sembunyikan. Sayang sekali barang berkelas itu mesti disita.

Saat tiba giliranku, senior perempuan menyuruhku untuk mengeluarkan semua isi saku yang jelas-jelas kosong. Tak cukup di sana, ia bahkan mengecek apakah aku mengenakan anting, kalung, cincin, atau semacamnya. Aku tak mendapatkan masalah. Sebab, di rumah, Mama sudah melepas semua benda-benda itu dari tubuhku. Dia membaca aturan di lampiran undangan, sementara aku jelas tidak.

"Maaf, sepatunya bisa dibuka juga? Hanya untuk memastikan kau tidak menyembunyikan apa-apa."

Aku mendengus kesal dan membuka sepatuku dengan malas. "Tak usah menyuruhku membuka kaus kaki atau baju. Aku betul-betul tidak menyembunyikan apa pun!"

Senior itu tersenyum. Kemudian dia mengisyaratkan agar aku memakai sepatuku kembali, tetapi alih-alih memakainya dengan benar aku malah menginjak sekadarnya saja. Senior itu menyerahkan sebuah kartu padaku. "Kartu akses. Kau masuk E-Class," katanya. Aku ingin berteriak senang. "Student pack sudah kami simpan di kamarmu."

"Student pack?"

"Ya. Koper berisi semua kebutuhanmu mulai dari seragam sekolah, sepatu, baju olahraga, pakaian bebas, dan laptop. Semua orang mendapatkan yang sama, kecuali ini." Dia menyerahkan dua buah kotak kecil. "Itu adalah pin dasi, kau harus mengenakannya setiap hari. Karena kau masuk E-Class, kau dapat pin bronze. Dan satunya lagi adalah jam tangan pintar ini. Benda ini bisa digunakan untuk mengecek grafik nilai, jumlah prestise, presensi, daftar tugas, melakukan pesan antar, sampai transaksi," tuturnya panjang lebar. Lalu, dia menunjukkan jam tangan pintar miliknya yang berwarna hitam.

"Untuk Royal Class dan E-Class seperti kita, dialnya kotak. Untuk reguler, lingkaran. Ah, aku menjelaskan terlalu banyak. Silakan kau boleh pergi."

Semua murid baru yang masuk E-Class dijemput dengan mobil, reguler A dan B dengan bus, dan reguler C harus berjalan mendorong koper. Aku heran kenapa Gateral tidak menyimpan koper itu di kamar mereka. Kelihatannya sengaja sekali ingin membuat para peringkat terendah itu menderita. Oke, memang bukan Gateral kalau tak melakukan diskriminasi peringkat. Dan ini baru permulaan.

Aku sama sekali tak pernah berpikir bahwa aku, Guven, dan Gabriella akan diantar dalam satu mobil. Sialnya aku datang pada urutan terakhir, sehingga harus duduk di samping Guven—sementara Gabriella di sampingnya lagi. Aku merapat ke pinggir, selalu tidak menyukai momen di mana aku harus berdekatan dengan laki-laki, entah karena pengaruh orang tuaku yang protektif dan mendoktrinku untuk membatasi diri dari lelaki, atau memang karena karakterku begitu. Aku tidak fobia. Aku adalah remaja normal yang pernah mengidolakan seorang lelaki. Namun, karena orang itu hanya bisa kujangkau di dunia maya, aku tak pernah melewati batas-batas yang telah orang tuaku tentukan. Kau tahu dalam tatanan pergaulan saat ini, banyak remaja yang melakukan fertilisasi ilegal, bereksperimen menggabungkan kromosom tanpa berpikir bahwa eksperimen itu berpotensi tinggi menghasilkan individu baru—suatu kontribusi di ranah pelestarian makhluk hidup lewat cara yang menjijikan.

Buk!

Pintu pengemudi ditutup. Sopir kami sudah masuk, rupanya. Suara mesin mobil mendengkur halus dan kendaraan ini melaju, membuat tubuhku agak terdorong ke belakang demi mempertahankan posisinya—dan demi mengamini Hukum Newton I.

"Kau masih dendam, ya, orang kaya?"

Guven menyindirku lagi.

"Oke. Raut wajahmu sudah menjawabnya. Supaya kau tidak kesal, bagaimana kalau kita berdamai?"

Hening.

"Oke, oke, aku minta maaf soal kejadian di kantin. Lagipula, kita sekelas, 'kan? Tidak baik kalau kita bermusuhan. Itu akan merusak solidaritas."

Aku tak menjawab, malah memalingkan mataku ke luar jendela di mana aku melihat deretan pepohonan yang bergerak cepat ke belakang, disusul dengan bangunan-bangunan besar lain yang mengagumkan. Ada mall, ya! Gateral Mart! Kafe dan taman-taman yang bermandikan cahaya, danau dengan jembatan kayu dipenuhi lampu dan perahu-perahu kecil tertambat di pinggirannya. Aku tak pernah membayangkan taman-taman itu akan ramai di malam hari seperti ini.

Kudengar Guven terkekeh lantas berkata, "Kau betulan marah, ya. Sepertinya kau juga meremehkanku. Hei, ingat, ya, aku tidak sesederhana itu. Akan kutunggu kau di Royal Examen."

Garis di bibirku berubah miring. Luar biasa. Di saat aku berencana kabur dengan menghancurkan nilaiku, Guven malah menantangku untuk sama-sama mengikuti Royal Examen. Apa semua orang di Gateral seambisius dia?

"Dan ingat! Satu tahun kemudian, aku menunggumu menjadi Brie bersamaku. Jika tidak, berarti kau lebih bodoh dari yang kukira."

Aku melempar tatapan tak menyenangkan pada lelaki itu. "Jadi Brie saja sendiri! Royal Examen sama sekali tak membuatku tertarik!"

"Wah? Serius? Berarti rumor itu benar. Orang-orang berkapasitas rendah cenderung menghindari kompetisi. Pura-pura tak tertarik, pura-pura tak peduli. Padahal sesungguhnya ia ingin, tapi sadar bahwa ia tak mampu, makanya memilih untuk berlindung di tempat aman."

"Kau sepintar apa, sih?"

"Hm ...." Dia pura-pura berpikir. "Sepintar orang yang mendapat peringkat kedua di Gate Examen, mungkin."

"Masih kalah dari Gabriella dan Giona saja sudah sombong!" Aku menggigit bibir bawah. Rasanya aku ingin mencabik-cabik lidahku sendiri. Mengapa aku memberi pengakuan untuk Giona di depan Guven?

"Wah, kau menyebut nama Giona? Hm, dia memang Brie, sih. Namun, tak selamanya yang di atas itu adalah yang terbaik."

Aku tertawa sinis. "Kau hanya melindungi kelemahanmu lewat kalimat itu. Dengar, aku tak begitu tertarik dengan semua peringkat dan persaingan sinting di sini. Aku ingin keluar secepatnya, kau puas? Satu sainganmu dengan baik hati mengundurkan diri."

"Tidak. Kau bukan saingan yang mesti kuhiraukan. Jadi, ada atau tidaknya kau, sama sekali tak berpengaruh."

"Lalu kenapa kau menantangku jadi Brie kalau kau berpikir aku bodoh?!"

Guven tertawa dan sesaat waktu terasa melambat. Aku buru-buru keluar dari anomali ini.

"Bukan aku yang bilang kau bodoh. Namun, ya sudahlah, jangan berdebat lagi. Kita sekelas, harus kompak." Nadanya berubah serius lantas ia menyandarkan kepalanya di kursi. Lekuk wajahnya yang tegas dan kulitnya yang kelewat bersih ditambah manik ambernya yang bersinar-sinar membangkitkan obsesi impulsifku untuk melukisnya. Aku segera berpaling sebelum berhasil merekam garis wajahnya secara keseluruhan. Tak lucu jika tiba-tiba ada gambarnya di buku sketsaku.

Kami tiba di tujuan. Mobil memasuki parkiran E-Hostel. Bangunan kontemporer 7 lantai itu tampak seperti tumpukan-tumpukan kubus dengan jendela-jendela yang menyala, menampilkan ruang makan dan area fitness. Guven membangunkan Gabriella dan kami bertiga masuk ke lobi. Aku senang Gabriella secara naluriah berjalan di sampingku, mungkin karena aku menginginkan teman. Sembari menunggu antrean untuk mengisi formulir, aku memperhatikan ruangan ini. Dindingnya dibalut warna krem dengan sedikit sentuhan silver metalik dan elemen garis dekoratif di langit-langitnya. Paling kamar-kamarnya tak jauh seperti ini.

Setelah sampai di meja resepsionis dan mengisi formulir, aku memasuki elevator sendirian menuju lantai enam. Gabriella masih di antrean dan Guven masuk ke elevator yang berbeda—lokasi kamar perempuan dan laki-laki dipisah.

Aku berhenti di depan pintu bertuliskan angka 627. Layar hitam pada gagang pintu menyala bersamaan dengan bunyi beep setelah kartu akses ditempelkan. Layar menampilkan beberapa opsi mode pengamanan yang telah mendukung identifikasi biometrik. Kupilih iris scanner. Aku menatap layar tersebut dengan mata agak dilebarkan, mengonfirmasi, dan terakhir, menekan tombol selesai. Pintu langsung terbuka dan tertutup secara otomatis setelah aku berjarak 2 meter darinya.

Ketika sampai di dalam, gerak tubuhku melambat, takjub karena kamar ini melampaui ekspektasiku. Lantainya terbuat dari parket kayu. Tempat tidurnya dibuat melayang, dengan headboard menempel ke dinding. Terdapat lampu yang memancarkan cahaya lembut di bawahnya. Aku segera menghambur ke tempat tidur itu. Materialnya begitu mewah, terbuat dari kulit asli dengan kasur lateks yang empuk. Aku berjalan ke jendela, menyibakkan tirai beludru yang memiliki lipatan-lipatan cantik dan rapi. Dari jendela di lantai 6 ini, bangunan utama Gateral yang iconic itu terlihat jelas meski terpaut jarak yang jauh. Sinar-sinar laser berwarna putih terpancar ke segala penjuru langit.

Aku menutup tirai, mengenyahkan kekagumanku dan segera membereskan barang-barang di koper. Semuanya lengkap seperti yang dirincikan senior tadi. Hanya saja, kami cuma diberi tiga pakaian ganti untuk sehari-hari. Dan ini tidak masuk akal. Awalnya aku menggerutu kesal. Namun, kejutan besar membuatku melompat girang saat aku menggeser pintu lemari. Ada banyak pakaian di sana! Dan ada kartu ucapan selamat karena telah berhasil menjadi penghuni E-Hostel.

Selepas beres-beres, aku memainkan laptop untuk melengkapi semua data yang harus kuisi. Laptop maroon berlogo Gateral ini tak memiliki stylus pen sehingga agak membosankan karena aku tak bisa menggambar di perangkat ini. Menggambar dengan jari tidak selalu buruk, tapi masalahnya layarnya pun bukan tipe layar sentuh. Laptop gratis di sekolah yang punya banyak robot, hal kecil yang tak sesuai ekspektasiku. Selesai mengisi data, aku menyimpannya begitu saja dan beranjak ke luar kamar untuk berjalan-jalan. Kulihat di lorong, Gabriella sedang berjongkok di depan pintu kamarnya. Dia kelihatan cemas.

"Gabriella?" Aku menyapanya meski ragu.

"Oh! Halo!" Dia buru-buru berdiri. Senyumnya terkesan berlebihan seolah ingin menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja.

"Kau tak ada kerjaan sekali diam di sini. Kenapa?"

"Um ... aku ... sebetulnya." Dia tiba-tiba mencekal lenganku. "Aku mendapat kamar angker." Frasa terakhir diucapkannya dengan setengah berbisik.

"Kumohon, aku takut, aku tak berani masuk."

Tak kusangka di Gateral ada legenda kamar angker segala. Ini aneh, tapi aku senang mendengarnya. Maksudku, ini adalah kesempatan untuk mendapatkan teman yang berkelas. Siapa yang tidak tertarik besahabat dengan peringkat pertama Gate Examen? Memiliki teman yang bagus bisa mendongkrak popularitas dan citra positifmu di depan umum—kau tahu aku harus memulihkan kesan pertamaku yang dinilai buruk.

"Kau boleh tinggal bersamaku kalau kau mau."

Mata abu Gabriel langsung berkilat-kilat. "Benarkah?"

"Tentu saja."

"Terima kasih banyak!"

Aku mengajaknya ke kamar. Gabriella masuk menarik kopernya dan mengeluarkan barang-barang hingga berjajar memenuhi kasurku. Hei, terima kasih. Aku jadi tidak bisa rebahan.

"Maaf, ya, merepotkan." Gabriella masih beres-beres sementara aku berdiri memperhatikan. "Oh ya, Alexandra ...."

Dia mengenalku? Tentu saja. Wajahku terpampang nyata di TV, di podium, di kantin.

"Omong-omong, bagaimana rasanya menyiram penulis favoritmu sendiri di depan umum?"[]

Continue Reading

You'll Also Like

Happy to Die By helloimnella

Mystery / Thriller

9.7K 2.2K 22
Dunia ini fana. Semua akan kembali pada Sang Pencipta. Kematian bisa datang kapan saja, tanpa diduga dan tanpa diminta. Namun banyak juga alasan meng...
2.2M 131K 42
Kanaya Tabitha, tiba tiba terbangun di tubuh seorang figuran di novel yang pernah ia baca, Kanaya Alandra Calash figuran dingin yang irit bicara dan...
2.5M 135K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...
43.9K 1.4K 10
Dihapus sebagian demi kepentingan penerbitan. . "Kami tidak akan membiarkan pelaku kriminal berkeliaran bebas. Siapapun dia." Kira Ishida, seorang ga...