The Vow

Par SierraBerwynne

128K 10.1K 785

[END] [18+] Menjelang hari pernikahan Savannah menemukan dirinya hamil tanpa mengetahui siapa pria yang sudah... Plus

Prolog
1 - Mistake
2 - First meeting? Right?
3 - Not a choice
4 - Pregnant?
5 - We're friend, right?
8 - Welcome to the world, Swan
9 - Not you again
6 - First time for me, maybe...
10 - Fallin for you,
11 - That guy
12 - Bad dream
13 - Envy?
14 - Our relationship
15 - Swan's daddy
16 - to lose you
17 - Yes, she's right
18 - New life, new beginning
19 - a Son
20 - a good memories
21 - Forgiveness
22 - The Vow
Epilog

7 - She's know everything

7.2K 400 24
Par SierraBerwynne

Savannah mengetuk-ngetuk ujung sepatu flatnya di tanah beraspal. Jam sudah menunjukkan pukul 9 dan sampai sekarang mobil jemputan yang akan mengantarnya ke sebuah toko cookies di pusat kota Perth sama sekali belum terlihat.

Beberapa hari yang lalu, Savannah-dibantu Ann- melamar pekerjaan disebuah toko Cookies. Seorang pelanggan yang beberapa kali membeli kue kering merekomendasikan Savannah untuk bekerja disana.

Setelah memberitahukan kondisinya dan beberapa hal yang tidak bisa ia lakukan, toko itu menerima Savannah. Memberikan kelonggaran waktu kerja dan memberikan fasilitas antar jemput seperti karyawan yang lainnya.

"Savannah."

Menoleh, Savannah memaksakan sebuah senyum saat melihat River keluar dari gedung apartemen dengan Sunny di sisinya.

"Hai," Sapa Sunny ramah. "Mau pergi bekerja?"

"Dia tidak bekerja." bukan Savannah tapi River yang menjawab.

"Mulai sekarang aku bekerja." Savannah menoleh ke jalan utama. "Aku sedang menunggu mobil jemputan."

River mengerutkan alisnya tidak suka. "Sejak kapan kau bekerja?"

Savannah memaksakan matanya untuk membalas tatapan River. "Sejak hari ini. Ada toko cookies yang mau menerima wanita hamil ini bekerja."

"Bukankah kau bilang tidak butuh pekerjaan?"

"Sekarang aku butuh," Savannah refleks mengelus perutnya, diikuti tatapan River yang jatuh di tempat yang sama. "Aku butuh uang lebih untuk persiapan persalinan."

"Aku akan membantumu."

"Kau sudah terlalu banyak membantu."

"Sudah kukatakan kau tidak perlu memikirkan itu!"

Savannah mengerjap, apa River baru saja berteriak padanya? tapi kenapa? Ia tidak merasa sudah berbuat suatu salah.

Savannah baru akan menjawab ketika sebuah mobil dengan Cat ungu dan cap toko cookies tempatnya bekerja berhenti di sisi jalan.

"Aku harus pergi sekarang," sekali lagi mengulas senyum ke arah Sunny. "Sampai jumpa lagi Sunny."

"Kau juga, berhati-hatilah."

River masuk ke dalam mobil dengan langkah lebar, disusul Sunny yang duduk di sampingnya sambil memasang seatbelt.

"Kau berlebihan, tidak seharusnya kau membentaknya tadi."

River hanya mendengus dan memacu mobilnya menjauhi halaman parkir.

***

River memicingkan matanya menatap grafik-grafik di layar monitor yang bergerak sesuai arah kursor di tangannya.

Sesekali ia mendesah, mendelete beberapa bagian yang di rasanya tidak sesuai sebelum kembali berkutat dengan kursor dan keyboardnya.

"Tidak biasanya kau seperti ini bos." Noah salah satu tim IT yang paling di perhitungkan di sini mengangkat sebelah alisnya pada River.

River hanya mengangkat wajahnya sekilas dan tanpa menjawab kembali menunduk menatap monitor.

Noah mengendikkan bahunya acuh. Seperti River, ia bukan tipe orang yang suka mencampuri urusan orang lain. Mungkin itu yang membuat River banyak mempercayakan Noah pekerjaan penting.

"Aku meninggalkan sepatu wanita yang ku temukan di rak sepatu depan beberapa hari lalu di sini."

River melirik sepatu putih yang ia kenali sebagai milik Savannah. Ia terdiam, mungkin alasannya uring-uringan hari ini adalah Savannah.

Tanpa membiarkan otaknya kembali berfikir River beranjak dari kursinya. Mengabaikan Noah yang kembali menatapnya aneh dan menyambar kunci mobil. Ia harus segera menemui Savannah.

***

Savannah memejamkan matanya, menghirup dalam-dalam udara malam di tepi sungai Swan. Hari sudah gelap tapi ia masih enggan untuk beranjak. Disini terlalu tenang, terlalu nyaman, dan ia sangat menyukainya.

Sebuah mantel coklat tebal tersampir di bahunya. Savannah mendongak dan menemukan River yang sudah duduk di sampingnya, di bangku kayu itu.

"Kau tau alasanku memilih Perth adalah karena sungai Swannya."

Savannah mengerjap, mengendalikan ekspresinya. "Sungai yang indah."

River hanya tersenyum kecil.

"Karena itu namamu River?"

Mengendikkan bahu, River tergelak. "Mungkin. Aku bahkan tidak tau alasan kakek menamaiku River."

Savannah ikut tersenyum. Kembali terdiam. Suasana ini terlalu indah untuk di pecahkan oleh suara apapun.

"Maaf untuk kejadian malam itu."

Savannah buru-buru menggoyangkan tangannya. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku yang menciummu lebih dulu dan membuatmu tidak nyaman."

River mengalihkan perhatiannya ke sungai Swan yang di hiasi lampu-lampu yang cantik.

"Ayahku adalah seorang koki terkenal di London, sedangkan ibuku adalah pelacur yang di sewa untuk menemani ayah selama beberapa bulan. Aku lahir melalui sebuah transaksi jual beli, maksudku kehadiranku sama sekali tidak mereka harapkan."

"Ibu..." River berhenti sejenak sebelum mendengus. "Aku bahkan tidak tau bisa memanggilnya ibu atau tidak. Wanita itu memilih memberikanku pada ayah dan karena saat itu ayah sudah memilih seorang wanita baik untuk menikah, ia membuangku. Aku hidup dari belas kasihan kakek dan nenek yang tidak menyetujui keinginan ayah membuangku."

"Masa laluku membuatku tidak memiliki rencana untuk masa depan. Aku tidak tau apakah aku akan menikah dan memiliki seorang anak, aku tidak ingin mengorbankan seorang anak karena keegoisanku seperti yang dilakukan orang tuaku."

Savannah terdiam, sibuk mencerna semua yang River katakan. Secara tidak langsung River ingin memberikan jarak hubungan di antara mereka. Karena jika River bersama Savannah, otomatis River akan menjadi ayah dari anak yang sedang ia kandung. Savannah juga akan mendorongnya untuk menikah, keadaannya yang memiliki anak tidak memungkinkan hanya untuk berkencan dan bersenang-senang.

Menghembuskan napas, Savannah tersenyum. "Kau pria yang baik."

Dan sisa malam itu di habiskan Savannah juga River untuk menatap jauh, tanpa berfikir, tanpa suara, tanpa bergeming membiarkan waktu membungkus mereka dalam keheningan.

***

Tidak pernah Savannah begitu menantikan hari minggu seperti saat ini. Ia sengaja bangun terlambat dari biasanya dan menghabiskan paginya dengan bermalas-malasan di balkon kamar.

Sebenarnya ia tidak sepenuhnya bermalas-malasan. Jam 10 ia punya janji menemui dokter kandungan untuk memperkirakan waktu kelahiran putrinya ke dunia. Mengelus perut, Savannah tidak sabar ingin melihat wajah putrinya yang pasti sangat menggemaskan.

Setelah mandi dan berganti pakaian dengan terusan violet dan mantel putih, Savannah menarik tas tangannya yang tersampir di sofa.

Baru saat Savannah menutup pintunya ia menemukan River dan Sunny yang berdiri di ujung tangga.

"Selamat pagi, Savannah." Sapa Sunny seceria biasanya.

"Hai, Selamat pagi."

Sekilas ia melirik River yang menatapnya lekat. Kumohon hentikan itu brengsek! atau aku tidak bisa mengenyahkan bayanganmu di kepalaku!

"Mau pergi keluar?"

"ya, aku mau menemui dokter."

"Kau sakit?"

River yang bertanya.

"Tidak. Hanya untuk mengetahui perkiraan Swan lahir ke dunia."

"Swan? nama yang cantik, kau pintar memilihkan nama untuk bayimu."

Savannah tersenyum, sepenuhnya mengabaikan River yang masih menatapnya.

"Aku akan menemanimu ke dokter."

Suara River yang kali ini membuat Savannah berjengit.

"Oh," Sunny menatap Savannah dan River bergantian sebelum mengulas senyum. "Tentu, kau harus menemaninya."

"Tidak, Aku sudah memesan taxi."

"Dan tersesat seperti terakhir kali?"

"Aku sama sekali tidak tersesat. Hanya meminta supir taxi mengambil jalan lain."

"Sama saja."

"Tidak!"

"Keras kepala."

"Bukan urusanmu."

Sunny mengerjap, masih dengan pemandangan River yang berdebat dengan Savannah. Seulas senyum kecut tersungging di bibirnya, menarik napas Sunny kembali bersuara.

"River benar, tidak seharusnya kau pergi sendiri. Biar River mengantarmu, aku tidak tega membiarkanmu sendiri."

Savannah menyerah. Bukan karena ingin di temani oleh River, tapi lebih menghormati Sunny.

"Baiklah, aku menurut."

Senyum Sunny melebar.

"Kita pergi sekarang."

Menggeleng, Sunny mengecek jam tangannya. "Biar aku pergi dengan rombongan."

"Sunny-"

Savannah siap mendebat saat Sunny memeluknya.

"Terimakasih kembali," ucap Sunny sebelum berbalik meninggalkan Savannah dan River yang mematung menatap punggungnya.

***

Sudah hampir tengah malam, Sunny mengetuk-ngetuk ponsel yang berkedip yang menampilkan nama R.

Mengela napas, Sunny menempelkan ponsel di telinga.

"Kau dimana? aku akan menjemputmu sekarang!"

Sunny tersenyum, River masih belum berubah.

"Malam ini menginap di hotel bersama rekan-rekan kerjaku." Sunny mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan yang sepi itu. "Ada desain yang harus segera kami selesaikan."

"Aku akan menjemputmu!"

"R," Sunny menahan napasnya. "Teman-temanku sudah menunggu. Bye."

Sunny memutus sambungan telepon dan memijit pelipisnya. Ruangan ini sudah kosong sejak 2 jam yang lalu, ia sengaja berbohong pada River untuk menghindari pria itu, saat ini ia merasa perlu waktu sendiri.

Mengeluarkan kotak berisi FlashDisk di sakunya, Sunny menatap flashdisk itu dengan tatapan sayu. Ia menggeser laptop yang masih menyala dan menyambungkan flashdisk untuk kembali menatap 3 file video yang tersimpan di dalam sebuah folder.

Tangannya bergetar saat menggerakkan kursor ke video dengan durasi terlama dan membuka file video itu.

Layar laptop mulai berganti dengan background sebuah lift. Ada seorang pria masuk ke lift, menyandarkan tubuhnya ke dinding dengan kepala mendongak. 5 detik kemudian seorang gadis muncul disana, mencoba menekan tombol disisi pintu sebelum pria itu menarik tangannya dan menciumnya.

Sunny menutup Laptop dengan tangan bergetar. Apa yang harus kulakukan!

Malam itu Sunny masih menangis di kamarnya, meratapi semua hal dalam hidupnya. Ditengah ke gamangan ia memikirkan semua hal yang terjadi, mulai dari River hingga Danny yang menjadi tunangannya.

Sunny mengernyit sepenuhnya paham bahwa yang selama ini ia cintai adalah River bukan Danny! Tapi mengetahui bahwa pria itu mungkin tidak akan menikah ia memilih membuang semua dan mencoba melupakan apapun tentang River.

Sunny lahir dari keluarga yang bahagia. Ayah dan ibu begitu saling mencintai, mereka juga orang tua terbaik yang mungkin bisa ia miliki di hidup ini. Sunny ingin memiliki keluarga yang bahagia seperti yang di miliki orang tuanya dan hal itu akan sulit jika ia memilih River.

Pria itu dengan segala kepahitan di dalam hatinya tidak memiliki impian masa depan yang sama seperti Sunny.

Aku mencintaimu...

Tertegun, suara River yang membisikkan kata cinta untuknya sore itu, di apartemennya di soho, seakan bergema di ruangan yang sunyi itu.

Kalau River benar-benar mencintainya, mungkin Sunny bisa merubah pikirannya bukan? mungkin butuh waktu, tapi ia akan berusaha lebih untuk mengubah jalan pikiran River. Dengan begitu mereka akan bahagia bersama, selamanya sampai maut memisahkan.

Tersenyum cerah dan dengan langkah Lebar, Sunny menyambar mantel dan bergegas menyusul River yang mungkin belum pergi terlalu jauh. Ia menekan tombol di samping lift menunggu pintunya terbuka. Dan saat pintu itu terbuka ia harus melihat pemandangan yang sebelumnya tidak pernah terpikir akan ia lihat.

River sedang mencium seorang gadis dengan sangat bergairah!
Matanya terpejam seolah sangat menikmati ciuman itu, bahkan sebelah tangan River dengan berani meremas tubuh gadis itu.

Sunny membeku, tidak siap dengan apa yang ia lihat. Dan saat sebelah tangan River menekan sesuatu di samping pintu, membuat lift kembali tertutup, tidak ada yang bisa Sunny lakukan selain membeku dengan air mata yang kembali mengalir.

Seperti orang linglung, Sunny mendudukkan tubuhnya di lantai dengan bersandar di dinding. Ia terisak, menangisi kebodohannya akan semua hal yang terjadi!

Hampir satu jam kemudian pintu lift terbuka, menampilkan sosok River menggendong gadis yang tertidur itu. Ia meletakkan gadis itu di sofa di depan lift dengan sangat perlahan dan menatapnya lekat.

Ya Tuhan.

Sunny meremas dadanya yang terasa menyakitkan.

River meninggalkan gadis itu, setengah berlari untuk kembali masuk ke lift. Mengingat sifat River, Sunny yakin pria itu tidak akan melarikan diri seperti seorang pengecut, ia pasti pergi ke resepsionis untuk memesan kamar dan membawa gadis itu tidur dengan nyaman.

Sunny berjalan mendekat. Menatap gadis yang tertidur itu sambil terisak.

5 menit dan Sunny sadar waktunya tidak banyak. Ia merogoh tas tangan gadis itu, mencari ponsel dan nomor yang paling sering ia hubungi sebelum menelponnya.

"Selamat malam, maaf mengganggu. Saya menemukan nona pemilik ponsel tertidur di sofa di depan lift lantai 27. Bisakah anda menjemputnya? saya khawatir tidak bisa menungguinya lebih lama. Baik, Saya mengerti."

Sunny memutus sambungan telepon, meletakkan ponsel kembali ke tas tangan gadis itu dan bersembunyi di balik dinding.

Beberapa menit kemudian seorang pria dan wanita datang. Mereka mengoceh tentang sesuatu yang tidak bisa Sunny dengar dari tempatnya berdiri. Si pria menggendong gadis itu diikuti wanita yang menatap khawatir masuk ke dalam lift.

Hanya berselang dua menit, River kembali seperti yang ia perkirakan. Pria itu tampak kebingungan, ada sesuatu di wajahnya yang membuat Sunny mengernyit sedih.

River kembali masuk ke lift saat tidak menemukan gadis itu disana.

Sunny menyandarkan tubuhnya di dinding. Masih terisak dengan suara tertahan. Ia mulai melangkah, mendekati ruangan khusus cctv yang ada di lantai teratas.

Hotel ini adalah milik keluarganya, Sunny bisa melakukan apapun termasuk meminta beberapa rekaman cctv dan menggantinya dengan sesuatu yang lain. Sunny pun menyimpan rekaman itu ke dalam flashdisk untuk dirinya sendiri dan membiarkan hal itu tersimpan rapat untuk selamanya.

Suara ketukan pintu menarik Sunny dari lamunan, ia mengerjap sambil meletakkan flashdisk kembali ke dalam kotak.

"Kami akan ke bar tidak jauh dari sini. Mau bergabung?"

Tertawa, Sunny mengerling manja. "Tidak untuk malam ini, aku takut kau akan 'menghabisiku' -seperti terakhir kali- saat kita mabuk."

Pria itu masuk ke dalam ruangan dan menyandarkan tubuh kurus tingginya di dinding. "Sudah lama kita tidak melakukannya."

"oh jangan mulai lagi Rink."

"well aku memang merindukanmu."

"Diranjang."

Mengendikkan bahu, Rink bergumam. "Kau tidak pernah mengizinkanku untuk lebih."

Sunny tersenyum masam. Rink hanya satu dari banyaknya pria yang berkencan dalam arti khusus dengannya. Rink hanya memiliki tingkat lebih tinggi karena mereka bekerja di perusahaan yang sama. Lalu Danny... Ah memikirkannya saja sudah membuat kepala Sunny pusing.

"Aku akan menyusul."

Rink mengangkat sebelah alisnya. "Tidak biasanya. Dimana bodyguardmu yang galak itu?"

"Namanya River."

"oke," Rink mengangkat kedua tangannya di depan dada. "Kalian tidak cocok bersama."

Sunny melepaskan senyum di wajahnya dan dengan nada dingin ia bergumam. "Aku akan membuatnya cocok, dengan apapun caranya!"

***

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

217K 26.7K 34
BEVERLY HOUSE SERIES #3 √ Completed √ Kevin Beverly baik-baik saja ketika berada di sekitar kembarannya. Tetapi kembarannya selalu saja berusaha menj...
6.1K 832 5
Mengandung konten dewasa. Bijaklah dalam memilih bacaan. Spin-off: Dikejar Om-Om! Sebagai salah satu peserta "BPJS" alias Barisan Para Jomblo Sukses...
823K 30.1K 35
Beberapa part memuat mature content. Harap bijak memilih bacaan. "Bayu.. stop...." erang Kasih yang masih berusaha melepaskan tautan bibirnya dan Bay...
21.6K 5K 50
Cerita ini turut serta dalam event tahunan Karos dengan tema Zodiak. Blurb: Ada satu ungkapan: Memang baik jadi orang penting, tapi lebih penting jad...