Game Over Love [Singto X Kris...

By stroberilongcake

64K 7K 1.1K

[COMPLETE] PERAYA FANFICTION REMAKE Ketika dua orang pecinta game harus menikah karena taruhan. Singto mengaj... More

BLURB + PROLOGUE
#1 - Taruhan
#3 - Mendapat Restu
#4 - Pernikahan
#5 - Setelah Pernikahan
#6 - Bertemu Pria Idaman
#7 - Kedekatan Joss dan Krist
#8 - Makan Malam
#9 - Tutorial Membuat Anak πŸ”ž
#10 - First Kiss
#11 - Menjalankan Misi πŸ”ž
#12 - Bertengkar
#13 - Cemburu, bilang boss!
#14 - Cara Akur Yang Baik dan Benar
#15 - Berkencan
Hidden Scene πŸ”ž [Bisa di skip]
#16 - Tiket Honeymoon
#17 - Pattaya
Hidden Scene πŸ”žπŸ”ž [Bisa di skip]
#18 - Test Pack Positif
#19 - Krist Dan Ngidamnya
πŸ”ž [Bisa di Skip]
#20 - Game Over, You Win [END]

#2 - Apa Benar, Aku Jatuh Cinta?

2.6K 347 46
By stroberilongcake

Re-publish soalnya ada cast yang diubah 😅

———

"Jelasin, siapa pria tadi!"

Suara Arm begitu jelas. Penuh penekanan dan mengerikan. Krist menutupi kegugupannya dengan menarik nafas panjang dan mengeluarkannya pelan. Dia mendaratkan pantat di atas kasur empuk bersepray biru dengan corak kura-kura hijau kartun.

"Apaan sih, Phi?!"

"Kok apaan, sih! Ya kamu tuh yang apa-apaan? Pulang-pulang bawa pacar, pakai acara lamaran segala lagi!"

Ingin rasanya Krist menyanggah ucapan Arm dan mengatakan semuanya kalau dia pun juga awalnya tidak mengenal pria gila itu. Tapi dia mengurungkan niatnya. Begini saja sudah dimarahi apalagi kalau bilang yang sebenarnya, bisa-bisa peraturan diperketat dan dia tak bisa kemana-mana lagi.

"Kenapa, sih! Phi sama Pho itu selalu mengekangku? Aku sudah besar, aku tahu mana yang benar dan mana yang salah! Kalian tidak perlu terlalu mengaturku. Melarangku ini dan itu! Aku bukan anak kecil lagi, Phi ... dan aku tidak akan melakukan kesalahan seperti P'New!"

"Krist!" bentak Arm bahkan dia hampir saja melayangkan tangannya. Arm benar-benar geram dengan adik bungsunya ini. Krist tak pernah membantah dan baru kali ini membantah, membuatnya terkejut.

Krist juga terkejut. Dia tak pernah membentak sang kakak seperti itu, terlebih membuat marah hingga sampai membuat Arm mengangkat tangannya. Juga, Arm maupun ayahnya selalu memanggilnya Kit.

Dia menatap nanar pada tangan Arm yang berhenti di udara.

"Ya, aku Krist. Aku adikmu yang selalu menuruti perintah Kakak dan Ayahnya," ucapnya lirih.

Arm menurunkan tangannya, lalu memeluk sang adik dan menciumi kepalanya. "Maafkan Phi. Phi tak bermaksud untuk menyakitimu. Kami melakukan ini semua karena kau orang yang paling kami sayangi. Pho dan Phi tidak ingin kamu merasakan hal yang sama dengan New."

"Tapi aku bukan P'New," sanggah Krist dalam pelukan kakaknya.

Arm melepas pelukannya dan menatap Krist. Begitu pula dengan Krist, dia membalas tatapan sang kakak dengan tatapan polosnya. Ini yang membuat Arm tak bisa berlama-lama memarahi adik bungsunya. Krist terlalu lembut untuk diberi kata kasar.

"Iya, kami tau kok kamu bukan New. Tapi kami tetap saja mengkhawatirkanmu. Karena kalian itu sama. Melihatmu membawa seorang pacar itu membuat kami takut."

Krist melirik meja nakasnya. Disana, terpampang sebuah foto ukuran 5R. Krist dan New yang saling memeluk sambil menatap kamera.

"Aku tau, kami sama," ucap Krist lirih. "Tapi bisakah kau dan Ayah percaya padaku? Aku janji pasti bisa jaga diri. Aku sudah besar. Umurku 20 tahun. Sudah saatnya aku mencari seorang kekasih."

Arm membawa tangannya merengkuh kedua bahu Krist. Sedikit menundukkan badannya menatap Krist sangat dalam. Berharap Krist mengerti akan kekhawatirannya.

"Tidak dengan kekasih yang berandalan semacam Sindu tadi!"

Krist memutar bola matanya malas. "Singto namanya."

"Terserah mau Sindu, Singto, Simwo, Simba atau apalah itu. Pokoknya pria yang berandalan seperti itu harus diwaspadai," ingatkan Arm.

"Dia pria baik, kok!" lalu Krist menggigit pipi dalamnya. Terkejut saja dia bisa membela pria gila itu dengan ringan dari bibirnya.

"Oho ... sekarang berani membela pria lain, begitu?" Arm melepas tangannya dari bahu Krist. Bersedekap, masih menatap Krist dengan teliti. Sebenarnya sedikit tidak rela jika adiknya membela pria lain didepannya. Arm belum siap mendengar adiknya jatuh cinta. "Aku sadar, kau semakin hari semakin besar. Semakin dewasa. Pasti kau akan menemukan pasanganmu. Tapi aku tak menyangka akan secepat ini. Apa sudah seharusnya kami melepasmu untuk pria itu?"

Sedang Krist membulatkan mata. Dia masih tak habis pikir dengan apa yang diucapkan kakaknya dan apa yang terjadi malam ini. Benar-benar membuat pusing. Apalagi Arm tampak pasrah sekarang.

Krist menggelengkan kepalanya. "Bukan. Bukan begitu, tapi—kalian salah paham."

"Iya, iya aku tau. Tapi ingat Kit, Phi masih belum rela jika kau memilih pria itu untuk pendampingmu nanti. Sekarang tidurlah. Aku rasa kau butuh ketenangan."

Arm membawa Krist ke kasur. Menidurkannya. Krist masih bingung harus bilang apa. Arm menarik selimut hingga batas dadanya, lalu mengecup keningnya pelan.

"P'Arm ...," panggilnya.

"Ssh ... Tidurlah. Semuanya akan baik-baik saja. Kita bahas ini nanti saja," ucapnya lembut lalu menyalakan lampu tidur di meja kecil sebelah ranjang. Arm berjalan kearah pintu, mematikan lampu kamar Krist. "Selamat tidur, mimpi yang indah, ya!" kemudian mematikan lampu utama kamar Krist.

Sedetik setelah pintu tertutup rapat, Krist membuka selimutnya. Mendudukkan tubuhnya dan mulai berpikir. Tunggu dulu. Tunggu. Kalau saja ayahnya dan kakaknya menolak Singto untuk menikah dengannya, itu berarti Krist tidak perlu menikah dengan pria gila itu dan perjanjian akan batal begitu saja.

Hahahaha!

Krist tertawa sendirian didalam kamar remangnya itu. Dia sedang bahagia dengan pemikirannya ini. Dia sangat yakin jika Singto tidak akan berani mendekatinya lagi. Semakin memikirkan ini, Krist semakin girang. Dia bahkan sampai mengangkat kedua tangannya dengan wajah sumringah.

"Yey! Akhirnya aku bebas dari pria gila itu!"

Kemudian Krist merebahkan tubuhnya kembali dengan perasaan ringan dan senyum yang berkembang. Bersiap menyambut hari esok yang lebih indah lagi. Atau semakin buruk baginya.

***

Dugaan Krist tentang Singto yang akan menyerah begitu saja ternyata salah. Pria itu masih tidak mau menyerah. Benar-benar pria keras kepala. Segala usaha dikerahkan.

Besoknya, Krist di kejutkan oleh Singto yang membawa box sarapan ke rumahnya. Pagi-pagi sekali, bahkan Krist baru saja bangun tidur. Yang membukakan pintu itu Arm. Krist hanya mendengar sedikit keributan.

Benar saja, waktu dia turun tangga, dia juga mendengar suara ayahnya. Krist segera berlari kecil menuju ruang tamu. Disana ada Singto yang dikeroyok oleh ayah dan kakaknya.

"Morning Sunshine! Baru bangun? Ini aku bawa sarapan buat kalian. Dari Mae. Kalian harus mencicipinya!" ucap Singto dengan ceria. Krist memandang horor. Singto benar-benar orang yang nekat. "Paman sama calon kakak ipar pasti belum sarapan, kan? Daripada ribet memasak, makan ini saja! Mae tadi masak Tom Kha Kai."

Arm menatap box makanan yang diulurkan Singto. Lalu melirik sang ayah yang memberi kode untuk menerimanya. Setidaknya mereka harus menghargai usaha Singto. Apalagi itu makanan, rejeki.

"Baiklah! Kami terima—"

"Lamaranku diterima?" Singto memotong ucapan Arm. Sumringah wajahnya. Terlalu percaya diri itu membuat ketiga orang penghuni rumah tersebut melongo.

"Siapa yang menerima lamaranmu!" suara tegas itu datang dari Ayah Krist. "Kami terima makananmu. Tidak baik menolak rejeki, lain kali tidak usah pakai acara seperti ini untuk menyogok kami agar merestui hubungan kalian. Terima kasih sudah membawakan sarapan. Besok jangan datang lagi!"

Tak ada raut sedih sedikitpun yang terpancar di wajah Krist. Justru perasaan senangnya lagi membuncah. Melihat Singto di usir ayahnya adalah hal paling menyenangkan baginya, untuk saat ini.

"Tapi Paman—"

"Tidak ada tapi tapian. Hush ... sudah sana, pulanglah!" usir Arm setelah menerima box makanan.

Singto menghela nafasnya. Kemudian melirik Krist yang masih mematung tak jauh dari tempat ia berdiri. Ayah menutup pintunya. Menyisakan Singto yang berdiri menatap pintu cokelat itu.

Singto tidak beranjak, dia mendengar langkah kaki yang mendekat. Dalam hitungan ketiga dalam hatinya, pintu itu terbuka. Menampakkan siluet orang yang sedang ingin diganggunya; Krist.

"Belum pergi juga?" Krist memaksakan nada suaranya seketus mungkin.

"Tidak mau pergi sebelum aku pamitan sama kamu."

Kedua alis Krist menyatu, dahinya berkerut hebat. Menyesal sudah membuka pintu rumahnya lagi. Dia hanya ingin melihat Singto yang lesu berjalan menuju gerbang rumahnya.

"Kau bukan siapa-siapaku, kenapa harus pamitan?!"

"Kata siapa kalau kamu bukan siapa-siapaku? Kamu kan pacarku."

Krist menahan napasnya mendengar Singto mengklaim dirinya sebagai seorang kekasih.

"Sekali lagi kau bilang begitu aku—" Krist sudah menudingnya dengan jari telunjuknya tepat di depan wajah.

"Apa? Kau lupa, Sayang? Kita sudah pacaran selama tiga bulan. Itu kan yang kamu bilang kemarin? Lupa, ya?"

Singto menangkap jari Krist, menurunkannya dengan pelan. Senyuman evilnya tersemat baik. Lalu menatap teramat lembut dan dalam, membuat Krist salah tingkah sekaligus kesal.

"Ingat, Sayang ... kau kalah taruhan. Sesuai perjanjian, kau harus menikah denganku. Oke!"

Krist benar-benar muak dengan semua ini. Rasanya dia ingin berteriak sekencang-kencangnya yang dia bisa. Kenapa harus dia yang memiliki masalah konyol seperti ini? Menikah karena kalah taruhan game. Ini merupakan hal bodoh yang terjadi dalam kehidupannya selama dua puluh tahun dirinya hidup.

"Baiklah kalau begitu, aku pulang dulu, ya? Kamu jaga kesehatan. Jangan begadang main game. Tidak baik untuk calon ibu rumah tangga sepertimu. Salam ya, buat Ayah mertua dan Kakak ipar. I Love You."

Setelah mengucapkan itu, dan Krist belum jawab apapun, Singto sudah keburu memberikan usapan di pipi kirinya. Singto terkejut bukan main saat kulit jarinya bersentuhan dengan halusnya pipi Krist. Berpikir sebentar jika Krist pasti rajin perawatan. Sedang Krist, dia membulatkan mata dengan sempurna. Tak mengira jika Singto akan mengusap pipinya.

"Bye, Sayang! Besok aku datang lagi," ucap Singto kemudian berlalu. Berjalan menuju gerbang rumah Krist.

Meninggalkan Krist yang masih shock dengan kelakuan ajaib Singto. Wajahnya sungguh memerah. Tubuhnya lemas. Rasanya seperti linglung. Krist meraba pipinya yang diusap oleh Singto, rasanya masih terasa. Ada hangat dan nyaman menjalar pelan-pelan. Krist menelan salivanya, menggelengkan kepalanya ketika dalam pikiran terlintas akan merasa kangen dengan usapan itu lagi.

Dan sejak itu, sesuai perkataan Singto. Pria itu datang lagi ke kediaman Sangpotirat. Terus menerus mendatangi rumah Krist. Entah pagi, siang, sore, bahkan malam. Meskipun berakhir di usir oleh Arm atau ayah Krist, Singto pantang menyerah. Dia juga kerap kali datang membawa makanan, padahal sudah dilarang oleh keluarganya. Tapi masih saja di terima oleh Arm dengan alasan sayang jika di buang dan tidak baik menolak rejeki.

Hal itu terjadi sampai dua minggu lamanya. Krist tak pernah sekalipun menemuinya. Dia akan mengintip dari jendela kamarnya yang terletak di lantai dua. Sebisa mungkin mengintip dari celah tirai begitu kecil agar tak ketahuan Singto. Karena pria itu tahu letak jendela kamar Krist. Gara-gara, pernah suatu hari Krist menonton adegan Singto yang di usir oleh keluarganya dari jendela kamarnya. Tak sengaja, Singto mendongak. Tatapan yang bertubrukan terhalangi kaca itu membuat Singto menemukan Krist. Membuat Krist terkejut dan deg-degan saja. Daripada itu, sekarang dia lebih berhati-hati dalam mengintip.

Satu hal lagi yang diketahui Krist, Singto tidak pernah langsung pulang jika diusir. Dia akan meneriaki nama Krist agar menemuinya. Tapi Krist tak menggubrisnya. Lebih memilih membuka laptop diatas kasur memainkan game. Jangan lupakan telinganya yang dipasangi headphone.

Dan Krist, tak habis pikir dengan apa yang dilakukan Singto sampai segitunya. Hanya karena game? Krist rasa bukan itu saja. Pasti ada hal lainnya lagi sehingga membuat Singto sangat ngeyel.

Sampai suatu hari Krist sempat iba pada Singto yang kehujanan di depan gerbang rumahnya. Menunggu siapapun membukakan pintu gerbang. Kala itu, ayahnya belum pulang dari kantor. Arm juga tidak ada di rumah. Hanya ada Krist.

Kilat dan bunyi petir yang memekik membuatnya membuka tirai jendela kamarnya. Singto masih disana, menepi dibawah pohon depan rumahnya. Pandangan Krist mengedar, mencari letak audi hitam yang biasa menjadi tunggangan Singto. Nihil.

Krist ingin menyuruhnya masuk, tapi mengurungkan niatnya mengingat dia sendirian di rumah. Ayah sempat berpesan untuk tidak sembarangan memasukkan orang ke dalam rumah. Akhirnya Krist kembali ke atas kasurnya. Membuang segala risau tentang Singto dan mencoba membuka game kesukaannya.

Benar, saja keesokan harinya, Krist sama sekali tidak menemui Singto. Hingga malam menjadi pagi, dan malam lagi. Sampai tiga hari kemudian, Singto tak menampakkan batang hidungnya.

"Jangan bilang kamu kangen sama orang gila itu Kit?"

Itu suara Nammon, sahabat Krist sejak SMA sampai kuliah saat ini. Ya, Krist seorang mahasiswa fakultas ekonomi di Universitas Kasetsart. Satu kelas sama Nammon. Segala apapun Krist pasti cerita pada Nammon, tak terkecuali tentang orang gila bernama Singto. Pengganggu hidupnya hampir sebulan ini. Yang membuat angkuhnya melebur.

"Apa? Aku? Kangen sama dia? Jangan ngawur kamu!" Krist segera menyeruput pinkmilknya yang tinggal separo sampai tandas.

"Lalu apa, dong namanya? Kamu setiap hari cerita tentang dia. Katanya risih diganggu terus sama dia tapi tidak ada tindakan apapun dari kamu biar dia berhenti mengganggumu. Sekarang, dia sudah tidak mengganggumu, kau murung. Apa, sih maumu?"

"Entahlah!"

Nammon cukup jengkel dengan Krist yang selalu mengelak jika dirinya terbawa perasaan oleh Singto. Mungkin Krist masih gengsi, begitu pikir Nammon.

"Kupikir, kau mulai jatuh cinta padanya!"

"APA?" Krist terkejut dengan penuturan Nammon yang seenak jidatnya. "Jangan sembarangan kalau bicara!"

"Lho, habisnya kamu tuh, seperti orang yang lagi jatuh cinta! Kelihatan dari aura wajahmu. Akhir-akhir ini seperti cerah, entah kenapa sekarang jadi mendung begini hanya karena pangeran sedang di telan bumi. Lagipula—"

"Nammon! Hentikan!" Krist memukul lengan Nammon yang masih saja bicara omong kosong menurut Krist.

"Tidak mungkin kau akan membicarakannya terus menerus. Krist yang kukenal itu tidak akan membicarakan orang lain. Dia lebih suka membicarakan game atau buku kesukaannya. Kan, aku jadi curiga!" lanjut Nammon menggoda Krist.

"Nammon!"

Nammon tidak menggubris masih saja bicara.

"P'Mike yang sering mengejarmu saja, kau tidak sesering ini cerita padaku. Kau akan menghindari pembicaraan tentang dia. Itu karena kau tidak suka padanya. Tapi kenapa pria asing yang kau bilang gila itu sekarang jadi pusat perhatianmu?"

"Nammon, hentikan omong kosongmu!" Krist yang gemas mencubit kecil kulit tangan Nammon.

"A-aduh, aduh! Iya, iya aku hentikan. Sakit, nih!" Nammon mengelus tangannya yang baru saja dicubit Krist.

"Habisnya kamu, sih!" gerutu Krist sembari cemberut.

"Eh, Kit ... memangnya, pria yang bernama Singto itu tampan, ya? Tampan mana sama P'Arm?"

"Tidak. Dia biasa saja. Kenapa?"

"Hmm ... kalau dia lebih tampan dari P'Arm, boleh dong, aku kenalan?"

Krist melongo mendengar ucapan Nammon. "Kau ini cari mati, ya?"

"Tuh, kan! Kau cemburu. Ccciiieee ... Kit jatuh cint—mmphhh!" Krist segera saja membekap mulut Nammon yang menggelegar.

"Kau ini, bisa tidak mengecilkan suaramu?!"

"Mmmpphhhsdshdfhdjnvik!"

Krist melepaskan tangannya yang membekap mulut Nammon. Seketika Nammon meraup oksigen sebanyak mungkin.

"Bukan begitu maksudnya, kau kan suka sama P'Arm. Masa' kau akan menduakan P'Arm begitu saja?" ucap Krist dengan suara lirihnya.

"Hey, Kit ... aku hanya becanda. Aku masih setia, kok sama kakakmu itu! Walaupun dia sangat sangat tidak peka padaku."

Krist sedikit senyum, dia merasa lega jika Nammon hanya becanda saja. Tunggu dulu! Lega? Dia lega karena apa?

"Apa benar, aku jatuh cinta?"

Krist menggelengkan kepalanya. Mengenyahkan pikiran konyol yang sempat mampir.

Drrrttt!

Ponsel pintarnya bergetar di atas meja. Krist melirik layarnya begitu pula dengan Nammon. Sebuah nomor asing tertera disana. Krist mengerutkan keningnya.

"Siapa?" tanya Nammon.

"Tidak tahu!" jawab Krist sembari menghendikkan kedua bahunya. Lalu meraih ponsel dan menekan tombol hijau.

"Halo, khap! Ini siapa?"

"....."

"Ya, saya sendiri." Krist melirik Nammon yang mengerutkan keningnya merasa ingin tahu. Dengan bahasa isyarat, Nammon bertanya siapa yang menelpon. Krist menjawabnya dengan isyarat, meletakkan telunjuk jarinya di depan bibir; menyuruh Nammon untuk diam sejenak. Krist tampak serius sekali.

"......"

"APA?"

a/n:

Tumben saya update! Wkwkwk

Jadi, akutu lagi rehat. Abis kecelakaan. Nyungsep dijalanan. Wkwkwk. 2 hari baring terus kan bosen. Yutuban udah, baca webtoon udah, main game udah, yaudah nulis aja. Ehh dapet se-chapter seharian ini.

(ง• ͜  •)ง✧♪

Dah, gitu aja. Kalo ada yang mengganjal bilang ya gaess...ato mungkin ada yg perlu dikoreksi lagi dari cerita, komen aja atau langsung DM or message WA juga bisa.

21.05.19

Continue Reading

You'll Also Like

905K 75.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
186K 15.9K 84
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
561K 34K 27
LAPAK BROTHERSHIP βœ”οΈ NOT BOYS LOVE...❌ SUDAH END TAPI TETEP VOTE + FOLLOW PROSES REVISI Kamu tahu obsessi? Ya apa saja bisa dilakukan bahkan bisa m...
73.7K 5.9K 45
cerita fiksi jangan dibawa kedunia nyata yaaa,jangan lupa vote