Chris menghabiskan satu hari penuh dengan tergolek lemah di kamar setelah kejadian kesurupan. Seluruh sendi dan ototnya seolah mengalami penurunan fungsi. Padahal, sebenarnya itu hanya akumulasi dari kesehatan Chris yang kebetulan menurun karena kelelahan.
Maura dengan setia mendampingi Chris. Ada di dekat Chris nyaris 24 jam. Membuat Darma dan yang lainnya terheran-heran betapa Maura begitu menyayangi Chris. Rela menjaga Chris sepanjang waktu.
Chris juga diam-diam terharu dengan kesungguhan Maura dalam melayani dan menjaganya. Chris merasa goyah. Mulai ada gelihat lain di hatinya selain misi yang harus ia tuntaskan.
Kehangatan Maura seolah membelokkan arah dunia Chris.
Keesokan harinya, ketika Chris merasa tubuhnya lebih baik, Maura mengajaknya pergi jalan-jalan. Mereka pergi ke Kawah Sileri, pergi melempar batu dan mengucap keinginan di Sumur Jalatunda, menonton film dokumenter Dieng di Dieng Theater, juga pergi ke Telaga Warna dan Telaga Pengilon untuk hunting foto.
Semua itu Maura lakukan agar Chris kembali cerah seperti sedia kala. Chris dan keindahan alam biasanya akan bersatu, membentuk semesta yang sempurna.
Benar saja, Chris mulai bisa tertawa-tawa dan bergerak aktif. Pemuda itu bahkan pergi ke Batu Ratapan Angin, mengambil banyak foto di sana. Juga memakan banyak kentang spiral dan jamur crispy khas Dieng.
Paling membuat Maura bahagia, Chris akhirnya kembali mendapatkan selera humor dan selera makannya. Chris menyukai manisan buah carica khas Dieng. Chris juga menghabiskan bermangkuk-mangkuk mi ongklok.
Semua itu rasanya sudah cukup bagi Maura. Dia lebih memilih Chris yang bertingkah seperti anak kecil dan gila daripada harus melihat pemuda itu tergeletak tidak berdaya seperti kemarin.
Mereka sampai melewatkan hari pertama rangkaian acara Dieng Culture Festival. Maura dan Chris gagal menikmati sajian jazz berkelas nasional di antara sensasi dinginnya pegunungan.
Tapi Chris berhasil mengejar sunrise di Bukit Sikunir. Pemuda itu bahagia bukan main saat berhasil membidik matahari yang merekah saat fajar.
"Aku suka di Dieng," kata Chris saat malam ketiga tiba. Dia dan Maura ada di tengah acara pertunjukan musik akustik sambil menunggu pesta kembang api dan festival lampion dimulai.
"Tapi aku lebih suka sama perhatian yang kamu kasih ke aku seharian kemarin." Chris terkekeh sendiri. Sementara Maura hanya bisa memutar bola matanya sambil menyenggol siku Chris dengan sebal.
"Jangan gombal. Nggak cocok!"
"Seriusan, Maura. Dieng emang nggak terkalahkan, tapi kalau nggak ada kamu, aku nggak akan se-happy sekarang."
Mereka berdua terdiam setelahnya. Lalu bergerak mengambil jatah lampion dari panitia. Bersiap di tempatnya untuk menyalakan dan melepas lampion itu bersama ribuan lampion dari tangan pengunjung yang lainnya.
"Aku tahu ini nggak bener, tapi ... aku suka kalau kamu perhatian sama aku. Aku bahkan ngerasa nggak perlu acting buat jadi suami bohongan kamu, Maura."
Maura menelan ludah diam-diam. Dia juga heran, kenapa dia dan Chris bisa seluwes itu berdrama sebagai pasangan suami istri di depan Bu Aning dan Pak Amim. Mereka terlalu natural untuk dikatakan sebagai pasangan pura-pura.
"Kalau cinta itu kayak penginapan, aku pengen banget buat bisa singgah dan tinggal lama di hati kamu, Maura. Bukan pura-pura. Bukan sebagai tour companion. Bukan sebagai pasangan bohongan."
"Chris, jangan aneh-aneh deh!" Sial, muka Maura memerah sekarang. Udara dingin Dieng, alunan akustik lagu cinta yang mendayu-dayu, juga hawa-hawa hangat dari orang yang berbahagia di sekitarnya, membuat hatinya terbawa perasaan. Bahkan ketika Chris berkata hal yang begitu cheesy di telinga.
"Tapi, aku harus inget, kan? Chris dan Maura itu cuma sepasang temen jalan. Cuma dua bulan aja kita bisa deketan kayak gini. Setelah itu, kita harus menjalani kehidupan masing-masing." Chris menghela napas.
Payah, kepedulian Maura terhadapnya sudah menyentil naluri terdalam di hati. Kehangatan Maura sudah membangunkan cita Chris yang mati suri.
Chris sendiri tidak paham. Dia tidak berusaha menumbuhkan, karena perasaan itu tumbuh sendiri. Dia juga tidak berusaha menghentikan, karena dia enggan kesakitan lagi.
"Kamu udah bikin aku ngerasa jadi istimewa, Maura. Perlakuan kamu ke aku selama ini bikin aku ngerasain hal yang beda."
"Chris ...."
Chris tersenyum. Lalu mengangkat wajahnya. Dia mengambil spidol hitam dari saku, lalu menulis sebaris kalimat di lampion itu dengan hati-hati sambil jongkok. "Make a wish, Maura."
Maura menggeleng sambil terkekeh. "Nggak ngaruh. Aku bukan orang yang percaya sama gituan."
"Ya udah, biar aku aja yang nulisin doa buat kita."
Maura nyaris tersedak. Buat kita katanya. Tapi memang benar, Chris menulis sebaris kalimat lagi. Setelah selesai, pemuda itu kembali berdiri dan tersenyum. "Nggak ada salahnya usaha. Siapa tahu dengan melakukan hal yang menurut kamu nggak rasional gini bikin keinginan terkabul. Kan, ini cuma perantara, Maura. Doanya tetap ke Tuhan."
Maura melirik ke arah lampion, lalu merengut begitu lagi-lagi mendapati Chris menulis sesuatu pakai huruf Hangul. Mana dia tahu artinya apa. Mau bertanya enggan, tidak tanya penasaran. Akhirnya Maura mengeluarkan ponsel, memotret tulisan itu sambil tersenyum puas. Nanti akan dia tanyakan kepada si K-Poper sejati, Siva Sarafani.
"Ini tuh kayak the best moment in my life," ujar Chris sambil tersenyum menatap langit Dieng malam itu. Cerah, dihiasi bintang yang gemerlap dan bertebaran. Angin lamat-lamat yang membuat kulit terasa tersipu. Nada indah dari para musisi yang menebar gelegar cinta. Juga tentang perasaan bahagia yang terasa nyata.
"If it yes, so it's a pleasure for me to be your companion in this beautiful moment, Chris." Maura balas berujar.
Mereka saling tatap sekarang. Bingung mau berkata apa. Chris ingin jujur, tapi nuraninya masih melarang. Maura juga kalang kabut sendiri. Perasaannya tiba-tiba melambung tanpa alasan pasti.
"Actually, apa yang aku tulis di lampion ini, semua pure keinginan aku dari hati yang terdalam. Tapi, belum terlambat buat kamu kalau kamu mau ikutan make a wish, Maura. Ini moment langka. Kita lagi ada di dataran tertinggi di Jawa Tengah. Kita lagi di atas awan. Kalau kita tulus berdoa, siapa tahu Tuhan bakalan ngabulin doa kita itu."
Maura tersenyum. Lalu mengangguk. "Ya, aku make a wish nanti pas lampionnya udah mulai terbang."
Setelah itu terdengar aba-aba dari panitia agar para tamu DCF mulai menyalakan lampion. Chris terlihat begitu bersemangat. Begitu juga dengan Maura yang dengan telaten memegangi bagian pinggir lampion. Begitu semua tamu siap, tangan mereka terangkat. Membimbing lampion itu agar meninggi, terus meninggi hingga akhirnya terbang sendiri.
Langit Dieng mendadak begitu sempurna. Ribuan lampion diterbangkan bersama-sama. Terang benderang, seolah berlagu, seolah langit sedang tertawa riuh bersama kelap-kelip lampion yang mulai berpencar ke segala arah, memenuhi angkasa raya.
Chris berseru bahagia. Lampionnya terbang begitu tinggi dan jauh. Sementara itu Maura yang berdiri di sampingnya juga tersenyum. Begitu gelaran acara hari kedua DCF malam itu selesai, mereka kembali ke rumah Pak Amim.
Menaiki ranjang bersama-sama setelah membersihkan diri. Keduanya masih terpesona dengan atraksi malam itu. Atraksi manusia, tapi dibuat megah ketika dipadu dengan memesonanya alam.
Hingga akhirnya, Chris menoleh, memiringkan tubuh dan menatap Maura dari samping. "Make a wish apa tadi, Maura?"
Maura juga menoleh, ikut memiringkan tubuh, dan menjawab sambil tersenyum, "Aku pengen kamu sembuh, Chris."
***Fair Unfair***