Truth or Dare (Selesai)

By Saga_vi

652K 53.5K 6K

WARNING ZONA PELANGI 21+....!!! BAHASA AKAN TERDENGAR SANGAT FRONTAL 17-08-2018 s/d 27-11-2018 BOOK 01 "Cint... More

TOD 1
TOD 2
TOD 3
TOD 4
TOD 5
TOD 6
TOD 7
TOD 8
TOD 9
TOD 10
TOD 11
TOD 12
TOD 13
TOD 14
TOD 15
TOD 16
TOD 17
TOD 19
TOD 20
TOD 21
TOD 22
TOD 23
TOD 24
TOD 25
TOD 26
TOD 27
TOD 28
TOD 29
TOD 30

TOD 18

16.5K 1.5K 70
By Saga_vi


Hari ini malam minggu, dan malam ini adalah malam pertama Arga ngapel ke rumah Linggar.

Kejadian 2 hari lalu membuat Linggar akhirnya resmi jadi kekasih Arga.
Cowok 3 tahun lebih muda darinya, orang yang dengan nyali besar menantang perang mantan pacarnya.

Malam itu Linggar tengah duduk di sofa bersama ibunya yang sudah berdandan cantik dengan memakai pakaian yang sedikit glamor.
Wanita setengah baya itu tidak segan menunjukkan belahan dadanya yang bisa terlihat dengan jelas, karena dia memakai pakaian dengan potongan kerah pendek.

"Gar...kamu ga' keluar...?"
Tanya seorang pria yang baru saja turun dari lantai dua dengan memakai kemeja dan jas hitam.

Dia adalah Ayah Linggar, seorang Direktur utama di perusahaan yang bergelut di bidang jasa.

Linggar menoleh ke belakang, melihat ke arah Ayahnya yang berjalan seraya memasang jam tangan di pergelangannya.
"Linggar males Pa, apa lagi ada yang mau main ke rumah.
Makanya Linggar di rumah aja"
Ucapan Linggar di akhiri dengan suara yang sedikit tertahan karena dia mencoba menyembunyikan perasaan bahagianya.
Hingga semburat merah terlihat di wajah tampannya.

Ayah Linggar memicingkan matanya, pria itu terlihat begitu gagah di usianya yang sudah lebih dari 40 tahun dan hampir memasukki usia 45 bulan depan.

Bisa di tebak menurun dari siapa sikap tegas dan wajah tampan milik Linggar, perawakannya yang tinggi tegap itu jelas menurun dari ayahnya.
Sedangkan wajahnya lebih condong ke ibunya.

"Pasti Rendi kan yang mau datang...?"
Tebak sang Ayah sambil duduk di samping Linggar membuat pemuda itu sedikit beringsut dari tempat duduknya tadi.

"Bukan, emangnya Papa pikir temen Linggar dia doang"

"Sejauh ini cuma diakan yang sering kamu ajak main ke sini, emang ada opsi yang lain...?
Galang juga jarang datang kalau lagi ga' pulang ke Indo"
Ayah Linggar bicara sambil menatap Linggar yang tengah memfokuskan pandangannya ke arah layar plasma di depannya.

"Papa ga' tau ya, beberapa hari ini ada temen dia yang sering dateng ke rumah.
Namanya Arga, anaknya sopan banget.
Mama aja sampai kaget, masih ada anak yang sopan begitu di jaman sekarang"

Linggar melirik ke arah Ayahnya yang tampak mengerutkan dahi.
Ayah Linggar memang jarang ada di rumah, dia bahkan pernah pulang beberapa jam saja sebelum berangkat lagi ke luar kota ataupun keluar negeri.
Maka dari itu, dia tidak pernah tau ada perkembangan apa di rumahnya.

"Temen baru...?"
Tanya sang Ayah setelah lebih dulu menatap istrinya yang memberi penjelasan.
Pria itu menoleh ke arah Linggar untuk meminta penjelasan yang lebih lagi dari sang putra.

"Iya, dia anaknya baik Pa.
Ga' bakal macem-macem, apa lagi ngajakin Linggar main yang aneh-aneh"

Ayah Linggar terdiam sesaat.
"Jam berapa dia mau datang...?"

"Paling bentar lagi"
Jawab Linggar setelah pemuda itu melihat ke arah jam dinding yang di pajang di atas TV.

"Ya sudah, Papa mau lihat orangnya dulu sebelum Papa dan Mamamu pergi"

Wajah Linggar berubah kusut seketika.

Memang Ayahnya itu orang yang selalu ingin tau soal pergaulan Linggar.
Dia ga' mau melihat anak semata wayangnya terjerumus ke hal yang tidak benar.
Sebagai Ayah, dia merasa punya kewajiban untuk memilih mana teman yang bisa bergaul dengan putranya dan mana yang tidak.

''Udahlah Pa, Mama ga' sangsi lagi sama Arga.
Dia anak baik kok, Mama yang jamin"

Linggar mengangguk sebagai isyarat kalau dia menyetujui ucapan Ibunya barusan.

"Iya Ma, Papa cuma mau lihat seperti apa orangnya.
Kamu taukan, temen anak kita itu bisa di hitung dengan jari.
Papa aja cuma kenal sama Rendi dan Galang.
Dan satu lagi, temen Rendi yang kadang nganterin Rendi ke sini"

"Irwan maksudnya...?"

"Nah...itu...!"
Sorak Ayah Linggar sambil menjentikkan jarinya.
Pria itu menoleh ke arah Linggar.
"Lalu kapan kamu itu mau bawa pacar kamu ke rumah...?"

Pertanyaan itu membuat mulut Linggar bersungut kesal.
Ayahnya memang suka menggodanya soal pacar wanita.
Dia hanya tidak tau kalau Linggar udah ngajak pacarnya ke rumah.
Siapa lagi kalau bukan Galang, tapikan itu orang udah jadi mantannya sekarang.
Dan saat ini Argalah kekasihmya, dan dia dalam perjalanan ke rumahnya.
Tapi kedua orang tuanya tentu tidak tau status Arga yang sebenarnya.
Sampai saat ini Linggar belum cerita perihal orientasi sexnya.

"Linggar belum mau pacaran Pa, takut entar bakal hamilin anak orang"
Elaknya

Mata Ayah Linggar langsung melotot.
"Haissss....apa-apaan itu, ya...jangan di sentuh dianya sebelum kalian nikah"

"Nanti kalau ga' di sentuh Linggar di katain impoten"

Ibu linggar tertawa.
"Udahlah Pa, Linggar itu masih muda.
Biarin lah dia seneng-seneng sama temen-temennya dulu.
Nanti kalau udah pacaran, dia jadi ga' fokus ke segala hal"

Ayah Linggar menatap Istrinya dengan senyum jahil.
"Mama takut ya kalau Linggar jadi ga' merhatiin Mama lagi setelah dia punya pacar...?"

"Husss bukan itu, Mama cuma ga' mau anak kita salah jalan.
Papa sendiri tau pergaulan anak jaman sekarang.
Baru pacaran aja udah berani pegang-pegang.
Cowoknya ga' mau, ceweknya yang maju"
Seloroh Ibu Linggar.

"Wah...kalau itukan mirip sama Mama"
Ujar Ayah Linggar sambil tertawa dan sebuah bantal kursi di lempar Ibu Linggar langsung ke tubuh tegap suaminya.

"Papa itu, ada anaknya ngomong kayak itu"

Ayah Linggar serta merta merangkul Linggar.
"Ini anak udah gede Ma, ga' apa-apa kita bicara begitu di depan dia.
Linggar pengen punya adek ga...?"

Linggar memutar bola matanya, baru saja ayahnya bilang kalau dia sudah besar.
Tapi cara bicaranya ke dia malah seperti anak kecil umur 10 tahun.
Pemuda itu segera melepas rengkuhan Ayahnya.

Melihat Linggar kesal, sang ayah malah tertawa terbahak.

"Permisi..."

Suara itu membuat ketiga orang yang tengah bercengkrama di ruangan itu menoleh ke arah asal suara barusan.

Tampak Arga berdiri di depan mereka dengan memakai pakaian kasual khasnya.
Celana danim dan kaus yang di padu kemeja kotak yang tidak di kancingkan.

Linggar serentak berdiri, di ikuti sang Ayah dan juga Ibunya.

"Malem Om, Tante"
Sapa Arga lagi.

Linggar mencoba untuk tidak menunjukkan wajah bahagianya karena akhirnya yang di tunggu dari tadi datang juga.

"Arga...??"
Tanya Ayah Linggar dengan wajah kaget.
Buru-buru pria setengah baya itu berhambur memeluk pemuda jangkung di depannya.
Hal itu membuat Linggar dan Ibunya kebingungan.

"Yaampun...!! Kamu kok udah gede gini...??"
Tanya Ayah Linggar semeringah.

"Iya om"
Senyum kikuk tersungging di bibir Arga.

Linggar memicingkan matanya saat Ayahnya merangkul Arga dan mengajaknya ikut serta bergabung duduk di sofa.
"Papa udah kenal sama Arga...?"

"Yaudahlah, kamu itu gimana sih Gar"
Senyum lebar tersungging di wajah Ayah Linggar.
Pria itu menoleh ke arah sang istri yang tampak kebingungan.
"Mama pasti lupa juga sama Arga, ini anak sama Mamanya kok klop amat"
Ayah Linggar menatap Arga.
"Duduk dulu, kamu mau minum apa...?"

"Makasih Om, nanti saja"
Jawab Arga melirik ke arah Linggar seraya duduk di sofa.

"Yadah nanti minta aja ke bibik, anggap rumah sendiri ya..."
Ayah Linggar duduk di sofa di samping Linggar, memaksa sang anak menyingkir ke samping.

Linggar dan Ibunya masih kebingungan.
Mereka berdua saling pandang, karena keduanya tidak mengerti kenapa Ayah Linggar bisa mengenal Arga.

"Ga, elo kok kenal sama Bokap gue...?"

Ayah Linggar menoleh ke arah Linggar setelah putranya mengajukan pertanyaan itu.
"Kamukan juga udah kenal sama dia dari dulu, bukannya kalian berdua teman dari kecil...?"

Linggar mengerutkan dahinya.

"Dia ini anaknya Om Gunawan Gar, temen Papa yang dulu rumahnya deket sama rumah Opa kamu"

Linggar mengercipkan matanya, ingatannya kembali ke jaman dia berumur 10 tahun.
Dia memang punya teman bernama Arga, yang dulu sering dia ajak main bersama.
Anak umur 7 tahun itu bahkan pernah cidera parah gara-gara tangannya patah setelah bermain sepeda dengan Linggar.

Itulah sebabnya sampai saat ini Linggar tidak berani naik sepeda.
Bahkan dia tidak mau belajar lagi setelah dirinya melihat tangan Arga patah hingga tulangnya mencuat keluar menembus kulitnya.

Linggar buru-buru berdiri, dia berhambur mendekati Arga, tanpa sungkan dia menarik tangan kiri Arga dan menggulung lengan kemejanya sampai di siku, di situ dirinya melihat bekas luka jahitan walau sudah memudar.

"Udah ingat sekarang...?"
Tanya Arga yang membuat Linggar melongo, dia seperti bermimpi.
Tidak percaya kalau kekasihnya sekarang adalah teman masa kecilnya.

"Astaga...Tante kok baru ingat...maaf ya Arga...!"
Seloroh Ibu Linggar yang berdiri dari duduknya.

"Iya Tante ga' apa-apa"
Ucap Arga sambil tersenyum ke arah Ibu Linggar.

"Elo kok diem aja...??!"
Pekik Linggar yang tidak tau lagi sekarang ekspresinya sudah seperti apa.

Arga tersenyum.
"Sorry, gue nunggu elo inget sendiri"

Linggar menghela nafas, terjawab sudah kenapa dia bisa kesal setengah mati dari awal dirinya bertemu Arga.
Karena dari kecil dia dan Arga memang selalu bertengkar, jarang akur tapi suka main bersama.
Linggar melepas tangan Arga dan kembali duduk di sofa.

"Om denger soal Papa kamu, Om turut berduka cita ya"

"Iya Om, terima kasih"

"Dulu, Om pernah datang ke rumah kamu buat ngucapin belasungkawa.
Tapi kalian udah pindah rumah dan ga' ada yang tau kalian pindah ke mana"

Arga tersenyum.
"Iya Om, Ibu yang ngajakin pindah.
Karena beliaunya ga' mau teringat terus sama almarhum Bapak kalau tinggal di rumah itu"

"Ibu kamu gimana keadaannya...?"
Tanya Ibu Linggar.

"Baik Tante"

"Baguslah kalau begitu..."

Ayah Linggar berdiri, dia tersenyum ke arah Arga.
"Maaf, Om ga' bisa lama-lama nemenin kamu ngobrol.
Karena Om sama Tante ada acara malam ini"

"Iya Om ga' apa-apa"

"Yaudah, besok-besok main lagi ke sini, biar Om bisa ngobrol panjang lebar sama kamu"

"Iya"

Ayah Linggar menoleh ke arah sang Istri.
"Ayo Ma barengkat, entar kita telat"

"Iya Pa"
Ibu Linggar segera berjalan mendekati suaminya.
"Linggar, Mama tinggal dulu.
Nanti kalau keluar sama Arga jangan kemaleman pulangnya"

"Iya, Linggar di rumah aja Ma"

"Tante tinggal dulu ya..."

"Iya Tante, hati-hati di jalan"

Kedua orang tua Linggar akhirnya berjalan pergi, meninggalkan Arga dan Linggar di rumah itu.

Mata Linggar menyipit dengan mulut mengerucut.
"Jadi elo udah tau kalau ini gue dari pertama elo dateng ke butik...?"

"Nggak, gue tau kalau itu elo pas gue ngajak elo kencan.
Gue ketemu sama nyokap elo di hari itukan...?"

Linggar mengangguk.
"Pantes aja pas itu elo nyium tangan Nyokap gue"

"Di situ gue baru tau kalau elo itu Linggar, temen masa kecil gue yang pernah matahin tangan gue.
Elo sekarang udah bisa naik sepeda...?"
Tanya Arga sambil tersenyum.

Wajah Linggar berubah malu, hal itu bisa langsung di tebak Arga kalau Linggar belum bisa naik sepeda.

Arga tertawa terbahak.

"Jangan ngetawain gue nyet...!"
Protes Linggar seraya melempar bantal ke wajah Arga.

Arga segera berdiri, dia mengulurkan tangannya.
"Gue ajarin"

"Elo mau balas dendam ke gue ya...?"

Arga tersenyum.
"Nggaklah, gue ga' bakal lepasin pegangan gue di sepeda seperti yang elo lakuin dulu"

Mendengar jawaban Arga membuat Linggar mau tidak mau menerima uluran tangan Arga.

Dia tidak mau kalau di bilang cemen gara-gara ga' berani naik sepeda oleh kekasihnya sendiri.

"Awas kalau elo sampai bikin gue jatoh, bakal gue tonjok lo...!"
Ancam Linggar yang membuat Arga tertawa.

"Iya...iya..."

Dan kedua orang itu keluar dari rumah sambil membawa sepeda gunung milik Ayah Linggar dari dalam garasi rumah.

Continue Reading

You'll Also Like

64.5K 5.2K 6
Gue Agus Dermawan, udah gitu aja, males jelasinya, intinya gue idaman banyak cowok, tapi gue bukan Gay!
653K 2.7K 12
Hts dengan om-om? bukan hanya sekedar chatan pada malam hari, namun mereka sampai tinggal bersama tanpa ada hubungan yang jelas. 🔛🔝 my storys by m...
1.3M 103K 34
"Aku benar-benar akan membunuhmu jika kau berani mengajukan perceraian lagi. Kita akan mati bersama dan akan kekal di neraka bersama," bisik Lucifer...
135K 6.3K 27
"Makasih B-bang eh, mas." "Devan." "Eh, H-hah apa." "Devan avelino, lo panggil gue devan aja."