Glass Bead

Bởi Khadevrisaba

917 96 8

Azeral Gilang Fahmi Prastyo memiliki satu rahasia kecil dalam hidupnya. Rahasia itu bukanlah suatu aib bagi c... Xem Thêm

1. Tabrakan
2. Gadis Berseragam Aneh
3. Susu Kotak Rasa Coklat
4. Menemani Pulang
5. Rantai Putus
6. Devil
7. Syarat
8. Khawatir
9. Ditolak? What The Hell???
10. Mulai Menerima
11. Hah! Yang Benar Saja!
12. Perkelahian
13. Bertemu Kak Arini
14. Melawan Rasa Takut
15. Tumbuh Secara Perlahan
Bukan Update!!!
17. Party Time
18. Bertemu Kak Bagas
Hasil Ngepoin Si Vanya
19. Pertemuan Pertama
20. Surat dari Neraka
21. Berubah Pikiran
22. Muka Lo Merah
23. Stuck In The Moment
24. Masuk Kandang Singa
25. Awal dari Mimpi Buruk Nomor Dua
26. Rahasia Gilang
27. Sakit
28. Remaja 18 Tahun
29. Kejutan
30. Universitas Cambridge
31. Penyelesaian
32. Penyelesaian II
33. Penyelesaian III

16. Definisi Suka

27 2 0
Bởi Khadevrisaba

BAB ENAM BELAS

Katanya, Satu + satu = Dua
Kataku, Aku + kamu = Kita

Boleh nggak sih, aku bikin teori kayak gitu? Karena sepertinya aku sudah mulai lelah dengan deretan rumus matematika.

-Zhevanya Anastasya Bimantara-


Gilang melirik kesal Andre yang dengan tidak tau dirinya asyik bermain PSP di atas ranjang sambil makan keripik singkong hingga membuat ranjangnya kotor dan berantakan akibat ulah teman ajaibnya itu.

“Lang, ambilin minum dong. Lo gimana sih, masa ada tamu nggak diperlakuin dengan baik dan benar. Es sirup rasa melon ya, Lang. Es batunya agak banyakan. Panas tenggorokan gue nih.” Perintahnya tanpa mengalihkan tatapannya pada layar PSP.

Gilang mendengus lalu melepas kemeja sekolahnya dan ia lemparkan ke kepala Andre, membuat cowok itu memekik kaget.

“Sialan lo, tuh kan mati kan gue. Ck.” Sewot Andre sambil membuang kemeja Gilang ke lantai. “Kalo nggak mau ngambilin ngomong dong. Gue ambil sendiri elah.”

Andre beranjak turun dari ranjang, “Lo mau gue ambilin sekalian nggak, Lang? Eh nggak usah ding. Emang gue pembantu?” ia akhirnya benar-benar melangkah pergi meninggalkan kamar Gilang sambil berteriak, “Bundaaaaaaaa…  Gilang jahat, Bun! Masak aku main ke rumah nggak dikasih minum?” dan suara itu akhirnya hilang teredam jarak.

Gilang mengabaikan suara berisik temannya. Cowok itu kembali mendengus saat melihat bentuk kamarnya yang super berantakan karena ulah Andre yang sudah mirip anak TK tersebut. Tatapannya lantas beralih pada meja kecil di samping ranjang yang di atasnya terdapat dua gelas jus mangga, sepiring gorengan dan satu stoples  wafer rasa pandan. Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya.

Ini yang dia bilang tidak memperlakukan tamu dengan baik?

Cowok itu menuju lemari baju kemudian mengambil kaus warna biru elektrik dari sana. Ketika berbalik ia terlonjak melihat Andre sudah berdiri tepat di depannya.

“Ngapain lo ngeliatin gue kayak gitu?”

Bukannya menjawab, Andre malah mendekat sambil memelototi perut Gilang yang sedang telanjang dada. “Satu, dua, tiga, empat, lima, en-“

“Woi, gila lo. Jangan pegang-pegang! Dasar otak mesum lo.” Teriak Gilang saat jari telunjuk Andre dengan tanpa dosanya menyusuri dan menghitung kotak-kotak yang tercetak di perutnya.

Gilang lantas memakai kausnya dengan cepat bersamaan melangkah menjauh dari manusia aneh di depannya ini.

“Gue heran, lo kan masih SMA tapi udah punya kotak-kotak gitu di perut. Ada enam juga. Iri gue. Padahal gue juga sering olahraga, tapi cuma punya dua kotak.” Gumamnya sambil mengusap dagu.

Mengabaikan kata-kata tidak penting Andre, Gilang duduk di kursi sambil menyisir asal rambutnya. Ia baru selesai mengantar Arini pulang dari kampus dan sudah mendapati Andre berada di dalam kamarnya sambil asyik bermain PSP miliknya.

Meskipun Gilang tau kalau sahabatnya itu akan datang ke rumahnya untuk mengajak keluar membeli pakaian yang akan dikenakan Andre pada pesta ulang tahun Shilla besok. Cowok itu memang sudah mengatakan pada Gilang akan datang. Tapi tanpa tau jam berapa Andre akan bertamu, saat sampai rumah, Gilang malah sudah  mendapati manusia ajaib itu tengah tiduran di atas ranjang.

“Lo nggak mandi dulu, Lang?”

“Nggak usah, males mandi gue. Lagian keluarnya juga sama lo.”

“Yaelah, sakit hati gue. Mentang-mentang keluarnya sama gue lo nggak mandi. Coba aja kalo jalannya sama si Vanya, gue yakin bisa habis itu parfum satu botol.” Andre merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. “Lagian kenapa lo nggak ngaku aja sih kalo pacaran sama Vanya? Nggak bakalan gue ledekin kok, beneran.”

“Gue nggak pacaran sama Vanya.”

“Iya nggak pacaran. Tapi lo suka kan sama dia?”

“Biasa aja.”

“Halah, pakek pura-pura segala. Kalo nggak suka terus ngapain lo selalu khawatirin itu cewek? Bahkan sampe bela-belain  berantem demi dia. Setau gue lo nggak pernah segitu tertariknya sama cewek. Dan lo juga paling anti berantem. Tapi lihat sekarang? Lo udah banyak berubah, Lang. Gue nggak bilang kalo perubahan yang lo alamin itu buruk sih. Malah kalo menurut gue perubahan itu bagus. Lo jadi lebih peka sama lingkungan dan jadi nggak datar-datar banget sama cewek. Tapi gue cuma kesel aja, lo nggak pernah cerita apa-apa ke gue tentang semua ini.” Andre menjeda kalimatnya. Cowok itu bangkit duduk, “Gue tau kalo sebenarnya lo nyembunyiin sesuatu dari gue. Dan gue nggak akan maksa lo buat cerita. Yang terpenting lo tetep mau nganggep gue temen lo aja udah lebih dari cukup.”

Gilang menatap Andre lalu mengangguk kecil, “Thanks.”

Andre tertawa, “Feeling gue nih, Lang. lo bakal jadian sama si Vanya. Tapi nggak tau kapan."

Gilang ikutan tertawa, “Gue kan udah bilang kalo gue ngak suka sama dia.”

“Belum suka, Lang.” Andre mengoreksi, “Lo cuma belum suka aja sama dia. Nanti, kalo lo tiba-tiba ngerasa gugup pas ketemu sama Vanya, atau ngerasa salah tingkah, atau berdebar-debar, itu tandanya lo udah mulai suka sama dia. Siap-siap aja.”

“Siap-siap apa?”

Andre dan Gilang langsung menoleh.

“Eh Bunda.” Andre nyengir kuda.

“Kok kalian belum berangkat sih? Nanti kemaleman lho pulangnya.”

“Iya Bunda, ini kita juga baru mau berangkat kok.”

Bunda tersenyum lalu beralih menatap Gilang. Wanita cantik itu memperhatikan wajah putra bungsunya dengan seksama, “Lukanya sudah sembuh. Bekasnya juga sudah hilang. Alhamdulillah. Lain kali jangan diulangi lagi ya, Gilang. Atau Bunda akan kasih hukuman yang lebih berat buat kamu.”

Gilang meringis, “Iya Bunda.”

“Iya, nanti kalau kamu berantem lagi, aku nggak cuma ngadu ke kak Bagas, tapi juga ke ayah.” Tiba-tiba Arini menyahut. Wanita imut itu muncul di balik punggung Bundanya.

“Kakak bonekaaaaa.” Jerit Andre heboh saat melihat Arini berdiri di depannya. “Kakak boneka baru datang? Yah, padahal aku sama Gilang baru aja mau keluar.” Ia memasang tampang sedih yang anehnya malah terlihat menjijikkan di mata Gilang.

Arini tertawa renyah, “Nanti kalo pulang jangan lupa bawain aku martabak ya, Ndre.”

“Siap kak!”

Arini kembali tertawa.
“Yasudah berangkat sekarang gih. Nanti biar pulangnya nggak kemalaman.”

Gilang dan Andre lantas segera berangkat menuju mall setelah sebelumnya mencium tangan Bunda dan Arini terlebuh dulu.

Satu jam lebih dua cowok itu hanya keluar masuk toko tanpa berminat membeli pakaian. Dan itu membuat kesabaran Gilang habis. Ah, ia hampir lupa. Selain mirip anak TK, Andre temannya itu terkadang juga mirip dengan perempuan. Rempongnya tingkat dewa. Apalagi kalau sudah masalah belanja sesuatu yang akan dipakai. Bisa-bisa sampai mall ini tutup pun, mereka belum berhasil mendapatkan pakaian yang ingin dikenakan oleh Andre.

“Yang ini bagus sih, Lang. Tapi gue nggak suka warnanya. Gimana menurut lo?”

“Bagus kok warnanya.” Jawab Gilang sambil memijit pangkal hidung. Mulai lelah.

“Yaudah mbak. Yang ini aja.”

Gilang langsung menoleh melihat Andre menyerahkan kemeja warna merah marun kepada penjaga toko.

“Udah?” Tanya Gilang takjup.

Andre mengangguk semangat, “Iya. Sebenernya dari tadi gue nungguin lo komentar. Tapi lo diem mulu. Karena gue udah mulai lelah, lesu, letih, lunglai, lemes, ya akhirnya gue inisiatif sendiri buat Tanya ke lo.”

“Hah?” kali ini Gilang benar-benar terperangah dibuatnya. Ini yang disebut teman?

Cowok itu lantas pergi dengan cepat setelah melihat Andre selesai melakukan transaksi menuju lantai bawah.

“Eh Gilang, mau kemana? Cepet banget jalannya.”

“Makan. Gue laper.” Jawab cowok itu ketus.

Andre meringis, “Aduh jangan dong, Lang. Kita makan di rumah lo aja. Gue pengen makan bareng sama kakak boneka.” Rengek Andre yang malah membuat Gilang ingin segera turun ke lantai bawah meninggalkan temannya itu.

Dengan terpaksa Andre menarik tangan Gilang sambil terus merengek-rengek mirip anak kecil yang minta dibelikan mainan.

“Lepasin nggak tangan lo.” Desis Gilang merasa risih.

“Gue lepasin tapi kita makan di rumah lo ya.”

“Ogah.” Gilang menepis tangan Andre hingga terlepas.

Belum sempat Gilang melangkah lagi, Andre sudah kembali merangkul lengannya, membuat Gilang semakin sebal. “Gue hitung sampe tiga, kalo nggak lo lepasin juga, gue bakal-“

“Eh, Lang itu bukannya Vanya ya?” Andre menunjuk suatu arah menggunakan dagunya.

Gilang langsung mengikuti arah pandang temannya. Dan benar saja, di sana, sepuluh meter dari tempatnya berdiri, Gilang melihat Vanya sedang melihat-lihat toko peralatan dapur bersama bi Minah, pembantunya. Tanpa pikir panjang, cowok itu segera menghampiri Vanya.

“Nyari apa?”

Vanya menoleh dan mendapati Gilang sudah berdiri di sampingnya. “Nemenin Bibi beli teflon. Katanya udah bosen pakek leflon di rumah. Pengen nyari baru yang ada warnanya.” Jawab gadis itu sambil memperhatikan pembantu yang sudah ia anggap sebagai ibunya itu tengah memilih-milih leflon lima meter dari tempatnya berdiri.

Gilang mengangguk sekilas. “Kesini naik apa?”

“Taksi. Lo sendiri? Ngapain kesini?”

“Nemenin gue shopping.” Andre sudah berdiri di samping Gilang.

“Oh.” Gantian Vanya yang mengangguk.

“Lang, pulang yok. Katanya lo tadi laper?”

Mengabaikan suara berisik temannya, Gilang malah bertanya pada Vanya, “Lo udah makan?”

Vanya mengernyit lalu mengangguk samar.

“Nanti lo pulangnya naik taksi lagi?”

Vanya kembali mengangguk.

“Gue anterin aja ya?”

Kali ini Vanya terkekeh, “Gue bisa pulang sendiri kok. Lo duluan aja. Tuh, si Andre udah masang tampang kesel banget tuh. Nggak kasian sama dia?”

Gilang memutar bola mata. Lo nggak tau sebenernya siapa disini yang paling menderita. Gue.

“Lo yakin nggak mau gue anter?”

Vanya tersenyum, “Yakin.”

Anehnya, ada rasa kecewa mendengar jawaban dari Vanya. “Oke, kalo gitu gue duluan ya. Hati-hati.”

Vanya mengangguk.

“Nanti kalo udah nyampe rumah, kabarin gue.”

Vanya mengernyit sedangkan Andre hanya berdecak, “Yang kayak gini ngakunya nggak pacaran?”

“Oke.” Jawab Vanya cepat daripada semakin panjang.

“Kalo gitu gue pulang dulu.” Ucap Gilang lalu mengacak pelan rambut Vanya sekilas, membuat gadis itu diam mematung dan Andre mengumpat pelan.

“Sialan! Gue pengen muntah.”

Gilang segera pergi diikuti Andre di belakang cowok itu. Tanpa sadar Vanya menatap punggung Gilang yang mulai melangkah menjauh sambil tersenyum.
***
.
.
.
.
Si author lagi berusaha buat jadi penulis yang rajin. Mohon doanya ya.
.
Jangan lupa vommentnya aku tunggu.
Sory kalo typo bertebaran kayak bintang di langit malam.
.



Salam,
Khadevrisaba penulis kemarin sore yang lagi bahagia karena udah punya KTP. Hoho....

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

3.1M 155K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
5.6M 311K 34
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
528K 19.8K 33
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
809K 11.4K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+