Aruna

By Kensarind

133K 6.6K 749

Berada di dekatnya membuatku berdebar. Memandang wajahnya yang rupawan membuatku berbinar. Namun sayangnya ci... More

• Aruna •
Aruna#1: Senin Pagi
Aruna#2: Fakta yang Miris
Aruna#3: Perhatian Dirga(1)
Aruna#4: Perhatian Dirga(2)
Aruna#5: Deva si Baik Hati
Aruna#6: Baju Olahraga
Aruna#7: Dunia Sempit
Aruna#8: Aruna dan Harapannya yang Patah
Aruna#9: Deva dan Ice Cream
Aruna#10: Hujan Bersama Dirga
Aruna#11: Aruna Demam
Aruna#12: Selamat Malam, Dirga
Aruna#13: Nyaris Putus
Aruna#14: Datang Bulan
Aruna#15: Pergi ke Makam
Aruna#16: Jadi Penasaran
Aruna#17: Girls Talk
Aruna#18: Make up by Kintan
Aruna#19: Aruna Kecewa
Aruna#21: Selalu Terhina
Aruna#22: Fakta Baru
Aruna#23: Dia Kembali
Aruna#24: Telah Berubah
Aruna#25: Jarak
Aruna#26: Terasa Asing
Aruna#27: Tidak Perlu Tahu
Aruna#28: Kenyataan yang Sesungguhnya
Aruna#29: Sendu dimalam Tahun Baru
Aruna#30: Hati yang Tersakiti
Aruna#31: Aruna-Dirga Putus
Aruna#32: Yang Sebenarnya
Aruna#33: Deva dan Bianglala
Aruna#34: Dirga itu ... Membingungkan
Aruna#35: Menunggu Waktu
Aruna#36: Deva dan Diandra
Aruna#37: Rambut Baru
Aruna#38: Pengakuan Deva
Aruna#39: Sisi Manis Dirga
Aruna#40: Dirga-Deva Berantem
Aruna#41: Perlahan Menyadari
Aruna#42: Berdamai
Aruna#43.1: Sebuah Akhir
Aruna#43.2: Sebuah Akhir[End]
Extra Part
Cerita Baru

Aruna#20: Kehidupan Aruna

2.3K 131 25
By Kensarind

HAMPIR dua minggu berlalu sejak hari itu. Aruna tak lagi ingin berdandan seperti itu lagi. Sudah cukup pada hari itu ia merasa sakit hati dan cukup terhina. Dan selama dua minggu itu pula ia menyibukkan diri untuk menghadapi UAS di semester lima masa SMA-nya ini.

Dan dalam kurun waktu itu pula ia sudah berkutat dengan tumpukan buku untuk belajar dan memperdalam materi agar bisa mendapatkan nilai yang memuaskan di semester lima ini. Semoga saja grafik nilainya naik semua hingga memungkinkannya bisa lolos di SNMPTN nanti.

"Gue capek," ujar Kintan tanpa bisa mengangkat kepalanya dari meja kantin.

"Kamu udah berjuang keras Kin. Semangat!" seru Aruna, selama dua minggu ini sahabatnya ini sudah berjuang mati-matian untuk belajar, bahkan terkadang mereka belajar bersama dan malamnya Kintan harus bimbel di luar.

"Untung aja abis ini liburan. Eh lo udah ada wacana mau liburan ke mana belum?" tanya Kintan yang mulai antusias.

Aruna menggeleng. "Di rumah aja."

"Ikut sama gue yuk. Gue mau liburan di Bali, sama Mami-Papi, Juna juga. Lo ajak Dirga, pasti tambah seru."

Aruna menggeleng. "Gak usah Kin. Aku di rumah aja, belajar buat persiapan ujian-ujian berikutnya. Lagipula Dirga pasti sibuk sama urusan kantornya."

"Yah sayang banget liburan cuma dipake belajar Run."

"Liburan kan gak mesti harus ke mana-mana Kin."

"Ah lo mah bisa aja ngelesnya."

Aruna tersenyum sembari menyeruput es tehnya. Seusai ujian terakhir selesai mereka tak langsung pulang melainkan menunggu pacar masing-masing yang tengah pergi ke ruang sekre eskul masing-masing.

"Tinggal beberapa bulan lagi Run," seru Kintan.

"Apa?"

"Ck. Masa SMA kita. Habis itu udah bakal mencar-mencar dengan jalan hidup masing-masing."

Aruna terdiam. Ia ingin lupa namun Kintan mengingatkannya. Rasanya ia belum siap menemui hari itu. Ia masih ingin terus bersama Kintan yang baiknya tak terkira ini. Ia masih ingin terus berada di dekat Dirga. Entah bagaimana nanti nasib hubungannya saat mereka sudah lulus. Masih ataukah usai? Lagipula tak ada alasan lebih untuk Dirga mempertahankannya. Cowok itu hanya kasihan dan hanya ingin melindungi dirinya selama masa putih abu-abu ini. Dan nanti saatnya ia harus mandiri di bangku perkuliahan. Tak boleh bergantung ataupun kembali menjadi benalu dan merepotkan orang lain.

Aruna tak ingin egois terlalu lama. Mungkin semuanya memang haru berakhir ketika kelulusan nanti. Sudah saatnya Dirga menjalani kehidupan dengan tenang dan menemukan kebahagiannya sendiri. Dan sudah jelas jika itu bukan bersama dirinya.

"Iya ya, waktu berjalan dengan cepat."

"Perasaan masih baru kemarin gue kenal sama lo yang lagi nangis di pojok kelas."

Aruna terkekeh mengingat pertemuan pertamanya dengan Kintan. Saat itu mereka satu kelas saat kelas sepuluh dan Kintan datang terlambat. Alhasil cewek itu tak mendapatkan kursi selain kursi di sampingnya.

Aruna yang saat itu tengah menangis diam-diam karena bekalnya dibuang ke tempat sampah oleh teman kelasnya langsung terkejut karena kehadiran Kintan yang begitu ramah menyapanya. Sejak saat itulah tak sekalipun Kintan membiarkan orang-orang memperlakukan Aruna dengan tidak adil di depan matanya.

"Kamu jadi kuliah di Paris Kin?" tanya Aruna dengan tercekat.

Kintan menatapnya sedih lalu mengangguk. "Gue udah diterima di salah satu jurusan fashion di univ terbaik di sana."

Aruna tersenyum tulus. Ia senang benar-benar senang mendengar berita bahagia dari sahabatnya ini. Tak sedikitpun ia iri meski nasibnya saja saat ini masih belum jelas.

"Lo tenang aja Run, gue yakin lo pasti bakal bisa masuk jurusan kedokteran. Lo pasti bakal bisa dapet beasiswa," ujar Kintan memegang kedua tangan Aruna. Memberikan semangat untuk Aruna.

Aruna tersenyum. "Aku bakal terus berusaha semampu aku Kin."

"Semangat!" Kintan mengepalkan tangannya, membuat gerakan semangat.

Aruna ikut melakukannya lalu tersenyum manis. "Semangat!"

Meski dengan perasaan yang masih takut Aruna berusaha meyakinkan dirinya jika segala usaha dan doanya akan berbuah hasil yang manis.

"Tapi Run, lo mau tau satu hal gak?"

"Apa?"

Kintan tersenyum jahil. "Tanpa lo jadi dokter nanti pun hidup lo bakal terjamin."

"Maksudnya?"

"Ya gimana enggak, secara lo nanti bakal jadi nyonya Dirga. Lo tau 'kan gimana kayanya cowok lo itu. Berbagai perusahaan dari berbagai jenis bidang yang udah berkembang pesat. Tujuh turunan hidup lo gak bakal susah."

Aruna mencubit tangan Kintan kesal. "Kamu ini. Masa depan belum ada yang tau. Sekalipun aku sama Dirga nantinya aku harus tetep jadi wanita mandiri."

"Cie jadi ada yang ngarep juga ni yeee," seru Kintan dengan nada menggoda.

"Ih Kin! Apaan sih." Aruna memalingkan wajahnya ke arah lain. Pipinya terasa memanas karena Kintan telah berhasil membuatnya salah tingkah.

Aruna memang pernah memiliki harapan jika kelak jodohnya adalah Dirga, terlepas dari apa yang cowok itu punya. Karena ia jatuh cinta pada Dirga bukan karena harta berlimpah yang dimiliknya tapi karena itu Dirga. Cinta pertamanya.

***

"Mereka siapa Na?"

Pertanyaan Dirga membuat Aruna menoleh. Dua orang lelaki yang mengenakan kemeja kantor itu baru saja menaiki motor yang terpakir di luar pagar rumahnya. Aruna tahu siapa orang itu, tapi ia tak bisa memberitahukannya pada Dirga. Cukup ini menjadi masalah keluarganya saja.

"Gak tau, Ga. Aku gak pernah liat," sahutnya dengah terbata.

"Yakin?"

Aruna mengangguk. "Iya. Mungkin mereka cuma orang yang lagi nanya alamat."

Dirga mengangguk, meski Aruna lihat cowoknya itu masih penasaran.

Begini lebih baik. Batinnya.

"Aku turun ya Ga. Makasih dan kamu hati-hati," pamit Aruna lalu bergegas turun dari mobil.

Setelah mobil Dirga bergerak menjauh, Aruna langsung buru-buru masuk rumahnya. Jika dua orang itu datang ke rumahnya pasti keadaan dalam keadaan tidak baik-baik saja.

"Bunda mereka abis ngapain?" tanya Aruna yang langsung menghampiri Sarah yang terduduk di sofa dengan kepala tertunduk.

Benar bukan dugaanya kedatangan dua orang dept collector itu sudah pasti yang menjadi penyebab bundanya menangis saat ini.

"Runa...." Sarah tersenyum lembut setelah sebelumnya menyeka air matanya sendiri.

Aruna tak suka jika melihat bundanya seperti ini. Ia akan lebih baik jika melihat bundanya menangis terisak dibandingkan melihat bundanya berusaha tegar menyembunyikan tangis di balik senyuman. Sungguh itu sangat menyakitkan.

"Mereka ngapain? Bunda kan selalu bayar cicilan hutang setiap bulan."

Sarah menggenggam erat tangan Aruna. "Maafkan Bunda Nak. Sepertinya kita harus meninggalkan rumah ini," ujar Sarah dengan tatapan menjelajahi tiap sudut rumahnya,"sudah dua bulan Bunda tidak membayar cicilan."

Aruna tercekat dengan perkataan bundanya. "Tapi kenapa?"

"Kamu tahu 'kan kalau belakangan ini Bunda jarang dapat pesanan jahitan dan hanya dari gaji Bunda di butik yang kita harapkan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Dan gaji Bunda gak cukup kalau juga dipakai membayar cicilan."

"Belum lagi Bunda yang belum ada persiapan untuk biaya kuliah kamu nanti. Maafkan Bunda Nak, Bunda gak bisa jadi orangtua yang terbaik untuk kamu dan Nara," ujar Sarah dengan mata yang berlinang.

Aruna menggeleng cepat dan menyeka air mata bundanya. "Bunda jangan ngomong gitu. Runa bangga jadi anak Bunda. Bunda hebat. Bunda tegar. Meski sekarang Bunda jadi oranggua tunggal tapi Bunda udah berusaha dengan keras buat kami. Runa tahu Bunda udah melakukan yang terbaik untuk keluarga kita."

"...."

"Bunda tenang aja, Runa masih ada tabungan. Cukup untuk kita pakai membayar tunggakan di Bank."

Sarah menggeleng. "Jangan Nak, itu uang kamu yang susah payah kamu kumpulkan. Kamu bilang itu untuk biaya kuliah kamu nanti."

"Gapapa Bun. Untuk biaya kuliah pun itu masih banyak kurangnya. Nanti bisa Runa kumpulin lagi. Yang terpenting sekarang adalah rumah kita gak disita. Ini satu-satunya peninggalan dari Ayah yang kita punya. Bunda doakan saja agar nanti Runa dalet beasiwa," kata Aruna, meyakinkan Sarah agar mau menerima uang tabungannya.

"Runa...."

"Bunda tunggu sini ya. Runa mau ke ATM dulu." Aruna memotong ucapan bundanya cepat. Ia tak ingin mendengarkan bundanya yang akan menolaknya lagi. Segera Aruna masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil kartu ATM-nya dan setelahnya ia langsung pergi. Tak menghiraukan bundanya yang terus memanggilnya.

***

"Tuan muda, Tuan Rayman sudah menunggu Anda di ruang kerja," seru seorang pelayan wanita ketika Dirga baru saja turun dari mobilnya.

Dirga mengangguk dan segera masuk ke dalam rumahnya untuk menemui pamannya itu.

Dirga membuka pintu kayu di hadapannya. Seorang lelaki dengan stelan kantor yang memiliki wajah seperti ayahnya tengah berdiri di depan jendela, menatap ke luar ruangan.

Dirga berdehem membuat pamannya itu menoleh ke arahnya. Pamannya langsung tersenyum hangat menyambut kedatangan keponakannya ini.

"Sudah pulang kamu Ga," seru Rayman, hangat.

Dirga mengangguk sambil berjalan menghampiri pamannya ynag sudah duduk di sofa di tengah ruangan.

"Bagaimana ujiannya tadi? Lancar?"

Dirga mengangguk lagi. "Ada apa Om?"

Rayman terkekeh. "Kamu ini sama saja seperti Papa kamu, orangnya tidak suka berbasa-basi," katanya, "begini Om ingin menyampaikan undangan premier hotel baru Om. Ini undangannya." Rayman menyodorkan undangan bewarna gold itu pada Dirga.

Dirga menerimanya dan membacanya sesaat. "Seminggu lagi?"

"Iya, kamu ada acara? Kalau ada Om minta tolong dicancel saja dulu."

"Gak ada."

"Bagus. Jadi kamu datang, 'kan?"

Dirga mengangkat sebelah alisnya. "Memangnya Dirga boleh menolak?"

Wilman tergelak. "Tentu tidak, baby boy."

Dirga mendengus. Sesekali pamannya ini memang kerap memanggilnya dengan sebutan itu.

"Lagi pula akan banyak klien bisnis Om yang akan datang. Ini kesempatan bagus untuk kamu untuk lebih memajukan perusahaan Papamu."

Dirga mengangguk paham.

"Om salut sama kamu. Kamu sudah berusaha keras untuk terus mempertahan perusahaan Papamu dan sekarang perusahaan Papamu sudah berada dalam keadaan yang sangat stabil. Good job," puji Rayman pada kerja keras Dirga.

"Ini semua juga berkat bantuan dari Om."

"Tidak. Tidak. Om hanya sering memberi masukan dan selebihnya ini atas keahlianmu dalam menjalankannya," sanggah Rayman, "malahan Arkan saja tak tertarik sama sekali jika Om minta ia untuk datang ke kantor. Pusing Om memikirkan bagaimana nasib perusahaan Om nantinya." Rayman geleng-geleng kepala menceritakan tentang putranya.

"Kamu sudah punya pacar?"

Dirga terdiam lalu mengangguk. "Sudah Om."

"Bagus. Sekalian kamu bawa pacarmu itu ya. Kenalkan pada kami semua. Acara besok malam itu juga akan dihadiri oleh keluarga besar kita."

Dirga hanya mengangguk samar.

"Satu lagi yang ingin Om sampaikan." Rayman menjeda, membakar ujung cerutunya hingga membuat kepulan asap putih mengudara. "Namamu sudah tercatat disalah satu universitas terbaik di London, persis seperti impian Papamu. Dan Om juga sudah siapkan sayap cabang dari perusahaanmu untuk nanti kamu kelola di sana."

Dirga tahu jika ia tak akan pernah bisa menolak. Ini semua demi masa depan dan kelangsungan perusahaan yang sudah susah payah Ayahnya dirikan. Di sana pula ribuan karyawannya menggantungkan nasib mereka.

Apa yang menjadi impian orangtuanya akan semaksimal mungkin ia wujudkan. Termasuk harus mengenyam pendidikan di luar negeri seperti keinginan ayahnya dulu.

Mungkin untuk kali ini ialah yang akan menjadi pihak yang meninggalkan. Bukan seperti dulu ketika ia menjadi pihak yang ditinggalkan.

******

Duhhhh jadi pihak yang meninggalkan ya, Ga? Berarti ... ah sudahlahhh.

Gimana dengan part ini? Feel cerita ini dapet gak sih?

Kasih kritik saran kalian juga dong hehe.

Dan, terimakasih sudah membaca sampai sejauh ini.

Please tinggalkan jejak berupa vote+komen♥

Continue Reading

You'll Also Like

15.7K 4.2K 41
[SELESAI DAN TIDAK DI REVISI] '. '. ~ ' ' "Aurora hanya menampakkan cahaya nya di malam hari, setelah langit menjadi cerah Aurora sudah...
219K 8.1K 55
[COMPLETED] Lunaria. Bukan seorang gadis pecinta bulan atau pendamba langit malam. Dia hanyalah bunga cantik bernama Lunaria yang sayangnya takut pad...
994K 110K 78
Hidup di tengah-tengah keluarga yang tidak menginginkan kehadirannya membuat Tafia merasa serba salah. Apalagi dia harus sekelas dengan saudara tiri...
496K 44.7K 64
⚠️PRIVATE ACAK FOLLOW SEBELUM MEMBACA⚠️ Laura Timur Bellatrix, murid pindahan yang harus merasakan pahit karena masalalu dan Kakak kelasnya yang bern...