FAIR UNFAIR

By akhiriana_widi

40.2K 4.8K 439

*Pemenang Grassmedia Fiction Challenge 2020* Kata Praska, Maura itu bodoh dan selalu melakukan segala hal ber... More

1. Demi Planet Jupiter!
2. Pacarnya Pegangan Tangan
3. Tidur Yuk, Sepuluh Menit Aja!
5. Romantis Setahun Sekali
6. Bukan Playing Hard To Get
7. Annyeonghaseyo, Christopher Park!
8. Pengidap Narkolepsi vs Korban Cemburu Akut
9. Memulai Hidup Bersama Oppa!
10. Banyak Cinta di Indonesia
11. Matahari Terbenam di Gumuk Pasir
12. Dekat Bosan, Jauh Kangen Mati-matian!
13. Sering Jatuh Cinta, Tapi Jatuhnya Sendirian Saja
14. Dieng Itu Dingin, Ada Kamu Jadi Hangat
15. Chris vs Kuda Lumping
16. Chris and The Trance
17. Takut Kehilangan Warna Itu
18. Doa Yang Terbang Bersama Lampion
19. Masih Ingin Jadi Suami Kamu
20. Cerita Dari Kampung Naga
21. Cinta Yang Tumbuh di Hutan Mati
22. Filosofi Via Lactea
23. Memelukmu di Papandayan
24. Sekarat Karena Cemburu
25. Jatuh Sama-sama
26. Chris, Aku Pulang Duluan!
Peluk Chris dan Maura di Ujung 2022

4. Gunanya Sahabat

1.5K 176 28
By akhiriana_widi

"Ra, nurut sama ibu, Nak. Rumah ini dijual aja, kamu tinggal sama ibu dan keluarga baru kita nanti di Batu. Suami ibu punya banyak usaha di sana. Kamu bisa bantu-bantu bahkan mulai bikin usaha sendiri nanti."

Niat hati ingin menanggungnya sendirian. Tapi apa daya, katanya naluri seorang ibu itu kuat. Ya, meskipun Maura sudah lama tidak merasakan kedekatannya dengan Rinan, ibunya.

Rinan dan Ardian bercerai atas dasar ketidak puasan hidup. Katanya, suami Rinan yang baru lebih kaya ke mana-mana dibanding Ardian. Mereka bercerai saat Maura berumur 12 tahun. Di tahun yang sama setelah ibunya resmi pergi dari rumah, saat itulah ada tetangga baru yang datang di kompleks rumah, Praska dan keluarganya.

Sejak saat itulah Maura kehilangan cintanya untuk seorang ibu. Saat itu, dia sudah cukup mengerti secara garis besar. Cinta ibu kepada ayahnya tidak lebih besar dari materi. Padahal, selang beberapa tahun setelah bercerai, Ardian mengalami kebangkitan.

Paling tidak, Maura lancar menuntaskan pendidikannya meski harus terpuruk di dua semester terakhir kuliah. Dia harus belajar mengelola keuangan agar bisa selamat hingga sarjana dengan sisa-sisa tabungan peninggalan ayahnya yang meninggal karena kecelakaan.

"Nggak, Bu. Sampai kapan pun, Maura nggak bakalan jual rumah ini. Ini rumah ayah, di sini Maura ngerasa ayah masih ada buat nemenin Maura. Nggak kayak Ibu yang justru ninggalin Maura sama ayah gitu aja."

Maura membuang wajah ke arah lain. Ke mana saja, yang penting bukan ke arah Rinan yang duduk di sofa di depannya.

Agaknya, Maura juga bingung. Rinan itu sudah lama sekali tidak datang ke Jakarta. Hampir dua tahun mungkin. Tapi, giliran datang sekarang malah pas Maura sedang luntang-lantung kelabakan mencari pekerjaan.

"Terus, kamu mau gimana, Nak? Ibu mintain uang ke Ayah Galih kamu nggak mau. Ibu kasih saran jual rumah juga nggak mau."

"Maura masih bisa usaha yang lain buat nyari uang itu, Bu. Ibu nggak usah sok ngertiin Maura lah. Dengan Ibu ngasih saran ini-itu, jangan harap itu bisa mengubah cara pandang Maura ke Ibu yang matrealistis itu."

Maura berdiri. Dosa sih rasanya bicara sekasar itu kepada orang tua.

Tapi mau bagaimana lagi, Maura butuh mengeluarkan unek-uneknya.

Setelah kemarin dia bertemu Praska di Monas untuk menuntaskan kerinduannya yang lebih sering bertepuk sebelah tangan, hari ini Maura juga ingin memberi tahu ibunya bahwa rasa sakit karena ditinggal pergi itu masih membekas dan tidak akan kelar sampai kapan pun.

Maura mengepalkan tangan. Pelik sekali hidupnya saat ini.

Ibunya pernah berkhianat. Lalu, apakah Praska juga akan mengkhianatinya?

"Maura mau pergi dulu. Assalamu'alaikum!"

Rinan menghela napas. Bahkan, putrinya yang sudah tumbuh dewasa menolak saat ia mencondongkan wajah agar mau mencium pipi sebentar saja.

Hanya berjabat tangan sekilas, itu pun tanpa kontak mata.

Rinan berjalan hingga ke pintu gerbang. Melihat Maura yang berjalan hingga ke depan kompleks dengan langkah lesu. Sebagai ibu, meski ia memang pernah berkhianat kepada suami, tapi rasa kasih kepada buah hatinya sendiri tidak mungkin ikut dikhianati.

***

Hari ini, pencarian masih menunjukkan angka 0 untuk sebuah hasil.

Maura tampaknya harus lebih gigih lagi dalam mencari pekerjaan yang tepat. Pekerjaan yang sesuai dengan skill dan jenjang pendidikannya. Juga yang bisa memberikan penghasilan mumpuni agar bisa melunasi hutang-hutangnya.

Tadi, Maura menjalani walk in interview untuk posisi HRD di sebuah kantor shipping. Maura sendiri tidak yakin bisa diterima. Tidak tahu kenapa, tapi Maura merasa seperti itu.

Lalu barusan, ada notifikasi yang masuk lewat e-mail. Sebuah pengumuman bahwa dia baru saja gagal untuk bergabung dengan salah satu perusahaan pemasok dinamit yang biasa dipakai untuk proyek tambang di luar Jawa sana.

"Nasib, nasib!" Maura mendengkus pelan sambil terus menaiki tangga, mencapai sebuah lantai dengan kamar-kamar berderet di sepanjang koridor.

Daripada stres, Maura memutuskan untuk menemui sahabatnya. Begitu beres interview di daerah Gatot Subroto, Maura langsung cabut ke Kemang. Lalu di sinilah dia berada, di depan sebuah kamar dengan sederet huruf Hangul tertempel di pintunya.

Dari luar, terdengar suara raungan dan tangis tidak jelas. Maura jadi penasaran dan membuka pintu itu. Si Siva memang kebiasaan, kalau dia lagi di dalam kamar, pintunya pasti tidak pernah dikunci.

"Kamu kenapa nangis?"

Maura memasuki kamar Siva yang lantainya dipenuhi oleh banyak helaian tisu. Maura sempat khawatir karena ketika dia masuk ke rumah tadi terdengar suara raungan mengenaskan dari kamar Siva.

"Hmmm ...." Maura merengut begitu ia mendekati kasur, tempat di mana Siva sedang tengkurap dengan tangan berusaha menutupi mulut dengan bantalnya yang kini sudah basah. Di atas kepala Siva masih menyala layar laptop di mana ada sosok cowok Korea yang tertidur dan bersandar kepada si cewek yang duduk di sebelahnya.

Maura mengernyitkan mata, mulutnya mengerucut menganalisa sebuah adegan yang tampaknya sedang Siva pause buat ditinggal menangis meraung-raung. "Hmmm, aku lupa kalo cuma ada dua hal di dunia ini yang bisa bikin kamu nangis guling-guling kayak gini, Siv!"

"Pertama, nggak berhasil ngejar abang tahu bulat. Kedua, nonton drama Korea." Maura menjatuhkan diri di samping Siva yang masih menangis dan tidak menyahut sama sekali. Perih sekali mendengar suara Siva menangis. Seperti mendengar rintihan kucing kecil yang terpisah dari induknya.

"Kenapa? Yang ini kenapa?" tanya Maura sambil menunjuk-nunjuk layar laptop Siva. "Adegan orang lagi pacaran kok kamu malah nangis?"

Secepat kilat kepala Siva menyeruak dari dekapan bantalnya, wajahnya yang masih berlinangan air mata dan memerah bak tomat membuat Maura terhenyak kaget. "Shin Joon Young mati, Momol. Mati! Bukan lagi pacaran! Dia mati, Mol ... Shin Joon Young mati. Huwaaaa!"

"Oh, dia mati."

"Kok oh sih, Mol?" protes Siva.

"Ya aku harus gimana, Siv? Aku nggak mungkin ikut nangis-nangis kayak kamu lah. Ngerti ceritanya aja nggak."

"By the way, kenapa ke sini? Pasti mau curhat ya?"

Maura menatap wajah acak-acakan Siva dan melemparkan senyum kudanya. "Iyes, Siv. Tapi kamu terusin aja dulu dramanya, aku bisa nunggu sambil tiduran bentar."

Siva bangkit duduk dan menutup layar laptop. Kepalanya menggeleng kencang. "Nggak, aku udah nggak mau tahu lagi kelanjutan drama ini. Buat aku, detik di mana Shin Joon Young mati adalah ending-nya."

Siva mendesah menatap poster super besar Kim Woo Bin yang tertempel di balik pintu kamar, hatinya meronta-ronta meratapi nasib lelaki yang paling dicintainya di drama yang barusan ia tonton. Di drama sakit, di kehidupan nyata pun ternyata betulan sakit. Tapi secepat kilat ia menggelengkan kepala untuk kembali fokus kepada Maura.

Bagaimanapun, dia tidak akan tega untuk mengabaikan keberadaan Maura hanya demi berkhayal dengan oppa-nya yang tahu ia hidup di dunia ini saja tidak. "Oiya, kamu kenapa lagi?"

Maura melepaskan napas berat dan berkata, "Aku butuh pendapat kamu nih, Siv. Masih masalah yang kemarin. Kamu tahu kan aku orangnya kayak gimana, ak ...."

"Tahu banget! Kamu itu keras kepala, gampang marah, batu, kebo, nggak mau kalah, nggak mau salah, nggak suka dipaksa, nggak mudah putus asa, pantang menyerah, baik, cengeng, suka makan, suka ngiler, jail, usil, suka kentut, kentutnya bau, su ...."

"Stop! Bisa nggak ngomong hal yang serius sedikit seserius kamu nonton oppa-oppa Korea itu?" Maura melempar boneka hiu di sampingnya ke muka Siva yang malah nyerocos tidak jelas.

"Nih ya aku lanjutin, kamu itu pinter, kamu itu suka melakukan banyak hal yang nggak terpikirkan sama orang lain, kamu itu ice breaker sejati, kamu itu nggak terkalahkan, pekerja keras. Siapa yang udah bikin kamu jadi galau berhari-hari gini aku yakin dia adalah orang paling mengerikan di seluruh dunia. Kamu kan susah dibikin down, Mol."

Maura mengernyitkan dahi. Ia terpana melihat Siva yang bisa dengan cepat mengubah mood-nya. Sedetik yang lalu tampak ingus Siva masih meler ke mana-mana, tapi tampaknya sekarang ia sudah berubah jadi si entertainer dadakan. Super!

"Siv, sampai sekarang aku belum dapat pekerjaan lagi. Tawaran bantuan dari ibu juga nggak aku terima. Sekarang, aku berubah jadi pengangguran dengan banyak hutang, kira-kira kamu masih mau jadi temen aku nggak?" Maura menggerak-gerakkan kepala menyentuh pundak Siva sambil memasang wajah memelasnya.

"Of course, ya masih lah. Masih dan akan selalu jadi temen kamu selama-lamanya."

"Ahh, Siva." Maura merentangkan tangannya minta dipeluk. Tapi Siva gantian melempar balik boneka hiu yang tadi di lempar Maura. "Ada yang ketinggalan, Mol. Momol yang aku tahu, bukan orang yang egois. Kalau emang ibu kamu ngasih tawaran yang baik buat hidup kamu, kenapa kamu nolak, Mol?"

"Siv, ibu ninggalin aku sama ayah demi pria lain yang lebih kaya daripada ayah. Itu sama artinya dia nggak cinta-cinta banget sama aku, Siv. Dia sampai tega pergi, dan hidup enak sama keluarga barunya tanpa pernah ngasih kabar ke aku dalam waktu yang sangat lama."

Maura mengembuskan napas berat lagi. Lalu menjatuhkan diri ke kasur. Tidur terlentang bertumpu lengan sebagai bantal disusul oleh Siva yang kini tidur menyamping ke arahnya.

"Dia bilang dia bisa aja ngasih aku duit ratusan juta, asal aku mau jual rumah ayah dan pindah ke rumah ibu di Batu. Aku nggak bakalan mau menukar hartaku—kenanganku sama ayah—hanya buat menyelamatkan diri sendiri. Rumah itu, satu-satunya tempat yang bikin aku ngerasa nggak sendirian di dunia ini, Siv."

Siva merengut pelan. Maura benar juga, kalau memang ibunya ingin tulus membantu, harusnya ya bantu saja. Tanpa perlu ada persyaratan di belakangnya. Bukankah, jadi kelihatan tidak ikhlas?

Padahal, Maura kan anak kandungnya sendiri.

"Padahal, kalau emang dia niat mau bantu ya bantu aja. Nggak usah pake nyuruh aku jual rumah ayah."

"Tapi, Mol. Mungkin maksud ibu kamu ada baiknya juga. Beliau nggak mau lihat anaknya hidup sebatang kara di Jakarta, Mol."

Maura mendengkus.

Apa iya maksud ibunya seperti itu?

Jika iya, kenapa ibu tidak lantas langsung menjemputnya saat dikabari berita meninggalnya ayah empat tahun yang lalu?

"Aku nggak sendirian, Siv. Ada kamu sama Praska, kan?" Suara Maura memelan. Dia ikut memiringkan tubuhnya, menghadap Siva dan menatap sahabatnya dari mata ke mata.

"Tapi aku sama Praska pun terkadang bisa tenggelam sama dunia kita masing-masing, Mol. Kita bertiga memang sahabat. Tapi bukan nggak mungkin akan ada hari di mana kita bakalan nggak saling ketemu dan bicara, Mol."

"Jadi kamu udah niat ninggalin aku gitu?"

Siva mengangkat tangan, membenturkan boneka yang ia pegang ke kepala Maura. "Enggak lah, Momol! We talk about future that no one knows."

Maura menundukkan kepala.

Benar juga. Tidak ada satu orang pun yang tahu tentang masa depan. Buktinya, dulu dia bercita-cita wisuda didampingi ayahnya. Tapi ternyata, Maura wisuda hanya ditemani Praska dan Siva. Tidak ada ayah, apalagi ibu.

Lebih parah nanti, ketika dia menikah, bukan ayahnya yang menjadi wali. Sedih sekali kalau dibayangkan.

"Ah, Mol!" Siva memekik kencang sekali sambil terduduk di kasur. Dia segera menarik tasnya yang tergeletak di lantai. Mengobrak-abrik isinya dan mengeluarkan sebuah brosur berwarna biru muda. "Kamu masih suka nulis-nulis fiksi, kan?"

Maura mengangguk lesu sambil ikut duduk dan mengambil brosur itu dari tangan Siva. "Apaan nih?"

"Itu aku dapet di toko buku di mal tadi. Jadi, itu tuh kayak lomba nulis novel gitu, Mol. Hadiahnya lumayan loh, tuh lihat! Juara tiga aja hadiahnya 15 juta plus kontrak penerbitan."

Maura jadi agak tergiur mendengarnya. Ia segera membaca baik-baik isi brosur itu. Menelaahnya dengan sangat teliti. "Ini kolaborasi platform buku baru, penerbit mayor, sama dewan kesenian gitu ya, Siv?"

"Iya, Mol, iya. Pokoknya kamu harus ikutan, Mol. Lihat, deadline-nya masih lama. Masih dua bulanan, kamu masih ada waktu buat curi-curi kesempatan nulis sampai batas minimal kata, Mol!"

Maura mulai memperhitungkan kemungkinan dia bisa ikut mendaftar atau tidaknya. Jadi, dalam waktu dua bulan dia harus menyelesaikan satu buku. Temanya sih ringan, romance. Tapi, biar bisa mencuri perhatian kan harus bisa memilih konflik dan plot yang antimainstream.

Tidak mungkin dong kalau Maura masih mau-mauan menulis tentang bad boy, CEO-CEO, dan tetek bengeknya.

Tapi benar juga apa kata Siva, lomba itu menggiurkan. Patut diperjuangkan. Untuk juara ketiga saja hadiahnya besar sekali. Apalagi kalau bisa juara dua dan pertama. Maura jadi mulai berkhayal. Andai saja dia ikutan dan menang, pasti dia bisa janji kepada kantor bahwa hutangnya akan lunas dalam waktu lima bulan.

"Dengan otakku yang lagi ngebul kayak gini nggak yakin aku bisa dapat inspirasi sama semangat nulis, Siv."

Siva berdecak jengkel. Lalu menampar pipi Maura dengan boneka hiu yang berulang kali jadi senjatanya. "Orang tuh dicoba dulu kek, jangan langsung pesimis gitu!"

Maura menghela napas.

Sepanjang hidupnya, ia selalu mencoba. Tapi hasilnya? ia masih harus terus mencoba tanpa menemui titik terang apa-apa.

***Fair Unfair***

Regards,
Akhiriana Widi

Continue Reading

You'll Also Like

461K 27.1K 74
Ternyata memang benar, garis antara cinta dan benci itu nyaris tak ada. Dari yang bukan siapa-siapa bisa menjadi teman hidup.
388 102 8
📌 Episode 1-8 available ✅ Semenjak menolak pernyataan cinta Prasatya delapan tahun yang lalu, Nadira tak bisa melupakan lelaki itu meskipun kini mer...
63.9K 8.9K 25
[Random Chapters Removed - ebook available.] Asya sebenarnya antusias untuk liputan dan wawancara eksklusif pertamanya, terlebih dia diberi kesempata...
4.4K 705 11
Arudika Azzaka adalah seorang pramuwisata yang sibuk menemani para turis-turis yang datang ke Indonesia untuk jalan-jalan. Arudika itu baik, penebar...