FAIR UNFAIR

By akhiriana_widi

40.3K 4.8K 439

*Pemenang Grassmedia Fiction Challenge 2020* Kata Praska, Maura itu bodoh dan selalu melakukan segala hal ber... More

2. Pacarnya Pegangan Tangan
3. Tidur Yuk, Sepuluh Menit Aja!
4. Gunanya Sahabat
5. Romantis Setahun Sekali
6. Bukan Playing Hard To Get
7. Annyeonghaseyo, Christopher Park!
8. Pengidap Narkolepsi vs Korban Cemburu Akut
9. Memulai Hidup Bersama Oppa!
10. Banyak Cinta di Indonesia
11. Matahari Terbenam di Gumuk Pasir
12. Dekat Bosan, Jauh Kangen Mati-matian!
13. Sering Jatuh Cinta, Tapi Jatuhnya Sendirian Saja
14. Dieng Itu Dingin, Ada Kamu Jadi Hangat
15. Chris vs Kuda Lumping
16. Chris and The Trance
17. Takut Kehilangan Warna Itu
18. Doa Yang Terbang Bersama Lampion
19. Masih Ingin Jadi Suami Kamu
20. Cerita Dari Kampung Naga
21. Cinta Yang Tumbuh di Hutan Mati
22. Filosofi Via Lactea
23. Memelukmu di Papandayan
24. Sekarat Karena Cemburu
25. Jatuh Sama-sama
26. Chris, Aku Pulang Duluan!
Peluk Chris dan Maura di Ujung 2022

1. Demi Planet Jupiter!

4.9K 272 53
By akhiriana_widi

"Saya nggak mau tahu, kamu harus tanggung jawab sama tiket saya yang kamu batalin tanpa persetujuan dari saya!"

Maura melongo. Mimpi apa dia semalam sampai di siang bolong begitu mendapatkan customer gila yang memfitnahnya semena-mena. Inginnya sih melawan, Maura benci kalah soalnya. Tapi kalau melawan, nanti urusan makin panjang. Itu bahaya!

"Tapi, tadi Mas nggak bilang kalau tiket yang mau di-refund itu cuma atas nama Mrs. Kim Ha Min." Maura masih berusaha sabar. Dia staff ticketing, bala tentara terdepan di kantornya. Kalau dia marah, artinya kadar hospitality yang dia punya masih rendah.

"Nggak salah, tuh? Tadi tuh Mbak yang nggak fokus kerja! Saya udah bilang berkali-kali loh ya kalau yang di-refund itu cuma satu tiket! Kenapa sih, Mbak? Udah pengen cepet pulang? Iya?"

Demi seluruh sampah yang ada di dunia ini, rasanya Maura ingin sekali muntah di depan cowok itu. Jelas-jelas, cowok itu datang ke counter-nya. Terus menyerahkan tiket, bilang mau di-refund. Ditanya detil, dia main iya-iya saja sambil mainan handphone.

Sekarang begitu tiketnya sudah proses malah Maura yang dibilang tidak fokus?

"Mbak petugas tiket baru, ya? Nggak becus banget sih kerjanya!"

Cowok itu berdiri dari kursi di depan counter Maura lalu melanjutkan sumpah serapahnya sambil menunjuk-nunjuk. Rekan kerja Maura mulai mendekat, termasuk Pak Nyoman, manajer di kantor travel agent tempat Maura bekerja.

Maura dan cowok itu ditarik mundur, diajak masuk ke sebuah ruangan untuk menjelaskan pokok permasalahannya. Mulai dari Maura yang menceritakannya dengan gamblang.

Ada lima nama dalam satu tiket penerbangan domestik rute Jakarta ke Sorong dengan harga kelas ekonomi teratas. Mahal gila! Tapi bukan di situ masalahnya. Si cowok datang-datang cuma bilang refund, ditanya detilnya katanya mau di-refund semua. Orang-orang di tiket itu batal pergi karena suatu hal padahal sudah masuk ke tiga jam sebelum terbang.

Ketika sudah diproses dan tiket resmi di-cancel dengan perhitungan beberapa persen uang kembali, cowok itu tiba-tiba menerima telepon dan baru bilang kalau yang di-refund atas nama satu orang saja.

Bagaimana Maura tidak stres?

Cowok itu pun ikut bercerita. Memutar balikkan fakta tentunya. Versi dia, Maura yang tuli dan tidak teliti. Sudah dijelaskan tapi masih ngeyel katanya.

Maura menatap Pak Nyoman lalu menggelengkan kepalanya pelan. Berharap Pak Nyoman percaya.

"Denger ya, Pak. Gara-gara mbak ini nih, atasan saya jadi rugi bandar! Mereka nggak bisa check in di bandara karena tiketnya udah cancel. Tapi mereka harus tetep berangkat ke Sorong dan terpaksa beli tiket baru yang harganya udah di kelas eksekutif!" Cowok itu mendengkus dengan wajah merah padam. "Bayangin dong berapa kerugiannya! Pokoknya saya nggak mau tahu, mbak ini dan kantor Bapak harus tanggung jawab!"

Maura menundukkan kepala. Otaknya mulai menghitung angka kerugian yang mungkin saja akan dibebankan sepenuhnya kepada gadis malang seperti dirinya. Satu tiket yang baru mereka beli bisa berjumlah lima jutaan. Bisa lebih malah. Dikali empat orang, maka penaltinya bisa sampai dua puluh juta.

Mau dia menjual dengkulnya pun, Maura belum tentu bisa mendapatkan uang sebanyak puluhan juta saat itu juga.

Perundingan di ruangan itu pun terjadi secara alot selama kurang lebih 30 menit. Maura berusaha tabah. Orang baik memang gampang dizalimi, pikirnya.

"Dasar ticketing goblok!"

Kepala Maura terangkat, yang tadinya berusaha adem ayem kini tampaknya usaha buat jadi sabar akan gagal total. Maura berdiri lalu menunjuk wajah cowok itu dengan gahar. "Mulutnya dijaga ya, Mas! Mas berani ngatain saya goblok padahal apa yang udah terjadi tadi Mas juga pasti tahu sendiri! Hati Mas paling tahu kan siapa yang sebenernya goblok di antara kita?"

Cowok itu diam sejenak. Nyalinya mengkeret tiba-tiba. Memang benar dia yang salah. Tapi kalau mau mengaku, dia ogah!

Pak Nyoman juga tahu bahwa sebenarnya Maura tidak bersalah. Tapi melihat emosi Maura yang gampang tersulut itu, akhirnya beliau agak emosi juga. Kantor terpaksa akan mengeluarkan uang ganti rugi. Sementara Maura malah marah-marah.

"Sabar, Ra. Sabar."

Pembicaraan di ruangan itu pun dihentikan. Pak Nyoman meminta bagian keuangan untuk mentransfer ganti rugi langsung ke rekening perusahaan si cowok. Cowok sengak itu pun pergi dari sana dengan tampang merah padam.

Kantor sempat hening.

Tapi kemudian kembali ada suara ketika Pak Nyoman berdeham dan berkata, "Kamu ada hutang sama kantor ini sekarang, Ra."

Mata Maura membelalak tak percaya! What the ....

"Ada apa sama kamu hari ini, Ra? Kesalahan kamu hari ini fatal banget. Kamu bikin kantor rugi, dan kamu juga marah-marah sama customer. Orang-orang yang kerja kayak kita gini, Ra, nggak berhak membela diri sebenar apa pun diri kita dan sesalah apa pun customer kita. Saya nggak nyangka kamu masih aja nggak tahu hospitality itu apa."

Maura tahu hospitality itu apa. Tapi, yang jadi masalah, customer yang itu tuh memang sejenis tomat busuk dalam wujud manusia!

Tapi Maura bisa apa. Dia hanya bisa diam. Menjawab dan menyangkal omongan Pak Nyoman sama saja artinya dengan bunuh diri, harakiri, or whatever you called it ....

"Kamu harus ganti rugi."

"Tapi, Pak ...."

"Pilihannya ada dua. Lanjut kerja di sini tanpa gaji selama lima bulan. Atau kamu keluar, tinggalin jaminan, dan kamu bisa nyicil hutang kamu selama tujuh bulan."

Opsi yang jahat!

Bahu Maura melemas seketika. Opsi pertama atau kedua sama saja menempatkannya kepada pilihan yang sulit. Maju kena, mundur apa lagi. Kalau lanjut kerja tanpa gaji, nanti dia beli kebutuhan ini itu pakai apa?

Kalau keluar dan disuruh mencicil, berarti dia harus cari pekerjaan yang penghasilan per bulannya lebih besar dari gaji yang ia terima di kantornya sekarang. Delapan sampai sembilan juta sebulan lah minimal, biar nanti setelah dicatut lima juta sebulan, masih ada sisa buat dirinya hidup.

"Itu artinya saya yang nanggung semua penaltinya ya, Pak?" Maura mencicit sedih. Pak Nyoman tidak tega juga sebenarnya. Tapi, kerja tetap kerja. Ada pertanggung jawaban yang besar yang dia pikul kepada perusahaan.

"Iya."

Maura memaksa otaknya untuk berpikir praktis dan cepat. Dia menggembungkan pipi. Gadis berambut pendek sebahu itu mendengkus berkali-kali. Sampai pada akhirnya dia berpikir, mau memilih yang mana pun sama saja membiarkan hidupnya terlunta-lunta. Tapi terlunta-lunta di luar sana mungkin lebih baik daripada harus bekerja tanpa hasil apa-apa di kantor itu selama lima bulan lamanya. Bisa tambah kurus kering nanti dia!

"Saya keluar aja deh, Pak. Motor dan KTP saya, jaminannya. Itu motor bersejarah, Pak. Dibeliin orang tua pas saya masih SMA, jadi meskipun udah old fashioned, saya nggak mungkin rela pisah sama dia."

Pak Nyoman meringis sedih. Dia menatap nanar Maura yang berjalan ke arah lokernya. Gadis itu mengambil semua barang-barang yang ada di dalam. Memasukannya ke tas dan satu paper bag bekas belanjaan.

Kemudian datang lagi kepada Pak Nyoman untuk menyerahkan fotokopi KTP dan kunci motornya. "Maafin saya ya, Pak."

Begitu Maura keluar ke ruangan depan, semua temannya berdiri dan menatapnya iba. Miris sekali jadi Maura. Dipecat dengan membawa sejumlah beban dan tanggungan yang begitu besar.

Sementara itu Maura meringis kuda. Dia bahkan melambaikan tangan seolah dia mau pergi sebentar buat jalan-jalan.

Padahal, dalam hati Maura menangis meraung-raung. Sakit hati rasanya. Untuk kedua kalinya, dia mengalami pemecatan lagi di usianya yang sudah menginjak 24 tahun.

Bukan hal baru, tapi sakitnya masih sama perih. Dipecat itu rasanya ... kampret sekali!

***

"Aku lagi ngerasa stuck banget sekarang ini. Seolah hidupku bakalan kiamat sebentar lagi banget. Banget-banget." Maura menelungkupkan wajahnya di sela tangan yang ia lipat di meja. Mukanya kusut berat. Sementara rambutnya yang biasanya disisir rapi, sekarang tampak mencuat ke segala arah.

Praska bergidik sebal. Tapi cowok itu sama sekali tidak menggubris kegalauan hati kekasihnya. Dia malah semakin fokus sama pekerjaan yang suka dia bawa sampai di luar jam kantor. "Makanya jadi cewek tuh jangan ceroboh! Kena masalah baru tahu rasa kan kamu."

Maura mendengkus dalam diam. Nasib, nasib, punya pacar bukannya bikin suasana adem malah berasa seperti punya kompor. Makin menyala makin panas!

"Aku perasaan tadi udah cerita deh alasan kenapa aku kehilangan pekerjaan aku, Mas."

"Momol ... dengerin ya, Sayang. Dari dulu juga udah aku bilangin, buat apa kamu sekolah tinggi-tinggi, jadi sarjana ekonomi kalau ujung-ujungnya cuma mau kerja di travel agent? Mending kamu jadi manajer kek, supervisor kek. Ini kamu di sana cuma jadi staff ticketing. Ngerasa sia-sia nggak sih kamu kuliah?"

Maura bangun dan menatap Praska tanpa berkedip sedikit pun. Bukan karena terpana, tapi karena terbata!

Praska itu pacar macam apa coba?

"Kamu mau ngehina yang mana jadinya? Ngomong yang jelas. Mau ngehina ijazah aku, otak aku mau kamu katain bego lagi, atau kamu mau menghina profesi aku yang kemarin?"

Praska ikut mendengkus lalu menutup laptopnya agak keras. Sebelum bersuara, cowok ganteng dengan style casual tapi perfeksionis itu mengelilingkan pandangan ke segala arah. Kalau-kalau ada pengunjung lain di kafe itu yang merasa risih, dia berniat mau menyeret Maura buat masuk ke mobilnya saja.

"Kok kamu ngegas, Mol?"

Mata Maura membulat. Tangannya mengepal di bawah meja. "Kamu kan yang mulai?"

"Ya terus, kalau emang iya aku mau ngehina profesi sama otak kamu itu, kamu mau ngasih pembelaan apa? Dewasa dikit dong, Mol. Kamu udah 24, udah masuk usia siap nikah! Apalagi yang bakalan jadi suami kamu itu aku. Kamu nggak kepikiran apa buat cari kerjaan yang nilai prestige-nya tinggian sedikit?"

Demi Planet Jupiter, Maura memohon untuk diberi kesabaran yang sama besarnya dengan planet itu sampai semua orang taubat dan berhenti menghina prinsipnya.

"Coba kamu dulu mau dengerin aku, daftar jadi sekretaris kek, daftar kerja di perusahaan terkenal apa kek, atau ikutan tes CPNS. Jadi tim keuangan di perusahaan tambang atau kerja jadi akunting di hotel mana kek. Pasti kamu nggak bakalan luntang-lantung kayak sekarang ini." Praska menatap Maura lekat-lekat.

Keduanya sama-sama panas. Sama-sama berdarah dingin dan sama-sama memiliki ambisi yang besar. Tapi sayangnya, sama-sama beda prinsip.

"Terus menurut kamu, kerjaan kamu yang jadi tim kreatif di perusahaan iklan itu udah yang paling settle dan sempurna gitu, Mas?"

"Seenggaknya aku kerja sesuai passion! Kamu mau ngomong apa lagi, hm? Jangan banding-bandingin aku sama kamu, Mol."

Maura melepaskan napasnya keras-keras. Sedih sekali jadi pacarnya Praska. Bukannya disayang-sayang, malah selalu dihina-hina. Tapi tidak tahu kenapa, Maura tetap saja cinta.

Cinta memang aneh. Walau menderita tetap saja bikin hati meleleh.

"Mol, passion kamu nggak ada di dunia tur itu. Berhenti berharap bahwa dengan ngebiarin kamu jadi staff ticketing bakalan bikin kamu sukses dan punya perusahaan sendiri. Kita harus realistis sekarang, Mol."

"Punya cita-cita dan keinginan emangnya salah, Mas?"

Praska menghela napas. Lalu mencoba melembut. Kafe yang sedang mereka singgahi itu romantis. Dari tadi playlist yang diputar lewat speaker lagu-lagu manis terus. Pasangan yang lain mengimbangi lampu-lampu tumblr dan wangi kopi yang mengudara sambil bicara dari hati ke hati dan berpegangan tangan.

Sementara dia dan Maura malah bersitegang. Meributkan hal yang itu lagi, itu lagi.

"Aku nggak bisa ngomong apa-apa, Mol. Tapi yang jelas kamu harus bangun dari cita-cita itu. Jangan biarin gelar sarjana kamu terbengkalai begitu aja buat profesi yang nggak jelas jaminan masa depannya."

Maura menunduk.

Entah dia sedang sensitif atau bagaimana. Tapi yang jelas, dia muak melihat Praska yang sekarang. Dia sedang hancur loh. Maura hancur!

Saat ini dia jadi pengangguran yang punya banyak hutang sementara Praska sibuk memojokkan dan menuntut. Tidak menghibur. Masa iya, Maura harus bersyukur punya pacar yang doyan menghina pacarnya sendiri?

Maura merasa sendirian saat ini.

Orang tua yang dia miliki hanya ibu yang sekarang bahkan sudah punya keluarga sendiri. Dia tidak mungkin tiba-tiba datang, minta bantuan, atau parahnya lagi minta uang jutaan untuk bayar hutang. Maura tidak akan melakukan itu.

Maura lebih baik jadi budak di Arab daripada harus merendahkan harga diri di depan ibu dan keluarga barunya.

Pilihan terakhir, dia berlari kepada Praska. Sekedar bercerita dan ingin didengarkan. Itu saja sebenarnya. Maura tidak berharap Praska akan melakukan sesuatu yang ekstrem. Memberinya banyak uang misalnya. Itu kelewat tidak mungkin.

Maura cuma ingin merasa benar-benar jadi perempuan yang punya pacar saat ini. Ada yang membelai rambutnya, memeluknya dari samping, menggenggam tangan. Atau kalau semua itu terlalu berat, Maura ingin Praska tersenyum sambil bilang semuanya akan baik-baik saja.

Itu saja sebenarnya yang Maura harapkan dari Praska. Tidak lebih!

Maura juga sadar siapa dirinya. Cewek kelas standar yang bisa Praska temukan di mana-mana, yang tidak ada istimewa-istimewanya, yang gampang dipacarin sekaligus gampang ditinggalkan.

"Mol ...." Praska memanggil.

Maura mengerjapkan mata dan menghela napas sambil menatap Praska lekat-lekat. "Kamu bilang, jangan biarin ijazah aku sia-sia buat profesi yang nggak jelas jaminan masa depannya, kan? Konteksnya sama nggak kayak kita, Mas?"

Alis Praska berkedut bingung. "Maksud kamu?"

"Bukan cuma ijazah kan yang nggak boleh aku sia-siain? Hati aku juga, Mas." Maura mengepalkan tangannya dan berusaha tersenyum. "Aku juga nggak boleh sia-siain perasaan aku buat cinta yang nggak jelas jaminan masa depannya sama kamu, kan?"

Maura berdiri dari tempatnya. Dia berlalu dari kafe itu. Meninggalkan Praska yang termenung di tempatnya dengan jantung berdebar tidak karuan.

Jadi, tadi itu ... maksud Maura apa?

***Fair Unfair***


P.S :

Kondisi tiket di-refund adalah saat seorang penumpang nggak jadi terbang dan berniat meng-cancel tiket tersebut. Sesuai regulasi dari masing-masing maskapai, tiket yang cancel-refund akan mendapatkan uang kembali dengan besaran tertentu sesuai perhitungan dari ticketing berdasarkan ketentuan dari maskapai (cancellation fee). 

Semakin jauh dari tanggal terbang, jumlah uang yang dapat dikembalikan bisa semakin besar. Sebaliknya, semakin dekat dengan jam terbang, besaran uang yang diterima semakin kecil. Perhitungan cancellation fee akan berbeda antara tiket kelas ekonomi, bisnis, dan eksekutif masing-masing maskapai. 

Regards,
IG: akhiriana.widi

Continue Reading

You'll Also Like

1.4K 482 39
Teman-teman sekelasnya mengharapkan senior year SMA mereka begitu meriah, penuh kejutan, kesenangan, dan tentu saja romansa. Lain halnya dengan Xaqi...
137K 793 66
Beberapa penulis cerita wattpad yang aku suka dan cerita yang menarik untuk dibaca
1.7M 40.5K 9
Semua terlihat sempurna di kehidupan Maudy, seorang aktris papan atas yang juga dikenal sebagai kekasih Ragil, aktor tampan yang namanya melejit berk...
ARIA By uthe

ChickLit

14.6K 2.6K 12
ARIA ; nyanyian tunggal yang sendu dan dibawakan dengan penuh perasaaan, di iringi alat musik seperti opera dan oratoria. Elisheba Sonya Gailardia, p...