En Garde!

By mayasaripratiwi

23.2K 2.1K 49

[Tamat] Seth menemukan bakat anggar Rae saat gadis itu mengalahkannya bermain Foil di Westcoustine Tea Party... More

Bab 1 - Seth Bradford, Si Biang Onar
Bab 2 - Raelyn Harrison dan Westcoustine Tea Party
Bab 3 - Bradford dan Milan
Bab 4 - Mendapatkan Rae
Bab 5 - Perry Baldrick
Bab 6 - Nolan Bradford
Bab 7 - Deion Kay dan Keonaran di Bar
Bab 8 - Penyerangan
Bab 9 - Seorang Gadis Bernama Erica
Bab 10 - Ciuman yang Mengubah Segalanya
Bab 11 - The CEO
Bab 12 - The Confession of Nolan Bradford
Bab 13 - A Man, His Pride, and His Broken Heart
Bab 14 - A Birthday Surprise for Seth
Bab 15 - The Heart Wants What It Wants
Bab 16 - Penyesalan
Bab 17 - D-day
Bab 18 - Penyelesaian
Bab 20 - Selamat Datang di Keluarga Bradford

Bab 19 - A Father's Wish

853 100 0
By mayasaripratiwi

Rae duduk bersandar pada punggung Seth. Tangannya terus menggoreskan garis di atas buku sketsa hingga membentuk sebuah pedang sabre dan foil yang sangat indah. Ia tak begitu jago menggambar, tapi entah kenapa hari itu ia ingin menggambar kedua benda itu. Sabre mewakili Seth dan foil mewakili dirinya sendiri. Hanya mereka berdua, seperti siang itu.

Siang itu begitu tenang. Hanya ada suara deburan ombak, suara burung camar, dan udara sejuk yang menyelinap dari celah pintu dan jendela villa keluarga Walden. Setelah huru-hara di hari pertunangannya, Rae benar-benar ketakutan kalau nanti tiba-tiba ibunya, orang-orang Arvin, atau media akan mencari mereka seperti anjing yang mengendus bau daging asap. Tapi Walden menepati janjinya, bahwa tak ada yang akan bisa menemukan keberadaan mereka berdua di sana. Terkadang Walden mampir untuk membawakan sesuatu dan tiap kali mampir cowok itu berkata untuk tidak usah khawatir. Memang ada kekacauan besar setelah hari itu—keluarga Harrison, Bradford dan Ashcroft sempat bersitegang. Tapi kemudian Nolan dan Sawyer berhasil mengatasi hal itu—entah apa yang mereka berdua lakukan.

Paling tidak selama empat hari ini mereka bisa bernapas tenang. Bahkan mereka tidak tertarik untuk memikirkan apa yang harus mereka lakukan setelah ini. Minggu depan adalah hari turnamen dan mereka mau tak mau harus keluar dari persembunyian. Tapi seperti apa yang selalu terjadi pada turnamen-turnamen sebelumnya, pikiran mereka hanya berfokus pada turnamen dan mereka tak peduli pada hal lainnya. Bahkan kalau gedung sebelah arena terbakar, mereka mungkin masih akan tetap bertarung.

"Foil?" tanya Seth saat melihat apa yang sudah digambar oleh Rae. "Bukannya kau akan main epee?" godanya.

"Jangan gila. Aku nggak akan main epee." Rae memasukkan pantat pensilnya ke lubang hidung Seth dan mendorong wajah Seth sampai laki-laki itu terjungkal.

"Iya, iya, iya!" Seth memohon ampun. Ia menyentuh rambut Rae, merapikan helaian rambut yang mencuat, menyisipkan jemarinya hingga bisa memegang bagian belakang kepala Rae, lalu mencium bibir Rae dengan perlahan.

TOK! TOK! TOK!

Mereka berdua berhenti dengan bibir masih saling menempel dan pandangan sama-sama melirik ke arah pintu. Siapa yang mengetuk pintu siang ini? Walden baru saja pulang tadi pagi, jadi mustahil rasanya cowok itu kembali.

"Kau diamlah di sini," pinta Seth yang kemudian berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu. Tak lama kemudian, Seth kembali dengan wajah tegang membuat Rae semakin bertanya-tanya siapa yang ada di pintu. "Rae, ada tamu untukmu," Seth memberitahu dengan suara yang agak gugup.

Tamu? Siapa lagi yang mengetahui tempat ini? Dan kenapa wajah Seth tegang seperti itu? Apa semuanya masih baik-baik saja?

"DAD?!" seru Rae saat melihat sosok ayahnya ada di depan pintu dengan trench coat abu-abu dan topi bowler hitam. Rasanya sudah lama sekali ia tidak bertemu ayahnya dan kini ia merasa wajah ayahnya lebih tua dan keriput dari terakhir kali ia melihatnya.

"Hai, Rae." Ayahnya langsung memeluk Rae dengan erat. "Seth sudah setuju untuk memberi kita waktu ayah-dan-anak sebentar. Kau mau jalan-jalan di pinggir pantai?"

"Err...oke..."

Rare mengikuti ayahnya berjalan menyusuri pantai dan berhenti untuk duduk di atas tembok pembatas. "Jauhkan benda itu dariku," ujar Rae sebelum ayahnya sempat menyalakan rokoknya. Rae masih membenci ayahnya kalau merokok.

"Ah, maaf." Ayahnya segera menjejalkan rokok itu kembali ke dalam kantong jaketnya. "Bagaimana kabarmu?"

Rae mendengus mendengar basa-basi dari ayahnya yang payah itu. "Bagaimana kalau kita mulai dari kenapa kau bisa sampai ke sini, Dad?"

"Helikopter. Punya kakakmu," pria itu terkekeh. "Kau tahu, idenya untuk beli helikopter ternyata bukan ide yang buruk. Aku bisa sampai ke sini hanya dalam waktu 30 menit dan tidak usah menyebrangi lautan—kau tahu kan bagaimana aku membenci transportasi air?"

Rae mengangguk. Bagaimana ia bisa melupakan ayahnya yang hanya makan dan tidur saat mereka berlibur dengan kapal pesiar? Sungguh liburan yang sia-sia. "Apa yang membuatmu sampai ke sini?" akhirnya Rae menyudahi basa-basi itu. Ia tahu ayahnya ke sini karena kekacauan yang ia dan Seth sebabkan di hari pertunangannya. Seharusnya hari itu menjadi hari yang membahagiakan kakaknya karena ia baru saja menikahi gadis yang dicintainya, tapi ia dan Seth malah merusaknya. Rae menunggu ayahnya dengan dada berdengup kencang. Sejujurnya Rae belum siap kalau ayahnya memintanya pulang dan meninggalkan Seth hari itu juga.

Namun lagi-lagi ayahnya terkekeh. "Kau harus lihat bagaimana kakakmu memarahiku dan ibumu habis-habisan."

Rae membelalak. Sawyer? Memarahi ayah dan ibunya? Setahu Rae, dibanding dirinya, Sawyer adalah anak yang lebih patuh pada orang tua.

"Aku belum pernah melihatnya semarah itu. Kurasa kita sama-sama setuju kalau kakakmu sudah berubah jadi pria sejati, eh?" Ayahnya mengeluarkan sebuah permen karet mint dan mengunyahnya untuk mengalihkan keinginan merokoknya. "'Kalian orang tua egois! Kapan kalian mau mulai memikirkan kebahagiaan Rae?' Kira-kira begitulah intinya. Menurutmu aku ini orang tua yang egois?"

Rae mengangkat bahu. "Aku nggak pernah tahu bagaimana seharusnya orang tua yang benar. Kurasa kita nggak akan pernah tahu kan? Karena Kakek pasti membesarkanmu juga seperti itu."

"Kalau menurutku, iya. Aku ini ayah yang egois. Bisa-bisanya aku memutuskan untuk nggak hadir di pernikahan kakakmu."

Iya sih, kalau bagian itu Rae setuju ayahnya sudah keterlaluan.

"Aku sudah salah, mengabaikan tugasku sebagai seorang ayah. Aku menyerahkan tugas itu sepenuhnya pada ibumu. Melihatmu dan Sawyer tumbuh jadi anak-anak yang baik, aku merasa ibumu sudah menjalankan tugasnya dengan baik. Maka, saat ibumu mengatakan akan menjodohkanmu dengan Arvin, aku nggak bisa berkata apa-apa. Aku merasa nggak punya hak untuk melarangnya karena aku sendiri nggak tahu apa yang terbaik untukmu."

"Jangan salahkan ibumu, kumohon. Ia hanya ingin yang terbaik untuk keluarga kita. Berkoalisi dengan keluarga Ashcroft memang bisa membuat kita menjadi yang terkuat di dunia bisnis, tapi mungkin ia lupa kalau ia juga adalah seorang ibu untukmu. Ambisinya untuk mengalahkan keluarga Bradford sudah membuatnya lupa."

Rae menunduk menatap kakinya yang mengayun. Ia teringat bagaimana ibunya menelponnya di hari ia menginap di kamar hotel itu dengan Seth. Dunianya serasa berakhir saat itu juga, tapi ia tahu ia tak punya suara untuk menolaknya.

"Kau tahu, kau bisa bilang 'tidak' untuk setiap permintaan kami," ujar ayahnya seakan-akan bisa membaca pikirannya. "Selama ini kau sudah terlalu banyak menurut pada kami dan tak pernah memikirkan tentang keinginanmu sendiri. Aku senang punya anak sepertimu, tapi aku pun ingin kau mengingatkan kapan kami sudah terlalu jauh mengintervensi kebahagianmu."

Rae masih menunduk saat ayahnya mengacak-acak rambutnya dengan lembut. Ia sangat bahagia mengetahui bahwa ayahnya hanya ingin ia bahagia. Ia sangat bahagia sampai-sampai air matanya hampir menetes. Ia tak menyangka kata-kata itu meluncur dari mulut seorang Christopher Harrison, salah satu sosok yang paling ditakuti oleh semua pebisnis. Di balik predikatnya yang mengerikan itu, ternyata ia tetap hanya sesosok ayah yang ingin membahagiakan keluarganya.

"Ngomong-ngomong soal bahagia, apa kau bahagia dengan cowok itu?" Ayahnya mengedik ke arah villa. Tentu saja maksudnya adalah Seth.

"Yah, gimana ya..." Rae menghela napas. "Dia sering menyebalkan sih, tapi kalau kau tanya apa aku bahagia dengannya, kurasa jawabannya iya."

Kening ayahnya kemudian mengerut. "Awalnya kukira kakaknya yang ingin mendekatimu. Saat Westcoustine Tea Party, Nolan tak berhenti memandangimu. Tapi kau sibuk menghajar adiknya saat pertandingan anggar."

Rae terkejut mendengar ucapan ayahnya. "Kau tahu itu aku?!"

Ayahnya mendecak. "Aku ini ayahmu, ingat? Aku yang mengenalkanmu pada anggar. Aku bisa mengenali gerakan-gerakanmu dengan mudah. Tapi sangat puas rasanya kau mempermalukannya seperti itu." Rae dan ayahnya tak bisa menahan tawa mereka saat mengingat masa-masa itu. Kalau saja Seth ada di sini, pasti ia sudah terjun ke air saking malunya. "Kalian akan menorehkan sejarah. Sudah saatnya Harrison dan Bradford akur."

"Ngomong-ngomong soal itu," tiba-tiba pertanyaan yang sudah lama ingin ia tanyakan terlintas di kepalanya, "kenapa sih Harrison dan Bradford nggak pernah akur? Apa kau dan Mr. Bradford juga saling benci?"

"Aku dan Travis? Kami malah bermain golf bersama sebulan sekali—tapi jangan bilang-bilang ibumu." Ayahnya menghela napas lalu mengingat-ingat sejak kapan perseteruan antar dua keluarga itu, kemudian ia menggeleng. "Aku tak ingat apa yang terjadi pada kakek-nenek kalian dan moyang-moyang kalian. Tapi aku sih merasa Travis dan aku baik-baik saja. Sialnya adalah kami berdua punya istri yang ternyata sudah bermusuhan dari SMA. Jadi yah, nggak akan akur."

Saat matahari terbenam, ayahnya mengucapkan perpisahan pada Rae dan Seth. Walaupun jarang melihat ayahnya, tapi melihat ayahnya pergi meninggalkannya ternyata masih membuat Rae sedih seperti saat ia masih kecil dulu.

"Ayahmu memintamu pulang?" tanya Seth saaat mereka sudah kembali ke villa itu. Rae menggeleng. "Dia cuma bilang kalau kondisi sudah cukup kondusif kalau kita berdua ingin pulang. Tapi dia nggak mau memaksa kapan kita harus pulang."

Seth bernapas lega. Sepertinya dia masih belum siap untuk pulang.

"Oh, dan dia juga bilang kelima belas anjingmu entah kenapa bisa ada di rumahku."

Seth menepuk wajahnya sambil mengutuki Deion dalam hati karena tidak membawa anjing-anjing itu kembali ke rumahnya. Itu berarti ia tak hanya harus segera pulang, tapi juga ke rumah Rae untuk menjemput anjing-anjingnya. Ia masih tak tahu bagaimana harus menghadapi Saywer serta ayah dan ibu Rae sekaligus.

Lebih baik ia ditelan bumi saja.


Jangan lupa vomentnyaaa :D

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 114K 33
Ares, mantan Dewa Perang dan juga seorang Titan yang berasal dari Planet lain, berkunjung kembali ke Bumi untuk kekasihnya. Namun ternyata mereka buk...
7.6K 2K 68
[BOOK 1] Khass memang seorang Guru Muda, tetapi Par takkan menyerah untuk menyeretnya keluar dari perguruan menuju neraka dunia. = = = = = = = = =...
416 79 11
𝐓𝐚𝐭𝐤𝐚𝐥𝐚 [𝐭𝐚𝐭·𝐤𝐚·𝐥𝐚] 𝐤𝐞𝐭𝐢𝐤𝐚 (𝐢𝐭𝐮); 𝐰𝐚𝐤𝐭𝐮 (𝐢𝐭𝐮) Update setiap hari mulai tanggal 1 hingga 28 Februari untuk memberitahum...
2.9M 75.6K 20
Setelah bertahun-tahun mendekam di penjara bawah tanah Kerajaan Selencia, Verity akhirnya diberikan kesempatan bebas dengan syarat harus berpura-pura...