Salted Wound [Sehun - OC - Ka...

By heena_park

383K 35.2K 3.9K

Luka yang telah tertanam sedari kecil membuat Se-hun berubah menjadi pembunuh berdarah dingin andalan organis... More

PROLOGUE
Youtube Video Trailer
CHAPTER 1 - [Brother]
CHAPTER 2 - [His Darkest Side]
CHAPTER 3 - [Obsessed]
CHAPTER 4 - [Prom Night]
CHAPTER 5 - [Someone From The Past]
CHAPTER 6 - [Your Best Friend is Your Biggest Enemy]
CHAPTER 7 - [The Monster Creator]
CHAPTER 8 - [A Girl in The Maroon Dress]
CHAPTER 9 - [Venice]
CHAPTER 10 - [The Savior]
CHAPTER 11 - [22]
CHAPTER 12 - [Aspectabund]
CHAPTER 13 - [Photograph]
CHAPTER 14 - [Jealousy]
CHAPTER 15 - [Eccedentesiast]
CHAPTER 16 - [The Boyfriend]
CHAPTER 17 - [Human]
CHAPTER 18 - [The Beginning]
CHAPTER 19 - [Parents]
CHAPTER 20 - [First Kiss]
CHAPTER 21 - [Lacuna]
CHAPTER 22 - [THE KILLER]
[EXPLICIT] CHAPTER 23 - [Into You]
CHAPTER 24 - [No Escape]
CHAPTER 25 - [Who Are You?]
CHAPTER 26 - [The Truth]
CHAPTER 28 - [Royce Hayden]
CHAPTER 29 - [Ready For War]
CHAPTER 30 - [What a Cruel World]
CHAPTER 31 - [Three of Swords]
BAB 32 - [Far From Home]
CHAPTER 33 - [Far From Home #2]
EXTRA PART

CHAPTER 27 - [Deimos]

5.9K 757 137
By heena_park



"Maafkan aku." Hee-ra mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke meja.

"Aku benar-benar mengkhawatirkanmu. Di mana kau sekarang? Aku ke rumahmu, tapi tidak ada siapa-siapa?" sahut suara dari ujung sana.

Hee-ra terdiam dan melirik Se-hun yang tengah menonton televisi di atas ranjang. Mereka memang tidak berada di rumah, Se-hun bilang, saat ini rumah bukanlah tempat yang aman untuk berlindung.

"Urusan keluarga. Sepertinya aku tidak bisa ke kampus selama beberapa hari, aku berada di luar kota," dustanya.

"Baiklah..." Jong-in menghela napas panjang penuh kekecewaan. "Bisakah kita bicarakan ini sekarang?"

Membicarakan apa? Seingat Hee-ra, mereka tidak pernah berdiskusi serius akhir-akhir ini.

"Apa ada sesuatu yang membuatmu terganggu?"

Jong-in mendengus pelan. "Aku... merasa ada jarak di antara kita."

"Aku tidak mengerti."

Hee-ra menyadarinya. Ia hanya tidak ingin mengaku dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Entah sejak kapan ia mulai mengganti nama Jong-in dengan Se-hun jauh di dalam hati.

Tunggu dulu...

Atau mungkin Se-hun memang tak pernah pergi dari hatinya, melainkan terkubur begitu dalam hingga ia berpikir Jong-in lah yang memilikinya?

"Lupakan, mungkin hanya perasaanku saja." Jong-in bergeming selama beberapa detik sebelum akhirnya berdehem karena tak kunjung mendapat balasan dari Hee-ra. "Baiklah, good night. Aku merindukanmu."

Mendengar Jong-in mengungkapkan kerinduannya membuat Hee-ra merasa bersalah. Secara tidak langsung, perbuatannya dan Se-hun adalah perselingkuhan. Bagaimana mungkin dia bisa tidur dengan pria lain? Bagaimana mungkin dia bisa jatuh cinta pada pria lain? Hee-ra bahkan tak sanggup membayangkan seberapa besar kemarahan Jong-in bila suatu hari nanti mengetahuinya. Ya, sepintar apapun manusia menyembunyikan bangkai, pada akhirnya akan ketahuan juga. Begitupun dengan Hee-ra. Ia hanya sedang menunggu kapan hal itu terjadi.

Matanya berkaca-kaca, sulit rasanya untuk sekadar membalas ucapan Jong-in. Rasa bersalah dan penyesalan gadis itu begitu besar hingga merasa tak pantas lagi untuk pria itu.

"Jaga dirimu baik-baik, aku pasti akan merindukanmu, Kim Jong-in."

Tuttt...

Belum sempat Jong-in menjawab, gadis itu sudah lebih dulu memutuskan panggilan. Baginya, berlama-lama mendengar suara Jong-in sama saja dengan bunuh diri karena harus memikul penyesalan.

Tenangkan dirimu Shin Hee-ra.

Tidak apa-apa kalau suatu hari nanti Jong-in membencimu.

Semuanya akan baik-baik saja.

Seharusnya begitu...

Setelah memasang charger ke ponselnya, Hee-ra berbalik menyusul Se-hun ke ranjang. Ia tidak langsung duduk di samping pria itu, melainkan memandangnya sejenak.

Se-hun sedang menghadap televisi, tapi tatapannya kosong. Wajahnya menyiratkan aura kesedihan dan menyalahkan diri sendiri. Hee-ra paham, Se-hun pasti merasa tersiksa karena keadaan mereka, terlebih lagi, penyebab utama atas terancamnya nyawa Hee-ra adalah dirinya.

Tragis, entah sejak kapan hidup mereka jadi menyedihkan seperti ini. Hee-ra ingin menertawakan dirinya yang tak mampu menghadapi Jasmine. Seandainya saja ia belajar beladiri, seandainya saja Se-hun jujur sejak lama, Hee-ra pasti bisa mengantisipasinya.

"Apa kau akan terus-terusan melamun seperti itu?" celetuk Hee-ra sambil menekan tombol off pada remote televisi dan berbaring di samping Se-hun. "Kemarilah, aku ingin memelukmu."

Otomatis Se-hun langsung ikut berbaring di samping Hee-ra dan melingkarkan lengannya pada tubuh gadis itu, lalu menggeleng. "Aku yang akan memelukmu."

"Baiklah, kita saling memeluk saja." Hee-ra membalas pelukan Se-hun dan menarik pria itu lebih dekat hingga tidak ada jarak antara keduanya.

Bahkan, dalam keadaan paling berbahayapun, keberadaan Se-hun sangat berpengaruh baginya. Ia selalu merasa aman saat Se-hun berada di dekatnya, ia selalu merasa terlindungi, dan merasa bahwa Se-hun lah malaikat pelindungnya akhir-akhir ini.

"Bagaimana perasaanmu sekarang?"

Hee-ra mendongak, menatap Se-hun yang berjarak sejengkal di atasnya. "Baik-baik saja," jawabnya cepat.

Se-hun menangkup kedua pipi Hee-ra dan mengecup bibir gadis itu lembut, hanya beberapa detik, kemudian melepasnya. "Aku harap kau selalu mengingat rasanya."

Hee-ra tidak mengerti apa maksud Se-hun. Kenapa dia berkata seolah-olah mereka akan berpisah?

Hei!

Tolong jangan katakan kalau Se-hun berniat mengorbankan dirinya demi Hee-ra?

"Apa maksudmu? Kenapa kau berkata seperti it—"

Cupp...

Belum selesai Hee-ra berucap, Se-hun sudah lebih dulu mencium dan melumat bibir gadis itu. Hee-ra terkejut, ia masih belum terbiasa pada sifat Se-hun yang suka menyerang tiba-tiba. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Hee-ra membuka mulutnya, membiarkan Se-hun menjelajah sambil sesekali mendesah, menikmati suasana. Sayangnya, beberapa detik kemudian Se-hun melepaskan tautannya dari bibir Hee-ra. Ia kembali menangkup kedua pipi gadis itu lembut.

"Shin Hee-ra, katakan padaku mana yang akan kau pilih. Kisah cinta yang damai atau kisah cinta menyedihkan dan penuh pengorbanan?"

Hee-ra menunduk, tangan kanannya mengusap punggung tangan Se-hun yang masih menangkup kedua pipinya, kemudian mengangguk pelan sambil membalas tatapan pria itu. "Kisah cinta yang penuh pengorbanan."

"Kenapa kau memilihnya?"

Hee-ra terdiam sebentar, air mukanya menyiratkan kesedihan. "Karena itulah yang sedang kualami sekarang. Tanpa kisah cinta menyedihkan dan penuh pengorbanan, aku tak mungkin berada di sisimu."

Jawaban Hee-ra membuat Se-hun tersenyum simpul sekaligus miris. Meski telah mendengar sendiri bahwa Hee-ra baik-baik saja, namun Se-hun tahu gadis itu hanya menutupi ketakutannya.

Detik berikutnya, Se-hun menekan pelan tengkuk Hee-ra dan sekali lagi menenggelamkan gadis itu dalam pelukannya. "Aku mencintaimu, aku mencintaimu, Shin Hee-ra."

Mereka baru saja menyelesaikan sarapan, Se-hun sibuk berbincang dengan seorang pemuda berbadan kekar yang mungkin berusia beberapa tahun di bawahnya. Hee-ra juga tak begitu paham apa yang mereka bicarakan. Namun, beberapa kali Se-hun sempat melirik sebelum akhirnya menghampiri Hee-ra

"Kita pergi sekarang," ujarnya.

Hee-ra tidak berniat untuk bertanya, ia langsung bangkit dan mengambil ponsel juga tas lengannya di dalam kamar, lalu kembali menghampiri Se-hun yang kini berdiri di samping mobil bersama pria tadi.

"Aku sudah siap," ucap Hee-ra mantap.

Se-hun mengangguk. "Masuklah, aku harus berbicara dengan Daniel sebentar," jawab Se-hun yang kemudian membukakan pintu untuk Hee-ra.

Lebih dari sepuluh menit berlalu, Se-hun akhirnya menyusul ke mobil, sementara pria yang dipanggil Daniel tadi pergi menggunakan motor.

"Kita akan pulang sebentar untuk mengambil pakaian juga keperluanmu secukupnya. Aku akan membawamu ke tempat yang lebih aman." Se-hun berhenti sebentar. "Aku juga telah mengirimkan berkas permohonan cuti kuliahmu dua hari lalu. Hari ini kau tinggal menandatangani beberapa dokumen di kampus."

Mendengar ucapan Se-hun, Hee-ra membulatkan mulut tak percaya. Pria itu memutuskan sesuatu terkait hidup Hee-ra tanpa meminta persetujuan, dan Hee-ra tidak menyukainya.

"Cuti? Untuk apa? Aku tidak mau cuti kuliah!" elaknya.

Sebenarnya Se-hun tidak ingin berdebat sekarang, tapi mengingat betapa keras kepalanya Hee-ra, ia tidak punya pilihan lain.

"Aku melakukannya demi keselamatanmu, pergi ke kampus sama saja dengan bunuh diri. Jasmine bisa mendapatkanmu dengan mudah. Dia bahkan menculikmu saat kau berada di sana. Aku tidak mau kejadian seperti itu terulang lagi."

"Tidak, aku benar-benar tak bisa melakukannya." Hee-ra bersikeras, ia menggigit bibir bawah kesal. "Aku akan baik-baik saja di kampus, aku berjanji."

"Atas dasar apa kau berjanji seperti itu? Apa Jong-in memang bisa melindungimu? Pria itu bahkan tak tahu bila nyawamu sedang terancam sekarang!"

Oh, apa Se-hun sedang meremehkan Jong-in sekarang? Dia begitu percaya diri sampai-sampai berani merendahkan Jong-in seperti ini.

"Aku tidak suka kau meremehkan Jong-in seperti itu, jaga bicaramu."

"Oke." Nada frustasi jelas tedengar dari jawaban Se-hun. Kelakuan Hee-ra yang lebih membela Jong-in ketimbang dirinya sudah cukup membuat Se-hun menertawakan diri sendiri.

Ah, apakah gadis itu memang masih mencintai Jong-in dan tak bersungguh-sungguh membuka hati untuk Se-hun? Bisa-bisanya dia membela kekasih bodohnya itu di depan Se-hun yang jelas-jelas telah mengorbankan segalanya.

"Demi apapun, aku sedang tidak ingin berdebat sekarang." Se-hun menyerah, memelankan suaranya, "Kumohon jangan keras kepala, hanya satu bulan dan aku berjanji kau bisa kembali melakukan aktivitasmu seperti biasa, tentu saja kecuali kuliah, mengingat batas minimal cuti adalah satu semester. Shin Hee-ra, aku hanya tidak ingin kau terluka."

"Kenapa harus satu bulan?"

Se-hun bergeming selama beberapa saat. "Karena aku harus melakukan sesuatu untuk menjamin keselamatanmu dalam satu bulan ke depan. Sesuatu yang mungkin akan membahayakanmu untuk bepergian seorang diri," dan mungkin menjadi saat terakhirku untuk melihatmu, "jadi kumohon mengertilah.

"Melakukan apa?"

Se-hun tersenyum simpul dan mengusap lembut rambut Hee-ra dari samping. "Aku akan menceritakannya nanti, sekarang kau harus mengikuti apa yang kukatakan, oke?"

Mereka segera menuju ke kampus Hee-ra dan menyelesaikan segala urusan berkaitan dengan rencana cuti gadis itu selama satu semester ke depan. Mereka juga harus bersembunyi dari Jong-in yang mungkin saat ini tengah berkeliaran.

Ponselnya berdering beberapa kali, Jong-in terus-terusan menghubungi, namun Hee-ra tak sampai hati untuk menjawabnya. Ditambah lagi Se-hun menggelengkan kepala, sebagai tanda agar Hee-ra tak menggubris Jong-in dan semakin menguatkan tekadnya.

Ingin sekali rasanya Hee-ra meminta maaf pada Jong-in dan menemui pria itu, tapi tidak bisa. Untuk saat ini, nyawanya memang jauh lebih penting daripada rasa bersalahnya pada Jong-in. Hee-ra yakin pria itu akan mengerti keadaannya nanti.

Semoga saja begitu...

Setelah menandatangani beberapa dokumen, Se-hun langsung menggandeng Hee-ra ke mobil dan tak membiarkan gadis itu menengok ke belakang Mereka segera bergegas ke rumah dan menyiapkan beberapa pakaian juga barang lain yang sekiranya penting untuk dibawa pergi. Rasanya aneh ketika kau merasa tak aman di rumahmu sendiri dan harus pergi ke tempat lain.

Se-hun membantu membawa barang bawaan Hee-ra dan menatanya di bagasi. Ia sedih melihat ekspresi resah Hee-ra, ia takut Hee-ra tak bisa tersenyum seperti dulu.

"Aku berjanji semuanya akan membaik." Se-hun mengusap pipi kanan Hee-ra dan menarik gadis itu dalam pelukannya. "Aku akan melakukan apapun demi kebahagiaanmu."

Hee-ra mengangguk beberapa kali dan menenggelamkan diri dalam pelukan hangat Se-hun. "Aku percaya padamu," gumamnya.

Hatinya menghangat, ucapan Se-hun bagaikan mantra yang berhasil menenangkan hati Hee-ra. Mereka masuk ke mobil, melanjutkan perjalanan entah ke mana, Hee-ra tak tahu pasti. Ia hanya menerawang dari balik jendela.

Keduanya tiba di depan sebuah rumah yang cukup besar dan dikelilingi pagar tinggi. Dua orang pria berdiri di sana, sepertinya mereka memang menyambut kedatangan Hee-ra dan Se-hun. Setelah mobil berhenti dan Se-hun berjalan ke bagasi untuk mengeluarkan barang-barang mereka, salah satu dari dua pria tadi menghampiri Hee-ra.

"Selamat datang, Shin Hee-ra. Senang bertemu denganmu," ujar pria itu.

Hee-ra merasa tersanjung pada kesopanan lelaki ini, ia mengangguk. "Terima kasih. Senang bertemu anda."

"Saya Royce Hayden dan pria yang membantu Se-hun adalah Elliot."

Royce Hayden? Nama yang sangat familiar.

Keduanya menengok bersamaan saat Se-hun berdiri di samping Hee-ra sambil membawa koper. "Aku akan menceritakannya padamu," ucapnya pada Hee-ra. "Bisakah kau menunjukkan kamarnya?" Kali ini Se-hun bertanya pada Elliot yang langsung dibalas anggukan oleh pria itu.

Mereka berempat masuk ke rumah, menuju kamar tamu bernuansa coklat dengan furnitur klasik di dalamnya. Well, mungkin pemilik rumah ini memang menyukai benda-benda klasik.

Mengerti apa yang diinginkan keduanya, Elliot dan Royce memilih untuk memberikan privasi bagi Hee-ra dan Se-hun. Setelah menaruh tas lengan di atas ranjang, Hee-ra menghampiri Se-hun yang masih berdiri di samping koper. Ia mengusap lengan pria itu dan memintanya berbalik agar mau menatap kedua matanya.

"Kau berjanji akan menceritakan segalanya padaku," gumamnya.

Se-hun tidak mau Hee-ra salah paham seperti sebelumnya. Untuk menghindari hal itu, dia harus jujur meski berat untuk mengatakan yang sebenarnya.

Ia menarik tangan kanan Hee-ra dan mengajaknya ke balkon. Mereka saling berhadapan, kedua tangannya bertautan. "Shin Hee-ra, kau adalah hidupku sekarang. Aku akan melakukan segalanya untukmu," kalimatnya menggantung, selama beberapa saat Se-hun menaruh telapak kanan Hee-ra di dadanya. "Bahkan aku tidak masalah bila harus mempertaruhkan nyawaku sekalipun."

Suasana yang diciptakan Se-hun seolah menyiratkan kematian—entah dibunuh entah berkorban—yang akan terjadi demi kehidupan Hee-ra. Pria itu tidak bersungguh-sungguh untuk melakukannya, kan?

"Katakan yang sebenarnya, aku tidak mengerti apa maksud ucapanmu tadi."

Ekspresinya melembut, Se-hun mengusap pelan wajah Hee-ra dengan penuh kasih sayang. Wajah yang selama ini selalu ia rindu dan idamkan. "Elliot adalah seorang agen rahasia negara, lebih tepatnya seorang kepala divisi, dan aku akan membantunya untuk menghancurkan organisasiku. Aku tidak punya pilihan lain, lagipula Elliot mau menjamin keselamatanmu asal aku bersedia melakukannya. Jadi, kupikir apa yang akan terjadi sepadan dengan yang kudapat."

Hee-ra mengerutkan kening. "Apa rencana kalian sudah pasti akan berhasil?"

"Entahlah."

"Dan... kalau tidak berhasil?" Hee-ra menggeleng. "Maksudku, kalau organisasimu mengetahui rencana yang kau buat dengan Elliot, apa yang akan terjadi?"

Tidak ada jawaban dari Se-hun kecuali senyum pedih yang mengembang selama beberapa detik. Senyuman yang sudah cukup bagi Hee-ra untuk mengetahui kemungkinan terburuk yang akan terjadi tanpa perlu penjelasan.

Mulutnya membulat, tak menyangka Se-hun akan memilih jalan paling berbahaya hanya untuk menyelamatkan Hee-ra. Gadis itu benar-benar tak mengerti jalan pikiran Se-hun. Ditambah lagi, perasaannya pada pria itu semakin menguat dan terus menguat.

"Kau... tidak serius, kan?" Hee-ra melepaskan tangannya dari Se-hun. "Tidak! Jangan lakukan itu, kau harus mundur! Aku... aku tidak akan membiarkanmu mempertaruhkan nyawa seperti itu!"

Situasi mereka memang sulit. Se-hun berusaha menenangkan Hee-ra, kedua tangannya kembali menarik Hee-ra ke dalam pelukannya, meski gadis itu terus menolak dan bahkan memukul dadanya dengan keras.

Ia tahu Hee-ra pasti shock setelah mendengarnya. Yang lebih parah, mungkin ia akan marah karena keputusan Se-hun. Tapi sungguh, Se-hun tak punya pilihan lain. Ia juga tidak ingin sampai gagal dan mati, tapi mengingat betapa besar dan hebatnya organisasi jika dibandingkan dengan Se-hun yang hanya seorang diri, berapa besar presentasi keberhasilannya? Belum lagi masalah Jasmine yang terus berusaha mendapatkan Hee-ra. Kepalanya seolah mau pecah, hidupnya terlalu berat, Tuhan seolah tak pernah memberinya pilihan sejak dilahirkan.

Jujur, Se-hun lelah. Ia ingin hidup bahagia bersama Hee-ra. Ia ingin memiliki kebebasan dan menjadi orang biasa seperti yang lainnya. Ia tidak ingin bergelut di bidang seperti ini.

"Shin Hee-ra..."

"Tidak! Aku tidak mau berbicara sebelum kau membatalkan perjanjian bodoh dengan Elliot itu. Aku akan pulang sekarang, aku tidak butuh perlindungan. Lebih baik aku mati daripada harus membiarkanmu bunuh diri dengan menentang organisasi! Aku hanya ingin kau keluar dari organisasi itu, bukan menghancurkannya!"

Hee-ra tidak mengerti...

Se-hun juga tidak tahu bagaimana cara menjelaskannya...

Ia membiarkan Hee-ra pergi ambil menarik koper kembali. Gadis itu berlari keluar kamar tanpa menengok Se-hun yang masih membeku. Keselamatan Hee-ra akan terancam bila keluar dari tempat ini, tapi, sekali lagi Se-hun tak tahu bagaimana caranya untuk menjelaskan pada Hee-ra bahwa ia tak punya pilihan.

Dendam yang membara dalam hati Jasmine terus melebar. Mengingat kejadian penembakan beberapa hari lalu yang dilakukan Daniel hingga ia terluka cukup parah dan hampir mati hanya untuk menyelamatkan Hee-ra dan Se-hun semakin membuat gadis itu merasa dikhianati. Ia tak menyangka Daniel berkhianat dan lebih memilih Se-hun darinya. Bodoh memang, tapi Jasmine berjanji tak akan membiarkan Daniel hidup jika mereka bertemu.

Tidak apa-apa, Jasmine masih memiliki banyak rencana untuk menghancurkan mereka. Rasa ingin memiliki Se-hun dalam dadanya juga belum mereda, Jasmine akan terus berusaha membunuh Hee-ra. Ah, tak lupa nama Daniel dalam list terbarunya.

"Bagaimana keadaanmu, Jaze?"

Bruce baru saja masuk sambil membawa nampan berisi makan siang untuk Jasmine. Yah, satu-satunya orang yang bisa dihubungi Jasmine saat sedang sekarat hanya Bruce Waylon. Lelaki itu membawa Jasmine ke mansion dan menjalani beberapa perawatan dari dokter organisasi.

"Setidaknya lukaku tidak separah dendamku." Jasmine meraih nampan dari Bruce dan mulai menyendok makanannya. "Apa aku masih belum boleh keluar? Aku ingin segera menuntaskan segalanya."

Bruce menerawang. Melihat kegigihan Jasmine untuk memperjuangkan Se-hun serta mengesampingkan dirinya sendiri malah membuat gadis itu nampak menyedihkan. Seorang wanita tidak seharusnya mengejar sampai seperti ini.

"Berhentilah, Jaze. Mengejar dan memaksa Se-hun hanya akan membuatmu sakit hati."

Jasmine nampak kecewa mendengar petuah Bruce. Ia tidak suka dikasihani ataupun dinasihati mengenai pilihan terbaik untuk hidupnya. Bruce tidak tahu apa-apa! Pria itu bahkan tak pernah mengerti seberat apa hidup Jasmine selama ini! Berani sekali ia menyuruh Jasmine berhenti.

"Aku tidak akan pernah berhenti mengejar Se-hun sampai nyawaku melayang. Ingat itu."


TO BE CONTINUED

Continue Reading

You'll Also Like

47.5K 7K 18
Renjun mengalami sebuah insiden kecelakaan yang membawa raganya terjebak di dalam mobil, terjun bebas ke dalam laut karena kehilangan kendali. Sialny...
131K 21.8K 41
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
47K 4.6K 62
Kisah fiksi mengenai kehidupan pernikahan seorang Mayor Teddy, Abdi Negara. Yang menikahi seseorang demi memenuhi keinginan keluarganya dan meneruska...
350K 26.4K 54
Renner dan Sabila, dua orang dengan profesi berbeda yang menguras tenaga- seorang kapten polisi dan dokter emergensi, bertemu dalam sebuah keadaan ya...