What Makes You Fall In Love (...

By beestinson

304K 21.3K 243

Henry hanya mengenal Stacy sebagai gadis pengacau yang merusak malam penuh gairahnya bersama seseorang. Tapi... More

An Interview
Prolog
Satu
Dua (2.1)
DUA (2.2)
DUA (2.3)
TIGA (3.1)
TIGA (3.2)
EMPAT (4.1)
EMPAT (4.2)
LIMA
ENAM (6.1)
ENAM (6.2)
TUJUH
DELAPAN (8.2)
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS

DELAPAN (8.1)

13.1K 910 19
By beestinson

Babak Kedelapan
Mungkin teriakanmu akan lebih baik daripada ciuman-ciuman memabukan itu
(Masih Stacy Connor)


Marilyn memiliki akses yang bebas untuk melalui setiap pintu rumah putranya. Memergoki Henry Peterson di ranjang dengan wanita yang berbeda setiap paginya menjadi hal yang lumrah bagi Marilyn, itu sebelum putranya memutuskan untuk menikah. Jadi hari ini ia berdoa agar Henry tidur sendirian tanpa ada wanita di sisinya, kecuali Stacy.

Suara khas Marilyn menyapa setiap pelayan di rumah Henry menjadi keributan tersendiri setiap wanita tua itu berkunjung. Tempat yang dituju pertama kali sudah tentu kamar putranya. Tanpa mengetuk ia membuka pintu kamar itu lebar-lebar lalu menarik tirai kamarnya hingga terbuka dan cahaya membanjiri tubuh pria itu.

Henry yang sedang terlelap sontak mengerang kesal karena terganggu oleh silaunya sinar matahari. Ia menutup matanya dengan telapak tangan lalu mengubah posisi menjadi duduk. Selimutnya ia tarik sampai sebatas pinggang karena ia tidak menggunakan apapun di baliknya.

"Mama, please, sopan santunnya." erang pria itu kesal.

Tapi Marilyn berdiri di ujung tempat tidur sambil bertolak pinggang menatap putranya dengan wajah masam.

"Kau akan segera menikah, anakku. Seharusnya kau berlatih untuk tidak tidur dengan wanita selain istrimu. Apakah Stacy tidak cukup memuaskanmu?"

Henry mengeryitkan dahi di wajah mengantuknya, "Kau bicara apa? Aku tidur sendiri, Mama."

Marilyn berjalan ke arah lemari dan menarik pintunya hingga terbuka lebar. Terdengar tarikan napas pendek seorang wanita dari dalam sana.

"Keluarlah, Nak." perintah Marilyn pada wanita itu, "kau bisa mati kehabisan napas atau kedinginan karena telanjang di sana."

Beberapa menit sebelum Marilyn membuat keributan di bawah, Henry telah membangunkan wanitanya lebih dulu. Namanya Nina dan dia adalah salah satu pengunjung galeri Sandree. Kemarin, ketika Stacy berkutat dengan urusan wanita di kamar mandi, Henry tidak sengaja bertemu Nina, mereka berbincang singkat dan saling menukar nomor ponsel. Nina mengenal Henry karena mereka pernah menghadiri pesta yang sama. Nina juga seorang calon mempelai wanita yang sedang fitting baju pengantin sama seperti Henry.

Beberapa hari mereka berkomunikasi via aplikasi akhirnya Henry mendapat kesempatan membawa wanita itu ke rumahnya. Apalagi kalau bukan untuk bersenang-senang.

Mendengar suara langkah ibunya yang kian mendekat, ia meminta Nina bersembunyi dimana pun, wanita itu panik dan berlari-tanpa sempat memungut pakaiannya-bersembunyi di lemari. Pilihan bodoh.

Kemudian Henry berpura-pura tidur hingga akhirnya Marilyn berhasil membongkar segalanya.

"Pulanglah, jangan temui putraku lagi karena dia akan menikah." ujar Marilyn santai.

"Oh, aku juga akan menikah, Mam." gerutu Nina sambil menarik celana dalamnya ke atas.

Ia mendapat hadiah tatapan jijik dari Marilyn, "Kalau begitu jaga selangkanganmu untuk suamimu seorang."

Wanita itu terenyak, tangannya berhenti memakaikan gaun di tubuhnya. Sementara Henry memohon pada ibunya, "Mama, itu tadi terlalu kasar."

Tapi Marilyn tak mengacuhkannya, ia berjalan ke arah jendela sambil bergumam. "Sebentar lagi Stacy tiba," ia melirik arlojinya kemudian menoleh pada Nina yang kembali sibuk membenahi tatanan rambutnya. "Sebaiknya kau bergegas, Miss. Aku tidak ingin kau bertemu calon menantuku."

Henry menyela heran, "Mengapa Stacy datang kemari, Mama?"

"Dia akan tinggal di sini." Jawabnya santai.

Henry terkejut, "Apa? Tapi-"

"Kalian akan menikah, bukankah lebih baik jika Stacy tinggal di sini sehingga kau bisa menidurinya saja dan bukannya perempuan lain?"

Kemudian terdengar suara pintu dibanting tertutup. Nina baru saja pergi dan sepertinya sedang marah besar. Henry memijat pelipisnya pasrah.

"Itu dia." Marilyn mengawasi dari jendela kamar Henry ke arah pekarangan depan. Sebuah mobil sedan yang membawa Stacy berhenti di sana. "Aku sudah berpesan pada pelayanmu agar membawa Stacy ke atas."

Henry terkekeh geli dengan tingkah ibunya yang kekanak-kanakan tapi ia tidak protes. Rupanya Marilyn tidak sabar hanya dengan menunggu di atas, ia bergegas turun untuk menyusul gadis itu.

"Dia tidak mau dibawa ke atas, Mam." kata pelayan Henry yang bertubuh gemuk dan pendek-Jemima. Pelayan yang Henry pertahankan karena kemampuannya menghabiskan makanan hingga tak bersisa sedikit pun. Walau hidup Henry lebih dari kata berkecukupan namun ia tetap merasa berdosa jika menyisakan makanan untuk dibuang.

"Kemarilah, Nak." Marilyn masih berdiri di puncak tangga ketika meminta Stacy mengikutinya.

Gadis itu mengikutinya walau ragu sampai ke puncak tangga. "Henry masih tidur. Belajar untuk membangunkannya, dia agak sulit dibangunkan di hari libur." katanya, "aku akan memeriksa apakah pelayan sudah menyiapkan sarapan untuk kita." kemudian wanita itu menuruni tangga meninggalkan Stacy berdiri canggung sendirian. Sebelumnya ia sudah pernah tidur di kamar ini walau ia tidak ingat bagaimana caranya sampai, ia mabuk saat itu. Tapi dalam keadaan sadar rasanya sulit untuk masuk ke kandang buaya.

Akhirnya ia melangkahkan kaki menuju kamar yang pintunya terbuka lalu masuk ke dalam. Ia dibuat kagum oleh interior kamar Henry yang elegan, minimalis namun siapapun bisa menebak bahwa harganya tidaklah murah. Kemarin ia terlalu marah untuk menyadari suasana di dalam kamar karena Henry menidurinya saat ia sedang teler.

Ia melangkah terus ke dalam melewati kamar mandi pribadi Henry ke arah jendela yang tadi dibuka oleh Marilyn. Ia tersenyum melihat seorang pelayan menurunkan kopernya sementara seorang lagi mencari apa yang bisa ia bawa. Padahal Stacy hanya membawa satu buah koper usang yang ia beli di pasar barang bekas.

"Apa yang lucu?"

Suara Henry membuatnya melompat mundur, ia terkejut sambil memegang dadanya yang berdebar. "Kau ada di sana rupanya."

Ia mematung ketika menyadari separuh tubuh Henry tertutup selimut dan pria itu berbaring santai di tengah ranjang. Stacy menemukan kesadarannya kembali dan berusaha bersikap biasa dengan keadaan Henry yang... telanjang. Bukankah mereka pernah bercinta? Seharusnya Stacy tidak merasa canggung, tapi tetap saja ia tidak terbiasa dengan keadaan ini.

Ia memungut pakaian Henry lalu menyerahkannya pada pria itu. Ia mengernyit bingung ketika sebuah bra tersangkut di antara pakaian itu.

"Milik wanita tadi ya?"

Henry terbelalak melihat pakaian dalam wanita tertinggal di kamarnya. Itu berarti Nina...

"Aku akan kembalikan padanya nanti." ia menyimpan bra itu di laci meja nakasnya.

"Agar bisa mengajaknya bercinta lagi?" Stacy menaikan satu alisnya dengan jahil dan Henry terkekeh malu.

Pembicaraan yang aneh untuk pasangan yang akan menikah. Seharusnya Stacy marah habis-habisan karena mendapati calon suaminya tidur dengan wanita lain. Tapi nyatanya mereka justru saling menggoda seperti sepasang partner kriminal.

"Jadi mengapa Mama memintamu tinggal di sini?"

Stacy melirik ranjang itu lalu duduk di tepinya. "Entahlah, mungkin Ibumu tidak terbiasa melihat calon menantunya dikelilingi gelandangan dan pengemis."

Henry mencerna alasan itu lalu mengangguk, "Ya, rumahmu memang di daerah kumuh."

"Tapi ibumu cukup sadar bahwa dimana pun kami berada selalu ada anak jalanan yang mengikuti."

"Memangnya mengapa mereka mengikutimu?"

"Mereka temanku, itu saja. Aku sudah menjelaskannya pada ibumu namun ia tidak percaya dan memintaku untuk pindah kemari." Stacy memandang Henry yang tampak sedang terjebak dalam pikirannya, "Tenang saja, aku akan meninggalkan barang-barangku di sini tapi aku akan pulang ke rumah."

Henry langsung menatap lurus ke arah gadis itu, raut wajahnya melembut. "Tidak. Kau boleh tinggal di sini, kau bisa menempati salah satu kamar dan kita tak akan pernah bertemu saking luasnya rumah ini."

Stacy tersenyum kecil, "Aku tidak akan mengganggumu. Termasuk aktivitas ranjangmu. Aku janji."

"Oh, akan lebih baik jika kau beraktivitas di ranjang bersamaku." ia mengerling nakal lalu menarik tubuh kurus itu ke tengah ranjang.

"Hey, apa yang kau lakukan?" Stacy memekik geli ketika Henry menggelitik pinggangnya. Ia membalas pria itu dengan mencubit puting Henry membuat pria itu memberengut kesal. Ia menangkap tangan kecil itu dan menahannya di samping kepala Stacy.

"Gadis kurang ajar." geramnya.

Sorot mata Henry menghangat membuat pandangan Stacy terperangkap di dalamnya. Henry berada di atas tubuhnya tanpa sehelai benang dan gadis itu lupa sama sekali.

"Oh, Tuhan!" Marilyn berseru malas, "kalian-"

"Mama bisa tinggalkan kami?" pinta Henry. Stacy sendiri terdiam tidak berontak. Seorang kekasih tidak mungkin mendorong yang lain menjauh, kan?

Marilyn mengangkat kedua tangannya pasrah, "Pastikan untuk selalu gunakan pengaman, kita tidak ingin kecelakaan terulang lagi."

"Akan kuingat, sekarang tolong keluar!" pinta putranya lagi.

"Ok, tapi bisakah kau-"

"Mama!" sela Henry tegas, "please!"

Akhirnya Marilyn menyerah dan keluar dari kamar, meninggalkan mereka dengan pintu tertutup.

Henry kembali berpaling pada gadis di bawahnya, mereka beradu pandang sejenak hingga aktivitas itu terasa canggung. Henry duduk dan menarik gadis itu duduk bersamanya. Ia menyelipkan rambut Stacy ke balik telinga lalu menepuk pipinya seperti memperlakukan anak kecil.

Stacy tersenyum, tapi kemudian ia memalingkan wajah. "Tutup itu." ia menunjuk ke selangkangan Henry. Pria itu melompat turun dari ranjang, mengambil pakaiannya lalu menghilang ke kamar mandi.

Setelah beberapa saat pria itu keluar bertelanjang dada, hanya menggunakan celana jins sambil mengacak rambutnya sendiri. Kemudian tangannya terangkat untuk mengacak rambut gadis itu.

"Hey-" protes gadis itu.

"Kita buat ibuku percaya, oke?" setelah Stacy mengangguk setuju, Henry membuka dua kancing baju teratas Stacy. Gadis itu menggunakan stoking di bawah rok mininya sehingga Henry memintanya untuk melepas itu juga.

"Sempurna," ia puas dengan hasil kerjanya, "ayo kita turun untuk sarapan bersama."

Stacy mengangguk lalu mengikuti pria itu, "Jadi apakah aku seperti ini ketika kita selesai bercinta malam itu?"

Henry berhenti melangkah seketika, ia menoleh pada gadis itu dengan dahi berkerut, "Hm...lebih buruk dari ini."

Stacy mendesah pelan, "Sialan! Aku tidak ingat sama sekali."

Henry mendapatkan panggilan telepon sehingga Stacy pergi lebih dulu bergabung dengan Marilyn untuk sarapan. Ia bingung dengan cara wanita itu menatapnya. Ia berusaha mengabaikannya dengan mengambil sepotong roti panggang kemudian mengoles selapis mentega lalu memakannya. Marilyn masih memberinya pandangan itu, sorot mata jahil.

"Apakah aku akan segera mendapatkan cucu?"

Pertanyaan Marilyn yang tiba-tiba membuat Stacy tersedak. Ia terbatuk keras sehingga butuh bantuan air yang banyak.

"Sepertinya belum-, Mam." ia menjawab dengan terbata-bata.

Henry datang menyusul mereka, ia mencium bibir gadis itu sekilas sebelum mengambil tempat di sisinya. Marilyn kembali mengulas senyum itu namun kali ini ditujukan pada Henry.

"Kalau begitu biarkan aku bertanya padamu saja."

"Soal apa?" Henry menatap ibunya.

"Aku bertanya pada Stacy, apakah aku akan segera mendapatkan cucu."

"Dan dia menjawab?"

"Belum. Menurutmu?"

Henry tidak langsung menjawab membuat suasana dingin mencekam. Pria itu menikmati raut wajah tidak sabar dari kedua orang di meja makan itu.

"Sepertinya...kau akan mendapatkan cucu." akhirnya ia menjawab.

Stacy tercengang, tubuhnya mematung sambil menatap pria itu. Senyum lebar di wajah Henry berhasil membangkitkan amarahnya, ia menatap nyalang padanya lalu bergumam pelan.

"Kau bilang semuanya aman."

"Ya, semua aman." Henry mengangguk, "Kita akan menikah sebentar lagi, hamil bukan masalah buatmu, kan?"

"Tapi Hen-" ia memijat pelipisnya, "kita sudah bicarakan itu."

Henry menangkup satu pipi Stacy lalu memandang ke dalam matanya yang cemas. "Jangan khawatir, Sayang." ia mengecup bibir Stacy lama lalu kembali makan. Jelas gadis itu kehilangan selera makannya.

Segera setelah mobil Marilyn meninggalkan pelataran rumah itu, Stacy mengambil jaket dan uang lalu buru-buru pergi. Henry sigap menangkap tangannya menahan gadis itu tetap di dalam rumah.

"Lepas! Aku harus membeli alat tes." ia menarik tangannya.

"Tenang dulu, Stacy. Jika memang kau hanya bercinta denganku, kau tidak perlu khawatir karena aku tidak menghamilimu. Aku jamin itu."

"Tapi tadi?"

"Hanya untuk membuat ibuku senang."

Stacy menghembuskan napas lega, "Lain kali tolong berdiskusi terlebih dahulu denganku agar aku tidak panik." tapi gadis itu tetap pergi.

Ia sedang duduk di depan sebuah toko kue yang selalu ia kunjungi setidaknya sebulan sekali untuk membeli sepotong Red Velvet. Namun rupanya keberuntungan tidak berpihak padanya, toko itu libur tanpa pemberitahuan. Stacy memandangi pintunya yang sempit dan membayangkan jika Jemima akan kesulitan melewatinya.

Stacy menyugar rambutnya yang ditiup hembusan angin semilir. Henry telah membolak-balikan hatinya, oh, tidak. Henry telah mempermainkannya. Stacy harus lebih waspada akan pesonanya yang liar dan seenaknya sendiri. Ia tidak akan sekalipun memberikan hatinya pada pria itu.

Kaleng soda di tangannya sudah hampir kosong ketika datang seorang nenek tua bungkuk yang duduk di sisinya. Wanita itu tidak menoleh padanya barang sedikit pun, ia juga mendongakan wajah keriput ke arah papan nama toko kue bertuliskan Sugar Plum.

"Dia tidak akan setuju kau menikah dengan taipan itu. Dia tahu kalian menikah hanya demi memuluskan rencana pria itu."

"Kalau begitu katakan padanya untuk tidak ikut campur dengan urusanku."

"Kau tidak akan bahagia dengannya. Dia ingin kau datang ke rumah dan dia akan carikan pria yang cocok untukmu."

"Aku sudah menemukan pria yang cocok. Aku tidak ingin pernikahanku dihalangi."

Wanita tua itu mengangguk, tanpa bicara lagi dia berdiri dan pergi. Stacy masih memandangi pintu Sugar Plum dan sadar bahwa ia tidak mendapatkan yang ia inginkan, tapi ia mendapatkan apa yang ia butuhkan.

***

Henry tidak dapat menyembunyikan kekesalan pada pria di hadapannya. Meskipun memiliki paras tampan dan nyaris cantik serta terlihat seperti salah satu pangeran Greatern, namun Henry tidak akan merasa terintimidasi sedikit pun. Baginya, pria ini adalah biang onar yang mengacaukan produksinya.

"Jangan buang waktuku, aku adalah pria yang sangat sibuk." ujar Keenan Aldrich. Pengusaha muda misterius yang tidak jelas asal usulnya itu dikawal oleh organisasi mafia jaringan bawah tanah. Enam bulan terakhir ia melakukan pembelian bahan baku kimia dalam jumlah besar untuk diekspor sehingga Superfosfat kehilangan sumber penyedia bahan baku kimia.

Henry menautkan kedua tangannya di atas meja. "Kau memonopoli pembelian kalium murni dari seluruh perusahaan yang ada di negara ini."

Keenan bersandar menunjukan kuasanya, "Karena aku mampu."

"Salah. Kau membeli dengan harga lebih rendah dari harga kami."

"Aku membeli dalam jumlah banyak wajar saja jika mereka memberi harga yang murah padaku."

"Memangnya kau pikir Superfosfat hanya membeli dalam kisaran kilogram?" ia mendengus sinis, "Kau mengancam stabilitas kerja mereka, kan?" kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke depan lalu berkata dengan suara rendah, "Mafiamu tersebar dimana-mana."

Keenan tidak terkejut mendengar Henry telah mengetahui caranya bekerja. "Ini bisnis, Peterson. Terkadang kita harus selangkah lebih cerdas untuk menjadi pemenang."

Henry mengangguk, "Lebih cerdas, bukan lebih licik. Aku bisa saja mengimpor kalium dari negara lain namun itu berarti aku menyalahi perjanjian dengan pemerintah. Seperti yang kau tahu Superfosfat menyatu dengan pemerintah, kami mendayagunakan hasil tambang dalam negeri untuk kesejahteraan rakyat Greatern. Tapi kau mengacaukannya, kau mengekspor seluruhnya dan perusahaanku menderita kerugian miliaran hanya dalam hitungan hari karena tidak bisa berproduksi."

"Aku turut prihatin, seharusnya kau lebih jeli saat menyepakati MOU dengan pemerintah. Bayangkan saja jika tambang kalium di negara kita menipis bahkan habis. Perusahaanmu akan jatuh bangkrut."

"Jika itu terjadi, negara mengijinkan kami untuk impor. Sayangnya hal itu baru akan terjadi puluhan tahun lagi."

"Aku sangat ingin berbagi kimia itu denganmu, tapi pelangganku di luar negeri telah menunggu. Kalium hasil pemurnian negara kita adalah yang terbaik dan mereka puas. Aku tidak bisa mengambil dari negara lain."

"Oke!" Henry diliputi emosi yang memuncak, "aku akan adukan ini pada parlemen dan kita akan lihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ingat, kami adalah perusahaan swasta yang dikawal oleh pemerintah."

Keenan menegadahkan satu tangannya dengan santai, "Silahkan saja."

Henry meninggalkan ruang kerja mewah Keenan Aldrich dengan wajah merah padam. Henry tak habis pikir dengan nyali Keenan, tentu saja pria muda itu bukan orang yang bodoh sehingga tidak tahu menahu soal Superfosfat Enterprise (SE). Hubungan Superfosfat Enterprise dengan pemerintah adalah simbiosis mutualisme, yang mana jika terjadi sesuatu pada tubuh Superfosfat Enterprise maka imbasnya akan dirasakan oleh masyarakat Greatern khususnya petani yang menggunakan produk mereka. Dibawah perlindungan parlemen Henry akan menyerang Keenan Aldrich beserta organisasi mafia bawah tanahnya, Bernadio Alonso.

Tidak seperti taipan lain, Henry Peterson lebih suka mengendarai mobil sportnya sendirian dan berkesempatan ugal-ugalan di jalan tol. Beberapa kali mendapat surat tilang tidak membuat pria itu jera. Hari ini ia akan mengulanginya lagi karena hatinya sedang panas, kepalanya seperti mau pecah.

Ia melemparkan jas mahalnya ke jok samping, lalu menarik lepas dasi yang membelenggu lehernya. Kedua lengannya digulung hingga sebatas siku kemudian ia mengencangkan sabuk pengamannya. Setelah memastikan bahan bakarnya dalam posisi aman, ia menyalakan mesin mobilnya, menunggu hingga panas, sepanas hatinya.

Saat itulah ponselnya berdering nyaring. "Brengsek!" ia memaki sambil memukul setirnya sendiri. Ia lupa mematikan ponselnya lagi, satu panggilan yang tidak bisa ia abaikan adalah dari Marilyn, ibunya. Dan kini bertambah satu panggilan lagi yang tidak mungkin ia abaikan, Stacy Connor, calon istrinya.

Henry menggenggam ponselnya kuat-kuat berharap benda itu remuk, tapi itu sia-sia mengingat bahwa ponsel yang ia beli secara inden itu memiliki ketahanan super bahkan dilindas ban mobil sekalipun. Akhirnya ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan.

"Jangan membentakku!" adalah kalimat pertama yang Henry dapatkan setelah menekan tombol jawab.

"Ada apa, baby?" walau demikian nadanya sarkas membuat Stacy mendengus sinis.

"Ibumu menjadwalkan pemotretan prewedding, jika kau ingin menolak akan lebih baik jika mengatakannya langsung padanya karena usulanku untuk meniadakan pemotretan prewedding ditolak mentah-mentah."

Terdengar tawa mencemooh dari mulut Henry, "Memangnya mengapa kita harus menolaknya?"

"Karena aku tahu kau tidak menyukainya, aku juga tidak melihat perlunya hal itu untuk pernikahan kontrak kita."

"Cerdas sekali." pujiannya terdengar tulus, "Tidak salah aku memilihmu menjadi partner in crime-ku."

"Jadi?"

"Aku akan segera meluncur ke lokasi pemotretan, kirim alamatnya."

"Kau setuju?" Stacy terdengar bingung sekaligus tidak percaya.

"Mengapa tidak? Menikahi Stacy Connor hanya akan terjadi sekali dalam hidupku, mari kita buat ini seolah nyata. Nikmatilah waktumu Cinderella!" ujar Henry sinis sebelum menutup teleponnya sepihak.

Dahi mulus Stacy berkerut memandangi layar ponselnya. Mengapa pria itu menumpahkan kekesalannya pada Stacy?

Perias baru saja memulas lipstik glossy untuk menyempurnakan penampilan Stacy ketika Henry yang berantakan tiba di lokasi pemotretan. Tidak perlu ditanya bagaimana suasana hatinya saat ini karena itu jelas terpancar dari wajahnya yang masam. Apa melakukan sandiwara ini begitu berat untuk Henry? Bukankah dia yang mengusulkan semua ini?

Pria itu melewati Stacy begitu saja menuju ruang ganti. Stacy dapat merasakan periasnya keheranan melihat sikap Henry karena ia berhenti membedaki pipi Stacy dan terpaku melihat Henry lenyap di bilik itu.

Stacy berdeham memanggil wanita itu kembali, "Pekerjaannya sedang tidak berjalan dengan baik." ujar Stacy dan wanita itu terlihat berusaha mengulas senyum lalu kembali memberi sentuhan terakhir pada gadis itu.

Gadis itu duduk diam menunggu Henry di lokasi, ia berusaha untuk tidak mencampuri urusan calon suaminya. Ia tidak akan bertanya karena perjanjian mereka tidak sampai di sana. Tangan Stacy mengepal erat ketika melihat Henry menghampirinya. Walau alisnya masih bertaut, penampilan pria itu sepenuhnya berubah. Ia menanggalkan semua pakaiannya yang berantakan, seolah menggunakan pakaian ajaib, kini pria itu terlihat amat sangat rupawan.

Stacy tidak menyadari bahwa matanya membelalak terlalu lama ke arah pria itu hingga terasa perih. Henry mengulas senyum miring menggoda lalu merunduk untuk mencium bibir Stacy. Saat itulah ia merasakan sengatan dari tindakan spontan Henry. Biasanya ciuman pria itu tidak memiliki efek kejut, tapi kali ini...Stacy dalam bahaya.

Gadis polos itu masih merasa pusing karena ciuman Henry, kelopak matanya sayu terpaku pada pria itu dengan bibir berkilau setengah terbuka. Henry tersenyum lembut lalu menciumnya lagi sedikit lebih lama. Sekujur tubuh Stacy meremang merasakan aliran listrik menyebar sampai di antara kedua pahanya.

Juru potret mengabadikan momen itu berulangkali, tampak begitu natural dan mahal. Henry menatap gadis itu lalu menyentuh sudut mulutnya, "Caramu memandangku hampir membuatku percaya bahwa aku sangat mengagumkan padahal aku hanya pria brengsek."

Stacy mengerjap cepat lalu menunduk malu, menyembunyikan wajah merahnya sambil menangkup bibirnya sendiri. Momen itu juga tidak luput dari tangkapan juru foto.

"Kita bahkan memulai sebelum kata 'mulai' disebutkan." Dyon, juru foto yang disewa Marilyn menginterupsi mereka. "Kita tidak akan mengambil waktu lama untuk pemotretan ini, kalian begitu serasi."

Namun Stacy dan Henry membuktikan bahwa pujian Dyon salah besar. Ketika mengikuti instruksi pengarah gaya mereka kehilangan pancaran tadi, tidak ada cinta, kaku, dan terlihat dibuat-buat. Dyon terlihat bekerja begitu keras mengambil sudut terbaik agar hasilnya sempurna namun tetap saja, seolah tembok Cina memisahkan pasangan itu.

"Kita istirahat sebentar." pinta Dyon putus asa sebelum berlalu dari sana.

Stacy melihat pria atletis itu menjauh lalu menoleh pada Henry, "Sepertinya hasilnya tidak bagus. Dia terlihat putus asa."

Henry mengangguk, "Hm, itu semua karenamu." ia berbalik meninggalkan gadis itu mematung seperti orang bodoh.

Stacy mengekor pada pria itu diiringi kicauan protes kerasnya. "Pemotretan ini kita lakukan bersama, bagaimana bisa hanya aku yang salah di sini? Jika kau sadar, alismu bertaut sepanjang Dyon memotret."

Henry berhenti tiba-tiba dan menoleh pada gadis itu membuat wajah Stacy hampir menabrak wajahnya. "Oh, ya? Dan siapa yang pandangannya kosong seperti orang linglung?"

"Sepertinya kau sedang menimpakan semua kekesalanmu padaku." tuduhan Stacy telak, "Jika memang kau profesional, tidak seharusnya urusan kantormu yang pelik kau campur adukan dengan urusan kita."

Profesional adalah kata yang sangat sensitif bagi Henry. Ia murka jika ada orang yang meragukan profesionalitasnya. "Jangan coba-coba menilaiku jika kau sendiri tidak mengenalku sedikitpun." raung Henry, membuat perias, kru penata cahaya bahkan Dyon terkejut dan memperhatikan mereka.

Namun Stacy tidak gentar sedikit pun, ia mendekatkan wajah mereka lalu berdesis pelan, "Hubungan diantara kita terjadi secara profesional. Dan kau baru saja membuktikan bahwa kau tidak profesional." gadis itu berbalik meninggalkan Henry yang tertohok.

Kalimat itu tidak jauh beda dengan ludah atau tamparan di pipinya. Hatinya masih panas oleh seorang Aldrich dan kini Stacy mengusik ego seorang Peterson, tidak seorang wanita pun boleh melakukan ini padanya terlebih wanita yang bersedia melakukan apapun demi uang. Menurutnya Stacy lebih rendah dari wanita yang menjajakan kenikmatan di klub-klub malam.

Ia menyentakan pergelangan tangan gadis itu dari belakang hingga menghentikan langkahnya. Namun Stacy menarik tangannya dan mendorong dada pria itu menjauh. Oh, sayang Stacy tidak menyadari kobaran api di mata Henry. Api yang tidak pernah muncul sejak bertahun-tahun lamanya. Henry selalu terkendali dan kendali itu lepas karena gadis lancang ini.

Henry menangkap pinggangnya dengan kedua tangan lalu memerangkap gadis itu pada tembok. Ia menekan tubuh kurus Stacy dengan tubuhnya sendiri dan puas melihat sorot mata berani Stacy berubah menjadi seperti kelinci yang ketakutan.

"Kau mengusik egoku, Stacy. Ini berbahaya, aku sudah membelimu dan aku berhak melakukan apapun padamu." ancaman itu ditutup dengan ciuman kasar yang Henry paksakan pada Stacy. Gadis itu meronta hebat berusaha mendorong tubuh itu menjauh namun Henry tidak bergerak sedikitpun.

Setiap gerakan Stacy segera ditahan oleh pria itu sepenuhnya hingga mahkota di kepalanya jatuh ke tanah. Napas gadis itu semakin cepat karena air matanya akan segera muncul. Ia lelah meronta lantas pasrah bibirnya dilumat oleh pria itu dengan gelap mata. Satu persatu bulir air mata jatuh di pipinya tapi Henry masih tidak menyadarinya.

Merasakan gadis itu diam mematung membuat Henry menyudahi ciumannya walau ia masih menghimpit tubuhnya. Stacy tidak ingin membalas tatapan tajam Henry, ia menyandarkan kepalanya pada tembok dan memalingkan wajahnya jauh ke samping. Air mata semakin deras membasahi pipi merah Stacy, kini wajahnya berantakan total.

Kobaran api di mata Henry padam seketika. Ia menghembuskan napas besar lalu menyandarkan dahinya di pundak telanjang Stacy, "Maafkan aku, Stacy." gumamnya penuh sesal, "aku lepas kendali, urusan kantor membuatku gila. Tadinya aku ingin memacu mobilku di jalan tol dan mempertaruhkan keberuntunganku, tapi kau menelepon dan kekesalan itu kutimpakan padamu."

Tanpa mengubah posisinya yang seperti martir Stacy berkata pelan, "Mungkin sebaiknya kita batalkan saja kerjasama ini. Aku akan mencari uang untuk menebus panti asuhan itu."

Henry masih belum mengangkat kepalanya dari pundak Stacy, ia menggeleng pelan. "Jangan. Kumohon jangan. Aku berjanji tidak akan menyakitimu lagi. Aku tidak yakin ada wanita sekuat dirimu untuk tugas ini..." ah, lagi-lagi Henry hanya membutuhkannya sebagai perisai baja.

Stacy menelan pahit itu namun tidak menolak, benaknya masih belum menemukan cara membayar pria itu atas Little Sunny.

Henry menegakan kepalanya, ia menyentuh dagu Stacy dan mengarahkan wajah gadis itu kepadanya. Kemudian ia mengecup pelan keningnya lalu berujar maaf sekali lagi.

"Maaf..."

Stacy mengangguk sambil memejamkan matanya merasakan bibir Henry di kulitnya. Ibu jari Henry menghapus jejak air mata di pipi Stacy dan perlahan ia mencium bibir gadis itu lagi sambil menangkup wajah mungilnya. Tangan Stacy berpegangan pada pinggangnya. Henry tidak tahu saja bahwa ia sedang mengacaukan perasaan Stacy.

Bunyi gemerisik menyudahi momen emosional itu. Keduanya menoleh ke samping dan mendapati Dyon memanjat tumpukan kursi berusaha mengabadikan momen mereka sementara dua orang asistennya menahan bangku-bangku itu sekuat tenaga.

Tubuh Dyon dipenuhi debu, daun kering menghiasi rambut cepaknya, dan kaos putih itu berubah kecoklatan. Rupanya sedari tadi ia mengabadikan pertengkaran keduanya, dimulai dari adu verbal, adu fisik, hingga berdamai.

"Masterpiece." Cetus Dyon sambil mengabadikan momen terakhir dimana keduanya tersenyum lebar ke arah kamera.

"Kerja kerasmu akan dibayar lebih, Dyon." ujar Henry tegas.

Dyon turun dengan hati-hati dari tumpukan kursi, "Akan kukirim file mentahnya ke emailmu nanti malam."

Setelah itu mereka tidak membahas apapun soal ciuman atau pertengkaran. Bahkan sampai di mobil pun Stacy masih belum berani memandang langsung ke mata Henry. Mereka berkendara dalam diam pulang ke rumah.

Audi hitam yang tidak asing terparkir di halaman rumahnya. Itu mobil Royce dan angin apa yang membawa pria itu kemari. Stacy turun lebih dulu tanpa meninggalkan sepatah kata pun pada Henry. Ia hanya memandang tubuh gadis itu menjauh.

Stacy tertegun melihat pria berambut hitam itu berada di dalam rumah Henry sendirian. Ternyata jantungnya masih berdebar riang ketika melihat pria itu sekalipun Royce telah menjadi suami Sara.

"Hai!" sapa Stacy pelan sembari melangkah mendekati pria itu.

"Stacy." Royce mengangguk, "kau baik-baik saja?" tanya Royce setelah menilik wajah Stacy.

"Oh-" tangan Stacy terangkat menangkup pipinya sendiri, "aku baru saja selesai pemotretan prewedding dengan Henry."

Royce menatapnya dengan cara yang sulit diterjemahkan, "Kebohongan apa lagi yang kau mainkan, Stacy? Sadarkah bahwa kau telah menjerumuskan dirimu pada dunia yang rumit? Tidak seharusnya kau berada disini."

"Ini sudah menjadi pilihanku." jawab Stacy tersinggung, "Aku jatuh cinta padamu..." gadis itu tidak dapat menahan lidahnya untuk diam, "bahkan hingga detik ini, perasaan itu belum lenyap sepenuhnya. Aku membohongi diri bahwa aku berbahagia untuk kalian, aku bahagia melihat senyummu, senyum yang kau berikan untuk Sara-"

"Stacy, tapi aku-"

"...padahal aku patah hati. Kau pria pertama yang mengacaukan perasaanku, kau pangeran yang menyelamatkanku. Tapi kau juga yang meredupkan harapanku."

"Aku tidak tahu kau memiliki rasa itu."

"Ciumanmu malam itu masih kuingat dengan jelas. Aku masih ingat segalanya-"

"Lalu bagaimana dengan Henry?"

"Kalian berada di wilayah yang berbeda. Aku tidak tahu dimana tepatnya dia, tapi kau disini-" ia menusuk dadanya sendiri dengan telunjuk, "kau mengambil tempat yang terlalu banyak dalam hatiku. Sulit bagiku melupakanmu."

"Jika benar demikian seharusnya kau menjauh dari keluarga Peterson, kau tahu selama kau ada di keluarga ini kita akan selalu bertemu. Dan sekali lagi, aku tidak akan berpaling dari Sara sedikit pun. Sebaiknya kau membebaskan dirimu selagi bisa."

"Kau berhasil menguasai hatiku tapi kau tidak akan bisa menguasaiku."

"Stacy-" Henry memanggilnya dengan lembut dari belakang. Ia telah mendengar semuanya.

Air mata Stacy hampir saja jatuh ketika ia berbalik ke arah Henry lalu berlari dan merangkul lehernya, menguburkan wajahnya di ceruk leher dan pundak pria itu.

"Maafkan aku..." katanya disela tangis.

Henry membelai rambutnya pelan lalu berbisik di telinganya, "Satu sama, baby. Kumaafkan." ia menangkup pipi Stacy lalu menyeka air matanya, "Tunggu aku di kamar."

Stacy mengangguk lantas berlari mendaki anak tangga menuju kamarnya sendiri.

Henry menoleh pada sepupunya lalu mengedikan bahu, "ruang kerja pribadiku." ia menyerukan instruksi pada Royce.

Royce duduk di salah satu kursi sementara Henry memilih berdiri. Ia tidak terlihat marah, raut wajahnya tidak terbaca.

"Ada apa kemari?" tanya Henry tanpa basa-basi.

"Soal Keenan Aldrich. Tapi setelah kita bahas soal Stacy."

"Stacy adalah urusan pribadiku. Jangan karena kau telah menjadi pria pertama yang menidurinya lantas kau merasa berhak mengatur hidupnya."

Royce tercengang menatap Henry, "Kau belum bercinta dengannya, kan?"

"Sudah, akan kuhapus dirimu darinya. Dia akan mencintaiku dan melupakanmu karena akulah yang akan memberinya keturunan."

"Henry, tapi sepertinya Stacy ber-"

"Cukup soal Stacy." ia mengangkat tangannya menyela Royce, "Sekarang kita bahas soal Aldrich."

Henry menaiki anak tangga, setiap langkahnya terasa amat berat. Ia berjalan melewati kamar Stacy, pintunya terbuka dan gadis itu sedang memandang ke arah jendela, melihat mobil Royce bergerak meninggalkan rumah megah Henry. Kemudian ia berbalik setelah mobil itu menghilang sepenuhnya, ia terkejut melihat Henry di ambang pintu kamarnya.

"Katakan padaku, yang tadi itu nyata, kan?" tanya Henry tanpa emosi.

"..."

"Perasaanmu pada pria itu bukan bagian dari sandiwara kita melainkan kepentingan pribadimu semata, kan?"

"..." Stacy masih tidak menjawab.

"Sadarkah kau bahwa Royce dengan mudah mencurigai hubungan kita, dan jika ia tahu maka kerjasama kita tidak ada artinya dan berakhir."

"Tapi aku tidak mengaku soal perjanjian kita. Dia boleh berpikir bahwa kau adalah pelarianku setelah patah hati." Oh, ya, Henry memang pelarian para wanita yang disakiti Royce. Tapi jika Stacy yang mengatakan itu rasanya ia tidak senang.

"Aku hanya ingin perjanjian ini terjadi di antara kita. Tak seorang pun boleh tahu kecuali dirimu sendiri, begitu pula denganku, perjanjian ini hanya aku yang boleh tahu."

"Aku mengerti isi kontrak kita."

Malam ini Henry ingin tidur dengan nyenyak. Hari terlalu melelahkan baginya, padahal ini hanya pernikahan kontrak dengan istri bayaran. Bagaimana jadinya nanti jika ia memiliki istri yang sesungguhnya? Tapi siapakah yang akan menjadi istrinya?

Terdengar dering notifikasi email pada ponsel pintarnya. Ia mengerang kesal karena lagi-lagi lupa mematikan benda itu. Dengan malas ia memeriksa kotak masuknya dan mendapati file berukuran besar dari Dyon. Sudut bibirnya ditarik membentuk senyum melihat hasil kerja juru foto itu.

Mulai dari saat ketika Stacy tertegun karena ciuman spontan yang ia berikan. Lalu pose yang diarahkan oleh Dyon-semuanya terlihat begitu palsu. Kembali pada perseteruan hebat mereka dan oh...semua itu terlihat sangat nyata. Dyon mengabadikan dari beberapa sudut. Tak ayal ia seperti seorang pria konyol yang sangat memuja gadisnya. Apakah itu dia yang sesungguhnya? Henry menggeleng, tidak! Kalau pun ia memuja seorang wanita sudah pasti itu bukan Stacy, wanita yang bersedia melakukan apa saja demi uang. Henry memiliki sentimen tersendiri terhadap wanita materialistis.

Ia memilih satu gambar paling pantas dimana mereka berdua tersenyum lebar ke arah kamera ketika menyadari Dyon yang berantakan. Senyum Stacy terlihat begitu tulus dan bahagia walau matanya basah. Dengan berat hati ia akui jika gadis itu sangat pandai memainkan perannya. Mungkin Stacy benar, dirinyalah yang kurang profesional di sini. Ia mengirim gambar itu ke ponsel Stacy lalu pergi tidur.

'Anggap saja itu sebagai kenangan.'

Continue Reading

You'll Also Like

10K 434 21
Blurb: Giselle Putri Natapradja, gadis cantik ambisius - seorang konsultan senior yang mengidamkan posisi Partner yang sedang kosong di kantornya Th...
249K 22.9K 50
Kehidupan Alexandra Hewitt yang sederhana berubah rumit ketika sebuah buku meneror teman-teman masa lalunya dengan kutukan yang tertulis di dalamnya...
16.8K 1.2K 20
Mencari jati diri dan takdir yang akan menuntun kehidupannya, itu lah yang sedang di alami oleh Taufan Cyclone. laki laki bermarga Cyclone yang memi...
202K 12.7K 30
Gadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan...