What Makes You Fall In Love (...

By beestinson

304K 21.3K 243

Henry hanya mengenal Stacy sebagai gadis pengacau yang merusak malam penuh gairahnya bersama seseorang. Tapi... More

An Interview
Prolog
Satu
Dua (2.1)
DUA (2.2)
DUA (2.3)
TIGA (3.1)
TIGA (3.2)
EMPAT (4.1)
EMPAT (4.2)
LIMA
ENAM (6.1)
ENAM (6.2)
DELAPAN (8.1)
DELAPAN (8.2)
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS

TUJUH

11.3K 931 5
By beestinson

Babak Ketujuh:
Perang antara kau dan aku sebelum perang antara kita dan mereka.
(Masih Stacy Connor)


Mata berwarna coklat terang itu menatap tajam ke arah layar komputernya. Sesekali bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan memperhatikan deretan angka pada laporan produksi dan pembelanjaan quarter terakhir.

Ia menyandarkan punggungnya, jemari panjangnya mengelus pelan sisa bercukurnya tadi pagi di bagian dagu. Pria itu sedang berpikir keras. Kemudian ia menoleh pada sekretarisnya yang setia.

"Tally, sepertinya ada yang salah di sini. Hubungi bagian operasional, aku butuh Mr Law. Lalu, Mr Button dari bagian purchasing, dan penanggung jawab produksi, Mr Kamal."

"Kau ingin mengumpulkan mereka semua di ruang rapat?"

Henry menggeleng, "Tidak, aku tunggu mereka di sini sekarang juga."

"Apa kau butuh perwakilan dari audit?"

"Hanzel maksudmu?" lalu Tallulah mengangguk, "baiklah, panggil dia juga."

Tallulah bekerja tanpa membuang waktu sedetik pun, itulah yang Henry sukai dari sekretarisnya selain mereka adalah sahabat masa kecil, Henry bersyukur karena tidak sedikit pun berhasrat pada ibu anak satu itu. Dengan demikian ia dapat fokus bekerja.

Henry memandangi satu persatu undangannya yang sudah duduk berjejer di seberang meja. Ia menyodorkan hasil cetak laporan yang ia dapatkan tadi lalu mulai bicara.

"Seharusnya aku mengadakan rapat darurat setelah membaca laporan ini. Tapi aku ingin mendengar alasan kalian sebagai penanggung jawab langsung sebelum yang lainnya dilibatkan untuk berdiskusi." ia mengumumkan, untuk saat ini ia lupakan sejenak persaingannya dengan Hanzel. "Kita mengalami kemerosotan produksi, kita bahkan tidak mampu memenuhi tujuh puluh persen jumlah permintaan yang ada. Apa yang terjadi?"

Pria tambun berkumis tebal itu adalah Button, ia bergerak gelisah di tempat duduknya dengan dahi berkeringat. "Semua bermula dari bagian purchasing, Sir. Kami kesulitan menemukan bahan baku utama kita."

"Bukankah kita bekerjasama dengan empat perusahaan penyedia mineral di negara ini. Bagaimana bisa kita kekurangan?" Henry seperti jaksa penuntut umum di ruang sidang.

"Mereka menjual sebagian besar hasil tambangnya pada sebuah perusahaan baru." jawab Button lagi, walau terdengar menyalahkan orang lain namun itulah fakta yang terjadi di lapangan.

Henry menggaruk alisnya yang tiba-tiba gatal, "Kita sudah membuat perjanjian bahwa mereka harus mengutamakan kita sebelum orang lain. Apa perjanjian itu sudah tidak berarti?"

"Mereka diancam."

"Maksudmu?"

Mr Law angkat bicara, "Menurut desas desus yang kami dapatkan dari lapangan, mereka bekerja di bawah tekanan oleh pembeli barunya." Law menatap Henry, "Apa kau pernah mendengar perusahaan Aldrich and Alonso atau lebih akrab dikenal dengan A&A."

Henry berusaha mengingat nama itu sejenak tapi rupanya ia ketinggalan arus informasi sejak berkutat dengan Stacy. Ia menggeleng, "Aku tidak tahu."

"A&A membeli seluruh persediaan mineral yang kita butuhkan dari keempat penyedia."

"Memangnya mereka bergerak di bidang apa?" Henry tidak habis pikir.

"Mereka hanya mengekspor semuanya ke luar negeri." Mr Law menggeleng pelan.

Henry diam, pandangannya turun ke atas meja kerja yang berantakan. Ia tidak bisa mengancam keempat perusahaan itu karena yang membuat kesepakatan dengan negara adalah Superfosfat, sedangkan mereka bebas menjual hasil tambang kepada siapa saja.

"Kalau begitu aku ingin Anda buat perencanaan baru, jumlah produksi dan efisiensi pegawai, konsultasikan dengan HRD."

"Anda akan melakukan pengurangan pegawai?" keempat pria di hadapan Henry termasuk Hanzel tampak memucat. Sepanjang Superfosfat berdiri belum pernah mereka melakukan pemecatan massal.

"Jika diperlukan." jawab Henry dengan berat hati.

"Tidak bisa!" akhirnya Hanzel angkat bicara, mereka semua baru menyadari ada pria itu kursi paling ujung, "pemecatan massal harus diputuskan melalui rapat, kau tidak bisa memutuskannya sendiri."

"Ada usulan lain untuk kasus ini?" tantang Henry.

Hanzel mengangguk, "Pasti ada. Aku akan diskusikan ini dengan dewan direksi."

Henry menyandarkan punggungnya ke belakang, "Silahkan saja." kemudian ia menoleh pada tiga orang tersisa, "Law, tetap lakukan seperti perintahku barusan. Button coba hubungi penyedia dari negara terdekat, dan Kamal konsultasikan dengan HRD mengenai penghapusan jam lembur. Kalian boleh kembali."

Mereka bertiga berdiri dan keluar dari ruangan dengan tergesa-gesa. Sementara Hanzel masih bersandar di kursinya, tersenyum miring dengan wajah penuh rencana busuk.

"PHK adalah hal yang sensitif dan kau lakukan itu disaat seperti ini?" tanya Hanzel sinis.

"Aku tahu kau akan menunda PHK sampai kau menjadi komisaris. Dan sampai saat itu tiba, perusahaan sudah merugi karena mempekerjakan banyak pegawai dan tidak efisien."

Hanzel berdiri dengan penuh percaya diri, "Itulah gunanya orang-orang praktis sepertimu, menyelesaikan masalah atasannya."

"Aku akan menjadi pemimpin tertinggi di sini dan aku akan menyelesaikan masalah perusahaan ini."

"Maksudmu dengan membayar gadis itu untuk menjadi istrimu saja sudah cukup untuk memperbaiki citra dirimu? Lihat apa yang bisa kulakukan."

"Silahkan urus dirimu sendiri, sebagai pria yang diselingkuhi apa kau sudah cukup tegas untuk ukuran seorang pemimpin?"

Hanzel terlihat berang, ia merunduk di atas meja dengan kedua tangan menopang tubuhnya, matanya melotot marah pada Henry.

"Colin adalah temanmu, kalian sengaja menjebak Shirley dengan skandal video itu."

"Jika memang kami terlibat, kami tidak akan menyuruhnya pergi dari Greatern. Kupikir Shirley menyukainya-sebagai partner seks-kau tidak lihat bagaimana mereka...Ah!" Henry mendesah penuh arti ketika membayangkan skandal video panas tersebut membuat wajah Hanzel semakin merah padam. Pria itu keluar dan membanting pintu kantor Henry hingga tertutup rapat.

Saat itu pula ketenangan Henry mulai surut, ia benar-benar pusing dengan serangan A&A, belum lagi serangan internal dari Hanzel dan juga mungkin saja akan menghadapi kemarahan buruh yang dipecat.

Ia menekan satu tombol di teleponnya dan setelah beberapa saat Tallulah masuk ke dalam.

"Tolong selidiki profil A&A, siapa pemimpinnya, atau foundernya, atau apapun. Sepertinya mereka terdiri dari dua orang. Aku ingin keduanya. Aku ingin cara mereka bekerja." intonasi Henry semakin meninggi, lalu ia menghela napas panjang, "Berikan aku alamat kantor pusatnya."

Tallulah memandanginya sesaat, "Akan kusiapkan semua secepatnya."

***

Henry memacu mobil sportnya sedikit lebih cepat di jalanan kota yang sedang lengang. Benaknya terus aktif memikirkan masalah yang dialami perusahaannya. Setelah memberikan tugas pada beberapa pihak untuk menyelidiki masalah ini di lapangan, sekarang yang harus ia lakukan adalah menunggu dengan sabar. Pria itu tidak bisa duduk diam dan menunggu, rasanya ia ingin terjun sendiri mencari tahu.

Dering ponsel yang nyaring menginterupsi, wajah Stacy terpampang di layar ponselnya dan ia mengabaikannya. Ia sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun. Namun, ponselnya berdering nyaring sekali lagi membuat Henry kehabisan kesabaran.

"Ada perlu apa?" tanya pria itu tidak sabar bahkan ia membentak Stacy.

"Dimana kau?" rupanya gadis itu enggan mengalah, ia balas membentak Henry dengan nada lebih tinggi, "Kau mengabaikan semua pesan singkatku hari ini dan tidak mengangkat teleponku."

"Lantas apa maumu?" Henry konsisten dengan nada tingginya.

"Kau tidak membaca satu pun pesan dariku soal fitting baju pengantin?" tanya Stacy tidak percaya, "Kaupikir aku sedang mengurus pernikahan siapa?"

"Jika yang kau maksud adalah tuksedo, aku memiliki banyak setelan yang belum pernah aku pakai di lemariku."

"Tapi ibumu terlanjur memesan khusus untuk acara ini. Sebaiknya kau datang agar semua ini lebih cepat selesai. Sudah kukirim alamat Elegante, aku tunggu kau sekarang."

"Kaupikir siapa dirimu beraninya memberiku perintah?"

"..." Stacy telah menutup teleponnya membuat Henry semakin mendidih. Ia menekan tombol panggil lalu berteriak setelah Stacy menjawab, "Aku tidak akan datang!" ia memutus teleponnya sepihak.

Stacy sukses membuat harinya semakin buruk setelah urusan kantor tadi. Ketika itu ia hampir saja menabrak seorang pria yang sedang melintasi jalan sambil menggandeng anak perempuannya. Henry menginjak rem penuh dan tubuhnya nyaris membentur setir, beruntung sabuk pengaman menyelamatkannya. Ia menekan klakson panjang membuat anak kecil itu menjerit kaget sementara ayahnya menggerutu menggiring putrinya menepi.

Henry menatap keduanya bergantian dari dalam mobil, setelah ayah dan anak itu berlalu Henry mengusap wajahnya yang lelah lalu menghembuskan napas panjang.

"Ya, Tuhan. Aku akan menikah..."

Ia memutar balik mobilnya lalu menyusuri jalan menuju alamat yang Stacy kirim beberapa menit lalu dengan kecepatan tinggi. Henry baru saja memarkir mobilnya di pinggir jalan ketika seorang gadis dengan mantel panjang melangkah keluar dari galeri dengan raut wajah masam. Alisnya bertaut dan mulutnya mengerucut menggemaskan. Stacy terlihat siap menerkam siapa saja yang menghentikan langkahnya.

Henry tersenyum geli melihat gadis itu melewati mobilnya tanpa sadar bahwa pria itu berada di dalamnya. Henry tergoda untuk menghentikan langkah Stacy, tiba-tiba ia ingin diterkam oleh gadis itu. Ia turun dari mobil dan mengikutinya diam-diam. Setelah berhasil menutup jarak, ia menarik pundak Stacy membuat gadis itu terhuyung ke belakang hanya untuk ditangkap dalam pelukan Henry.

Stacy mendongak ke belakang dan mendapati senyum jahil Henry tepat di depan wajahnya. Ia melangkah maju dan berhasil melepaskan diri dari pelukan Henry. Tanpa kata ia berjalan menjauh. Henry tergelak lalu mengejar gadis itu. Ia berhasil mendahuluinya. Henry berhenti dan merunduk tepat saat Stacy berada pada jarak setengah lengan darinya. Ia menggendong gadis itu di pundak seperti sekantong gandum.

Gadis itu menghentakkan kaki ketika Henry menangkup bokongnya. "Turunkan aku, pria brengsek!" jerit Stacy sambil terus meronta. Namun pria itu dengan mudahnya membawa Stacy kembali menuju galeri.

Beberapa pasang mata dari seberang jalan mengawasi mereka, pun dengan orang-orang yang berpapasan dengan pria itu. Seorang wanita tua memandangnya dengan tangan bergetar menggenggam ponsel dan siap menghubungi... pihak keamanan mungkin?

"Calon istriku bukan orang yang mudah, Mam." katanya pada wanita tua itu, "Aku akan mengikat dan menyeretnya jika perlu agar tidak kabur dari pelaminan."

Wanita itu tersenyum hangat lalu menyimpan kembali ponselnya ke dalam mantel. "Semangat pria muda, jangan pernah lepaskan dia."

"Tidak akan pernah." ia menepuk pundak wanita itu dengan tangan yang bebas lalu berjalan melewatinya.

Kemudian terdengar protes keras dari gadis dalam gendongannya, "Aku sulit, katamu?" teriaknya, "kau pikir aku melakukan ini untukku sendiri? Ini proyekmu, ingat?"

Henry memukul bokong Stacy agak keras dan gadis itu memekik kaget, "Kita hampir sampai, baby. Tenanglah sedikit."

Ia diturunkan tepat di depan pintu galeri, sesaat kemudian Stacy melayangkan tinju kecilnya ke perut Henry dan pria itu mengerang berpura-pura kesakitan agar Stacy puas. Sesungguhnya kepalan tangan kecil itu tidak sanggup menyakiti siapapun.

"Jangan pernah lakukan itu lagi, ingat!"

Ancaman itu membuat senyum Henry semakin melebar, ia mengikuti gadis itu masuk kembali ke dalam galeri.

"Ini dia sang pangeran."

Seorang pria berbadan gempal kontras dengan sikapnya yang lemah lembut akrab menyapa Henry. Sandree menjadi perancang baju langganan keluarga Henry sejak ia berusia lima belas tahun. Biasanya mereka sekeluarga hanya menunggu di rumah untuk diukur dan fitting.

"Andai saja kau melihat wajah tunanganmu ketika kau memutuskan untuk tidak datang." ia menggeleng sedih.

"Kutebak dia sangat mengerikan, siap menerkam siapa saja." jawab Henry asal-asalan.

Tapi Sandree menggoyangkan telunjuknya, "No! No! Dia sangat sedih dan hampir putus asa sebelum memutuskan untuk pergi." kemudian ia menoleh pada gadis yang sedang memeriksa gaun pengantinnya lagi. "Tapi ya, sekarang dia tampak siap menerkammu." Sandree mengangguk.

Henry mengulas senyum mematikannya pada Sandree, membuat pria itu menahan napas. Ia mengedikan satu alisnya dan berkata, "Aku tidak sabar diterkam olehnya." kemudian ia bergerak mendekati Stacy. Kedua tangannya menggenggam pinggul gadis itu, wajahnya merunduk sejajar dengan wajah Stacy. Sandree menghela napas sambil meremas dadanya sendiri kemudian berlalu meninggalkan mereka berdua.

Henry melepaskan pelukannya ketika melihat Sandree pergi. "Jadi mana baju pernikahan kita?" ia mengedarkan pandangan ke etalase raksasa.

"Sandree telah menyiapkannya di ruang ganti." jawab Stacy tanpa menoleh padanya, ia masih asyik mengamati gaun pengantinnya. "Kau bisa langsung ke sana."

"Kau marah padaku?"

Stacy mendengus, "Yang benar saja. Aku hanya kesal, seharusnya kau lebih aktif menyiapkan semua ini."

"Ada masalah di kantor dan itu membuatku sangat pusing."

"Begitu." akhirnya Stacy menoleh padanya, ia mengangguk. "Aku setuju mengambil alih semua ini, tapi kuharap kau mau bekerja sama. Aku tidak ingin kau seperti tadi."

"Maafkan aku membuatmu cemas." katanya sambil berlalu ke ruang ganti.

"Aku tidak cemas." protes Stacy, "Aku kesal." tapi Henry mengabaikannya. Stacy sangat cocok dengan peran antagonis, Henry menyukai mimik wajah kesalnya. Itu terlihat menggemaskan dan rasanya Henry ingin... Tidak boleh! Sial, aku butuh seks.

Stacy menunggu Henry mencoba tuksedonya beberapa saat di ruang ganti. Ia tidak mungkin terkejut karena pria itu terlalu sering menggunakan pakaian serupa dan tuksedo itu kehilangan efek magisnya jika sudah melekat di tubuh Henry. Ketampanan Henry tidak bisa lebih dari biasanya, karena yang biasanya saja sangat maksimal. Senyum itu, kerling mata menggoda, suara tenor, dan sebagainya. Stacy sudah biasa.

"Bagaimana penampilanku?"

Stacy terkejut mendengar suara rendah dan dalam dari arah pintu. Ia mendongak dari ponselnya dan mendapati pria itu berdiri di sana, tegak, berwibawa, tidak ada seringai jahil, tidak ada kerlingan nakal. Dia berubah total, caranya menatap Stacy begitu panas menggoda membuat gadis itu kehilangan kata-kata. Lidahnya kaku, bibirnya kering, tenggorokannya serak. Oh! Aku tidak bisa bicara. Stacy tak dapat mencegah mata lancangnya membelalak terpesona pada pria itu.

Kemudian senyum lebar itu kembali lagi, matanya menyipit karena tertawa dengan amat jahil. "Aku sudah mendapatkan jawaban dari reaksimu." ia menarik kerahnya dengan angkuh lalu berjalan mendekati gadis itu. Hilang sudah Henry dengan gestur menggoda itu. Apakah pria itu melakukannya juga ketika di ranjang? Astaga, aku tidak ingat. Aku benar-benar melupakan malam itu.

"Kau terlihat tampan." ia memaksakan lidahnya bicara, "seperti biasanya."

Henry mengerutkan keningnya tidak setuju, "Seperti biasa? Maksudku apakah setelan ini menambah kesan tertentu pada diriku? Lebih spesial, mungkin?"

"Sudah kukatakan, kau tampan seperti biasa." Stacy memalingkan wajahnya berusaha tak acuh.

"Kenapa kau masih berpakaian seperti ini?" ia menoleh ke arah etalase, "mana gaunmu?"

Stacy menopang dagunya yang mana sikunya menumpu pada lutut, "Aku sudah mencobanya tadi dan kau melewatkannya karena menolak untuk datang."

"Kalau begitu pakai lagi sekarang, apa susahnya?"

"Sangat susah." jawab Stacy tegas, "aku butuh bantuan dua orang untuk mengenakannya." lalu ia mengibaskan tangannya, "Sudahlah, lihat ketika di pernikahan kita saja tidak ada yang spesial."

"Ini tidak adil." Henry menggeleng, "aku harus melihatmu."

Jarak yang semakin dekat di antara mereka membuat Stacy risih, ia berdiri menjauhi pria itu, berpura-pura tertarik pada pola yang tersebar di atas meja gambar Sandree.

Ia tidak merasakan pergerakan pria itu yang sudah merapat ke punggungnya. Henry merunduk rendah mensejajarkan wajah mereka, ia ikut mengamati gambar di tangan Stacy.

"Pola apa ini?"

Suara serak dan dalam diiringi hembus napas hangat yang menyapu lehernya membuat Stacy terkejut bukan kepalang, sejak kapan Henry menutup jarak dengannya? Ia berusaha maju dan membentur meja kemudian sebagian tubuhnya tersungkur ke atas sebaran pola sementara bokongnya menungging tepat menghantam pinggul Henry.

Henry berusaha menahan tubuh gadis itu namun gagal, ia hanya mampu menggenggam pinggulnya dan tubuh mereka menempel dalam posisi yang tidak pantas.

"Akh...!" pekik Stacy ketika tulang kemaluannya membentur tepi meja. Kedua tangannya meremas pola-pola kertas di atas meja.

Henry turut mengaduh karena nyeri yang ditimbulkan oleh bokong cantik itu pada bagian tengah selangkangannya. "Argh, God!"

"Astaga!" pekik Sandree. Ia sedang berswafoto sambil berjalan masuk dan mendapati pemandangan tidak senonoh itu. Ibu jarinya bergerak cepat mengaktifkan kamera depan dan mengabadikan momen itu. "Kalian sudah tidak sabar ya?" goda Sandree.

Stacy berusaha mundur hingga bokongnya membentur pinggul Henry lagi. "Argh!" pekik Henry.

"Ups! Menyingkirlah dari situ." bisik Stacy panik.

"Kau berniat membuatku impoten, ya?" rutuk pria itu sambil berjalan mundur.

"Kenapa tiba-tiba berdiri di belakangku?" ia menolak disalahkan.

"Apa salahnya? Aku hanya ingin melihat apa yang kau lihat."

"Tapi kau mengejutkanku."

"Kau berlebihan."

"Stop!" Sandree berdiri menengahi calon pengantin yang mulai adu mulut. "Sesungguhnya kalian begitu panas tadi." ia membalik ponselnya dan menunjukan hasil tangkapan kameranya pada kedua orang itu.

Henry dan Stacy terbelalak bersamaan melihat posisi itu juga raut wajah mereka sendiri. Di gambar itu keduanya mengernyit seakan berhasil mendapatkan kepuasan.

Henry mencoba merebut ponsel Sandree tapi gagal, "Hapus foto itu sekarang!" perintahnya tapi pria metroseksual itu menggeleng sembari menjauhkan ponselnya.

Stacy menjadi rekan Henry paling kompak karena ia segera menangkap ponsel Sandree dan dalam satu gerakan cepat menghapusnya. "Selesai." ia menghela napas lega disusul oleh Henry sementara Sandree tampak kesal. Ia mengambil kembali ponselnya dan sebuah pesan singkat masuk.

'Katakan pada putra dan menantuku untuk selalu menggunakan pengaman selama mereka belum menikah.'

Sandree tersenyum lebar membaca pesan dari Marilyn kemudian ia menunjukannya pada pasangan itu.

"Kau menyebarkannya?" pekik Stacy kesal.

"Tidak-" pria itu mundur menjauh, "hanya melaporkannya pada Marilyn."

"Argh!!!" Henry dan Stacy mengerang kesal. Usaha mereka barusan sia-sia. Marilyn semakin salah paham dan selesai sudah. Mungkin mereka akan diseret dari tempat tidur, menikah secara kilat bahkan hanya menggunakan baju tidur.

Continue Reading

You'll Also Like

10.1K 436 21
Blurb: Giselle Putri Natapradja, gadis cantik ambisius - seorang konsultan senior yang mengidamkan posisi Partner yang sedang kosong di kantornya Th...
202K 12.7K 30
Gadis yang sudah ia anggap sebagai adik diam - diam memujanya dengan tatapan itu. Dan ketika hasrat bergejolak dalam jiwa mudanya, ia tidak menyiakan...
249K 22.9K 50
Kehidupan Alexandra Hewitt yang sederhana berubah rumit ketika sebuah buku meneror teman-teman masa lalunya dengan kutukan yang tertulis di dalamnya...
134K 13.2K 17
Cerita-cerita pendek yang bacanya cuma lima menit sudah tamat kecuali yang bersambung... 😁