Isolatonist Girl

By Searani

14.5K 4K 844

The Alayers Series (3) : Ade Cahya Riana Katanya, jatuh cinta pada siapa saja diperbolehkan. Jadi, kalau Reva... More

PROLOG
Isolate (A) : Revandra Alvin
Isolate (B) : Garis Rindu
Isolate (C) : Mulai Berjuang
Isolate (D) : Diberitahu Tentangnya
Isolate (E) : Entah Apa Namanya
Isolate (F) : Filosofi Kehidupan
Isolate (G) : Gerakan Kaum Adam
Isolate (H) : Harapan
Isolate (I) : Iringan Rasa
Isolate (J) : Jejak Pergi
Isolate (K) : Kejujuran Rian
Isolate (L) : Laju Waktu
Isolate (M) : Melebihi Apapun
Isolate (N) : Nyata dan Tidaknya
Isolate (O) : Obat Peralih
Isolate (P) : Pulang yang Tertunda
Isolate (Q) : Quote dari Revan
Isolate (R) : Redup yang Menerang
Isolate (S) : Semua Hal
Isolate (T) : Titik Kuadrat
Isolate (U) : Untuk Hari Ini Saja
Isolate (V) Verifikasi Luka
Isolate (W) : Wacana Hati
Isolate (X) : X ditambah -X sama dengan -X
Isolate (Y) : Yang Pergi
Isolate (Z) : Zig Zag Menurun
Isolate (a) : ambisi durja kiloan
Isolate (b) : badai belum berhenti
Isolate (c) : cobalah mengerti takdir
Isolate (d) : di ambang batas kecewa
Isolate (e) : endapan rasa yang menguara
Isolate (f) : for my isolatonist girl
Isolate (g) : garapan rencana alayers
EPILOG

Isolate (W) : Wacana Hati 2

316 96 10
By Searani

Isolate (W) : Wacana Hati 2

SELESAI mengantar Revan pulang, Riana segera kembali ke apartemennya. Pemandangan yang pertama kali dijumpainya adalah Mamanya dan Rian.

Sewaktu Revan pamit diri tadi, Rian memang mengatakan bahwa dia akan mengobrol sebentar dengan Mama Riana. Namun, Riana mengira hanya akan mengobrol. Hanya akan mengobrol tanpa embel-embel berpelukan seperti ini.

Jelas, Riana seperti menemukan sisi lain Rian ketika cowok itu memeluk Mamanya.

Pikiran-pikiran jelek langsung memenuhi kepala Riana. Mengabaikannya, Riana berpura-pura tidak melihat mereka berdua kemudian masuk ke dalam dapur untuk membereskan meja makan.

Rasanya, sudah lama sekali dia tidak mencuci piring sebab makanannya selalu ia beli di restoran apartemen.

Bohong tetaplah bohong, sekuat apapun Riana berusaha fokus pada piring-piring kotor di depannya, pikirannya kembali mengacu pada pemandangan Rian dan Mamanya yang berpelukan.

Mereka membicarakan apa sebenarnya?

Kurang lebih lima belas menit, dapur sudah bersih oleh tangan Riana. Ia ke depan begitu mendengar, Mamanya memanggil.

“Kenapa?” tanya Riana, kembali dingin dan tak tersentuh. Matanya yang sensifif melirik ke mata Mamanya yang sembab.

Ada apa sebenarnya?

“Gue mau cabut dulu, sori nggak bisa bantuin lo beres-beres.” Rian melirik arlojinya. “Makasih ya, Tan, Ri. Saya pulang dulu.”

“Lo pulang pakai apa?” Sekalipun Riana curiga pada perlakuan Rian, dia tidak bisa mengelak bahwa gadis itu peduli pada Rian.

“Palingan angkot. Yaudah, gue duluan, ya?”

“Eh, perlu gue anter?”

“Enggak usah, udah mau maghrib, mending lo ganti baju, siap-siap maghriban,” pesan Rian. Cowok itu menundukkan tubuh seraya tersenyum pada Yusnila baru kemudian berjalan keluar diantar Riana sampai ke muka pintu.

Ketika pintu ditutup, Riana melirik Mamanya yang kembali terduduk di ruang tamu. Ada sesuatu yang terjadi. Riana berpikir seperti itu.

Ada beberapa map yang berserakan di atas meja, Riana tidak melihatnya sewaktu pulang sekolah tadi. Mungkin baru dibuka Mamanya.

“Jadi.” Riana menggantung kalimatnya. “Rian adalah pelanggan baru Mama?”

Yusnila yang semula menutupi wajahnya dengan telapak tangan, tengadah. “Kamu ini bicara apa, Ri?”

“Aku lihat Mama sama Rian pelukan!” Riana sedikit berteriak, harapnya besar rasa kesalnya bisa tersalur lewat jarak ke Mama. “Nggak bisakah Mama cari pelanggan lain, Ma?”

“Riana, kamu harus tau. Rian datang ke sini—“

“Aku nggak mau denger. Aku udah capek sama semua drama Mama. Aku capek dengar kalimat Mama yang selalu bilang ‘Riana kamu harus tau bla-bla-bla’. Dari dulu, Mama terus gitu, Ma. Nggak pernah ngejelasin sesuatu yang bisa bikin aku tenang. Aku udah besar, Ma. Udah bisa jadi tempat curhatan Mama. Tapi, ketika aku lihat Mama nerima Rian sebagai pelanggan Mama—“

“Jaga omongan kamu!”

Satu tamparan keras mendarat ke pipi Riana.

Nyeri langsung mewabah daerah pipi. Riana tidak meringis, sama sekali tidak terasa rasa sakit, malah sekarang gadis itu tertawa.

“Mama nggak serendah apa yang ada di pikiran kamu, Riana!” Yusnila meneteskan air mata untuk kali pertama di depan Riana. “Mama bakal jelasin, oke? Mama juga terkejut hari ini, Sayang. Mama … Mama syok. Nggak ada pelanggan-pelanggan baru lagi. Mama udah berhenti, oke?”

“Aku percaya, oke?” Riana menaikkan alisnya kemudian memaksakan senyumnya. “Aku sayang, Mama.”

Lalu Riana lari, menyembunyikan diri dari luka besar yang terus ada di daerahnya. Riana tidak bohong, dia sayang Mamanya. Dia tahu sudah sekurang ajar apa dia pada Mamanya.

Tetapi, skenario menyuruh Riana lari dari hadapan Mamanya pada scene ini.

߷߷߷

NOTIFIKASI obrolan grup membuat Revan yang tengah asyik memainkan Ghost Hunter di komputernya terhenti.

Udel habis operasi.

Begitu kolom chat itu dibuka, tampak beberapa spam chat yang dikirim oleh Claudio.

Claudio : Panci kondangan

Claudio : anak kelas pada dateng.

Faghas : lah ngape?

Cepi : pinter boong lu ye claud

Claudio : bodo udh brp hari lo pd g msuk?

Dion : baru lima hari :)

Faghas : Anjing

Faghas : mereka ngejengungkin dong?

Cepi : mampos.

Revan mengalihkan fokusnya dari layar ponsel, dilihatnya teman-temannya sudah mulai krasak-krusuk.

“WOI ALVIN! ANAK CAKRAWALA PADA DATENG NJING! PURA-PURA SAKIT!”

“BI WALAA! AMBILIN OBAT MERAH SAMA PERBAN!”

“FAGHAS! BAWA TURUN KASUR!”

“WOEEE SELIMUTTTT!”

“MUKA GUE UDAH MENYEDIHKAN BELOM?”

“CEPIII GUE KELIATAN KEK ORANG SAKIT NGGAK?!”

“BI WALA PERBANIN DION DULU!”

“BI WALAAAA BIKIN SAYA SAKIT!”

Mendengar permintaan Cepi yang seperti itu, Claudio yang baru datang sehabis membantu Faghas membawa kasur ke tengah rumah langsung menendang Cepi hingga cowok itu ambruk.

“KUTIL BADAK!” umpat Cepi. “LO NGAPAIN NENDANG GUE?!”

“KATA LO BIKIN LO SAKIT! YAUDAH!”

“BODO YA WE! BURUAN! MEREKA UDAH NYAMPE PAGER!”

Revan ikut panik. Masalahnya dia memang masih mengalami luka-luka yang belum mengering, tetapi badannya bisa ke sekolah. Niat malas menghalanginya. Jadi, kalau guru-guru serta anak-anak Cakrawala itu tahu Revan baru saja bermain Ghost Hunter, bisa kiamat dunia.

Dalam beberapa menit, kelima anak cowok itu sudah berhasil menampakkan diri sebagai lima orang teraniaya di muka bumi.

“Assalamualaikum.” Terdengar salam serempak dari beberapa orang. Jelas ada banyak, karena kelimanya punya kelas yang berbeda kecuali Revan dan Cepi.

Perwakilan kelas Cepi, Dion, Faghas, Claudio, dan anak-anak OSIS serta empat wali kelas.

“Aduh, maaf ya rumahnya teh berantakan,” ucap Bi Wala, menggiring tamu-tamu majikannya itu untuk sampai ke ruangan tengah.

“Enggak apa-apa, Bu. Namanya juga isinya anak laki,” Bu Dika maklum.

Revan pura-pura tertidur. Sementara Cepi memasang wajah teraniaya sambil meringis sekali-kali. Sementara Dion pura-pura dungu dengan memerhatikan beberapa luka yang ada di tubuhnya.

“Innalillahi.” Salah satu dari mereka mengucap. “Memang tawurannya ini dengan siapa, Bu? Masya Allah, sampe pada lecet begini.”

“Katanya sama musuh bebuyutannya gitu, Bu.” Bi Wala menggaruk tengkuk. “Pada mau minum apa ini? Biar Bibi buatin?”

“Enggak usah, Bu,” tolak wali kelas Dion. “Udah malem, anak-anak juga udah pada istirahat. Kita sebentar kok. Lagian, ini udah telat banget ngejengukinnya. Harusnya kan kemarin.”

“Ah enggak apa-apa.” Bi Wala tersenyum canggung. “Tunggu dulu, saya ambilinum. Nggak enak, pasti ini rumahnya  jauh.”

Karena sudah melarang Bi Wala, tetapi wanita itu tetep keukeh para tamu hanya bisa mengangguk canggung. Semuanya langsung menatap pembaringan kelima anak cowok yang hobinya bolos sekolah itu.

“Eh?” Sekretaris kelas Revan, Mayu, terkejut. “Demi apaan banyak sampah kuaci begini? Ada apa, ya, orang sakit, luka sana-sini makanin kuaci?”

Sontak seluruh perwakilan kelas masiing-masing membenarkan. Ada banyak sekali sampah kuaci di dekat sini.

Tidak lama setelah itu, Dion menjawab.

“Itu Bi Wala yang ngupasin, kita orang tinggal makan,” jawab Dion kalem, masih dalam tujuan pura-pura sakit.

“Ooh gitu.”

“Terus kalian ini pada sakit, kan? Ini kenapa PS-nya nyala?”

Dion mengumpat dalam hati, begitupun anggota pithecanthropus yang lain. ini semua ulah Faghas dan Dion yang lupa mematikan tv saking paniknya.

“Ooh itu, Bi Wala yang main PSnya,” jawab Dion lagi.

“Emang Bi Wala tu ngerti main GTA V begini?” Defasya bertanya lagi.

“Jangan sepele sama Bi Wala, Bi Wala ini wanita tangguh. Iya, kan,Bi?” Dion tersenyum samar pada Bi Wala yang baru tiba membawakan beberapa minuman isotonik.

Takut ditanya macam-macam dan kedok terbongkar, Bi Wala hanya mengangguk. “Hehe, iya. Bibi tu lagi suka main PS.”

Lewat kejadian ini, untuk kamu perangkat kelas yang biasa menjenguk temanmu ketika sakit, pastikan kalau dia benar-benar sakit, karena … kadang malas jadi alasan buat mengupas uang kas.

߷߷߷

BERULANG kali Defasya menggelengkan kepala saat teman-teman Revan—kecuali Faghas—menawarinya diantar pulang.

Tadi, Defasya memang datang menjenguk Revan dkk karena peraturan OSIS SMA Cakrawala memang seperti itu apabila dirasa siswa sudah tidak masuk terlalu lama. Semua orang yang tadi datang menjenguk sudah pulang ke rumah masing-masing, tinggallah Defasya. Bukan apa-apa, Defasya katanya menunggu Mamanya menjemput.

Cepi, Dion, Claudio dan Revan sudah berbusa mengajak cewek itu pulang. Guru-guru serta penjenguk lain juga. Tetapi, Defasya bersikeras menolak dengan dalih dia akan pulang bersama Mamanya, ini adalah momen langka karena Mamanya selalu sibuk.

“Lo yakin nggak mau gue anterin?” tanya Revan sekali lagi, memastikan apakah cewek itu serius dengan keputusannya.

“Iya, udah pada main lagi sono,” kata Defasya dengan anggukan meyakinkan. “Lah keburu malem, ntar pada ngantuk. Buruan itu PS sama Ghost Hunternya dilanjut.”

“Yaudah kali, dia yang nolak juga. Ntar dia sok kecakepan kalo ditawarin pulang mulu,” celetuk Faghas, mencegah teman-temannya untuk berhenti menawari Defasya.

“Masalahnya, dia cewek, Ghas. Ini malem, rumah cowok, kalo kenapa-napa? Emang lo mau tanggungjawab ke KUA?” tanya Cepi.

“Emang dia bakal kenapa-napa gimana?” Faghas berjengit. “Nggak nafsu gue sama orang rata kek dia.”

“Eh tai,” umpat Defasya, tangannya melempar kepala Faghas dengan botol minuman isotonik yang isinya sudah habis. “Tihati ya lo kalo ngomong.”

“Gue geger otak, tanggung jawab lu.” Faghas tidak bisa berbohong kalau lemparan Defasya tepat di lukanya, menyebabkan perih kembali membuat matanya berkunang.

“Lebay lu iler kobra,” ledek Defasya.

“Ye ini kepala, nenek kebayan.”

“Nggak ada yang bilang itu kaki, Kutu daun.”

“Weh, bisa diem, nggak? Gue nggak fokus nih,” ucap Claudio yang entay bagaimana ceritanya sudah sibuk mengupas kuaci yang tadi berserakan.

Terkhusus untuk Defasya, kelima cowok itu tidak perlu khawatir bahwa Defasya akan mengadukan mereka tentang kelakuan berbohong mereka yang ditunjukkan pada guru-guru serta siswa lain yang datang menjenguk. Defasya bukan tipe orang yang seperti itu.

“Eh, gue tadi baca berita, deng. Anjirs, gila banget tau!” Revan tau-tau bersuara saat tangannya baru lima menit menyentuh mouse.

“Najis, lebay lo.”

“Yeee … gue serius. Pada mau denger, nggak? Gue jarang-jarang loh ya nyebarin berita begini,” ucap Revan, persuasi. Berusaha keras supaya empat temannya itu tertarik pada berita yang akan disebarnya.

“Ya, gue ini figur temen yang baik, sih. Jadi, yaudah buru cerita,” kata Claudio, menguyah kuaci yang tadi susah payah dibukanya.

“DOI UDAH BISA PEKA!” cerita Revan dengan semangat yang menggelora, Defasya yan tadi fokus pada ponselnya jadi mengalihkan pandangan dan menautkan alis melihat tingkah kakak kelasnya.

Sebagai teman yang baik, Claudio menanggapi cerita Revan. “Ooh.”

“Najes, ooh doang,” cibir Revan, semangat berceritanya langsung hilang.

“Lo pake pelet merk apaan, emang?” Faghas, yang sebenarnya menyimak sejak tadi, bersuara ketika layar tv memunculkan tulisan ‘load game’.

“Syetanirrajim, nggak pake pelet apa-apa, woe.” Revan merasa sia-sia saja dia bercerita.

“Kalo gitu, lo ke dukun mana?” timpal Dion, yang tangannya sibuk mengambil kuaci milik Claudip, diam-diam.

“Cep? Hati abang potek.” Revan menatap memelas pada Cepi yang sejak tadi fokus pada layar ponselnya. “Buset dah, muka lo ngape? Sak e’e?”

“Bukan tai, ada olshop yang nawarin gue endorse di Instagram Recha. Gue gimana, dong? Masa iya gue ngendorse barang cewek?” Cepi menjawab pertanyaan Revan.

Claudio, lagi-lagi bersikap sebagai teman yang baik tersenyum. “Bodo, beritanya nggak menarik. Gue lebih penasaran sama cerita Alvin. Jadi, doi lo peka gimana?”

Dion pun sama, “Demi apa si Riana peka? Lo jampi-jampi ya telinganya?”

“Jadi, kemaren gue kan ngeliat dia sendirian di kelas, terus karena nggak ada orang, gue jedotin kepalanya ke dinding, dia amnesia. Lupa semuanya. Terus—“

“Bacot ege.” Faghas memutar bola matanya. “Lo nggak takut gitu kalau misalkan doi jadi peka?”

“Lah, ngapain harus takut? Ye, kalau bisa gue udah tumpengan.”

“ABG baru puber,” ledek Dion.

Mau tidak mau, mengerahkan segala gengsi, Faghas membalikkan badan melihat Defasya. “WOI? LO NGUPING YA DARITADI?!”

Defasya gelagapan. “Eh, enggak. Suara kalian tu kegedean. Gue nggak fokus main Piano Talesnya.”

“Bilang aja lo nguping, tai,” cecar Faghas lagi.

Sementara keempat temannya yang lain hanya diam melihat interaksi sekretaris OSIS dan ketua English Club itu.

“Eh, Def. Kalau misalkan, ada cewek cuek banget pas dideketin, terus tiba-tiba dia jadi kek peka? Atau sejenisnya, atau yah lo tau, nggak cuek lagi, itu kenapa?” mewakili Revan, sekaligus memberhentikan adegan berantam Faghas dan Defasya, Dion bertanya.

Defasya tiga detik lalu masih mendelik tidak suka pada Faghas. Matanya baru beralih pada detik keempat. “Ya, bisa aja dia udah luluh.”

“Jangan percaya, ngapain nanya ke dia, dia juga bukan cewek,” celetuk Faghas begitu melihat teman-temannya menganggukkan kepala mengerti.

“Heh, Faghas Prandima! Gue lagi nggak ngomong sama lo, ya!” tanpa sadar, Defasya berdecak. “Bodo. Yaudah, gosipin cewek lagi sana.”

Sejujurnya, Defasya merasa kaget saja mengetahui fakta ternyata cowok-cowok pentolan sekolah seperti mereka berlima, masih bisa membicarakan perempuan. Apalagi Dion, lelaki yang baru saja digosipkan dekat dengan salah satu teman sekelas Defasya—setelah seminggu menjauh dari Helma karena Helma ternyata gebetan Aliansi—membuat Defasya tidak percaya bahwa sebenarnya seperti inilah kehidupan lima cogan SMA Cakrawala Itu.

Saat Revan dan teman-temannya sudah fokus membicarakan masalah endorse dengan volume kecil agar kedok Recha Sahanaya tidak terbongkar, Defasya berdiri dari kursi tamu.

“Gue cabut dulu, deh. Makasih buat rumahnya ya Abang-abang,” pamit Defasya, dia memastikan sekali lagi tidak ada barang yang tertinggal. “Pamit ke Bibi, gue pulang duluan.”

Revan sebagai tuan rumah ikut berdiri. “Gue anter sampe depan.”

“Nggak usah!” tolak Defasya, cepat. “Nyokap gue nunggu di depan jalan, yang mau masuk ke perumahan sini. Katanya, gue suruh jalan ke sana.”

“Yaudah, gue anter sampe depan sana.”

“Nggak usah, Bang Alvin. Lagian kondisi Bang Alvin juga lagi nggak memungkinkan, banyak luka-luka gitu. Mending istirahat,” tolak Defasya, kali ini dengan nada bicara halus agar Revan mengerti.

“Tapi, ini udah malem Defasya, dan lo cewek. Nggak baik jalan sendirian. Gue suruh Faghas nganter lo, ya?”

“EH, amit-amit!” Defasya menggeleng. “Nggak usah, gue cabut duluan aja. Kasihan Nyokap gue udah nunggu di luar sana.”

Revan mengerutkan kening. “Lagipun, kenapa Nyokap lo nggak mau masuk aja ke perumahan sini?”

Menjawabnya, Defasya mengedikkan bahu. “Gue juga nggak tau. Oke, gue duluan, ya. Bilangin sama yang lain, semoga cepet sembuh.”

“Oke.”

Ketika Defasya lima langkah menjauhi rumah Revan, kepalanya berbalik. Senyum kecil terukir manis di sana. “Gue lupa bilang, Bang Alvin juga cepet sembuh, terus … masalah doi yang peka tad, Kak Riana, ya?”

Revan menggaruk tengkuk. “Lo beneran nguping?”

“WHOAA enggak.” Defasya menggerakkan kedua tangannya di udara, persis melambai. “Kalo kata Defasya sih, jarang aja gitu Kak Riana bisa dibilang peka. Tau sendiri dinginnya mampos ngalahin kutub utara. Kalau gue bilang, gue takut terjadi apa-apa sama lo soal perubahan sikap Kak Riana, lo nggak mempermasalahkan, kan?”

Revan membiarkan pertanyaan itu mengambang di udara. Sebab, setelah pertanyaannya selesai Defasya langsung berlari menembus gelap malam yang ditimpa cahaya lampu jalan.

Untuk … apa Defasya peduli?

߷߷߷

DIDORONG rasa berterimakasihnya terhadap seluruh sikap Revan yang gemar membawanya menjauh dari masa lalu, Riana menarik napas berulang kali sejak bel pulang sekolah berbunyi.

Tangannya sudah berkeringat dingin padahal suasana sedang tidak panas-panasnya. Sesekali, dadanya berdebar sangat kencang.

Tangannya mengambil tas, menyandangnya kemudian keluar kelas dengan cepat guna menghindari Rian. Kebetulan cowok itu sedang rapat bersama beberapa siswa kelas. Riana tidak mau mereka sedang membahas apa, dan Riana juga tidak ingin tahu.

Ia keluar dari kelas dengan langkah tergesa, takut kalau sesuatu yang sudah dipikirkannya matang-matang tadi malam berlalu saja.

Sementara dari arah berlawanan, Revan yang sudah bersekolah hari ini langsung berlari begitu melihat Riana sudah setengah perjalanan meninggalkan pekarangan sekolah. Karena letak kelasnya ada di lantai dua, Revan tidak mau membuang waktu berlama-lama, cowok itu segera melompat dari lantai dua tepat ke lapangan sekolah.

Selamat.

Tanpa lecet, meski beberapa lukanya yang tersisa masih terasa sakit.

“ALVIN! KITA MAU NGEBAHAS SOAL PORSENI!” teriak Mayu ketika cowok itu berlari tanpa peduli apapun.

“BODO! GUE MAU PACARAN DULU!” balas Revan tak kalah.

Mayu mencebik. Selalu seperti itu, setiap kali kelas akan mengadakan raoat membahas sebuah kegiatan, Revan selalu dan selalu bolos.

“CEP TEMEN LO TUH YA—“ Mayu membelalak kaget begitu Cepi juga sudah hilang dari barisan anak kelas. “MANA CEPI?!”

Kembali ke Revan yang sedang mengejar Riana. Napasnya membabi buta begitu tangannya berhasil meraih pergelangan tangan Riana.

Revan berbicara dengan wajah kalut sehabis berlari. Oke, ditambah lompat dari ketinggian tiga meter. “Lo pulang bareng gue, kan?”

Riana langsung menoleh. “Eh-enggak.”

“Loh? Udah janjian bareng Rian?”

Riana menggeleng. “Bukan.”

“Terus kenapa enggak?” Revan bersikap manis dengan nada bicara yang seperti itu.

“Gue nggak pulang.” Riana menatap Revan, mata mereka bertemu di satu garis lurus.

“Lo berantem sama Nyokap lo lagi?” tebak Revan.

“Bukan.” Riana menarik napas panjang. Dikeluarkannya sesuatu dari saku rok seragamnya, tampak sebuah ponsel. Riana menyalakannya. “Gue mau ke sini.”

Revan jelas terkejut melihat daerah yang ditunjukkan ponsel. “Lo ke sana? Ngapain? Kan belom malem?”

“Lo inget temen gue yang waktu itu?” tanya Riana, matanya sudah terbebas dari pandangan Revan. Dia tahu diri bahwa menatap cowok itu lama-kelamaan, keringat dinginnya bisa melebihi ini.

“Yang pas malem itu?”

“Iya.” Riana yakin seluruh pandangan siswa kini mengarah kepada mereka. “Gue mau ketemu dia, hari ini hari terakhir dia di Bandung. Nanti mau berangkat ke Jakarta.”

Revan terperangah. “Lo serius? Demi apa?”

“Gue nggak mungkin bercanda disaat keringat jagung gue udah mulai bisa dipanen kayak begini,” seloroh Riana, matanya memutar.

Revan tersenyum lebar. “Kalo gitu, gue anterin.”

“Eh?”

“Iya udah, nggak usah eh-eh segala. Buruan, keburu dia pergi.” Revan masih membawa pergelangan tangan Riana. Pegangan itu terlalu pas untuk dilepaskan.

“Oh iya, Rev.” Saat tiba di pelataran parkir, Riana bersuara. “Lo udah bisa sekolah?”

“Lo kayaknya berubah banyak, ya?” Revan berdecak kagum sebelum membukakan pintu mobil untuk Riana. “Mau ketemu temen lo, ngobrol meski nggak banyak-banyak banget, terus … sejak kapan lo mau nanya-nanya soal gue?”

“Sejak sekarang.”

“Sering-sering aja, sih,” kata Revan. “Gue udah bisa sekolah kok, kemarin kan makan bareng keluarga lo.”

“Ooh.”

Sebab peduli bisa ditunjukkan tanpa perlu analogi lagi.

߷߷߷

MANUSIA tidak pernah benar-benar bisa merencanakan segala urusan yang akan terjadi ke depannya di hidup mereka. Selalu ada reformasi tentang sebuah kehidupan serta maaf memaafkan. Akan selalu ada orang-orang yang melangkah menjauhi masa lalunya setiap detik.

Dan detik ini, Rianalah orangnya.

Meski ketakutan, gemetar, serta gelisah sudah kerap menyerangnya sejak tadi, semuanya menghangat menjadi kelegaan begitu melihat punggung seorang perempuan yang sedang sibuk memasukkan barangnya ke dalam bus.

“Rev.” Riana butuh tatapan teduh Revan. “Gimana kalo dia nggak mau ketemu gue?”

“Gue jitak kepalanya, buang ke sungai, tenang aja.” Revan memukul dadanya, sok pahlawan. “Enggak, deng. Ya mana mungkin dia nggak mau, orang pas malem itu dia manggil-manggil lo udah kayak anak ayam nyariin induk. Ya mana ada sih orang manggil-manggil tapi nggak butuh?”

“Mana tau, kan,” kata Riana. Sekali lagi dia menarik napas panjang.

“Sebutin nama gue tiga kali, okey?” bisik Revan, ketika Riana mengambil satu langkah agar bisa mendekat ke arah sahabat lamanya.

“Bisa bikin gue tenang, emang?” tanya Riana.

“Enggak, nama gue nggak nenangin.”

“Terus ngapain nyuruh?”

“Biar lo inget gue aja,” kikik Revan.

Riana tidak bisa munafik, ulah Revan barusan sedikit tidaknya membuatnya merasa tenang. Lalu, perlahan-lahan tekadnya membulat mengeja sebuah panggilan yang menggetarkan hebat hatinya.

“Rel,” panggil Riana, kekuatan yang sudah susah payah dikumpulkannya sejak tengah malam menipis begitu melihat orang yang dipanggilnya membalikkan tubuh tersenyum padanya selama tiga detik, lalu setelahnya senyum itu lenyap.

Lenyap tak bersisa, seolah-olah Riana tidak diperlbolehkan melihat senyum itu.

“Kaaakkk Jasvaa! Minta aiiirrrr!” teriak Aurel, tetapi matanya masih terfokus pada Riana. Tidak bergerak sedikitpun. “Enggak. Enggak. Enggak. Gue halu. Gue halu. Gue halu. Astaghfirullah.

Dengan sisa kekuatan yang tidak seberapa, Riana meraih tangan Aurel. “Lo nggak halu.”

Tiga kata, suara Riana seperti menyicit. Pelan sekali. Pertanda bahwa rasa bersalahnya masih kental.

Tadinya, Aurel menutup kedua matanya, mendengar apa yang dikatakan Riana, perlahan mata kirinya terbuka. “Lo asli?”

“Iya.”

“LO RIANA BENERAN?!” Aurel berseru, membuat Riana langsung dilanda gulana rindu terhadap kebiasaan teman-temannya yang lain. Selang beberapa detik Aurel memeluknya. “BANJIR, LONGSOR, BADAI, TOPAN, GEMPA BUMI! INI SERIUS LOOO.”

Riana membalas pelukan itu. Senyumnya ingin sekali mengembang lebar, ingin ia segera bersuara mengatakan jumlah rindunya terhadap Aurel, tetapi rasa bersalah itu menunda.

“Tau nggak sih, RI? Gue dikatain halu sama Frans waktu gue ngeliat lo malam kemaren-kemaren.” Aurel cemberut, dilepaskannya pelukan mereka. “Padahal gue yakin banget yang gue liat itu beneran lo. Gue nggak mungkin halu.”

Aurel memang seperti itu, berusaha ceria meskipun matanya sekarang berbohong. Riana kadang kagum, bagaimana bisa Aurel menutupi semuanya hanya dengan satu topeng?

“Kemana aja sih lo selama ini? Kenapa nggak pernah ngasih kabar ke gue dan anak-anak?” Aurel sesenggukan, Riana makin tidak tega mengetahui semua ini karenanya. Dia tidak mau sahabatnya menangis lagi karena dia. “T guerus kenapa lo ngehindarr dari gue malem itu?”

“Gue cuma ngerasa nggak pantes,” kata Riana, kemudian dipalingkannya wajah agar Aurel tidak melihat wajahnya.

“Nggak pantes karena apa? Dari dulu, sebelum kesalahan lo di masa lalu, lo tetep sahabat gue, sahabatnya anak-anak. Nggak ada alesan nggak pantes.” Air mata yang ada di pipi Aurel itu, disekanya. “Atau lo malu karena kepergok lagi berduaan sama cowok di tengah malam?”

“Malu dipergokin lo dan Frans yang lagi jalan tengah malam gara-gara gue berduaan sama cowok?” Riana terkekeh. “Gue rasa, itu cukup lucu.”

“Lo kok tau gue ada di sini?” Aurel bertanya lagi.

“Sebejatnya gue di masa lalu, gue masih sayang kalian.” Riana berucap lugas. “Gue nyari informasi tentang lo.”

“Dengan cara jadi sider handal di Grup Chat?” Aurel menebak dengan ekspresi wajah jenaka. Jika tidak sadar ada Revan, Riana sudah tertawa karena wajah sahabatnya itu. “Sesekali, munculin diri lo di Grup kek, buat para alayers itu histeris.”

Riana menelan ludah begitu Aurel sudah berusaha melihat seseorang yang berdiri tidak jauh di belakang Riana. Dengan cepat, semoga saja usahanya berhasil, Riana bertanya. “Lo udah mau balik?”

Namun terlambat, karena Aurel sudah lebih dulu penasaran.

“Ini cowok yang waktu itu?” Aurel menaikturunkan alisnya jahil, senyum langsung merekah di pipinya. “Cieeee udah bisa move on dari Bang Azka.”

Riana memutar bola mata. “Keliatan banget kalo gagal move on.

Perempuan di depan Riana langsung mencebik. “Songong deh yang udah bisa move on, terus nemu cogan langka kayak gini.” Pandangan Aurel menelisik cowok di belakang Riana. “Riii, kenaliiin dooong.”

Mau tidak mau, Riana menerima permintaan itu. “Namanya Revandra Alvin. Panggil Alvin, nggak usah Revan.”

Tentu saja Revan mendengar kata-kata itu dengan jelas. Mendengar bahwa Aurel tidak boleh memanggil Revan dengan panggilan ‘Revan’ karena panggilan itu hanya dikhususkan untuk orang-orang yang disayang.

Revan GR tidak apa-apa, kan? Dia kan ganteng.

“Hai, gue Aurel. Temennya Riana yang ngebetein pake banget. Yang sok ngilang, sok dramatis, sok jadi Bang Toyib, sok—“ Riana mendelik tidak suka begitu Aurel mulai membuka aibnya. “Ampun, Ri.”

“Alvin,” balas Revan, mencoba ramah.

“Apanya Riana, nih?” goda Aurel.

“Temen.” Riana yang menjawab pertanyaan itu, sedetik setelahnya ia berusaha melepaskan tangan Aurel yang tadi bersentuhan dengan tangan Revan.

Gerakan itu membuat Revan menoleh ke arah Riana cepat, matanya melihat Riana penuh arti.

Ada apa dengan Riana?

“Calon Pacar, doain ya,” ralat Revan, berhasil membuat Aurel berteriak histeris.

Tidak berselang lama, melihat reaksi Riana yang tidak membantah, suara Defasya malam tadi langsung berputar di kepala Revan.

Bagaimana kalau setelah ini semuanya tidak akan baik-baik saja?

߷߷߷

PEDULI setan.

Revan tidak mau terus-terus berpikiran jelek tentang rencana Tuhan. Biar sajalah, dia hanya tinggal menjalankan.

Setelah selesai mengantarkan Aurel masuk ke dalam bis, Riana memutuskan mengajak Revan pulang dengan alasan langit sudah mulai menjingga. Revan menurut, selama ini permintaan Riana, insyaAllah Revan menyanggupi.

“Jadi, gitu Riana di Jakarta?” Revan buka suara saat mereka sudah berada di perjalanan pulang. “Ramah, supel, asik, baperan, dan segala macem.”

“Lah apaan.” Riana terkekeh.

“Ye, gue serius.” Revan mengedurkan pegangannya pada setir mobil. “Sering-seringin aja begitu, biar cintanya gue ke lo, awet.”

“Apasih, jayus.”

“Ya biarin, penting jujur,” balas Revan. “Lo sedeket apa dah sama temen-temen lo itu?”

“Euhm.” Riana tampak menimang-nimang. Matanya berbinar begitu mendapat sebuah pencerahan. “Udah sedekat mereka.” Riana menunjukkan pergelangan tangannya, tepatnya urat-urat yang tampak hijau dan biru di kulitnya.

“Deket banget, dong?”

“Iya.” Riana mengangguk bersemangat. “Abis, mereka beda daripada yang lain. Dan, yah, gue bangga bisa sahabatan sama mereka. Bahkan, kalo gue bilang Nasya, vokalis Eagle yang lagi tenar itu sahabatnya gue juga, lo percaya nggak?”

Revan menggeleng. “Enggak.”

“Ish, yaudah. Tapi, gue beneran sahabatnya.”

“Ish, gue nggak percaya.” Revan tetap keukeuh.

“Gue tunjukkin nih, ya.” Riana kembali merogoh saku roknya. “Nih, foto gue bareng dia? Banyak kan, iyalah gue sering juga ngabisin waktu ama dia.”

Pandangan Revan mengisyaratkan lain. “Ri?”

“Kenapa?”

“Lo kenapa berubah?”

“Berubah apanya?” Riana memberikan tatapan tidak mengerti.

“Lo nggak pernah kayak gini sebelumnya. Lo cuek, dingin, dan—“

“Salah ya kalau gue udah mulai ngehargain usaha lo? Lagian kita sekarang udah temenan, kan?”

Riana benar. Mereka sudah berteman, lantas untuk apa Revan bertanya soal perubahan sikap Riana?

“Ooh, oke. Gue cuman takut ada apa-apa aja. Kayak … lo lagi berusaha nyembunyiin sesuatu.” Revan berusaha jujur.

“Enggak ada apa-apa. Udah, fokus yang bener. Gue nggak mau harus tanggungjawab karena lo nabrak bebek, ya,” pesan Riana.

“Nggak ada bebek di sekuar sini, Ri.” Revan tertawa karena ucapannya membuat Riana cemberut.

“Bodo dah. Terus yang ada di sini apaan?”

“Yang ada di sini itu, gue, yang suka sama lo. Ajib, nggak?” Revan terkekeh karena Riana langsung cemberut. Tidak mau menatap Revan lagi. “Yah, ngambek.”

“Gue bukan kambing, ya!”

“Ya nggak ada yang bilangin lo kambing.”

“Itu barusan apa? Lo bilang gue ngembek.”

“Ri.” Revan berusaha menahan tawanya. “Ntar temenin gue ke swalayan, beliin cotton bath supaya lo nggak budek.”

“Dikatain budek, ah hayati marah.”

Bersama dengan ratusan mobil lain, berlatar belakang langit jingga, ditemani klakson mobil, keduanya tertawa. Membagi rasa bahagia mereka.

Terutama Revan.

Tidak, mungkin yang paling bahagia adalah Riana. Karena Revan sekarang ada di dekatnya, menemaninya, berani mengajaknya keluar dari jurang masa lalu.

“Tapi, Rev, gue pas di Jakarta pernah hampir bunuh orang, loh. Cuman karena jatuh cinta,” celetuk Riana, saat obrolan mereka sudah hampir habis.

Revan pura-pura memasang wajah terkejut. “Jangan bilang kalau lo mutusin kabel rem mobil gue juga?”

Riana pura-pura juga memasang wajah bersalah. “Hiks, hiks, iya, Rev.”

Bukannya melanjutkan akting, Revan malah langsung bersorak. Membuka kaca jendela mobilnya, kemudian meminta tos kepada pengemudi roda dua yang tidak dikenalnya.

“Lo kenapa, sih?” tanya Riana risih, begitu Revan sudah selesai mengajak tos seluruh pengendara yang ada di dekatnya.

“Kata lo tadi kan, lo pernah mau bunuh orang cuman karena jatuh cinta. Terus, lo mutusin kabel mobil gue.” Revan menoleh ke arah Riana. Matanya tersirat akan kebahagiaan yang meledak-ledak. Iklan good day langsung menyelusup telinganya. “Berarti lo udah mulai jatuh cinta ke gue dong?”

“IH ENGGAK!”

“WAH RIANA BOONG!” Revan tertawa keras.

“ENGGAK YA! NGGAK USAH MIKIR ANEH GITU DEH!”

Kalau kamu bertanya, kabar hati Revan sore ini, dia baik-baik saja, sama seperti kemarin, dia senang.

Karena mungkin … Tuhan sudah memperbolehkannya berada di titik bahagia.

߷߷߷

Continue Reading

You'll Also Like

724K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
9.8M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
6.9M 292K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...