Isolatonist Girl

By Searani

14.5K 4K 844

The Alayers Series (3) : Ade Cahya Riana Katanya, jatuh cinta pada siapa saja diperbolehkan. Jadi, kalau Reva... More

PROLOG
Isolate (A) : Revandra Alvin
Isolate (B) : Garis Rindu
Isolate (C) : Mulai Berjuang
Isolate (D) : Diberitahu Tentangnya
Isolate (E) : Entah Apa Namanya
Isolate (F) : Filosofi Kehidupan
Isolate (G) : Gerakan Kaum Adam
Isolate (H) : Harapan
Isolate (I) : Iringan Rasa
Isolate (J) : Jejak Pergi
Isolate (K) : Kejujuran Rian
Isolate (L) : Laju Waktu
Isolate (M) : Melebihi Apapun
Isolate (N) : Nyata dan Tidaknya
Isolate (O) : Obat Peralih
Isolate (P) : Pulang yang Tertunda
Isolate (Q) : Quote dari Revan
Isolate (R) : Redup yang Menerang
Isolate (S) : Semua Hal
Isolate (T) : Titik Kuadrat
Isolate (U) : Untuk Hari Ini Saja
Isolate (W) : Wacana Hati
Isolate (W) : Wacana Hati 2
Isolate (X) : X ditambah -X sama dengan -X
Isolate (Y) : Yang Pergi
Isolate (Z) : Zig Zag Menurun
Isolate (a) : ambisi durja kiloan
Isolate (b) : badai belum berhenti
Isolate (c) : cobalah mengerti takdir
Isolate (d) : di ambang batas kecewa
Isolate (e) : endapan rasa yang menguara
Isolate (f) : for my isolatonist girl
Isolate (g) : garapan rencana alayers
EPILOG

Isolate (V) Verifikasi Luka

341 103 10
By Searani

Isolate (V) : Verifikasi Luka

BAHU Riana merasa asing begitu tangan Ayni bertengger di sana. Sesuatu yang dulu biasa Riana dapatkan, namun tidak sekarang. Ayni yang berjalan di sebelahnya, Ayni yang mengintimidasi orang-orang yang memberikan tatapan merendahkan kepadanya, Riana langsung merasa ciut berjalan di samping Ayni.

“Kenapa, Ri? Udah, nggak usah dimasukin ke hati. Anggap aja, tikus yang lagi keliaran di genteng, ntar kalo mereka udah capek berhenti sendiri,” ujar Ayni, seakan mempunyai kontak batin memahami diri Riana.

Riana sebetulnya kebal pandangan seperti ini. Pandangan meremehkan. Bukan sekali atau dua kali Riana mendapatkannya, sudah sering.

“Siang Aynikuuuu.” Seorang cowok tiba-tiba menghalangi jalan mereka. “Lo barengan anaknya tante-tante? Jangan, jauh-jauh sini! Gue enggak mau, ya, Ayni comel-comel gue dikenalin ke om-om karena bergaulnya sama anak pecun begini.”

“Mamam tuh comel-comel.” Ayni dengan sigap langsung menendang alat vital cowok itu.

“Ay?!” Riana hampir terpekik, berbanding terbalik dengan Ayni yang memasang muka santai—menuntut melanjutkan perjalanan.

“Kenapa, Ri?”

“Dia?”

“Dia nyakitin sahabat gue, gue dengan senang hati minjem kerjaannya malaikat maut,” jawab Ayni, lugas. Tanpa dosa cewek itu tersenyum, tidak peduli pada cowok yang sudah mengerang kesakitan dan diputari siswa-siswa lain yang menatap memelas.

“Sahabat?” ulang Riana, pelan.

“Iya, sahabat! Lo kan sekarang sahabat gue, apapun yang lo rasain harus gue rasain biar persahabatan ini ada faedahnya.” Ayni tersenyum cerah.

Gimana kalau gue bukan figure sahabat yang baik buat lo?

Gimana kalau gue nantinya bakal ngecewain lo kayak gue yang dulu?

Gimana kalau nyatanya gue jahat, Ay?

Pertanyaan itu memenuhi kepala Riana dalam waktu sekejap. Kakinya perlahan mundur teratur dari Ayni.

“Gue bukan sahabat lo, Ay,” celetuk Riana pahit. Membuat Ayni yang ada di depannya mengerutkan kening.

“Tapi, gue udah nganggap lo kayak gitu, Ri!”

“Gue ini anak pecun, Ay! Gue dari keluarga nggak benar, lo nggak mungkin sahabatan sama gue, lo itu anak baik-baik. Lo tau kalau satu sekolahan udah tau kalau gue anak pecun, dan temanan sama gue, artinya lo juga bakal dipandang buruk sama mereka,” jelas Riana, tergesa. Rasanya, dia ingin segera berbalik menghindari mata Ayni.

“Yang sahabatan sama lo itu gue, bukan mereka. Yang ngontrol diri gue itu, gue bukan status lo anak pecun atau bukan. Yang pecun itu Nyokap lo, bukan lo. Sahabatan itu gampang banget, Ri. Saking gampangnya, orang-orang nggak bisa ngelakuinnya.” Ayni melirik beberapa siswa yang menjadikan mereka bahan tontonan. “Lo semua ngapain? Gue nggak lagi syuting, ya!”

Pelan-pelan, terdengar lengosan menyebalkan dari bibir mereka. Ayni tidak peduli, matanya terus saja mengamati Riana, seolah dengan tatapan matanya itu, Riana bisa tahu kalau meski baru beberapa bulan, Ayni sudah menganggap Riana sahabatnya. Terlepas dari apapun status atau rumor yang beredar.

“Gue harusnya seneng lo barusan ngomong sepanjang itu ke gue, harusnya kita tumpengan atau traktiran karena ternyata lo bisa ngomong panjang,” ucap Ayni, mengusap wajahnya gusar.

“Jauhin gue.”

Itu dua kata terakhir yang diucapkan Riana sebelum akhirnya berlari menuju tempat lain dimana Ayni tidak akan pernah tahu keberadaannya.

߷߷߷

SEWAKTU Rian maju ke depan untuk melakukan presentasi kelompok Seni Budaya, Rian sudah melihat raut wajah berbeda dari Ayni. Entah itu apa, tetapi Rian yakin terjadi sesuatu yang benar-benar membuat mood seorang Ayni berubah.

“Ri? Alvin nggak masuk sekolah, ya?” tanya Rian, sebelum memasukkan berbagai buku referensi yang digunakannya saat presentasi tadi.

“Gatau,” jawab Riana, singkat.

“Eh? Kan dia gebetan lo, kabar gebetan sendiri kok nggak tau?” Rian bertanya.

Riana menjawab pertanyaan itu dengan endikan bahu. Hal yang jarang dilakukannya di depan Rian, karena ketus pada Rian membuat Riana dilanda rasa bersnalah tanpa sebab.

“Lo beneran nggak tau sesuatu?”

Barulah saat itu Riana mengangkat wajah, menatap Rian. “Dia sakit.”

 “Sakit? Hah? Kok dia bisa sakit?” Rian biasanya tahu kenapa atau apa saja yang terjadi pada teman-temannya itu. Mendapat berita kalau Revan sakit, rasanya Rian semakin didera rasa bersalah karena sudah lama tidak berkunjung ke rumah itu.

“Dia manusia,” jawab Riana sekali lagi.

“Ya elah, Ri. Gue juga tau kalau dia manusia, maksud gue penyebab dia sakit tu apa, misalkan demam, mabok, atau karena lo tolak, bisa aja, kan?”

Riana menyisir rambutnya ke belakang sebentar lalu mengatakan, “Tawuran.”

“Hah?”

“Hah mulu.”

“Dia tawuran? Kapan? Bareng SMA mana? Beritanya kok nggak kesebar di sekolah? Tumbenan deh anak Cakrawala hobi gosipnya nggak up to date.” Rian mengacak-acak rambutnya frustasi. “Pihak keamanan juga nggak tau?”

“Gue nggak ngurus.” Riana menaikkan kedua tangannya di udara. Segera dia mengeluarkan sebuah novel dari dalam tas, berniat melakukan ritualnya seperti biasa.

“Nggak ngantin?” tanya seseorang, menginterupsi obrolan Rian dan Riana.

“Gue ada urusan OSIS, jadi nggak bisa ke kantin. Kenapa, Ay? Lo laper? Bukannya nggak biasa makan di kantin? Oh lo bareng Riana aja, daripada dia sendiri, ntar digangguin Wira,” cerocos Rian.

“Yan, lo jadi banyak tanya,” tukas Riana kemudian pamit untuk menuju rooftop.

“Lo sama dia ada sesuatu, ya?” tebak Rian begitu hanya ada dia dan Ayni di kelas.

“Dia siape?”

“Riana.”

“Enggak ada apa-apa, curigaan banget sih kamu.” Ayni menjawab dengan nada bercanda khas ratu sinetron yang sering dilihatnya, kemudian setelah melihatnya, Ayni akan muntah dua kali dalam sehari.

Tapi, bohong. Ayni memang jijik pada sinetron-sinetron itu, tetapi Ayni tidak lebay mengatakan bahwa dia muntah d itu.

“Biasanya lo ngajakin dia, kan?” ,Rian membuat sebuah pertanyaan.

“Bener deh kata Riana, lo jadi banyak tanya hari ini,” decak Ayni. “Yang tadi itu, gue  ngajakin dia sebenarnya, eh lo-nya yang geer nyangka gue nanyain lo, yaudah bodo dah.”

“Terus biasanya lo bujuk-bujuk dia?”

“Ya gue lepas dulu, ntar dia balik lagi kok ke gue. Gue kan orangnya ngangenin.” Ayni mengedipkan kedua matanya genit, sukses membuat Rian jantungan.

߷߷߷

TIGA hari sudah Revan merasa bosan di rumah. Padahal kalau hari sekolah, Revan begitu mengidam-idamkan libur.

Lain hal dengan Dion dan Cepi, kedua cowok itu merasa bahwa tawuran membawa berkah bagi hidup mereka. Bantal, rambut acak-acakan, makanan ringan, dan play station membuat hari libur mereka jadi sempurna. Oh, tambahkan teriakan keduanya.

Sementara Faghas sedang menikmati tidur lanjutannya, dan berencana bangun saat adzan zuhur nanti. Terakhir, Claudio. Cowok itu sibuk memasak sesuatu sambil bersenandung beberapa nyanyian iklan.

“Dion, ini gimana lagi? Ada cewek nih, cantik banget! Gue musti ngapain?” teriak Cepi, meminta intruksi pada Dion yang sedang di dalam kamar mandi.

“Oh deketin dia terus tekan buletan!” sahut Dion dengan cemprengnya.

Tidak sampai beberapa detik, Cepi kembali berteriak. “Eh udel, ini kenapa jadi mukulin pantat cecannya?”

“Weh cabul itu mainnya!” seru Revan tidak kalah, ia sengaja pindah tempat duduk menyaksikan layar televisi yang menampilkan permainan. “Hentiin bego! Lo nyakitin cewek!”

“Ah elah, Vin. Itu cuma maenan PS, gila! Lebay banget lu jono!” Dion tiba-tiba bersuaa lagi.

“Ya pakek cara lain lah bego, lu kate God Hand isi jurusnya cuman ini doang?” sewot Revan, terus memaksa agar Cepi memberhentikan kegiatannya menghabisi tokoh anagonis itu.

“Dinego aja saayyy, pasti bisaaa saaaay, dinegooo sampaaaai okaaaayyyy.” Sebuah suara dari arah jam tiga datang, pemiliknya berlalu lalang di depan Cepi. Karena terlalu fokus pada mangkuk mienya, Claudio tidak melihat bahwa kakinya melilit kabel play station Cepi.

Hingga sebuah suara tarikan dan gelapnya layar televisi membuat Cepi berteriak miris.

“Kenapa lagi, Cep?!” Dion yang entah sedang apa di dalam kamar mandi, merasa bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi.

“CLAUD LO HARUS TANGGUNG JAWAAAABBB!” Cepi menghambur, meninju-ninju Claudio yang sudah dengan santainya melahap mienya berdua dengan Revan. “GUE UDAH JAUH BELUM NGESAVE LO SEENAK UDEL LEWAT BIKIN PSNYA MATI! PLASTISIN KARATAN!”

Faghas langsung melempar kepala Cepi dengan sebuah bantal. “LO GANGGUIN GUE TIDUR SIANG ANJER!”

“INI BELOM SIANG, BEBEK!” Cepi melempar kembali bantal itu ke arah Faghas. Matanya kembali terfokus pada Claudio yang dengan entengnya mengunyah mie buatannya. “JANGAN MAKAN DOANG WOI! GUE DALEM KEADAAN SERIUS!”

“Duh ayang Cepi, bisa serius juga kamu?” Revan memainkan kedua matanya genit. “Nganga-nganga, puss ngangaaa.”

Karena Cepi terkalut emosi, dia tidak mau menganga. Karena tidak mau menganga, Revan kesal dan akhirnya menendang perut cowok itu sehingga dia berteriak—otomatis Cepi menganga.

“Bisa diulang Cep, lebay banget lo gondrong,” ujar Revan tersenyum begitu berhasil menyuapkan satu sendok mie ke dalam mulut Cepi.

EVERYTHING OKE—“ Dion membelalakkan matanya begitu melihat televisi hanya menampilkan layar berwarna hitam. “CEPI LO KENAPA MATIIN PSNYA?”

“Mati lampu,” dusta Claudio agar Dion tidak berseru kencang kembali.

“Gila aja, ya. Mati lampu dari malkist! Stabiliziernya aja masih nyala!” Dion mendekat ke arah play stationnya. “Ada yang nyabut coknya, nih?”

“Noh si Claudia Cynthia Bella,” tunjuk Faghas yang sudah kehilangan selera untuk tidur.

“Eh mampos, tega amat lu Ghas!” Claudio segera bangkit dari tempat duduknya, bersiap melarikan diri dari amukan dua kyubi yang akan murka itu.

“Bakyughan!” seru Cepi, lalu mengejar Claudio yang melarikan diri.

“Amiterasu!” Dion ikut menyebutkan salah satu jurus di film naruto itu, baru kemudian menyusul dua temannya.

Tinggal-lah Revan dan Faghas yang ada di ruangan tengah.

“Ghas, gue cabut. Bosen gue di rumah,” pamit Revan supaya keempat temannya itu tidak kesusahan mencarinya—itupun kalau mereka mencari.

Revan memakai jaket hitamnya keluar rumah, tidak lupa pula cowok itu membawa skateboard andalannya. Sebenarnya ini adalah pilihan yang salah mengingat kakinya masih merasa nyeri apabila berjalan jauh, namun mengingat besarnya frekuensi kebosanan Revan di dalam rumah, cowok itu melawan seluruh nyeri yang ada di badannya.

Benda persegi panjang itu ternyata membawa Revan ke arah stasiun kota. Tempat dimana kereta api serta orang-orang berlalu lalang. Lewat hidungnya, Revan menghela napas pelan karena stasiun ini adalah tempat biasa Revan dulu menjemput Papanya ketika pulang bertugas.

Namun teknologi memberhentikan semuanya, Agra lebih sering pulang ke rumah menggunakan mobil dinas dan rasanya sudah lama sekali Revan tidak main atau sekedar melihat-lihat perkembangan stasiun ini.

Di sini, Revan pernah berpikir soal hal-hal sederhana yang punya efek besar. Seperti, bagaimana kalau seluruh kereta yang mampir ke stasiun ini tidak hanya datang dari kota-kota di Indonesia? Bagaimana kalau ada kereta yang mampu datang dari masa lalu dan membawa seseorang yang kita rindukan?

Diam-diam, Revan mengejek dirinya sendiri. Melihat bangku-bangku kosong yang tidak ditempati orang-orang. Dulu dia pernah duduk di sana, sambil berharap aka nada sebuah kereta yang datang membawakan Mama ke hadapannya.

Ngomong-ngomong soal Mama, Revan langsung didera rasa rindu yang bertubi tanpa persiapan.

Ini sudah tujuh tahun sejak Mamanya pergi dan Revan hanya pernah sekali mengunjungi makam Mamanya. Bukan karena Revan anak durhaka sampai-sampai tidak mau mengunjungi, hanya saja … Revan punya alasan khusus.

Saat Revan tengah sibuk menata rindunya agar menurut dan meronta, sebuah figure perempuan berhasil tertangkap matanya.

“Ini?” Revan melirik jam tangannya untuk mengetahui hari apa sekarang. “Bukannya harusnya Riana di sekolah?”

“Permisi?” Revan menghadap ke salah satu penjual tiket tempat Riana berdiri tadi. “Kalau boleh saya tau, ini loket kereta dengan rute apa, ya?”

“Ah, Selamat Pagi, Dek. Rute Bandung-Jakarta, ada yang bisa saya bantu?”

Revan mengangguk, dia segera bersyukdur karena di saku celananya masih ada beberapa lembar uang seratus ribu.  Agar tidak membuat calon penumpang marah, Revan dengan segera melakukan negoisasi agar tempat duduknya berdekatan dengan Riana.

Dan dengan andalan wajah gantengnya, Revan berhasil.

Revan memastikan bahwa keberangkatan kereta adalah pukul 09.35

Para penumpang dengan tujuan yang sama dengannya langsung berdesakan masuk ke dalam kereta api itu. Revan sendiri sengaja memperlambat langkahnya, agar Riana tidak terlalu terkejut mengetahui keberadaannya di sekitar sini.

“Gue baru nyangka seorang Ade Cahya Riana berani bolos sekolah juga,” celetuk Revan ketika sudah sampai di dekat tempat duduk Riana.

Riana jelas terkejut karena keberadaan cowok itu. Takdir ini terkadang menyulitkannya menjalankan rencana untuk mengasingkan diri. Dia sudah bersusah payah mencari tempat yang tidak terlalu banyak orang yang dikenalinya, tahu-tahu saja Revan selalu ada di tempat itu.

“Lo nguntit?” tuding Riana sarkas, dia sudah tidak nyaman akan keberadaan Revan yang ada dimana-mana. Oke, tambahkan, Riana masih merasa canggung sejak peristiwa di bukit beberapa hari lalu. Peristiwa dimana dia menangis seperti gadis lemah lalu memeluk Revan begitu saja.

“Jawab pertanyaan gue dulu, lo bolos, ya?” Revan tidak mau kalah.

Yang ditanya mengangguk datar. “Iya.”

“Lo mau kemana?” Revan duduk segera di hadapan Riana. Posisi tempat duduk kereta yang seperti ini membawa keberuntungan tersendiri baginya. “Eh, iya, gue jawab pertanyaan lo dulu. Gue nggak nguntit lo, tadi gue bosen di rumah, mutusin jalan-jalan nggak tau kenapa gue pengen ke sini, terus ngeliat lo dan ya—eh iya deng, gue nguntilin lo.”

Riana memutar bola matanya malas. “Nggak jelas.”

Revan abai akan ucapan itu, dia lebih penasaran kenapa Riana bisa ada di sini, bolos sekolah dan bepergian dengan seragam sekolah yang benar-benar masih lengkap. “Sekarang jawab gue lagi, lo ngapain ke Jakarta?”

“Main,” sahut Riana.

“Sejak kapan lo mau main?”

“Tadi.”

“Yaudah, gue ikut, ya? Bosen di rumah,” ujar Revan meminta persetujuan Riana.

“Enggak.”

Revan melotot. “Nggak boleh ikut'?”

“Iya.”

“Kok gitu? Gue kan udah tiga hari nggak ketemu sama lo, kangen tau.” Sekarang Revan sudah seperti cowok-cowok ftv yang menjijikkan.

“Jijik.”

“Ya bodo ya, gue kan udah beli tiket, lo nggak ngizinin gue jug ague bakalan tetep nurut. Wlee!” Revan menjulurkan lidahnya pertanda dia menang.

Riana hanya menggeleng. Tadinya dia berharap bahwa perjalanannya menuju Jakarta akan dihabiskan dengan berpikir secara jernih. Menuntaskan segala ketakutan masa lalunya. Sepert yang disarankan Revan.

Tainya, Revan datang tiba-tiba seperti jin tomangnya aladin dan membuat Riana harus meladeni seluruh banyolan cowok itu selama empat jam ke depan.

Doakan, semoga sistem amunisi Riana menang dari kegantengan Revandra.

߷߷߷

EMPAT jam perjalanan terasa begitu membosankan bagi Revan sebab Riana betul-betul diam. Revan hanya bertanya sesekali jika perlu. Sebab naluri cowok itu berkata, Riana memang tengah butuh waktu sendiri.

Logikanya berpositif thingking bahwa Riana akan menuju Jakarta, menenangkan pikiran kemudian memberhentikan segala perang dinginnya dengan Ibu cewek itu.

Berharap hal-hal yang baik tidak salah, kan?

Riana sendiri sebenarnya tengah berdebat serius dengan segala pikirannya selama perjalanan. Ada berbagai pendapat yang muncul tiba-tiba di kepalanya tentang semua hal yang terjadi di hidupnya kurang lebih dua bulan belakangan sejak Revan menjumpainya di atas atap sekolah.

Mulai dari seluruh tatapan siswa yang berubah ke arahnya, sikap Rian yang mendadak berubah menjadi lebih peduli, berkenalan oh ralat—dikenal oleh teman-teman Revan, dan mungkin menjadi perempuan tanpa komitmen yang tidak bisa memegang prinsipnya untuk bersikap dingin terhadap laki-laki manapun.

“Selama jalan, jangan bikin rusuh, ya?” pinta Riana, ketika mereka berduya berdiri di sebuah pintu masuk yang tampaknya jarang dilalui karena tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar sini.

“Aman.” Revan membentuk huruf O dengan jarinya kemudian mengikuti Riana melangkah. “Sebenarnya, ini adalah pertanyaan ke dua puluh tiga dari gue, dan pertanyaan ke dua puluh tiga yang belom dapat jawaban sama sekali. Kita … euhm, maksud gue, lo mau kemana?”

Riana masih diam. Bukannya enggan menjawab pertanyaan Revan, tetapi dia tidak bisa memberikan jawaban karena ia sebenarnya juga tidak tahu. Bibirnya saja kelu saat ingin menyuruh Revan minggir dan tidak usah mengikutinya.

“Gue kayak ngomong sama tembok deh,” celoteh Revan memerhatikan sebuah koridor menuju tempat yang tidak diketahuinya. “Ri?”

“Hm?”

“Lo mau mutilasi gue, ya?” pertanyaan polo situ mengalir dengan suara khas mirik Revan. Mau tidak mau, Riana menoleh ke arah cowok itu sambil menaikkan alis. “Lo bawa gue ke ruangan yang nggak ada orangnya gini, terus nanti lo mutilasi gue, terus—“

“Gue seserem itu, ya?” Giliran Riana yang mengajukan pertanyaan.

“Lo iya, secantik itu.” Revan mengangguk-anggukkan kepalanya seperti baru saja mendapatkan sebuah pemikiran besar. “Jadi, kita bakal?”

Riana membuang napasnya kasar. “Sekolah lama gue.”

“Hah?” Revan memasang wajah dungu. Tidak ada kesan seram seperti yang sering Riana curi dengar dari siswa-siswa di kelasnya yang sering menceritakan bagaimana aura cowok itu ketika berkelahi.

“Beli korek kuping gih, nggak nyampe seribu juga.” Riana menggeleng tidak karuan. Cowok jago fisika itu ternyata … agak kecewek-cewekkan menurutnya.

“Gue denger yang barusan lo bilang, tapi mau ngapain ke sekolah lama lo? Ini masih jam sekolah, kan? Emang bisa masuk? Lo juga lagi nggak—“

Riana memperlihatkan sebuah lambang di lengan atas kirinya. “Liat?”

Revan langsung manggut begitu melihat lambang yang dimaksud Riana. Wizard High. Pantas saja, Riana seberani ini berangkat ke Jakarta dan menerobos sekolah orang.

“Jadi ceritanya lo gagal move on dari sekolah ini?” Revan mulai membuka topik obrolan baru agar ia tidak diabaikan Riana lagi seperti di kereta.

Ternyata dalam hitungan beberapa menit saja, mata Revan sudah jelalatan melihat beberapa tulisan di dinding koridor. Mungkin dari situlah Revan menyimpulkan bahwa mereka sudah berada di SMA Wizard High.

“Ya gitu,” jawab Riana.

“Tujuan lo ke sini apaan?”

“Lo bilang ….” Riana tampak menerawang sambil terus menatap ke arah jalan. “Kita harus berani minta maaf, kan?”

“Emang lo buat salah sama sekolah ini?”

Oke, Revan sangat-sangat cerewet siang ini.

“Sama siswanya,” kata Riana tidak mau ambil pusing berlama-lama.

“Siswa yang mana?”

Sabar.

“Aviva dan lain-lain.”

Mendengar itu, Revan langsung bisa menerima jawabannya. Mungkin sejak tadi Riana diam dan mengacuhkannya karena sedang berusaha memantapkan diri untuk memulai melangkahkan kaki dari masa lalu.

“Gue sama kayak lo, pernah ngebuat salah sama temen gue.” Riana tiba-tiba saja membuka cerita. “Udah enam bulan, dan gue cuman minta maaf sekali sama mereka, terus gue ngehilang dan pindah ke Bandung.”

Revan menyimak cerita gadis itu.

“Gue cuman ngerasa bersalah, Rev. Sebelum gue pindah ke Bandung, gue mantapin diri buat ngerubah seluruh kepribadian gue di hadapan orang-orang baru. Gue janji sama diri gue sendiri buat jadi pribadi yang tertutup dan dingin ke orang-orang, termasuk cowok.” Riana tiba-tiba saja berhenti begitu sadar jaraknya dengan lantai koridor sepi SMA Wizard High tidak seberapa lagi.

“Kenapa?”

“Karena ketika gue jatuh cinta, gue punya sikap buruk. Ketika gue suka sama seseorang, gue terlalu egois punya keinginan buat ngejadiin orang yang gue suka punya gue, tanpa peduli kalau sebenarnya doi nggak suka sama gue.

“Itu alasan kenapa gue nutup diri dari lo, Rev. Kenapa gue nggak mau lo suka sama gue, kenapa gue enggak pernah nyoba buka atau ngehargain perasaan lo sedikit aja. Karena gue takut, ketika gue mulai jatuh cinta nantinya sama lo, gue ngasih perasaan yang lebih besar sementara lo … you know, what I mean.

“Waktu nggak pernah berputar ke belakang, Ri. Mau lo berusaha buat tetap ada di zona nyaman, mau tetep lo ngerasa ini dan ngerasa itu, kalau lo nggak berani natap masa depan, lo terus-terus aja kejebak di masa lalu.” Revan mengeluarkan permen tangkai yang ada di sakunya. “Di dunia ini, selain orangtua, nggak bakalan ada orang yang benar-benar baik sama lo. Hal ini juga termasuk ke waktu. Dia nggak pernah mau barengan sama lo yang terus diam. Dia nggak setia, dia terus jalan ke depan nyari orang-orang baru dan ninggalin lo di masa lalu. Akibatnya kayak sekarang, karena lo yang kejebak di masa lalu, ada beberapa orang yang nggak sengaja lo sakitin.”

“Beberapa itu banyak, ya?” cicit Riana dengan suara kecil.

“Kata orang sih, hidup ini tentang menghargai. Gimana caranya lo ngejaga perasaan seseorang. Karena harga mati seseorang dalam kehidupan adalah menghargai. Lo nggak tau kan udah ada berapa banyak orang yang berusaha temenan sama lo di sekolah? Nggak tau udah berapa banyak cowok-cowok di sekolah yang diam-diam suka sama lo? Nggak tau udah seberapa lebar luka Nyokap lo karena perang dingin lo sama dia?”

Gentian Riana yang diam. Cewek itu selalu suka sisi Revan yang seperti ini. Intonasi serta tatapan cowok itu ketika bicara benar-benar perpaduan yang paling serasi.

“Apapun yang terjadi di masa lalu, semuanya udah lalu, nggak bisa dicegah meskipun masih bisa disesalin. Tapi, kalau lo orang pinter, lo bakalan berpikir hari ini juga bakalan jadi masa lalu buat besok. Nah, kalau hari ini lo masih bersikap sama kayak hari-hari kemarin, terus besok-besok juga kayak gitu, masa lalu lo isinya penyesalan semua dong? Nanti pas lo tamat SMA, nggak bakalan ada yang bisa lo banggain tentang cerita masa muda lo.

“Lagipula, Ri. Semuanya juga udah ada di tangan Tuhan. Sehina apapun seseorang ngenilai masa lalu lo, di mata Tuhan semuanya nggak berarti kalau lo mau berubah dan balik lagi ke jalanNya. Kalau lo nyesal sama perbuatan di masa lalu lo, harusnya lo dekatin diri lagi ke Tuhan, janji buat berbuat baik ke orang lain dan yah gitu deh, gue banyak bacot kayaknya.”

“Gue mau gitu.” Riana tersenyum miris. “Tapi, apa lo pernah berniat ngelakuin sesuatu terus tiba-tiba aja ada suara-suara aneh di kepala lo dan mulai ngeledekin lo, ngingetin semuanya tentang masa lalu lo? Dan berakhir bikin lo down?”

“Wah ada yang bisikin kayak gitu ke seorang Riana?” Revan sekarang sudah berubah menjadi cowok normal—normal dalam artian tidak sok bijak. “Itu pasti setan tuh, di sekitar lo banyak setan kayaknya. Hih, daerah di sekitar lo tuh udah angker, Ri. Tau nggak supaya setan-setan itu hilang terus nggak bisikin hal-hal kayak gitu lagi?”

“Gimana?”

“Kalau gue kaish tahu, gue dapet apaan?” seloroh Revan jahil.

“Pamrih,” ejek Riana sembari memutar bola mata.

Revan membisikkan sesuatu ke telinga Riana. “Pergilah setan, pergi dari hidup Riana, dan bawalah semua rasa bersalahmu. Pergilah kau.” Anehnya, Revan malah menyanyikan lagu Geisha yang Riana lupa judulnya apa.

“Hm.” Riana merespon seadanya. Ia bahkan langsung menjaga jarak dan melirik ke arah jalanan koridor sepi.

“Oke, gue serius.” Revan tertawa ngakak begitu melihat Riana kesal sebab ulahnya. “Cara supaya setan-setan itu pergi dari daerah sekitar lo adalah, jreng-jreng-jreng … maafan sama Nyokap lo, karena lo tau apa? Selama ini, sikap dingin lo ke Nyokap lo, juga karena bisikan setan-setan jahanam ini. Terus yang kedua, hargai orang-orang di sekitar lo, dengan begitu lo nggak bakalan sendirian terus, lo bakal rame dan nggak aka nada setan-setan baru yang hadir di hidup lo. Temenan sama orang, tau kenapa gue suruh ini? Karena saat lo punya temen, lo bakal ketawa terus, ketawa ngakak dan setan bakalan ngerasa ketakutan sama suara ketawa, terus dia jauh-jauh dari hidup lo.

“intinya sih, hargai aja semua hal yang ada di hidup lo. Hargai kesalahan masa lalu lo, karena kesalahan itu lo bisa belajar ngehadepin masa depan lagi. Waaaak, asek dah gue harusnya ngerekam ini buat ngasih Cepi caption. Revan golden ways. Boleh juga.”

Riana mengulum senyum. “Kok gue baru tau lo lucu?”

“Baru natap gue soalnya, entar kalau udah tahu gue ganteng, kita jadian, ya?”

Revan terdengar begitu santai begitu mengucapkan kalimat itu. Santai sekali tanpa perduli apa akibat kalimat itu ke Riana.

“Oke, kita harus menghadai kenyataan baru, ini tempat apa?”

“Ini salah satu akses jalan ke koridor sepi, salah satu koridor di SMA Wizard High.”

“Loh, kok bisa ada jalan begini?”

Dan Revan kembali menjadi cerewet.

“Dulu, pernah marah kasus bullying di sekolah, anak-anak yang jadi korban biasanya dibully di koridor sepi, salah satunya si Spia, dia ini sebenarnya kanak orang kaya tapi dandanannya cupu banget, akhirnya dia jadi korban juga. Katanya, dia sering dibully. Karena ketakutan terus, dia nyewa orang supaya buat jalan untuk keluar dari Wizard High diam-diam. Yah, akhirnya terbuatlah jalan ini.”

“Bukannya SMA Wizard High ini sekolah favorit, ya? Kok ada kasus begituannya juga?”

“Yang favorit sekolahnya doang, Rev. Yah, gue nggak munafik kalau bilang sekolah ini emang banyak prestasinya dibandingin sekolah lain. Tapi, gue juga nggak munafik kalau sekolah ini punya beberapa siswa-siswi bandel yang sebenarnya nggak seharusnya ada di sini. Lo harus tau, Rev, nggak semua sekolah favorit itu punya siswa-siswa yang bener.” Revan tersenyum lebar begitu melihat perubahan sikap Riana yang drastis hanya dalam beberapa menit.

“Waktu lo sekolah di sini dulu, lo termasuk siswa yang bener atau yang enggak?” tanya Revan, sudah mulai tertarik pada obrolan mereka kali ini.

“Enggak bener.”

“Kenapa?”

“Bayangin aja, gue tes masuk ke sini aja milih jawaban cap-cip-cup. Sekolah dapetin nilai hasil nyalin tugas dari temen-temen gue. Yah, gue ini golongan yang nggak bener.” Riana tidak tahu kenapa dia bisa sebanyak omong ini di depan Revan.

“Jadi, sekarang kita bakal nyelinap ke sana?”

Riana tertegun. Pertanyaan Revan mengingatkannya pada sesuatu. “Gue kayaknya belum siap.”

“Terus?”

“Gue balik lagi aja, deh.”

“Hah?”

“Balik.”

Lalu Riana merubah seluruh sikapnya lagi di depan Revan. Persis seperti Riana sebelumnya, dingin. Aura itu langsung menyelusup ke sel-sel tulang Revan.

“Duh, Neng! Jangan tinggalin Abang dong!”

߷߷߷

LEWAT berbagai jurus kameha-mehanya, Revan berhasil membujuk Riana untuk mampir ke salah satu rumah makan yang berjejeran di pinggir jalan menuju stasiun. Dia sampai memohon-mohon supaya Riana mengikuti permintaannya.

“Lo pulang sendiri aja,” kata Riana risih karena Revan benar-benar membuatnya menjadi tontonan ornag-orang, telebih embel-embel pakaian seragam yang Riana kenakan.

“Gue kan nggak hapal daerah sini, Ri.” Revan memasang wajah memelas.

“Gue tadi kan nggak ngajakin lo buat ikut gue ke Jakarta, tadi gue udah ngusir lo berapa, kali?” ketus Riana.

“Kan gue cuman khawatir lo ke Jakarta, sendirian, lo kan cantik kalau diculik orang gimana?” Revan mulai bersikap menyebalkan.

“Tapi, gue udah mau pulang.”

“Tungguin bentar, cacing-cacing gue udah pada dj-an di dalem, bentaaaar doanggg,” bujuk Revan sekali lagi karena memang sejak tadi malam, belum ada sedikitpun makanan yang masuk ke dalam perutnya.

“Lo bisa pulang sendiri, Rev. Naik kereta yang berangkatnya beda sama gue. Gue—“

“Lo salah tingkah ya karena tadi ngomong banyak di depan gue?” tebak Revan, kali ini cowok itu mulai memakai aura yang tidak biasa. Aura yang mampu membuat Riana menjatuhkan harga dirinya karena dia harus segera bilang, Revan tampan dengan aura seperti ini.

“Enggak.”

“Lo yang banyak ngomong kayak tadi, seru banget.” Revan tersenyum beberapa detik karena kedatangan barista restoran membuat Riana yang ada di depannya tertutup. “Liat aja, bentar lagi setan-setan di sekitar lo bakalan berkurang.”

“Setan nggak bisa dilihat, Rev.” Riana mendengus. “Buruan, makan.”

“Oke.”

Begitu Revan menyuapkan nasi ke mulutnya, Riana mengambil ponsel yang sengaja ia bawa dari rumah. Ia segera mencoba melacak keberadaan Aurel atau teman-temannya yang lain. Grup chat yang setahu Riana namanya ‘Alayers Chibi-chibi’ ternyata ganti nama menjadi ‘Bukalapak memang Cincay’.

Dari sana, Riana mendapat informasi bahwa Aurel masih berada di Bandung untuk menyelesaikan tugas kenaikan sabuk Taekwondonya. Sementara beberapa temannya yang lain, masih di Jakarta dan dalam keadaan baik-baik saja.

“Oke, kita pulang.” Mendengar nada final itu, Riana segera menutup layar ponselnya dan memasukkannya kembali ke saku rok. Dia berjalan di belakang Revan, kemudian menunggu cowok itu selesai membayar seluruh makanan.

“Cahya?”

Deg.

Riana seperti dipukul keras menggunakan gada oleh seseorang.

Suara itu.

“Az—Bang Azka?” Riana diserang sesak napas melihat seorang cowok bertubuh jangkung berdiri di samping kanannya.

“Gila, gue nggak nyangka ini lo. Apa kabar?”

Riana didera rasa salah tingkah. “B-ba-baik.”

“Gue denger dari Aviva, bukannya lo pindah ke Bandung, ya?”

“Iya, cuman gue ada urusan jadi ke Jakarta bentar.”

Azka manggut-manggut. “Udah ngasih tahu temen-temen lo?”

“Temen-temen saya?”

Azka memperlihatkan senyuman mautnya, dan detik itu juga Riana rasa lututnya berubah menjadi agar-agar. “Cukup saya aja yang sebagai mantan doi, dilupain. Temen-temen kamu jangan. Sampai kapanpun, mereka itu teman-teman kamu.”

Azka menggunakan gaya bicara saya-kamu, sama seperti yang Azka selalu ucapkan pada Cahya, yang tidak lain adalah Riana sendiri.

“Saya buru banget di sini, jadi nggak sempet ngabarin mereka.” Riana menggaruk tengkuk. “Bang Azka ngapain di sini?”

“Bentar lagi mau ketemuan sama temen-temen organisasi kampus di sini. Lo?”

Kembali ke lo gue.

“Dia nemenin gue,” jawab Revan, matanya memperlihatkan kebingungan atas kehadiran Azka.

“Oh gitu.” Azka mengangguk. “Ntar gue kasih tahu Aviva deh, kalau lo ada di sini.”

“EH JANGAN!” pekik Riana refleks.

“Kenapa?”

“Tau sendiri Aviva kayak apa. Ntar kalau tau saya di sini, dia malah marahin saya nggak ngasih tahu dia. Dia nanti ngira saya masih ada hubungan sama Bang Azka, terus—“

“Terus dia mencak-mencak, kebakaran jenggot, nendangin gue karena ngira kita ketemuan sengaja di sini?” potong Azka sambil menyulaskan senyum tipis. “Yaudah, nggak gue kasih tahu.”

“Oke, makasih kalau gitu. Saya cabut dulu, Bang. Ada urusan lagi,” pamit Riana, dia tidak yakin apakah hatinya akan baik-baik saja jika terus berhadapan dengan … cinta pertamanya itu.

“Hati-hati, ya. Salam buat Nyokap lo.”

Riana jelas tidak baik-baik saja setelah bertemu Azka Arfani.

߷߷߷

YANG tadi itu bukannya Azka Arfani anaknya panglima TNI Angkatan Laut, Adelard Canavaro?” Revan akhirnya buka suara saat tengah duduk di salah satu taksi yang berkendara membawa ia dan Riana menuju stasiun Gambir.

“Iya, lo kenal?”

“Kenal. Gue pernah ketemu dia waktu ada pertemuan panglima TNI di salagh satu acara, gue udah lupa. Terus beritanya juga santer karena dia sempat kecelakaan dan ngehebohin media massa, kan?” tebak Revan lagi.

“Iya.”

“Dia siapa lo? Kok keliatan akrab?”

“Gue berasa lagi baca beberapa novel, deh.” Riana menghembuskan napasnya berat. “Dia itu … cinta pertama gue.”

“Ooh.”

“Iya.”

“Hm.” Revan mengangguk. “Jadi, dia orang yang nggak ngebales perasaan lo?”

“Iya.”

“Tapi, ramah gitu sama lo. Apa jangan-jangan dia itu baru sadar kalau lo itu cantik, terus dia jadi suka sama lo, nyari-nyari lo, terus nanti ngerusak acara PDKT gue sama lo? Hih, sinetron banget dia tau, pake acara kebetulan ketemu sama lo lagi.” Revan mendadak didera rasa kesal.

“Orangnya emang ramah, makanya gue baper terus jadi suka sama dia.” Riana melengkungkan bibirnya. “Dia begitu ke semua orang.”

“Tapi, dia nggak gitu ke gue,” protes Revan.

“Dia kan nggak kenal sama lo, Rev.”

“Ooh iya kali.” Revan melirik jam tangannya. Sudah pukul dua siang. “Lo beneran nggak laper, Ri?”

“Rev.” Tiba-tiba, nada bicara Riana berubah. “Berita dia kecelakaan itu, gue yang ngebuat. Gue mutusin kabel rem mobilnya.”

Riana memberi jeda di kalimatnya agar Revan bisa percaya pada ucapannya.

“Semuanya gue lakuin karena gue jatuh cinta ke dia.” Riana menatap bola mata hitam Revan yang juga menatapnya. “Itu artinya … gue juga bisa ngelakuin apapun ke lo. Karena gue nggak baik.”

Bumi mendengar apa yang Riana katakan, bersamaan dengan itu semesta bertepuk tangan dan mulai merencanakan scenario terbaru bersama takdir.

߷߷߷

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 157K 22
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
1.4M 126K 60
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...