Isolatonist Girl

By Searani

14.6K 4K 844

The Alayers Series (3) : Ade Cahya Riana Katanya, jatuh cinta pada siapa saja diperbolehkan. Jadi, kalau Reva... More

PROLOG
Isolate (A) : Revandra Alvin
Isolate (B) : Garis Rindu
Isolate (C) : Mulai Berjuang
Isolate (D) : Diberitahu Tentangnya
Isolate (E) : Entah Apa Namanya
Isolate (F) : Filosofi Kehidupan
Isolate (G) : Gerakan Kaum Adam
Isolate (H) : Harapan
Isolate (I) : Iringan Rasa
Isolate (J) : Jejak Pergi
Isolate (K) : Kejujuran Rian
Isolate (L) : Laju Waktu
Isolate (M) : Melebihi Apapun
Isolate (N) : Nyata dan Tidaknya
Isolate (O) : Obat Peralih
Isolate (P) : Pulang yang Tertunda
Isolate (Q) : Quote dari Revan
Isolate (R) : Redup yang Menerang
Isolate (S) : Semua Hal
Isolate (T) : Titik Kuadrat
Isolate (V) Verifikasi Luka
Isolate (W) : Wacana Hati
Isolate (W) : Wacana Hati 2
Isolate (X) : X ditambah -X sama dengan -X
Isolate (Y) : Yang Pergi
Isolate (Z) : Zig Zag Menurun
Isolate (a) : ambisi durja kiloan
Isolate (b) : badai belum berhenti
Isolate (c) : cobalah mengerti takdir
Isolate (d) : di ambang batas kecewa
Isolate (e) : endapan rasa yang menguara
Isolate (f) : for my isolatonist girl
Isolate (g) : garapan rencana alayers
EPILOG

Isolate (U) : Untuk Hari Ini Saja

275 104 9
By Searani

Isolate (U) : Untuk Hari Ini Saja

TERIAKAN demi teriakan terus keluar dari masing-masing bibir begitu luka mereka bersentuhan dengan antiseptik.

“Makanya jangan lasak toh, Den. Makin perih nanti,” kata Bi Wala, jengah karena lima orang anak yang meminta bantuannya untuk diobati tidak bisa diam.

“TAPI BI! INI LEBIH SAKIT DIBANDING NGELIAT GEBETAN JALAN SAMA COWOK LAIN!” teriak Dion, yang kakinya tengah dibersihkan dari luka.

“Yaudah, kalau nggak mau begini tuh, jangan pada tawuran. Ini jadi Bibi yang repot,” dumel Bi Wala, geleng-geleng kepala. “Eh Den Cepi, itu jangan dikenain ke bantal obat merahnya.”

“BI WALA REVAN NENDANG DIO!”

“BI WALA PERBANNYA KEBUKA NIH!”

“BI WALA PELAN-PELAN!”

“BI WALA PERIH BI, PERIH!”

“Aduh Den, sabar atuh.” Bi Wala memegang kepalanya pusing. “Ini bukan pertama kali Aden-aden semua tawuran. Tapi, kok heboh begini?”

“Mau gimana lagi, Bi. Ini perih.” Cepi meratapi tangannya yang lebam-lebam. “Nyut-nyutan.”

Revan beda reaksi. Cowok itu memang merasakan seluruh badannya didera rasa nyeri juga, tetapi karena matanya sejak tadi tidak lepas dari botol obat merah pemberian Riana, cowok itu mengabaikan seluruh rasa sakit yang jika dilebay-lebaykan bisa membuatnya jungkir balik.

“Masa nih ya, Bi. Pas tawuran, ada lekong. Cantik, Bi, makanya salah fokus terus dihajar dari belakang,” cerita Dion sewaktu lukanya sebentar lagi bersih dan tinggal diperban.

“Mirip Cepi gitu ya, Yon?” kekeh Dio yang sudah berhasil menjauhkan kaki Revan dari arah luka besarnya.

“Bazeng, gue gini-gini meskipun pake fake account cewek, cowok tulen, nying,” ketus Cepi, segera meraih ponselnya dengan sisa tenaga yang ada.

“Masa?” Faghas menaikkan alis.

“Ya Allah, mau gue tunjukin bukti?” Cepi segera berdiri. Mengambil aba-aba segera membuka celananya. “Eh, siku gue, sakit, Tropikana!”

“Bibi ke belakang dulu, mau beresin kain kotor kalian,” pamit Bi Wala, takut sifat gila remaja-remaja itu menular padanya.

“Heh, Penguin, kenapa lo bawa-bawa Tropikana?” Dion segera angkat bicara.

“Bodo, kan tadi gue relfeks.”

Untuk beberapa waktu, tidak ada obrolan yang terdengar karena kelimanya sibuk pada kegiatan masing-masing. Faghas dengan grup chat English Club yang sudah tahu perihal tawuran yang menimpanya. Rentetan kata “Lekas sembuh” langsung membanjiri obrolan ponselnya. Claudio berhadapan dengan ponsel dan mengangguk-angguk mendengar pacarnya menceramahi kelakuan buruknya. Dion langsung tersenyum senang begitu melihat gebetan barunya mengiriminya beberapa kalimat geli tentang cowok tawuran. Cepi segera memfoto beberapa obat-obatan kemudian menguploadnya ke Instagram Recha Sahanaya dengan caption “Abis loncat-loncat di kasur, terus jatoh. Kepala kejedot ke meja. Wkwkwk.

Sementara Revan? Masih merutuki sikap diamnya hanya karena Riana.

Cewek itu tidak tahu bahwa, setelah dia pulang, Revan menyerang siapapun yang menjadi lawannya dengan terburu kemudian secepat mungkin menyelesaikan tawuran itu. Revan berhasil, karena hanya butuh waktu seperempat jam buatnya menghabisi seluruh siswa SMA Gradua.

Revan segera keluar dari lapangan itu dan mengajak seluruh komplotan SMA Cakrawala untuk kembali pulang ke rumah masing-masing sebelum warga mengetahui peristiwa itu.

Tawuran memang adalah salah satu keahlian The Pithecantropus sebagai jagoan SMA Cakrawala. Orang-orang yang selalu berada di bagian paling depan. Terutama Revan. Mungkin hanya dengan melihat Revan, kebagakan lawan mereka akan langsung mengkeret.

“Ngape lu? Masih kesal sama si Yoga?” tanya Cepi, begitu menyadari sejak tadi Revan diam.

“Enggak, baik-baik aja kok gue.” Revan menarik napas panjang. Segera diletakkannya obat merah pemberian Riana. “Sakitnya masih kerasa. Susah ngomong gue jadinya.”

“Den, ini Bapak nelpon!” seru Bi Wala, berlari tergopoh-gopoh dari arah dapur sambil membawakan ponsel milik Revan.

“Udah diangkat, Bi?”

“Belom, Bibi nggak ngerti ngangkatnya begimana.” Ponsel itu kini beralih tangan kepada Revan.

Video call?

Revan menekan tombol hijau di layar dan menunggu kebersihan gambar yang ditunjukkan layar ponselnya.

“Abis tawuran lagi?” sambut Agra begitu melihat wajah anaknya di layar kamera.

“Wah, Papa. Enggak, ini abis kejedot dinding tadi,” kekeh Revan begitu mata Papanya di seberang menyipit. “Serius, Pa.”

“Denger ya, Revan. Biarpun kamu bandel, asal kamu jujur, Papa nggak masalah.” Laki-laki berseragam loreng hijau itu berdecak, kontan membuat Revan didera rasa bersalah.

Prinsip Revan itu selalu, jika diboleh kan Papa berperilaku urakan maka jangan sampai membuat Papa kecewa karena ulah sendiri.

“Iya, Pa. Sama anak SMA Gradua, musuh bebuyutannya Revan,” ungkap Revan, setelah sadar bahwa sepandai-pandai apapun kamu menyembunyikan sesuatu, apa yang kamu sembunyikan sebenarnya tidak sedang benar-benar sembunyi.

“Ooh, kamu bikin teler?” tanya Agra cuek.

“Iya, abis Revan nampolnya pake cinta yang banyak, dia jadi ketagihan eh taunya lemas dan tidak berdaya.” Revan tersenyum lebar, berhasil membuat seseorang yang punya ikatan darah dengannya itu mendengus geli karena banyolannya. “Papa … kenapa tiba-tiba nelpon?”

“Lagi pengen aja.” Tampak pria di layar memutar pemandangan di depannya. “Kalau Internet di sana lemot, ingat yang ada di perbatasan. Papa sampai harus manjat atap rumah orang demi dapatin dua garis sinyal. Jadi kamu harus bersyukur.”

“Wah berjuang banget dong, Om? Mau dong diperjuangin tentara,” celetuk Cepi, mirip abege labil.

Yang dirasa Revan justru hal lain. Ada sesuatu yang dilihatnya dari Agra, tetapi dia tidak bisa menjelaskan apa itu. Seperti sesuatu yang sulit dipercaya tetapi sesuatu itu memang ada.

“Buat hari ini, Papa pengen dengerin cerita kamu soal cewek yang kamu taksir,” perintah Agra malam itu.

Untuk alasan apapun itu, Revan berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.

߷߷߷

Bintang mulai naik ke atas, menyapa bulan yang berulangkali menguap karena bersinar sendirian. Awan yang berarak-arakan maklum, tidak mau menutupi bulan karena jelas mereka tahu bulan lelah. Bulan bersinar setiap malam, menerangi manusia, tetapi manusia selalu mengelu-elukan matahari.

Riana yang mengamati beberapa benda langit itu hanya bisa tersenyum kecil memahami perasaan bulan, kemudian kembali menggoreskan pensil kayunya ke atas kertas putih yang dibawanya dari rumah. Salah satu peralihan kualitas dirinya ketika dilanda jenuh.

Tanpa sepengetahuan Riana, Revan berdiri di sana juga. Memegang kameranya dan diam-diam mengambil bidikan foto gadis itu. Senyumnya melebar begitu pose Riana yang sedang menatap langit serta rambut yang terurai itu berhasil tertangkap lensa kameranya.

“Kalau lo ngeliriknya ke dia terus, nggak bakalan ngehasilin apa-apa. Mending liat ke belakang, meski nggak sempurna, gue punya modal perasaan yang InsyaAllah nggak bakalan  nyakitin lo.” Revan sudah tidak mengerti kenapa dia mengucapkan kalimat bernada receh seperti itu, padahal tujuan utamanya hanya agar Riana mengetahui keberadaannya dan mereka bisa mengobrol.

Iya, mengobrol, tanpa embel-embel ‘Kok lo bisa ada di sini?’

Riana memberhentikan kegiatannya, memasukkannya ke dalam tas sandang bawaannya kemudian mengamati Revan. Riana juga enggan bertanya tentang keberadaan Revan. Toh, ini sudah yang kesekian kalinya ia bertemu dengan Revan di tempat yang sama.

Cowok itu pernah bilang padanya di tempat ini, dia merasa bahwa dunia itu memang yang seperti ini.

“Ngelukis?” tanya Revan, melihat beberapa pensil yang sedang digenggam Riana.

“Hm.” Riana mengangguk.

“Buat obat merah yang lo kasih tadi sore ….” Revan memberi jeda karena sekarang Riana menunduk. “Makasih banget ya, nggak kerasa sakitnya.”

“Hm.” Riana kembali mengangguk. Mata birunya perlahan mencoba menelisik beberapa luka yang terdeteksi di wajah Revan. “Lo bukan Revan, ya? Zombie?”

“Keliatan banget ya ancurnya?” Revan memang sadar tubuhnya penuh luka khas zombie di film-film. “Yah, udah takdir. Kalo emang gue beneran cakep, mau ancur gimanapun tetep cakep, kan?”

“Iya,” ucap Riana refleks tanpa berpikir panjang.

“Iya?” Revan mendadak terkena penyakit senyum melebar. Sangat lebar, menggambarkan suasana hatinya. “Maunya tadi gue rekam, jarang-jarang loh—eh bahkan baru pertama kali lo berlaku kayak gitu ke gue.”

“Lo kenapa tawuran?” Riana berusaha mengalihkan perhatian cowok itu. Mau bagaimanapun, dia tidak ingin tembok pertahanannya roboh. Riana sudah bertekad untuk tetap menjaga tembok itu.

Revan segera menelan ludah. “Harusnya gue yang nanya, lo beneran Riana? Bukan setan yang lagi nyamar jadi Riana?” Revan mulai merasa angin membelai tengkuknya. “Masalahnya, Riana nggak bakalan sepeduli ini sama gue.”

Riana mendengus. Antara senang dan tidak karena cara mengalihkan topiknya ampuh.

“Gini, ini tuh berkat nasi goreng bawaan Nyokap lo, karena nasi goreng yang enaknya masih kerasa ampe malam ini, gue jadi semangat banget!” Revan bercerita memang dengan semangat yang menggebu. Matanya yang memperlihatkan keseriusan ceritanya. “Kan karena makan nasi goreng itu tadi pagi, gue jadi kayak semangat gitu, berbunga-bunga kayak iklan, nah pas pulang sekolah … Eh, gue belom bilang makasih buat nasi goreng itu. Buat Mama lo, gue titipin rasa terima kasih ya, nasi gorengnya ngebuat hari gue cerah banget. Ngomong-ngomong itu beneran dari Nyokap lo?”

“Iya.”

“Serius dari Nyokap lo, atau lo sebenarnya yang buat cuman karena gengsi sama gue jadi bawa-bawa Nyokap lo?” tudung Revan.

“Dari Nyokap gue,” tukas Riana memperlihatkan rasa seriusnya.

“Tapi kan kotak bekalnya itu punya gue yang pas gue ngasih nasi goreng juga ke lo, kan? Kok bisa sampe dipake sama Nyokap lo?” Revan mulai curiga. “Apa jangan-jangan hari itu sebenarnya lo histeris terus curhat ke Nyokap lo soal cowok ganteng yang naksir lo tiba-tiba bawain nasi goreng?”

“Enggak,” sanggah Riana datar. “Terus tawurannya, gimana?”

“Oh iya, gue lupa kalau kita bahas peristiwa tawuran. Ya, jadi gitu deh, gue tadi itu semangat 45 banget, terus pas pulang sekolah rencananya mau ngapel ke kelas lo terus ngajakin pulang, eh nggak taunya si Cepi nyamperin gue dan ngasih kabar kalau anak SMA sebelah udah tawuran bareng anak-anak bandel lainnya dari SMA kita. Gue awalnya masih niat nganterin lo, pas gue tau kalau lawan tawuran ini anak SMA Gradua, dan Dion udah ada di sana, gue jadi kalang kabut.” Revan tersenyum simpul di akhir kalimatnya.

Membuat tembok pertahanan Riana berulangkali merasa terkikis akan sikap manis cowok itu.

“Gue biasanya abis tawuran gini bakal langsung main game atau ngefoto atau apapun yang bisa sejenak ngebuat gue lupa sama luka-luka bandel ini.” Revan memegang keningnya yang masih menyisakan perban buatan Bi Wala. “Tapi, yah lo bisa bilang ini najis, receh, menjijikkan atau apa. Gue Cuma mau jujur kalau … karena lo ngedatengin gue di lapangan tadi, sakitnya nggak seberapa. Bahkan gue nekad sampai jalan-jalan padahal kalau jalan, kaki gue nyut-nyutan abis.”

“Lo udah sering ikutan beginian?”

“Minimal sekali sebulan, ini kayak olahraga rutin.” Revan mendadak menyentuh luka di bagian bawah matanya. Sedikit darah mengalir dari sana. “Ya anggap aja ini cara gue ngeluarin darah kotor yang ada di tubuh gue.”

“Hah?”

“Kalau misalkan perempuan ngeluarin darah kotornya dengan cara kedatengan tamu, ya gue nganggap tawuran ini cara laki-laki ngeluarin darah kotor dengan cara ngeladenin tamu. Impas, kan?” Revan duduk bersandar di dekat Riana duduk. “Kedengaran bego, ya?”

“Hm.”

“Meskipun kata pemerintah tawuran ini ngerusak moral bangsa, gue nggak pernah kok ngajakin anak orang tawuran. Ini kan balik ke diri masing-masing. Kalau dibilang, gue sama anak-anak tawuran ini contoh yang nggak baik, yaudah gampang, nggak usah nyontohin kita. Lagian, kalau nggak ada anak-anak kayak kita, nggak bakalan ada sebutan anak baik-baik. Nggak bakalan ada anak kesayangan. Nggak bakalan ada guru BP dan nggak ada guru BP berarti nambah pengangguran. Ribet, kan?”

“Tapi kalau nggak ngedatengin untung buat diri sendiri ngapain?”

Revan mendekatkan wajah ke telinga Riana. “Ada sebuah rahasia yang nggak lo dan anak baik-baik ketahui tentang anak-anak bandel. Di dalem tawuran, kita bakal ketemu mana teman mana lawan. Kita nyambung tali silaturahmi bareng anak SMA lain. Iya berantem-berantem awalnya, tapi percaya aja deh, dua atau tiga tahun jadi musuh, pasti ada kesempatan buat damai dan anak-anak bandel nggak pernah nyia-nyiain itu. Nambah teman sama kenalan, saling maafan, nambah pahala diri sendiri, kan?”

“Tapi ngedapetin dosa dulu?”

“Ya sama kayak pepatah sakit-sakitan dulu baru seneng-seneng kemudian. Pertemanan yang kuat itu yang awalnya berantem, karena sebenarnya berantam itu kayak cara lo memahami sisi dari seseorang. Lewat berantem, lo tau sebenarnya siapa dia dan apakah dia layak dijadiin temen. Gue sama Claudio dulu sebenarnya musuh juga, sering berantem, bahkan gue pernah bikin dia kecelakaan, tetapi gue temenan baik sama dia.”

Gue pernah bikin dia kecelakaan.

Kalimat itu langsung memenuhi kepala Riana.

“Terus lo sama dia temenan?”

“Awalnya gue ngerasa kalau diri gue tuh jahat banget. Waktu itu, gue lagi bener-bener kalut karena si Claud. Kata dia, daripada kita berdua adu jotos terus ngabisin uang orangtua terus, mending balapan. Gue, seperti yang lo tau kago banget bawa mobil pas pertama kali, ngebelain naik mobil. Gue balapan sama dia, pas tikungan gue lupa melanin kecepatan dan mobil gue manuver di tengah jalan terus ngalangin jalannya Claud. Dia nabrak mobil gue dan setelahnya dia koma.

“Gue ngerasa bego, gue ngerasa bersalah banget sama dia. Gue bahkan ngutuk diri gue sendiri sebagai penjahat paling-paling bego di dunia. Tetapi, gue selalu keinget kata Nyokap gue, ‘Pengecut itu bukan orang yang lari ketakutan dari seseorang, melainkan orang yang mulutnya tidak pernah berani mengucap maaf meski tak ada rasa takut di hatinya’ Karena kalimat itu, gue nyoba ngeberaniin diri buat minta maaf ke Claudio. Awalnya ditolak, gue bahkan ditendang pake kaki kena gipsnya terus dia ngaduh-ngaduh kesakitan padahal yang bikin dia sakit dia sendiri.”

“Akhirnya?”

“Dia ngejitak kepala gue, ngelemparin gue vas bunga, mukul segala macem sampe dia tenang terus bilang lo budak gue mulai sekarang. Tapi, lo tau apa? Dia sama sekali nggak nganggep gue budak. Pas dia udah sembuh dan sekolah lagi, gue otomatis ngikutin dia terus dong demi dimaafin, eh taunya dia ninju gue dan bilang ‘Lo kira gue emak itik lo ikutin kemana aja? Bawa gue ke tempat teman-teman lo! Dan dari situ, gue temanan sama dia.”

“Lo ngerasa berani minta maaf karena kalimat Nyokap lo?”

“Kapan lagi kita bakalan berani buat ngadep masa depan kalau terus-terusan ketakutan sama kesalahan masa lalu? Nggak satu atau dua aja resikonya, bakalan banyak.” Revan terkekeh kecil. “Ngape gue jadi sok iya begini dah.”

Otak dan sel-sel tubuh Riana langsung bekerja. Memikirkan banyak hal yang baru saja Revan bagi dengannya. Pikirannya mulai bersuara, memekakkan telinga dan membuat Riana ingin segera pulang untuk menenangkan diri.

Revan aja, yang disiksa dulu baru dimaafin, berani munculin dirinya. Gue, yang jelas-jelas ngebuat semua orang susah terus cuman dihadiahi satu tamparan terus dimaafin, malah menjauh kayak pengecut gini, batinnya mulai berontak.

“Ngomong-ngomong soal nasi goreng lagi, Nyokap lo kan yang bikinin?” Revan sudah mulai mencari topik lain.

“Iya.”

“Kalau gitu, lo udah cakapan dong sama Nyokap lo?” Revan menggoda Riana dengan kedua alis yang dinaik turunkan.

Kalau Riana tidak berjanji untuk mempercayai hatinya lagi, mungkin sekarang dia sudah mengaku terkena diabetes akibat kemanisan sikap cowok ganteng di sampingnya.

“Be-belum,” jawab Riana terbata.

“Belum , yah?” Ada kekecewaan di pertanyaan itu. Semangat yang tadi Revan tunjukkan mendadak pecah dan menguar hilang. “Berarti kemungkinan kita bakalan jadian dalam waktu dekat, ada dong?”

“Apasih.”

“Mau sampai kapan lo diem-dieman?” kali ini Revan kembali serius. Tidak tahu kenapa, Revan memang selalu serius jika membahas apapun yang ada di diri Riana.

“Sampai dia berhenti dari pekerjaannya.” Riana menghembuskan napas berat. “Gue cuma nggak mau Nyokap gue terus kedatengan dosa, Rev. Ini, pekerjaan Nyokap gue itu, lo taulah kalau pekerjaan ini bener-bener dilaknat sama Tuhan.”

“Kalau lo mau ngebuat Nyokap lo berhenti terus kalian bersikap kayak anak dan Ibu yang normal, lo harus berhenti juga perang-perangan dingin. Harus lo yang ngeberhentiin duluan.” Revan menyapu rambutnya ke belakang lalu tersenyum entah untuk yang keberapa kali. “Lo berhentiin perang dinginnya, terus baik-baik ngebujuk Nyokap lo. Asal lo tau Ri, gue dan orang-orang di luar sana tuh banyak yang iri sama lo. Gue dan orang-orang itu udah nggak punya Nyokap dan pengen banget ngerasain kasih sayang Nyokap. Masa … lo nyia-nyiain apa yang Tuhan kasih?”

Riana diam. Perlahan angin mulai berhenti bertiup pertanda tengah malam sudah terlewati.

“Tadi pas gue belajar Biologi dan Bu Amel ngasih sedikit motivasi pagi, dia nyeritain soal kata-katanya Albert Einsten. Lo mau tau kalimatnya apaan?” ketika ditanya, Riana menoleh lalu mengangguk pelan. “Orang gila yang sebenarnya adalah, orang yang mengharapkan hasil berbeda dari apa yang ia dapatkan dulu, tetapi usaha untuk mendapatkan hasil itu dilakukannya dengan cara yang sama.”

“Maksud lo, gue adalah orang gila karena terus berharap Nyokap gue bakal berubah tapi usaha yang gue lakuin tetep aja sama?” Riana menyipitkan mata.

“Ya … meskipun lo gila, lo tetep cantik dan gue bakalan tetap suka.” Revan tertawa keras begitu melihat Riana memutar kedua bola mata jengah. “Mumpung momennya pas, gue boleh nanya soal kepindahan lo dari Wizard High?”

Riana didera rasa bingung. Haruskah dia bercerita kepada Revan? Apa kalau Riana memberi tahu siapa dia yang sebenarnya Revan langsung menjauh dari hidupnya?

Heh, apa-apaan. Memang Riana mengharapkan apa sampai-sampai takut Revan menjauh dari hidupnya. Harusnya Riana bersyukur karena nanti kehidupannya bisa normal kembali.

“Gue punya temen, berenam. Gue kenal mereka sejak awal MOS, gue ini kayak yang beda dari mereka—“

“Aviva, Aurel, Nasya, Kanissa, Deora, Ananda,” ujar Revan menyebutkan nama teman-teman Riana. Senyumnya kembali melengkung menyaingi bulan. “Gue bener, kan?”

“Lo tau darimana?” jelas Riana merasa bingung, Revan hanya orang baru di hidupnya, dan Riana rasa baru kali ini ia akan bercerita tentang masa lalunya.

“Kalau zaman udah berhasil ngebuat cewek berani nembak cowok, berarti zaman juga udah berhasil ngebuat cowok jadi stalker cewek.” Revan tidak tahu kalimat apa yang keluar dari bibirnya. Semuanya terjadi begitu saja. Tanpa paksaan.

“Gitu?” Riana merubah cara duduknya agar bisa melihat Revan dengan jelas. “Lo serius suka sama gue?”

“Seriuslah, kalau enggak, gue mana mau nungguin lo ampe jam li—“ Revan langsung merutuki dirinya dalam hati karena lidahnya terlalu jujur.

“Jam li?” Riana meminta penjelasan lebih.

“Enggak, itu … gue nungguin lo ampe jam lima shubuh kan, pas yang lo pingsan di tempat ini terus gue gotong ke rumah gue.” Revan menutupi kebohongannya dengan cengengesan.

“Lo bohong, ya?” Tetapi Riana bukanlah orang yang mudah mempercayai seseorang begitu saja, apalagi jika gerik-gerak Revan memang sudah menunjukkan arti lain.

Ketika Revan akan membuka suara, teriakan panggilan seseorang membuat Riana dan Revan menoleh ke jalan setapak yang membentang tidak jauh dari tempat mereka duduk.

“RIANA!!!”

Jantung Riana mencelos begitu melihat seseorang yang diharapnya akan tidak pernah ditemui berdiri tidak jauh darinya. Bersama dengan seorang laki-laki, orang itu terus menatap tempat Riana berdiri.

“Ikut gue!” ajak Riana, panik, membawa semua peralatan melukisnya, menyandang tasnya kembali kemudian mengamit tangan Revan kemudian berlari sekencang mungkin menjauhi wilayah asalnya.

Revan yang tidak tahu ada apa, hanya bisa berusaha tenang dan menyusul lari Riana yang bisa dibilang kencang.

“RI! Riana!”

Napas Riana berantakan akibat dia sudah lama tidak berlari. Dibawanya Revan bersembunyi di balik sebuah semak belukar. Tempat yang jelas-jelas berbahaya karena tidak terlalu banyak cahaya penerang di dekat sini.

Revan mengkhawatirkan, ada beberapa binatang yang sedang mengintai mereka.

“Itu siap—“

Riana segera menutup bibir Revan yang hendak bertanya. Matanya sesekali melirik tempat seseorang itu berada.

Riana terlalu panik sampai-sampai tidak sadar tangan kanannya masih memegang tangan Revan. Lewat tautan tangan itulah, Revan tahu bahwa Riana benar-benar takut dan panik. Keringat dingin serta tangan yang gemetar, itu yang didapat Revan agar percaya bahwa Riana memang sedang dilanda takut.

Riana juga terlalu panik sampai-sampai tidak sadar seberapa dekat jarak tubuh serta wajah mereka. Bahkan, jika Revan memajukan atau menggerakkan tubuhnya, dapat dipastikan ia bisa meraih Riana.

Memeluk atau apapun yang seharusnya tidak terjadi.

“Ri! Gue yakin itu lo. Gue hapal rambut lo, Ri.” Seseorang itu masih berusaha melacak keberadaan Riana. “Gue nggak pernah nyangka lo sekarang main tengah malam kayak gini. Ri, gue kangen lo, tolong, keluar dari persembunyian lo.”

Riana menahan napasnya. Matanya rasanya sebentar lagi berair. Beberapa keringat sudah mulai mengucur dari pelipisnya.

Gue juga kangen, batin Riana.

“Rel, kayaknya angin malam bikin lo halu.” Laki-laki di depan seseorang itu berusaha menenangkan. “Nggak ada Riana, Rel. Bandung ini luas, nggak mungkin dia ada di sini. Di tengah hutan, di dataran tinggi kayak gini, di gelap-gelap ayak gini, dan ini tengah malam.”

“Sumpah, Frans! Gue yakin gue nggak halu! Gue ngeliat Riana tadi.”

“Tenangin diri lo bentar. Pejamin mata lo, dan doa supaya lo dikasih ketenangan.”

“Tapi, gue masih mau ngejar Ria—“

Riana menyerah. Air mata langsung merembes dari ujung kedua bola matanya. Pegangannya pada Revan meluruh dan melemah. Riana hampir terduduk andai saja Revan tidak sigap memegangi bahu cewek itu agar tetap berdiri.

Pelan-pelan, Revan membawa bahu itu duduk dan bersandar di bawah pohon yang tidak jauh dari sana.

“Bidadari nggak boleh nangis, nanti yang ngeliat Bidadari nangis, bakalan ikutan sedih.” Revan mencegah tangan Riana yang mulai mengepal. Revan tidak ingin kuku-kuku perempuan itu melukai tangannya lagi akibat cengkramannya sendiri.

“Dia … temen gue, Rev,” bisik Riana, lirih. Suaranya benar-benar parau berserak.

“Terus kalau dia temen lo? Oke, lo tenangin diri lo biar gue panggilin dia. Lo tenang oke? Gue nggak bisa nenangin cewek nangis, nih. Nggak ada patung lagi, masa gue nyuruh lo meluk pohon?”

Revan sudah memutuskan berdiri untuk memanggil perempuan yang sejak tadi memanggil nama Riana. Namun, tangannya dicekal. Pemandangan wajah memerah Riana adalah yang pertama kali dilihatnya.

Just for five minutes.” Tiba-tiba, sebuah tangan melingkar di bahu Revan. Membuat Revan didera rasa bersalah karena tidak bisa menenangkan Riana.

Riana-nya lemah malam ini.

Lima menit rasanya seperti mengamati siput berlari, lama, dan cukup membuat Riana tenang karena usapan tangan Revan di punggungnya.

“Makasih,” ucap Riana, memalingkan wajahnya dari Revan agar cowok itu tidak melihatnya.

“Apapun alasan lo,  takut hanya karena ketemu dia, gue yakin permasalahannya serius. Dan, rasanya gue lagi nemanin Bulan sekarang. Gue udah lo lambungin jauh, dan gue harap lo nggak bakalan jatuhin gue.”

Riana memperlihatkan seluruh sirat tanya lewat matanya, benar-benar membuat Revan salah tingkah karena tatapan itu.

“Permisi.” Revan mengambil gelang karet yang ada di tangan kirinya. Tangannya terulur ke kepala Riana, lalu pelan-pelan kedua tangan cowok itu menyisir pelan rambut Riana kemudian berusaha mengikatnya dengan rapi. “Lo keringatan, gue pikir, kalau rambut lo dikuncir, minimal lo nggak keringatan lagi.”

Riana berdiri. Sebuah gerakan tiba-tiba yang membuat Revan terkejut.

“Sori, kalau gue kurang ajar—“

Lagi-lagi Riana menggeleng agar Revan tidak meneruskan kalimatnya.

Riana menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Tangannya meraba saku kecil tas sandangnya. “Makasih Rev.”

Lalu tangannya juga ikut terulur mengusap bawah mata Revan yang masih mengeluarkan darah. “Gue pulang duluan.”

Semuanya terjadi secepat berkedip. Revan bahkan baru saja tahu kalau Riana meletakkan sebuah plaster bergambar animasi kartun lucu di tangannya.

Revan hari ini merasa … ada yang akan tidak baik-baik saja setelah semua yang dilaluinya hari ini.

Continue Reading

You'll Also Like

5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
55.1M 4.2M 58
Selamat membaca cerita SEPTIHAN: Septian Aidan Nugroho & Jihan Halana BAGIAN Ravispa II Spin Off Novel Galaksi | A Story Teen Fiction by PoppiPertiwi...
15.7M 990K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...