Sudah berapa hari sejak Rachel tidak masuk sekolah, setiap hari ada saja kejadian-kejadian menyebalkan datang menghampiri Agra. Seperti para Guru yang menyeletuk di kelas menanyakan kedekatan Agra-Rachel yang begitu menghebohkan, bahkan tak jarang ketika Agra ke ruang Guru pun mereka membombardir Rachel pertanyaan seputar aksi tembak-menembak Rachel.
Agra tentu saja kesal bukan main tapi ada satu hal yang membuatnya terusik, lebih dari apa yang mereka tanyakan yaitu gosip para perempuan menulikan pendengaran sampai lelaki-lelaki yang menjelekkan Rachel. Agra mendengar mereka menyebutkan bahwa setahun lalu Rachel punya pacar tetapi dia meninggal, Agra tidak tahu pasti siapa namanya sebab mereka enggan memberitahu dan setelahnya Guru datang, seakan tidak pernah menceritakan apa pun mereka kembali ke kursi masing-masing.
"Gra," Flavian menyenggol lengan Agra yang dari tadi melamun. "Semenjak lo ditembak jadi kayak orang bego gini." komentarnya menyampurkan sambal ke kuah bakso.
Kini Flavian dan Agra sedang berada di kantin. Agra sebetulnya malas tapi perutnya berkata lain, laki-laki itu menggeleng tanda mengelak perkataan Flavian. Dia bengong karena kepikiran sama cerita-cerita siswa sekolah perihal Rachel. Setahu dia murid di SMA Nusantara yang meninggal setahun silam hanyalah Raga... masa sih, Rachel itu...
"Nah ini dia nih orangnya!"
Niko datang merusak ketenangan. Flavian hampir tersedak, Gio segera memberi Flavian es teh manis sementara Niko hanya menyengir duduk di seberang Agra. Matanya menerawang, menjelajah jauh ke dalam manik lelaki yang diam itu.
"Gue penasaran gimana bisa lo sama Rachel pacaran?" pembuka omongan Niko mampu menyorotkan tatapan sinis Agra.
"Lo udah nanyain ini berulang kali, Nik," balas Agra. "Dan, gue sama dia nggak pacaran,"
Niko terkekeh, meminta kentang goreng yang dibeli Gio. "Hehehe, gue masih nggak percaya dia nembak lo. Bukannya kalian berdua nggak deket? Apa jangan-jangan di belakang kalian deket?" Agra sukses keselak nasi goreng, Gio sigap memberinya minum. "Lah, napa dah, Gra? Omongan gue bener nih?"
"Ye, ngaco lo, Nik. Agra deket sama Rachel mana mungkin, kenal aja kagak," sanggah Flavian membantu Agra. Paddahal dia tahu ada urusan apa mereka berdua.
"Nah, makanya ceritain dah gue penasaran kok bisa dia begitu ke lo padahal yang di tau anak-anak dia mana pernah deket sama cowok lain kecuali Gara. Gue pikir dia bakal nembak Gara, kok malah lo," jelas Niko keheranan.
Flavian menyeruput minumnya sejenak. "Kepentok kali kepalanya, dari Gara pindah haluan ke Agra," kemudian Flavian melirik Niko. "Lagi lo penasaran amat dah."
Niko berlagak sok keren. "Ya, gue kan sebagai cowok paling up to date di sekolah harus tau sebenernya ada apa,"
Agra mengelap bibirnya pakai tissue. "Gue juga nggak tau tiba-tiba dia bilang gitu." sesingkat itu keterangan Agra, memang berbeda sama ujarannya tiga hari lalu yang cenderung lebih singkat tapi bukan ini yang diinginkan Niko.
Niko menganggukkan kepala, menyerah pada kecuekan Agra yang percuma dipaksa pun jawabannya tetap sama. Lantas dia beranjak, pergi ke koperasi hendak membeli sebotol air putih. Keadaan kembali damai, Flavian sibuk menghabiskan bakso, Gio yang membaca buku sejarahnya dan Agra yang makan sambil melamun. Gio sadar perubahan Agra, dia juga sama penasarannya seperti Niko tapi Gio tidak senyablak Niko yang terang-terangan berkata. Gio juga menilai jika Flavian mengetahui ada apa antara Rachel-Agra tapi memilih bungkam. Jadi, Gio tidak mempermasalahkan lagi. Toh, mereka juga nyaman kalau tidak membeberkan.
Hingga tiga orang perempuan menghampiri meja mereka, membuat keberadaan Agra seketika jadi pusat perhatian. Salah satu di antara mereka duduk di tempat Niko, dia mengenakan bandana pink cerah yang senada dengan warna kukunya, begitu pula dua temannya yang lain. Dia menopang dagu, memerhatikan Agra yang menyadari tapi tidak bereaksi apa-apa selain menghabiskan nasi gorengnya.
"Hai, Agra," suara sapaan Martha nyaris membuat Niko kepengin memuntahkan seluruh kunyahannya. "Kok lo makan sendirian, pacar lo kemana? Nggak masuk lagi?"
Gio menghela napas, dia masih bisa bersabar tidak membanting bukunya ke atas meja. Sedangkan Flavian sukses melotot, jelas-jelas ada mereka berdua tetapi Martha mengatakan bahwa Agra sendirian. Sungguh, perempuan ini selalu cari masalah dari mereka SMP. Mungkin Agra tidak tahu tapi Flavian yang pertemanannya lebih luas jelas saja tahu.
"Pacar lo ke mana sih, Gra? Udah tiga hari nggak masuk sekolah, ya ampun dia bolos lagi?" Martha memanyunkan bibirnya, menatap Agra dengan sorot prihatin. "Kok bisa ya lo mau sama Rachel? Cewek sangar kayak gitu, lo kan liat sendiri juga waktu itu dorong Angel."
Kepala Agra rasanya sudah berasap saat ini, dia lapar dan hanya mau makan tanpa harus mendengar pertanyaan konyol itu lagi dari siapa pun. Dia berharap Martha segera menyingkir, dan sepertinya doa Agra dikabulkan sebab setelah itu Martha menjerit sewaktu ada cipratan air menghujam ke atas kepalanya.
"Duhhh, apa-apaan sih ini?" sentak Martha melihat ke sumbernya.
Niko berdiri di belakangnya sambil membasahi telapak tangan menggunakan air yang dia beli. "Lo pada nggak nyium bau menyan dibakar apa?" tanya Niko mengenduskan hidung.
Gio menahan tawa sementara Flavian sudah tergelak. "Gue nyiumnya bau sampah dari tadi," lalu dia menoleh, seakan terkejut melihat Martha. "Oh, ternyata dari tadi lo ngomong, sori gue nggak tau, gue kira tumpukan sampah belum diambil sama Pak Slamet."
Martha menggeram, dia bangkit berdiri kemudian mendorong bahu Niko. "Sialan." umpatnya.
Ketika perempuan itu melewatinya Niko berbisik pelan. "Satu langkah lo ambil, kesalahan lalu akan terulang." peringat Niko membuat Martha merinding.
Perempuan itu mengentakkan kakinya kemudian pergi. Niko duduk lagi dihadapan Agra, Flavian mengacungkan jempolnya tanda bahwa aksi Niko berhasil. Di sebelahnya, Gio hanya tersenyum samar. Tak berapa lama Agra menyudahi makannya, Niko mengerutkan kening dia menyadari kalau tadi raut wajah Agra berubah tapi lelaki itu masih bisa berdiam diri. Ketika Agra memundurkan kursinya, Flavian mendongak.
"Mau ke mana lo?"
Agra mengedikkan bahu. "Ke kelas duluan."
•••••
Agra tidak kembali ke kelas. Dia hanya ingin menjauh dari keramaian. Dia naik ke lantai dua untuk ke perpustakaan. Sekilas saat dia melewati lapangan indoor Agra menemukan seorang perempuan mengenakan seragam warna pink-abu itu sedang berlatih sendirian. Angel, kapten cheers yang mengemban tugas lebih berat dari anggota lainnya hal itulah yang menjadi alasan mendasar kenapa dia di sana.
Dua daun pintu lebar itu terbuka, Agra menghampiri lantas menyaksikan Angel yang dengan lihainya diiringi musik bergerak semangat walau pada bagian membentuk piramid dia tidak melakukannya tetap saja Angel kelihatan bahagia dan membara. Cocok sekali menjadi seorang ketua.
Angel tersenyum sumringah memandang dirinya melalui cermin gantung yang dia pinjam dari kelasnya, puas akan latihannya. Tapi dia ingin mencobanya sekali lagi sebelum jam istirahat selesai dan latihan yang sesungguhnya bersama anggota itu dimulai. Kala Angel mengayunkan kaki kanannya, karena kelelahan keseimbangan Angel oleng, dia jatuh terjerembab dengan lututnya yang tergores. Angel mengaduh kesakitan.
Spontan Agra masuk, berlari kecil mendekati Angel. Dia berdiri sekian meter di belakang perempuan itu, keraguan muncul dalam dirinya haruskah dia membantu Angel atau berbalik meninggalkannya? Namun, ketika Agra mendapati lutut Angel mengeluarkan darah sedikit buru-buru lelaki itu mendatangi Angel lantas berjongkok di dekat kakinya.
"Agra?"
Angel terkejut akan kehadiran Agra. Lelaki itu menyingkirkan tangan Angel yang menutupi lukanya. Meskipun cuma goresan dan berdarah tidak begitu banyak tetap kecemasan itu meliputi hati Agra.
"Di mana kotak obatnya?"
"Biasanya ada di dekat ruang ganti baju." sahut Angel menunjuk pojok lapangan.
Agra mengikuti arah tunjuk Angel, dia berjalan tenang ke sana dan mengambil plester, obat merah serta alkohol. Lalu Agra kembali lagi. Mengeluarkan sapu tangan berwarna biru tua. Agra menuangkan sedikit alkohol lantas membersihkan lukanya, lanjut membalur obat merah serta menempelkan plester bermotif bintang-bintang kuning.
Angel tersenyum, menyelipkan anak rambut ke belakang telinga karena menghalangi pandangannya. "Makasih, Gra,"
Laki-laki itu tidak membalas. Dia merapikan obat merah dan alkohol, Agra mendengar ucapan Angel tapi dia enggan menanggapi. Angel sendiri paham kenapa Agra diam. Raut wajah lelaki itu datar tanpa ekspresi walau sesekali mengerut saat mengobati luka kecilnya tadi.
"Thanks buat kado lo," ungkap Agra akhirnya bersuara.
Angel mengangguk. "No problem. Bagus nggak? Gue baru pertama kali nyoba,"
"Nggak terlalu buruk." komentar Agra.
Angel memerhatikan tubuh Agra yang sudah tidak setegang dulu. "Selamat ya, Gra,"
Agra mengangkat kepalanya bingung. "Buat?"
"Lo udah jadian kan sama Rachel? Nggak nyangka lo baru pindah tapi udah disukain cewek sepopuler Rachel." goda Angel terkekeh.
Agra mendengus, dia tidak jadi mengembalikan barang-barang itu ke tempatnya. "Gimana kabar lo setelah didorong dia ke air?"
Angel agak heran mengapa Agra tahu bila Rachel sengaja melakukannya? "Yah... gue baik-baik aja," perempuan itu mengibaskan rambutnya ke belakang. "Lo tau darimana Rachel ngedorong gue? Bukannya dia bilang ke orang-orang kalo nggak sengaja ngedorong karena keseleo?"
"Tau aja."
Sebab seingat Angel, Rachel memang menyenggolnya dengan keras. Bukan alasan keseleo atau apa pun, sebagai korban Angel bisa merasakan mana yang jujur dan mana yang berbohong. Dia tidak tahu alasan Rachel melakukannya karena sebelum di pesta keduanya tidak saling mengenal cukup tahu nama.
Terdiam sekitar 5 menit. Angel melirik Agra yang sedang memandangi tribun. "Agra,"
"Hm?" gumam Agra tak menoleh.
"Kita bisa menjadi seorang sahabat?" tanya Angel pelan. "Gue tau. Dulu, gue melakukan kesalahan fatal yang membuat kepercayaan lo ke gue ilang. Tapi, apa nggak bisa kita berbaikan dan menjalin hubungan pertemanan yang sehat?" Agra memutar kepalanya ke arah Angel. "Gue nggak mau merusak kenangan indah yang pernah kita ukir bersama."
Agra berpikir sikapnya selama ini sungguh kekanak-kanakan, menjauhi Angel dan menghindari saat perempuan itu mendekati. Agra memang sakit hati dan dia masih enggan mendengar penjelasan apa pun tetapi tidak ada salahnya dia mencoba membuka hati kembali meski bukan dalam artian keduanya balikan. Lantas dia pun mengiyakan untuk kembali bersahabat.