What Makes You Fall In Love (...

By beestinson

304K 21.3K 243

Henry hanya mengenal Stacy sebagai gadis pengacau yang merusak malam penuh gairahnya bersama seseorang. Tapi... More

An Interview
Prolog
Satu
Dua (2.1)
DUA (2.2)
DUA (2.3)
TIGA (3.1)
EMPAT (4.1)
EMPAT (4.2)
LIMA
ENAM (6.1)
ENAM (6.2)
TUJUH
DELAPAN (8.1)
DELAPAN (8.2)
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS

TIGA (3.2)

12.1K 1K 9
By beestinson

Gagal membujuk Stacy walau imbalan yang ia tawarkan cukup fantastis membuat Henry pesimis. Mungkin ada baiknya ia mempertimbangkan usulan sepupunya, Ronald.

Pagi ini ketika sedang asyik bergelung dengan seorang wanita di dalam kamarnya, dering telepon membangunkannya. Nama Cindy tertulis di layar ponselnya. Dengan suara serak ia menjawab telepon itu.

Ia nyaris melonjak turun ketika mendengar jeritan Cindy. "Aw, Henry. Suara berat yang seksi." Memorinya memutar kembali jeritan Cindy ketika ia sedang berjalan di tengah keramaian Capital Square.

Minggu pagi adalah agenda di mana Tallulah menyarankan Henry untuk membuat pencitraan sebaik mungkin. Lagi. Kali ini ia menerima tawaran Cindy yang memintanya untuk pergi bersama ke bazar mingguan.

Cindy menggelayuti lengannya dengan erat, menjaga jarak mereka tetap rapat satu sama lain selama berjalan. Ia berceloteh mengenai apa saja yang ia lihat dan semuanya tidak terdengar perlu ditanggapi. Henry mengedarkan pandangan ke segala arah dan perhatiannya tertumbuk pada stand penjual kue-kue manis.

MARI KENYANG SAMBIL BERAMAL SELAGI BISA. KESEMPATAN TERBATAS!

Alisnya bertaut bingung membaca tagline yang terpasang di atas stand itu. Mengapa tulisan itu berubah menjadi aneh?

Menyadari prianya sibuk memandang stand kue-kue manis itu membuat Cindy tertarik ingin mencicipinya. Ia menarik Henry menghampiri meja di mana cupcake dipajang dengan cantik.

Mata Cindy bersinar cerah memandangi kue-kue cantik itu. "Kelihatannya lezat." Komentar Cindy, "Aku mau satu lusin." Ujar Cindy pada gadis berisi di belakang meja yang sedari tadi ternganga melihat Henry.

"Anda malaikat itu, kan?" kata Viviane masih belum menyadari permintaan Cindy.

Alis Cindy bertaut bingung, ia memandang Viviane dan Henry bergantian. "Apa maksudnya?"

Akhirnya Viviane menoleh pada Cindy, "Kekasih Anda sangat murah hati, Nona. Waktu itu dia membeli seluruh dagangan kami."

Cindy terkesiap karena takjub, "Benarkah?"

Henry merasa risih dengan topik ini, ia menggaruk lehernya sambil menjawab, "Beramal." Ia melirik spanduk di atas mereka lalu kembali pada Viviane, "Mengapa sekarang tulisannya berbeda? Strategi pemasaran baru?"

Viviane terbahak tapi hanya sebentar karena setelah itu wajahnya berubah murung. "Rumah kami akan digusur. Entah sampai kapan kami dapat berjualan di sini lagi setiap minggunya. Ketika semua penghuni panti disebar, maka tidak ada lagi Little Sunny."

Henry terdiam, ia tidak mengerti mengapa dirinya merasa iba mendengar berita itu. Tapi Cindy sudah lebih dulu menanggapinya. "Sayang sekali." Wajah gadis muda itu begitu tulus, kemudian ia menoleh pada Henry, "Bagaimana kalau kita beli semua dagangan mereka?"

Pria itu mengerjap mendapatkan serangan tidak terduga. Sebut saja Cindy lancang karena mengusulkan itu tanpa berdiskusi dulu dengannya, untung saja impulsif Cindy berada di tempat yang benar karena Henry setuju untuk membeli semua kue-kue itu.

Benaknya sedang memikirkan hal lain. Dimana Stacy? Mengapa ia tidak terlihat? Ketika tiba-tiba seseorang menabrak sikunya dari belakang.

"Maaf!" seru gadis dengan kulit merah merona dilapisi keringat tipis yang membasahi pelipisnya. Anak rambut brunettenya menyatu membingkai wajah gadis itu. "Tolong pindahkan satu lusin lagi, anak-anak pramuka di sana menyukainya." Seru Stacy tanpa menyadari kehadiran Henry di sisinya, gadis itu terlalu fokus pada pekerjaannya karena ia mulai memindahkan kue-kue ke dalam kotak.

"Sayang sekali semua kue ini sudah terjual." Viviane menggeleng pelan.

Akhirnya Stacy mendongak pada Viviane, tangannya berhenti memindahkan kue-kue itu ke dalam kotak, "Apa?"

Saudaranya mengangguk senang dengan mata bersinar cerah, "Tuan ini dan kekasihnya yang memborong."

Stacy mengikuti arah telunjuk Viviane. Ia berhasil untuk tidak terkesiap mundur ketika matanya bertemu dengan Henry. Pria itu begitu dekat dengannya dan setampan biasanya.

"Kekasih?" bisik Stacy lirih untuk dirinya sendiri. Kemudian ia memandangi Henry dan Cindy bergantian. Sengatan rasa yang begitu asing singgah di hatinya, rasanya terlalu aneh karena sekarang ia kecewa. Kecewa atas dasar apa? Stacy memarahi diri sendiri.

Stacy menegakan punggungnya, ia mengalihkan pandangannya kepada kue-kue yang sudah terjual sambil membasahi bibirnya lalu berkata, "Sayang sekali." Ia memindahkan kue-kue itu kembali pada tempatnya.

"Tidak masalah. Tolong bagikan kue-kue ini pada anak pramuka yang menunggumu tadi, mereka mendapatkannya gratis." Cetus Henry lagi membuat Cindy dan Viviane memekik senang.

Stacy mendongak, menatap mata Henry sesaat untuk memastikan apakah ada kilau mengejek dalam tatapan pria itu. Tapi ia tidak mendapatkan yang ia cari, Stacy kembali memasukan kue-kue ke dalam kotak sambil menggigit bibirnya sendiri. Benaknya berputar-putar, pikirannya terpecah antara hal krusial dan hal asing yang sifatnya mengganggu.

Semalam ketika selesai membuat kue, Stacy memutuskan untuk menginap di Little Sunny. Mereka menghabiskan waktu bersama hingga tengah malam lalu berdoa bersama. Suasana haru menyelimuti mereka saat itu. Stacy berbagi kamar dengan Viviane, gadis itu tidur terlalu cepat karena kelelahan. Sementara Stacy diam memikirkan solusi atas masalah mereka.

William benar, aku bukan superhero. Tidak ada yang bisa kulakukan. Ia sempat berpikir untuk meminta bantuan seseorang yang selama ini mengirimkan anak buah untuk mengawasinya dari jauh, namun Stacy ragu. Pria itu penjahat, yayasan rohani dan penjahat adalah dua hal yang bertentangan. Suster Abigail pasti lebih memilih anak asuhnya dibesarkan oleh panti asuhan lain ketimbang oleh seorang penjahat.

Kemudian ia juga sempat memikirkan pria yang sekarang berdiri tegang di sisinya. Bagaimana jika Stacy menerima proyek dari Henry dengan syarat pria itu mau memenangkan gugatan melawan William. Stacy akan membantu pria itu mendapatkan warisannya. Solusi yang bagus karena Henry hanya menginginkan pernikahan temporer dan Stacy bersedia memberikannya.

Namun sepertinya sudah terlambat, rupanya roh kudus turun dalam tidur pria itu, mensucikan otaknya dan membuka mata batinnya karena sekarang Henry bersedia menikah. Jalan yang bisa ia coba sekarang adalah meminta bantuan si pria misterius, asalkan suster Abigail tidak mengetahuinya maka semua akan baik-baik saja. Toh sama saja, Stacy tetap menggadaikan jiwanya, entah itu pada Henry atau pada pria misterius.

Selesai menata kue, Stacy menguatkan diri untuk mendongak menatap pria itu. Ia berhasil menguasai diri karena sekarang ia mampu tersenyum cerah dan penuh syukur padanya, "Terimakasih, Anda sungguh murah hati. Saya akan menyampaikan pada mereka bahwa kue ini gratis, pemberian Mr Henry dan-" ia menoleh pada kekasih pria itu dengan wajah bertanya.

"Cindy." Jawab gadis itu mantap.

"Mr Henry dan Miss Cindy." Stacy berhasil mengulang nama mereka dengan tegas sebelum berbalik pergi.

"Biar aku ikut denganmu." Kata Henry di belakangnya membuat langkah Stacy tertahan.

"Tapi aku kepanasan." Protes Cindy manja.

"Tunggu di mobil bersama Tally, aku tidak akan lama." Dalam lima langkah pria itu berhasil menjajari Stacy dan mereka pergi bersama.

Stacy mempercepat langkahnya karena Henry merentangkan telapak tangannya di punggung Stacy. Panas dengan cepat menjalar dan Stacy mengutuk reaksi tubuhnya sendiri.

"Kau seperti dikejar setan." Henry terkekeh dan dengan mudah menyamai langkah Stacy.

Mengabaikan celotehannya, Stacy bertanya tanpa sempat berpikir, "Akhirnya setuju untuk menikah?"

Henry menoleh padanya dan langkah mereka pun semakin lambat, "Maksudmu Cindy?" Tanpa berani memandang wajahnya Stacy mengangguk.

"Aku hanya sedang mempertimbangkan pilihan itu, bagaimana pun aku harus menyelamatkan hakku."

"Karena itu kau bersedia melakukan apa saja?"

"Hm." Jawab Henry singkat.

"Tapi itu tentunya jenis pernikahan yang permanen, bukan pernikahan yang kau tawarkan padaku kemarin. Maksudku, kau sudah siap terikat selamanya?"

Henry menghembuskan napas dan terlihat sangat lelah dengan masalah ini, "Aku sedang mencoba."

Stacy melangkah lebih panjang dan memblok jalan Henry, "Aku bersedia menikah denganmu." Katanya ketika Henry mengernyit bingung karena jalannya dihalangi, "Pernikahan temporer, pernikahan berbatas waktu, pernikahan yang sudah pasti akan berakhir begitu rencanamu tercapai. Kau hidup dengan bebas seperti biasanya dan tidak terikat."

Henry menipiskan bibirnya, kedua matanya memandang Stacy spekulatif. "Apa ini berkaitan dengan klaim Little Sunny yang dilakukan ahli warisnya?"

Stacy sempat membelalak sejenak, bagaimana bisa Henry tahu soal itu. Tapi kemudian ia teringat pada banner mereka yang kontroversial ditambah Viviane yang gemar bercerita. Stacy mengangguk mengiyakan tebakan Henry.

"Jadi kau bersedia melakukan ini demi mereka?"

"Mereka keluargaku, aku mencintai keluargaku dan akan melakukan apa saja untuk mereka."

"Kalau begitu apa permintaanmu sebelum kita sepakati perjanjian ini."

Stacy menarik napas panjang dan menenangkan jantungnya yang berlomba dengan arus di dalam pembuluh darah. Ia tahu kemungkinan Henry menyanggupi permintaannya sangat kecil, ia terlalu muluk. Namun apapun pantas untuk dicoba. Ia menatap mata pria itu lekat-lekat, mengabaikan sensasi aneh yang menjalari punggungnya ia berkata, "Panti asuhanku akan digugat oleh keturunan mendiang Sir Albert yang menwariskan tanah itu pada yayasan. Kami tidak memiliki bukti yang menunjukan bahwa Sir Albert memang menghibahkan tanah itu pada yayasan sedangkan William adalah ahli waris yang sah, entah atas properti yang mana. Kami lemah secara hukum."

"Apa yang kau inginkan, Stacy?"

Mendengar pertanyaan itu membuat bulu kuduk Stacy meremang, ia memaksakan diri untuk menjawab, "Selamatkan rumah kami, menangkan gugatan itu. Kau boleh memegang sertifikatnya, seharusnya kau tidak cukup tergiur dengan rumah kami mengingat betapa kayanya dirimu. Mungkin suatu hari nanti kami sanggup membelinya darimu."

Henry tampak mempertimbangkan permintaan Stacy sejenak sebelum kembali bertanya dengan suara super rendah dan dalam, "Lalu apa yang kau tawarkan padaku?"

Stacy tersentak mundur selangkah, getaran itu semakin hebat pada pertanyaan kedua seolah Henry menyampaikannya dengan cara yang berbeda. Stacy menatap waspada ketika Henry kembali menutup jarak di antara mereka, kedua tangannya meremas lembut pundak Stacy, dan ia menunduk di atas wajah gadis itu. Menatap ke dalam matanya, tidak mengijinkannya berpaling sepersekian detik pun. Lalu ia mengulang pertanyaannya sekali lagi dengan lebih lambat, "Apa yang kau tawarkan padaku...Stacy?"

Stacy terkejut ketika mendapati dirinya menjawab, "Semuanya." mereka terdiam saling memandang satu sama lain. Menerka jika mereka sedang memaknai pertanyaan Henry dengan cara yang berbeda.

Henry perlu memastikannya, "Kau mengerti jawabanmu sendiri?"

Stacy berdeham, ia berkedip dua-tiga kali lalu menjawab, "Aku mengerti." akhirnya ia membuang muka karena sadar bahwa kini pipinya merona. "Maksudku, aku bersedia berikan semua yang kau butuhkan untuk meyakinkan semua orang hingga kursi komisaris itu ada di bawah bokongmu." ia mengulang bagaimana Henry mengucapkannya tempo hari.

Henry menatapnya sekali lagi sambil bertanya-tanya apakah gadis itu paham apa yang ia katakan?

"Stacy-" Henry berpikir keras untuk menyampaikan maksudnya tanpa menakuti gadis itu, "...kau mengerti arti kata SEMUANYA?" ia geram ketika mendapati gadis itu mengangguk polos. Ketika ia hendak membuka mulut, Stacy meletakan telunjuk di ujung bibirnya.

"SEMUANYA." Stacy mengulang, "semuanya asal aku tetap hidup, tetap sehat, tetap selamat, dan tidak sakit." ketika Henry masih memandangnya dengan tatapan skeptis, Stacy mendesah lelah, "Aku tidak punya apapun yang dapat kuberikan padamu. Jadi ambil saja yang ada, oke?"

Henry mengerjap, ia menegakan punggungnya tapi belum melepaskan tangannya dari pundak Stacy. Tatapan bingungnya berubah menjadi nakal. Henry yang biasanya sudah kembali. Sudut bibirnya ditarik membentuk senyum yang sama nakalnya dengan kerlingan pria itu.

"Kebetulan ada beberapa hal yang bisa dimanfaatkan dari seorang gadis." ia mendekatkan wajahnya dan berbisik, "oh, tapi kau...bukan lagi gadis." Henry mengusap telapaknya di sepanjang kulit lengan yang telanjang ketika menurunkan tangan dari pundak Stacy.

Stacy bergidik lalu mundur dan meneruskan langkahnya menuju barisan pramuka. Tidak sulit bagi Henry untuk menjajarinya terlebih hati pria itu sedang amat berbunga-bunga.

"Untuk menjaga profesionalitas kita dalam bekerja, sebaiknya kurangi sentuhan fisik yang tidak perlu."

Pengumuman Stacy membuat senyum penuh kemenangan di wajah Henry memudar. Ia menatap bagian samping wajah Stacy ketika berjalan bersama seolah ingin berteriak protes. Namun ia tutup kembali mulutnya rapat-rapat. Paling tidak ia sudah selangkah lebih maju sekarang. Ia siap memenangkan tantangan Hanzel, juga tertantang untuk memenangkan hati gadis itu. Astaga, untuk apa aku ingin memenangkan hatinya?

Selanjutnya ia akan memikirkan cara untuk memenangkan gugatan itu secara cerdas. Menempuh jalur hukum tentu akan rumit dan belum pasti kemenangan akan diraih. Hanya buang-buang waktu.

Continue Reading

You'll Also Like

54.5K 5.9K 29
Ditinggalkan calon istri satu hari sebelum pernikahan dengan alasan yang mengagetkan, Alexius Ishan Nararya tak dapat menerimanya. Hingga bertahun-t...
10K 434 21
Blurb: Giselle Putri Natapradja, gadis cantik ambisius - seorang konsultan senior yang mengidamkan posisi Partner yang sedang kosong di kantornya Th...
Dandelion By Midnight_Water

Mystery / Thriller

939 648 32
[Drama-Misteri] Levina Tiara Maghency, seorang gadis rupawan, putri seorang konglomerat harus kehilangan kedua orang tua nya pada sebuah kecelakaan y...
17M 753K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...