What Makes You Fall In Love (...

By beestinson

304K 21.3K 243

Henry hanya mengenal Stacy sebagai gadis pengacau yang merusak malam penuh gairahnya bersama seseorang. Tapi... More

An Interview
Prolog
Dua (2.1)
DUA (2.2)
DUA (2.3)
TIGA (3.1)
TIGA (3.2)
EMPAT (4.1)
EMPAT (4.2)
LIMA
ENAM (6.1)
ENAM (6.2)
TUJUH
DELAPAN (8.1)
DELAPAN (8.2)
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS

Satu

19K 1.2K 14
By beestinson

Babak Pertama:
Wanita yang paling beruntung adalah mereka yang dilamar oleh kekasihnya
(Stacy Connor)

“…aku akan menjawab ‘Ya’ berkali-kali. Demi Tuhan, ya…” ia mengangguk sambil menangkup mulutnya. Tangis haru dan bahagia mewarnai lamaran tak terduga itu. Ia tidak menyangka bahwa kasino tempat dimana orang berjudi, ia justru mendapatkan sebuh lamaran lengkap dengan cincin yang tersemat di jari manisnya.

Sungguh, dilamar adalah apa yang wanita inginkan dari suatu hubungan. Dilamar adalah prosesi paling romantis menurut Stacy. Dimana seorang pria telah melalui malam tanpa tidur hanya untuk mempersiapkan kata-kata paling menyentuh dan berharap untuk diterima.

Seseorang bisa saja menikah tanpa dilamar. Perjodohan misalnya, seorang wanita tidak akan pernah menyaksikan bagaimana kesungguhan mata seorang pria ketika meminta dan berharap agar lamarannya diterima. Sensasinya seperti memenangkan jackpot.

Stacy menyeka matanya yang basah sekali lagi lalu tersenyum memandangi wajah bahagia pria itu. Stacy menunduk dan mengamati setumpuk kartu di tangannya. Tidak ada cincin di sana. Ia menghembuskan napas lalu tersenyum kecil. Malam ini bukan untuknya, lamaran kali ini milik wanita lain. Milik wanita dengan tubuh berisi yang baru saja mengosongkan kantong kekasihnya karena kalah bermain. Stacy berhenti menatap mereka ketika pria bertubuh atletis itu mencium bibir kekasihnya rapat-rapat dan berusaha menggendongnya sampai akhirnya mereka menyerah.

Oh, ayolah Stacy, wanita-butuh-diet itu saja berhasil mendapatkan lamaran. Sedangkan dirimu? Dilirik saja tidak.

Sekali lagi Stacy tersenyum masam sambil mengocok kartunya dengan kecepatan penuh. Ia agak emosional kepada sesuatu yang bernama takdir. Bagaimana gadis itu mendapatkan lamaran jika berpacaran saja tidak pernah. Oh ya, dia pernah menjalin hubungan singkat dengan seorang pria saat masih sekolah, kala itu gagasan dilamar tidak terlintas sedikit pun, mereka masih terlalu muda.

Lagi pula—pikir Stacy—berpacaran belum tentu menjamin bahwa suatu saat ia akan dilamar. Bagaimana jika nasibnya seperti Rosario, saudara satu panti asuhannya. Rosario menjalin hubungan dengan seorang pria yang telah mengamatinya sejak mereka masih berusia belasan tahun tanpa sepengetahuan suster. Hingga gadis itu memutuskan untuk pergi dari panti asuhan sekali pun, Stacy juga yang lainnya belum mendapatkan undangan pernikahan mereka.

Dua orang sangat mungkin untuk hidup bersama bahkan memiliki anak dan mereka cukup nyaman dengan status tidak sah itu. Sekali lagi, pria yang berani melamar kekasihnya tergolong spesies langka di mata Stacy Victoria Connor. Dan Stacy berniat untuk memelihara spesies itu nantinya. Intinya ia harus mendapatkan lamaran yang romantis. Titik.

"Nona, bagikan kartunya!" seru salah seorang pemain. Stacy berhenti mengocok, ia mendapati jemarinya memerah akibat gesekan kartu-kartu itu. Kemudian ia segera membagikan kartu pada setiap pemain mengabaikan gerutuan tidak jelas dari mejanya.

Bekerja sebagai dealer tidak pernah menjadi pilihan hati Stacy, tapi ia memang tidak memiliki banyak pilihan sejak kecil. Dibesarkan di sebuah panti asuhan membuatnya harus rela menerima apa yang diputuskan orang lain untuknya serta mengalah demi orang lain juga.

Selain itu bekerja sebagai seorang dealer cantik pun membantu Stacy hidup mandiri dengan lebih mudah setelah memutuskan untuk pergi dari panti asuhan di usianya yang relatif muda. Pasalnya bayaran yang ia peroleh jauh lebih tinggi dari sekedar pelayan restoran atau sejenisnya. Kecuali ia bersedia menjadi wanita penghibur, tarif mereka fluktuatif.

Terlepas dari itu, Stacy mempunyai alasan yang bersifat pribadi. Seorang pria yang menyelamatkan masa depannya dari kehancuran berpesan agar Stacy tidak mencari uang dengan menjual tubuhnya sebagai pemuas pria hidung belang.

Pria itu adalah Royce. Pria yang membuatnya jatuh cinta diam-diam. Pertemuan mereka memang bukan sesuatu yang romantis namun momen itu berarti banyak bagi Stacy.

Stacy hanya seorang gadis biasa yang sedang kebingungan mencukupi hidup, keputusannya untuk pergi dari panti dan hidup mandiri rupanya lebih mudah dibayangkan ketimbang dilakukan. Ketika seorang wanita bertanya apakah dirinya masih perawan lantas menjanjikan sejumlah besar uang untuk ditukarkan dengan selaput daranya, dengan idiotnya Stacy menerima tawaran itu tanpa berpikir panjang.

Ketika ia dibawa ke sebuah klub kabaret mewah barulah Stacy merasakan takut. Seperti sesuatu yang keras menghantam perutnya, seketika ia merasa mulas. Pria yang membayar jasanya pastilah sangat putus asa. Mungkin saja ia buruk rupa atau memiliki kebiasaan bercinta yang mengerikan. Buktinya dia mencari gadis perawan. Stacy hampir saja mundur namun melihat penjaga yang berdiri di pintu keluar klub membuatnya berpikir ulang untuk kabur. Ia sudah menerima bayaran dan sekarang saatnya ia melaksanakan kewajiban.

Tidak pernah ia duga jika pria putus asa itu memiliki paras yang tampan, rambut yang hitam sewarna dengan matanya. Stacy nyaris menggigil ketika melihatnya. Sorot matanya begitu dingin. Kabar baiknya adalah mungkin tidak sulit untuk bercinta dengan pria bernama Royce itu.

Apa yang terjadi malam itu membekas di benak Stacy. Bahkan mengubah sebagian kecil hidupnya. Segala yang Royce lakukan malam itu padanya membentuk sebuah kenangan yang membekas dan tidak ingin Stacy lupakan. Ia terpesona, ia jatuh cinta, tapi juga patah hati di saat yang bersamaan.

Stacy memiliki kemampuan berhitung yang baik. Tidak heran jika ia dipercaya untuk membantu suster mengelola uang yang jumlahnya cukup sedikit demi kelangsungan hidup kurang lebih lima puluh orang selama di panti dulu. Sekarang kemampuan itu cukup membantu pekerjaannya.

Royce memberinya pandangan baru tentang seorang pendamping hidup yang Stacy dambakan. Pria itu harus bijaksana, kharismatik, dan bertanggung jawab. Kaya dan tampan adalah bonus. Dan setiap manusia tentu mengharapkan bonus, termasuk Stacy. Semua kriteria itu ada pada diri Royce. Alam bawah sadarnya selalu membandingkan setiap pria yang ia lihat dengan Royce. Pikiran Stacy tentang pria menjadi sempit namun ia tidak peduli.

Minggu kedua setiap bulan adalah jadwal Stacy mengunjungi panti asuhan tempat ia dibesarkan. Hanya mereka keluarga yang ia miliki. Suster Sherryl adalah sosok ibu baginya. Terkadang ia bermanja pada wanita itu ketika mereka hanya berdua saja. Bahkan ia sempat curiga bahwa suster Sherryl adalah ibu kandungnya karena ikatan batin antara mereka berdua cukup erat. Tapi itu mustahil.

'PERUT KENYANG SAMBIL BERAMAL' adalah tagline yang dibuat Viviane untuk bazar kali ini. Festival mingguan yang di adakan di Capital Square tidak pernah mereka lewatkan. Menjual kue-kue manis untuk menambah kas panti asuhan dikala sepi donatur.

Viviane adalah teman sekamar Stacy di panti asuhan dulu. Gadis berisi itu memutuskan untuk mengabdikan hidupnya sebagai pengurus panti membantu suster-suster baik hati yang staminanya mulai dimakan usia.

"Silahkan! Perut kenyang Anda tidak akan sia-sia." Goda Viviane ketika Stacy menghampiri stand mereka yang cantik. Viviane memang memiliki bakat dalam hal dekoratif entah pada kue maupun interior stand mereka.

"Aku beli satu lusin cupcake-" kata Stacy riang, "berikan padaku aneka rasa."

Viviane mengerjapkan matanya, "Kau serius? Aku hanya menggodamu. Lebih baik bantu kami menjual semua kue ini dari pada menghabiskan uangmu untuk membelinya."

Akhirnya Stacy mengangguk setuju. Ia meletakan sling bag miliknya di kolong meja kemudian menggulung rambut panjangnya hingga rapi. Seorang anak laki-laki sebelas tahun menghampiri mereka dengan kotak dagangannya.

"Cepat isi kotakku lagi. Aku sedang berlomba dengan Rius." Kata Daniel dengan tergesa-gesa.

"Oke, Sir!" sahut Stacy dengan menyungging senyum manisnya. Ia menata cepat kue-kue di dalam kotak Daniel kemudian anak itu berjalan cepat meninggalkan stand. "Oh ya, kau bertambah cantik, Stacy." Teriak Daniel dari kejauhan membuat pipi Stacy merona.

"Anak kecil tahu apa!" gumam Stacy pelan lalu tertawa geli.

"Silahkan! Perut kenyang sambil beramal!" Viviane cukup percaya diri dengan suaranya yang menggelegar memanggil orang-orang yang lalu lalang untuk mampir ke stand mereka. "Perut kenyang Anda tidak akan sia-sia. Kapan lagi!"

Seorang pria bertubuh tegap berdiri menjulang di depan batang hidung Viviane. Saking tingginya, Viviane harus mendongak jauh ke belakang. Di samping pria itu berdiri seorang wanita yang semampai lengkap dengan buku catatan di tangannya.

"Halo, Annette!" suara tenor pria itu membuat dahi Viviane berkerut heran. Membuat Stacy yang sedang menata kue harus mendongak dari meja. Perlahan seorang anak berwajah murung muncul dari balik tubuh wanita itu. Daniel dengan baju penuh krim.

"Astaga! Aku tidak habis pikir harus melakukan pencitraan ini demi mengambil hati dewan direksi dan juga ayahku sendiri." Gerutu Henry sambil melonggarkan dasinya. Ia berjalan membelah orang-orang yang memadati Capital Square pagi itu.

"Anda memang harus melakukannya, Sir. Yang kutahu bahkan sepupu Anda, Hanzel ikut mengotori tangan dan kemeja mahalnya dalam sebuah demo di tengah masyarakat soal bagaimana menggunakan pupuk dengan benar."

Henry berdecih jijik, "Pria itu memang ambisius sekali. Kutebak seluruh bawahannya mengabadikan momen itu untuk dipamerkan pada dewan direksi."

Sambil berusaha menjajari bosnya yang berkaki panjang, wanita yang sudah menjadi sekretaris Henry sejak dua tahun lalu itu mengangguk, "Anda benar. Dan ayah Anda tidak segan memuji Hanzel."

Henry terpaksa harus menghadiri pameran produk mereka di Capital Square. Menurutnya acara itu sia-sia. Sebagai satu-satunya perusahaan yang dipercaya pemerintah sebagai produsen sekaligus distributor pupuk untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Henry merasa tidak perlu lagi melakukan kegiatan CSR seperti ini. Mereka semua bergantung pada Superfosfat.

Jika saja Henry memiliki kepentingan politik maka dengan senang hati ia akan melakukannya. Tapi yang Henry lakukan sekarang adalah bagian dari persaingan sengitnya dengan Hanzel demi menempati jabatan komisaris dari perusahaan keluarga Peterson itu.

Semesta seolah sedang mengejek pria itu. Seorang anak kecil penuh semangat dengan kecepatan penuh menabraknya. Apa yang dibawa oleh anak laki-laki itu mengotori tubuh mereka. Baju jelek anak itu semakin jelek dan setelan jas mahal Henry menjadi sama jeleknya.

"Maafkan aku, Sir." Daniel terlihat sangat ketakutan. Wajahnya pucat melihat krim bertebaran di celana dan bagian bawah jas Henry. Membersihkan setelan mahal itu pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Henry menatap pakaiannya lalu menyeka sisa krim yang menempel. "Seharusnya kau berhati-hati, Nak!" katanya. Intonasinya ditekan agar kekesalannya tidak menakuti anak yang sudah ketakutan itu.

Daniel hampir menangis, "Aku sedang mengejar waktu untuk menghabiskan daganganku, Sir. Sebentar lagi waktu bazar akan berakhir. Tolong maafkan aku atas kecelakaan ini."

Henry menghela napas sambil menatap lurus bocah itu, memperhatikan penampilannya dengan saksama. "Siapa orang yang tega mempekerjakan anak di bawah umur sepertimu?"

Tapi bocah itu menggeleng sehingga Henry berusaha membujuknya. "Jangan khawatir, aku tidak akan menuntut ganti rugi pada mereka."

"Kami tidak akan mampu mengganti pakaianmu, tapi mungkin saudara kami bisa membantu membersihkannya. Hanya itu yang dapat kami lakukan." Kata Daniel penuh sesal.

Henry mengerutkan keningnya semakin dalam, "Saudara? Dimana orang tuamu?"

"Kami semua tidak memiliki orang tua, Sir." Jawab bocah itu.

Saat itu juga Henry menyimpulkan sesuatu, "Jadi kalian dari panti asuhan?"

Daniel mengangguk penuh semangat, "Dan kami berjualan kue-kue manis ini."

Henry berpikir sejenak sebelum menegakan tubuhnya, "Kurasa aku akan membeli dagangan kalian yang masih bisa dimakan." Ia melirik kue yang berserakan di kaki mereka, "Yang ini sudah tidak layak tapi tetap kubayar."

Tapi Daniel agak ragu-ragu mengiyakan, "Anda berjanji tidak akan menuntut kami?"

Terdengar gelak tawa hangat seorang Henry, tangannya terangkat untuk mengacak-acak rambut bocah itu. "Tenang saja. Aku akan menjadi pendosa jika menuntut kalian.'

Papan bertuliskan tagline 'PERUT KENYANG SAMBIL BERAMAL' itu langsung menarik perhatian Henry begitu ia sampai di stand. Di bawah tulisan bercetak huruf kapital itu tertulis nama panti asuhan yang dimaksud, 'Little Sunny Homes' dan di bawah tulisan itu berdiri seorang gadis bertubuh agak kurus namun memiliki payudara agak berisi, Henry tahu karena gadis itu menggunakan kaos berpotongan leher berbentuk V yang agak menggodanya.

Gadis itu sedang sibuk menata kue-kue manis aneka warna di atas meja sehingga tidak menyadari kedatangan Henry dan sekretarisnya, Tallulah. Oh, dan bocah yang sedang ketakutan, Daniel.

Senyum iblis terkembang di wajah tampan Henry yang memang selalu ramah. Takdir mempertemukan kita lagi untuk...? Pertanyaan menggelikan itu timbul dalam benaknya.

Ia terlalu fokus memperhatikan Stacy hingga tidak menyadari gadis berisi yang menghalangi jalannya.

"Halo, Annette!" katanya. Seringai puas muncul di wajah Henry ketika Stacy terkejut mendengar sapaan itu. Ia baru saja akan melangkah mendekati gadis itu saat gadis berisi di hadapannya berseru.

"Anda salah orang, Sir. Namaku Viviane dan dia Stacy." Viviane mengedikan dagunya ke arah Stacy.

Henry mengerjap melihat gadis dengan puncak kepala setinggi dadanya. Ia memindahkan gadis itu dengan mudah ke samping lalu berjalan lurus ke arah Stacy.

Stacy sudah begitu tenang sekarang. Tidak ada ekspresi berarti yang ditunjukannya ketika berhadapan dengan Henry. Ia tersenyum ramah pada Henry sambil menawarkan dagangannya.

"Silahkan, Sir. Perut kenyang sambil beramal." Stacy menyebutkan tagline mereka. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukan bahwa mereka pernah bertemu sebelum ini.

Senyum puas hilang dari bibir Henry, sekarang ia mendadak gusar, apakah dia salah mengenali orang? Bagaimana bisa gadis ini seolah tidak mengenalnya? Bukankah baru dua minggu lalu Stacy mengaku sedang mengandung bayinya? Batinnya tergelitik setiap kali mengingat gagasan itu.

Henry menyipitkan mata ke arahnya dengan tatapan menilai namun itu pun tidak menggoyahkan kemampuan akting Stacy. Akhirnya Henry menyerah, ia bertepuk tangan dengan tujuan mengejek.

"Bravo!" katanya, "Bakat aktingmu luar biasa membuatku kagum." Ia menggeleng takjub. Jelas takjub itu hanya gestur untuk merendahkan Stacy. Tapi sekali lagi Stacy tidak gentar sedikit pun.

Pandangan Stacy turun ke arah setelan jas Henry yang kotor oleh krim membuat perut Stacy bergolak. Kemudian ia menoleh ke arah Daniel yang sedang dimarahi habis-habisan oleh Viviane, pakaian bocah itu juga kotor. Berhasil menyimpulkan sesuatu yang buruk, Stacy mendongak ke wajah Henry di seberang meja pada akhirnya.

"Apakah Daniel yang melakukan itu padamu?" tanya Stacy ragu-ragu. Ekspresi gadis itu berubah bukan karena tekanan yang diberikan Henry melainkan karena mencemaskan bocah itu.

"Dia menabrakku." Kata Henry dingin. Ia sudah tidak bergairah untuk menggoda Stacy, gadis itu hampir sekeras baja baginya.

"Kami akan bertanggung jawab. Saya akan bawa pakaian Anda ke binatu. Maafkan Daniel, Sir." Suaranya kini bergetar lirih. Henry tidak tahu apakah itu hanya akting atau sungguhan.

"Tidak perlu. Aku datang bukan untuk itu. Aku sedang ingin beramal jadi kubeli semua kue yang ada di sini serta yang dibawa bocah itu tadi." Katanya lagi masih tanpa gairah. Henry tulus ingin membantu, bukan untuk menunjukan seberapa tebal isi dompetnya.

"Anda serius?" pekik Viviane dari balik punggungnya.

Henry tidak menoleh padanya, ia masih memerangkap mata Stacy dengan matanya lalu menjawab dengan suara yang dalam, "Ya, aku serius."

Sepintas ia melihat gadis itu terenyak mendengar jawabannya sebelum akhirnya Stacy membuang muka, menunduk sambil memindahkan kue-kue ke dalam kotak.

Stacy merasakan getaran aneh menjalari punggungnya ketika mendengar suara rendah Henry, 'Ya, aku serius' kalimat singkat itu seolah memberikan makna ganda di telinga Stacy. Batinnya sedang berperang untuk menenangkan degup jantung yang tak keruan. Ia menata kue lambat-lambat sambil mengulur waktu untuk mengusir sensasi asing dalam dirinya. Walau tanpa melihat, Stacy bisa merasakan tatapan intens Henry di wajahnya. Ini semakin sulit. Bisik Stacy dalam hati.

Ketika akhirnya tidak ada lagi kue yang bisa ditata, ia mendongak pada pria itu. Tapi kali ini Stacy sudah kembali masuk dalam perannya sebagai seorang gadis panti asuhan yang sedang berjualan kue.

"Terimakasih banyak, Sir. Anda sungguh berhati mulia. Kami akan mendoakan demi keselamatan, kesehatan, jodoh, kelancaran bisnis Anda, semuanya yang Anda inginkan. Sekali lagi terimakasih-" nama pria itu hampir saja lolos dari ujung lidah Stacy. Ia menutup mulut tepat pada waktunya dan menggantinya dengan senyum formalitas.

Henry bergeming. Ia tidak menanggapi ucapan terimakasih Stacy, tidak juga ada tanda-tanda akan beranjak dari tempat ia berdiri. Ia masih terus menatap Stacy dan mengerang lega dalam hati ketika melihat perubahan warna di tulang pipi gadis itu. Stacy tersipu, pikirnya.

"Kau tahu namaku, Stacy." ujar Henry pelan.

Gadis itu mengerjap lagi, bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu yang ia ragukan.

"Katakan terimakasih dan sebut namaku." Ulang Henry, nadanya terdengar seperti menuntut, bukan menantang.

Dengan susah payah Stacy mengucapkan syukurnya lagi, "Terimakasih..." ia terbata, lidahnya kelu ketika dituntut untuk mengucapkan nama pria itu. Entah mengapa rasanya lima kali lebih sulit padahal ia mahir memainkan sebuah peran.

"Terimakasih-" ulangnya. Suaranya kembali tercekat karena Henry terlihat memiliki banyak sekali waktu untuk menunggu Stacy menyebutkan namanya, "...Henry." Kata Stacy pada akhirnya dengan sangat lirih. Hanya mereka berdua yang dapat mendengarnya.

Jantung bergemuruh hingga rasanya ia dapat mendengar suara itu di telinga ketika pandangan mata Henry beralih pada bibirnya yang masih gemetar. Stacy menggigit tipis bibir bawahnya agar menjadi tenang. Tapi Henry terlanjur mengulurkan tangannya menyentuh bibir bawah Stacy, membebaskannya dari gigitan gadis itu sendiri. Dengan patuh Stacy menuruti ibu jari Henry yang mengusap bibirnya, bahkan ketika pria itu sedikit menariknya hingga mulut Stacy terbuka. Hanya butuh satu alasan bagiku untuk merasakan bibir ini. Hanya satu alasan...suatu hari nanti. Ia bersumpah diam-diam.

Henry menarik tangannya, menyembunyikannya di dalam saku. Dengan enggan ia mengangguk lalu beranjak pergi dari hadapan Stacy. Ia meninggalkan Tallulah menyelesaikan pembayaran dengan Viviane karena harus menenangkan degup jantungnya yang tiba-tiba saja berdisko. Ada apa denganku?

"Puji Tuhan! Kita bisa pulang lebih awal hari ini. Dia setampan manusia..." gumam Viviane kagum.

Tapi Daniel menyela, "Dia memang manusia."

Viviane menggeleng sambil menghitung lembaran yang diserahkan Tallulah, "Tidak. Menurutku dia adalah malaikat."

Mengabaikan keseruan Viviane dan Daniel. Stacy membelakangi mereka, menyandarkan pinggangnya pada tepian meja sambil memejamkan mata. Satu tangannya terangkat meremas kain di bagian dada, ia merasakan sentakan lembut jantungnya menghantam buku jarinya. Oh, Tuhan lindungilah aku.

-to be continued

Vote dan komentarnya ya... 😁

Continue Reading

You'll Also Like

6.1K 696 33
Jill memilih kabur sebagai bentuk protes atas hal-hal buruk yang dilakukan orang tua atas nama masa depan. Sebuah insiden mempertemukannya dengan Ra...
7.8K 1.1K 6
Seumur hidupnya Baptiste Russell tidak pernah tertarik pada perempuan mana pun hingga akhirnya dia bertemu dengan Kosa Aditama. Bersama Kosa, Baptist...
6.4M 331K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
15.2K 2.6K 10
"Aku minta maaf karena tak bisa melindungimu waktu itu," . . . . . !baku !bxb