Salted Wound [Sehun - OC - Ka...

Por heena_park

383K 35.2K 3.9K

Luka yang telah tertanam sedari kecil membuat Se-hun berubah menjadi pembunuh berdarah dingin andalan organis... Más

PROLOGUE
Youtube Video Trailer
CHAPTER 1 - [Brother]
CHAPTER 2 - [His Darkest Side]
CHAPTER 3 - [Obsessed]
CHAPTER 4 - [Prom Night]
CHAPTER 5 - [Someone From The Past]
CHAPTER 6 - [Your Best Friend is Your Biggest Enemy]
CHAPTER 7 - [The Monster Creator]
CHAPTER 8 - [A Girl in The Maroon Dress]
CHAPTER 9 - [Venice]
CHAPTER 10 - [The Savior]
CHAPTER 11 - [22]
CHAPTER 12 - [Aspectabund]
CHAPTER 13 - [Photograph]
CHAPTER 14 - [Jealousy]
CHAPTER 15 - [Eccedentesiast]
CHAPTER 16 - [The Boyfriend]
CHAPTER 17 - [Human]
CHAPTER 18 - [The Beginning]
CHAPTER 20 - [First Kiss]
CHAPTER 21 - [Lacuna]
CHAPTER 22 - [THE KILLER]
[EXPLICIT] CHAPTER 23 - [Into You]
CHAPTER 24 - [No Escape]
CHAPTER 25 - [Who Are You?]
CHAPTER 26 - [The Truth]
CHAPTER 27 - [Deimos]
CHAPTER 28 - [Royce Hayden]
CHAPTER 29 - [Ready For War]
CHAPTER 30 - [What a Cruel World]
CHAPTER 31 - [Three of Swords]
BAB 32 - [Far From Home]
CHAPTER 33 - [Far From Home #2]
EXTRA PART

CHAPTER 19 - [Parents]

7.1K 865 200
Por heena_park



Seoul, South Korean.

24th Years Ago.

Hal yang paling membuat Jae-bum menyesal dalam hidup adalah membiarkan bayi kecil pembunuh istrinya ini lahir. Tidak, seharusnya dari awal Jae-bum tidak pernah membiarkan Se-hun hidup dalam rahim sang istri, sehingga ia tidak perlu kehilangan Go-eun karena melahirkan anak sialan ini.

Anggota keluarga Go-eun menyalahkan Jae-bum atas kematian putrinya. Pria itu dinilai tidak becus menjadi kepala keluarga. Kesehatan Go-eun semakin lemah ketika mengandung, bahkan dokter menyarankan supaya sang istri menggugurkan kandungannya saja. Namun, ibu mana yang tega melakukan itu? Go-eun bersikeras mempertahankan bayinya, tidak peduli jika semua orang mencoba melarangnya.

Tentu saja Jae-bum tidak tinggal diam. Dia berusaha membujuk Go-eun agar mau menggugurkan kandungan, tapi istrinya semakin marah. Dia mengusir Jae-bum dari rumah sakit dan tak mau menemui sampai pria itu sadar betapa berharganya anak ini bagi Go-eun. Ia rela menukarkan nyawa asal bayi dalam kandungannya lahir dengan sehat dan sempurna.

Sampai akhirnya, saat yang paling ditakuti tiba. Proses kelahiran Se-hun dilakukan secara caesar, mengingat keadaan Go-eun semakin melemah. Dalam harap cemas, di balik pintu operasi, Jae-bum berdoa agar istri dan anaknya baik-baik saj. Ia terus meminta pada Tuhan agar diberikan kesempatan untuk membahagiakan keduanya. Jae-bum benar-benar tidak ingin kehilangan dua orang paling berharga dalam hidupnya saat ini.

Sayangnya, takdir berkata lain. Nyawa Go-eun tidak bisa diselamatkan, sementara bayinya dalam keadaan sehat, tidak kurang satu apapun, tampan dan sempurna. Entah kenapa hal itu membuat Jae-bum murka, otaknya beresimpulan jika kesehatan bayi itu adalah hasil pengorbanan Go-eun. Bayi sialan yang berani merenggut nyawa ibunya sendiri.

Sejak saat itu, Se-hun selalu mendapat perlakuan kasar dari sang ayah, terlebih lagi saat Jae-bum tak sengaja memandang mata anak itu. Mata sayu yang begitu mirip dengan istrinya, mata yang selalu membuat Jae-bum terbakar angkara di dadanya. Kenapa anak sialan ini memiliki mata seperti sang ibu?

"Dasar anak sialan! Kau hanya bisa menghabiskan uangku!" amuk Jae-bum penuh kemarahan kala mendengar tangisan nyaring Se-hun yang tak kunjung berhenti sejak sore.

Sesungguhnya, Jae-bum tidak pernah memberi nama anak itu. Ia juga tidak sudi melakukannya. Lee Se-hun adalah nama yang diberikan oleh sang mertua untuk bayi kecilnya.

"Aku bersumpah akan menjualmu nanti!" geramnya. Kali ini, Jae-Bum memberikan susu pada Se-hun dengan kasar. Ia lelah, ia tidak punya uang, kehadiran Se-hun semakin membuat ekonominya lemah.

Kendati demikian, ibu mertuanya—ibu Go-Eun—luluh karena kehadiran Se-hun. Walaupun tidak pernah memandang Jae-bum, tapi ia sangat menyayangi Se-hun. Namun, setelah kematian sang ibu mertua, Jae-bum memutuskan untuk menjual Se-hun. Yah, setidaknya anak itu berguna juga.

Malam mulai larut, Hee-ra masih melamun di ruang tengah, memandang foto sang ayah yang dikelilingi bunga dalam gelap. Sementara itu, sang ibu tengah mempersiapkan diri untuk terbang ke Korea besok pagi.

Dalam duka yang mendalam, tiba-tiba Kang So-hee berkata ingin pergi ke Korea karena teringat pesan Shin Jae-woo beberapa tahun lalu. Sang ayah ingin abunya disemayamkan di Korea, tempat kelahiran mereka.

Mereka berniat berangkat bersama, tapi sungguh, Hee-ra benar-benar tidak memiliki tenaga untuk bangkit dan menopang tubuhnya sendiri. Rasa tidak percaya akan kepergian ayahnya masih membekas, seolah semuanya hanya mimpi, seolah ayahnya masih di sini, masih menjadi kepala keluarga yang disayangi juga dihormati.

Sebagaimana harusnya, kata seolah hanya berlaku untuk perandaian, begitu kenyataan kembali menghantam, hatinya hancur. Kepergian Shin Jae-woo terasa begitu cepat, belum sempat Hee-ra menyiapkan hati dan berharap sang ayah dapat pulih kembali, tiba-tiba semuanya runtuh begitu saja.

Padahal... masih banyak mimpi yang ingin dilakukan bersama ayahnya. Tapi sekarang bagaimana? Pria itu telah pergi. Semua rencana indah yang disusun sedemikian rupa, pada akhirnya hanya sebatas angan saja.

Sementara itu, Se-hun yang dari tadi hanya memandang dari ambang pintu mulai bergerak. Ia sudah lama mengamati Hee-ra dalam diam. Ia tidak bisa membiarkan Hee-ra seperti itu, setidaknya, Hee-ra harus beristirahat malam ini.

Se-hun melepas jaket, kemudian memakaikan jaket tersebut ke badan Hee-ra dari belakang. Refleks, Hee-ra menengok.

"Se-hun?" tanyanya, kemudian kembali ke posisi semula.

Se-hun mengangguk, ia tersenyum lembut, menutupi kesedihan yang juga menyelimuti hatinya, lalu duduk di samping Hee-ra. "Kau tidak menyiapkan pakaian untuk besok?" tanyanya hati-hati, takut kalau melukai perasaan Hee-ra.

"Aku tidak memiliki tenaga untuk itu..."

Sesuai yang dipikirkan, Hee-ra memang sangat lemah sekarang. Sejenak, Se-hun memutar otak dan menghela napas panjang. "Kejadian ini membuatku sadar akan berharganya waktu dan nyawa." Se-hun bergumam. Ia meluruskan pandangan ke foto mendiang Shin Jae-woo dan tersenyum pahit. "Awalnya aku tidak tahu apakah pantas memanggilnya papa, mengingat tidak adanya hubungan darah antara kami berdua." Ia berhenti sebentar, menunduk sambil mempertahankan bibirnya yang terus bergetar. "Papa bahkan memberiku kasih sayang seperti anak kandungnya sendiri... kasih sayang yang tidak pernah kudapatkan sebelumnya."

Hee-ra ingat Se-hun pernah mengigau memanggil 'ayah' dalam tidurnya. Mungkinkah ayah kandung Se-hun tidak memperlakukan pria itu dengan baik? Pantas ibunya filarang melanjutkan hubungannya dengan lelaki itu.

Yah, kalau dipikir-pikir, kasian juga jika seperti itu kenyataannya. Se-hun pasti sangat tersiksa. Masa kecil yang seharusnya dipenuhi kebahagiaan malah menyisakan trauma dan membuat Se-hun kesakitan.

"Aku bahagia berada di tengah keluarga ini..." Se-hun menengok, kemudian menangkup kedua pipi gadis yang matanya berair itu. "Menangislah, aku tidak akan menyuruh berhenti jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik." Ia menggerakan kedua ibu jari untuk mengusap lembut pipi Hee-ra. "Dan aku tidak keberatan berbagi pundak untukmu menangis."

Dalam keadaan seperti ini, seharusnya Hee-ra langsung menenggelamkan diri pada pelukan Se-hun dan menangis tersedu-sedu. Tapi kenapa jantungnya malah berdebar dua kali lebih cepat? Kenapa sentuhan Se-hun membuat pipinya memanas? Astaga, apa otaknya mulai tidak waras?

Mata mereka sekali lagi bertemu, jarak yang hanya terpaut tiga puluh centimeter berhasil memporak-porandakan hati Hee-ra. Tatapan lembut Se-hun yang entah bagaimana berhasil merasuk dalam jiwa, berbisik lembut seolah pria itu mencintainya.

Nampaknya, Se-hun juga menyadari perubahan sikap Hee-ra padanya. Kalau sudah seperti ini, ia rela terjaga sepanjang malam asalkan bersama Hee-ra. Dia rela terus duduk dengan posisi seperti ini, masa bodoh dengan tulangnya yang mungkin pegal nanti.

"Shin Hee-ra.."

"Ya?"

"Apa kau bisa mempercayaiku?"

Mempercayai apa? Kenapa Se-hun melontarkan pertanyaan ambigu seperti itu?

"Aku tidak mengerti maksudmu."

Se-hun melepaskan tangkupannya dari pipi Hee-ra. Ia membetulkan posisi duduk. "Sudah kuduga, kau memang tak bisa melakukannya." Ia membuang napas gusar. "Suatu hari nanti, mungkin kau membutuhkan rasa percayamu padaku."

Hee-ra semakin bingung pada ucapan Se-hun. Kenapa dia tidak langsung to the point saja? Keadaannya sudah rumit dan Se-hun semakin menambah kebingungan dalam benaknya. Sungguh, Hee-ra tak habis pikir dengan semua ini.

Jadwal keberangkatan keluarga Hee-ra sekitar pukul 9:00 pagi. Jong-in sudah sampai di rumah Hee-ra sejak pukul enam. Kedatangannya berniat untuk membantu keluarga sang kekasih membawa barang ke bandara.

Hee-ra dan ibunya duduk di belakang, sementara Jong-in harus menahan diri untuk menyetir di samping Se-hun. Aneh sekali, kenapa aura mengesalkan Se-hun sangat mendominasi?

Sesekali Jong-in melirik dari kaca, mata Kang So-hee masih merah, pasti ia menangis sepanjang malam. Tentu saja! Siapa yang tidak sedih saat suaminya meninggal?

Sesampainya di bandara, Jong-in dan Se-hun segera keluar, kemudian menuju ke bagasi dan mengeluarkan koper serta barang bawaan lainnya.

"Kau pikir aku tidak bisa melihat wajah kesalmu itu?"

Jong-in mengela napas, kesabaran yang ia pertahankan hancur begitu saja. Ia menghentikan aktivitas dan memutar tubuh untuk menatap Se-hun sengit. "Aku tidak akan memberikan ekspresi seperti ini kalau sikapmu tidak memuakkan."

Se-hun membalas tatapannya penuh rasa heran. "Ya, terima kasih. Kurasa kau jauh lebih memuakkan."

Oh ayolah, tidak lucu bila dua pria dewasa beradu argumen di bandara. Emosi keduanya mungkin bisa meledak hingga mengakibatkan suatu pertengkaran yang hebat.

"Aku sungguh bertanya-tanya, apa yang membuat Hee-ra mau menjadi kekasihmu? Pria dungu yang dengan mudahnya bisa didapatkan siapapun." Ia menepuk punggung Jong-in. "Ya, bisa kumaklumi bila kau mudah terjerat oleh wanita. Tapi... kusarankan untuk tidak mengumbar kemesraan dengan gadis lain di depan kekasihmu sendiri, dude."

Serius. Kalau mereka tidak berada di tempat umum, Jong-in akan segera melayangkan pukulan ke wajah pria sialan itu. Untungnya, keadaan sedang tidak mendukung, jadi Jong-in memiliki alasan agar tidak bertindak demikian.

Walau tidak dikatakan secara gamblang, Jong-in bisa menerka dengan mudah bila yang disindir Se-hun adalah kejadian beberapa waktu lalu, saat Jong-in dan Emma tidak sengaja bertemu Hee-ra dan Se-hun di restoran.

Tak ingin kalah, Jong-in menimpali, "Lalu bagaimana denganmu? Bukankah kau terlalu berlebihan menjadi seorang kakak?" Ia memutar bola mata, lalu mendecak, "Ah, kakak yang over-protective sampai orang-orang mungkin berpikir kau adalah kekasih adikmu sendiri. Tidak, jangan-jangan kau memang menyukai adikmu sendiri, Oh Se-hun?"

Se-hun yakin Jong-in menyadarinya sejak lama, hanya saja pria itu berusaha menyangkal dan terus menyangkal. Well, mungkin sekarang memang saat yang tepat untuk mengatakan kenyataannya, Se-hun tidak terlalu suka berbelit-belit.

Se-hun memalingkan wajah untuk memandang koper di tangannya. "Kau benar," katanya, "aku memang menyukainya. Tidak. Aku mencintainya."

"Brengsek!" Jong-in mengumpat, tapi ia tidak bisa berbuat lebih. Ia tidak mungkin menghajar Se-hun di tempat ini. Ia tidak ingin terjadi keributan.

Dalam satu hentakan, Jong-in melepaskan koper ke tanah dan menarik bahu Se-hun agar pria itu mau menatapnya dengan paksa. "Kuperingatkan padamu, kau tidak akan pernah bisa memilikinya!" Wajahnya mendekati wajah Se-hun, melepaskan pandangan siap membunuh pada pria dihadapannya tersebut. "Jadi, bersiaplah untuk menerima kekalahan, brother."

Keduanya saling melempar pandangan mematikan bagaikan dua raja hutan yang siap memperebutkan wilayahnya. Jong-in memiliki keyakinan besar karena Hee-ra adalah kekasihnya, sedangkan Se-hun dengan keyakinannya pada kemajuan pesat hubungan mereka selama beberapa hari ini.

"Apa yang kalian lakukan?"

Teriakkan Hee-ra berhasil mengacaukan fokus keduanya. Mereka menengok bersama dan mendapati wajah kesal Hee-ra.

"Tidak bisakah kalian lebih cepat? Apa mengambil koper seberat itu sampai-sampai aku harus menunggu sangat lama?" celotehnya sambil melewati Se-hun dan Jong-in, kemudian mengambil sendiri koper yang masih tersisa. "Lebih baik kau segera menyusul karena mama mencarimu," gumamnya pada Se-hun yang langsung dibalas anggukkan.

Sedetik kemudian, Hee-ra telah berlalu meninggalkan Se-hun dan Jong-in lagi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Se-hun. Ia segera meraih koper yang sempat dilepaskan, kemudian melangkah lebih dekat pada Jong-in.

Se-hun mengeraskan dagu dan mendekatkan mulutnya ke telinga Jong-in. "Bagaimana jika kenyataannya dia bukan adikku?" bisiknya yang berhasil membuat Jong-in membeku.

Tidak!

Se-hun pasti asal bicara.

"Apa maksudmu?"

Bukannya menjawab, Se-hun malah mengangkat kedua pundaknya penuh misteri. "Sudah pernah kukatakan padamu, bukan? Kau harus belajar menerima kenyataan. Ingat itu, Kim Jong-in."

Setelah mengucapkan kalimat barusan, Se-hun buru-buru menyusul Hee-ra, sementara Jong-in masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ada dua hal rancu yang dindengarnya hari ini. Pertama, perihal Se-hun yang ternyata mencintai Hee-ra, kedua, tentang hubungan Se-hun dan Hee-ra yang sebenarnya.

Sungguh, Jong-in tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Se-hun. Mereka sudah tinggal bersama lebih dari empat tahun, bahkan Kang So-hee telah menyatakan bahwa Se-hun memang putra kandungnya. Lalu, atas dasar apa Se-hun berkata demikian? Apa yang sebenarnya direncanakan Se-hun?

Bukan...

Yang lebih tepat adalah, siapa sebenarnya pria itu?

Jong-in baru saja tiba di halaman saat kebetulan sang paman keluar dari rumah. "Paman?" Ia melirik jam tangan. "Malam-malam begini kau akan bekerja?"

Charlie terkekeh. "Tindak kriminal bisa terjadi kapan saja," gumamnya. Ia mendecak, "Berhati-hatilah, akhir-akhir ini tindak kriminal semakin meningkat."

"Baiklah," jawabnya sambil mengangguk. "Omong-omong, paman mau ke mana? Apa terjadi kecelakaan? Atau perampokkan?"

"Begini." Charlie menepuk pundak kanan Jong-in. "Aku memberitahumu karena kau adalah keponakanku."

Matanya melirik ke berbagai arah, tidak ada yang tahu kan kalau bisa saja Charlie sedang disadap?

"Kami menemukan petunjuk mengenai salah satu organisasi pembunuh bayaran paling berbahaya di dunia dan anggotanya bisa berada di mana saja."

"Organisasi pembunuh bayaran?" Jong-in mengerutkan dahi. "Aku tidak tahu organisasi semacam itu benar-benar ada. Kupikir hanya ada di film."

"Tidak, Kim Jong-in. Organisasi seperti itu memang benar-benar ada dan bahkan anggotanya bisa saja orang yang terlihat biasa saja. Kami curiga ada anggota organisasi tersebut dalam kepolisian."

"Maksudmu... mereka menyamar? Bukankah menjadi anggota kepolisian memakan waktu cukup lama? Dan mereka mau menyamar untuk itu?"

Charlie mengangguk setuju pada argumen Jong-in. "Ya, seperti itulah mereka. Para anggota organisasi bisa menyamar hingga bertahun-tahun, mereka juga sangat pintar dalam menyembunyikan identitas. Itulah alasan kenapa menemukan mereka sangat sulit."

"Lalu bagaimana dengan klien mereka? Maksudku, cara mereka menemuinya?"

"Entahlah." Charlie mengangkat kedua pundak bersamaan. "Kami masih berusaha menyelidikinya. Mungkin mereka memiliki cara tersendiri."

Memikirkan organisasi semacam itu berhasil membuat Jong-in bergidik ngeri. Bagaimana kalau ternyata salah satu orang terdekatnya merupakan anggota organisasi tersebut?

Dan bagaimana jika Jong-in termasuk salah satu targetnya?

Benar-benar mengerikan, bukan?

"Masuklah, kau belum makan malam, kan? Bibi sudah menunggumu sejak tadi," ujar Charlie akhirnya. Ia menyadari perubahan ekspresi Jong-in. Tentu saja, semua orang pasti akan bergidik ngeri mendengar informasi semacam ini, tidak peduli wanita ataupun pria.

Akhirnya, Jong-in menuruti perkataan Charlie. Ia mengangguk. "Baiklah, berhati-hatilah di jalan, paman."

Beberapa detik berlalu penuh keheningan sebelum Charlie menautkan kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman. Jong-in bisa merasakan ketegangan dalam diri sang paman yang berusaha disembunyikan. Yah, siapa yang tidak tegang bila harus berurusan dengan organisasi yang mematikan? Organisasi yang menganggap nyawa seseorang sebagai mainan.

Orang kejam macam apa yang mau bergabung di sana? Mungkinkah hati mereka terbuat dari besi? Memperihatinkan sekali.

Seguir leyendo

También te gustarán

39.1K 7.1K 79
Marsha anak yang sangat pintar di sekolahnya, dengan prestasi yang ia dapat ia lolos ke perguruan tinggi negeri yang ia mau selama ini. Namun, masala...
335K 35.9K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
74.7K 9.8K 103
This is just fanfiction, don't hate me! This is short story! Happy reading💜
672K 32.4K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...