JUNI

By vanillahimalayacat

590K 28.6K 1.4K

[WARNING] [Harap bijak membaca cerita ini. Terima kasih.] Juni adalah seorang perempuan biasa yang tidak jauh... More

= PROLOG =
= SATU =
= DUA =
= TIGA =
= EMPAT =
= LIMA =
= ENAM =
= TUJUH =
= DELAPAN =
= SEMBILAN =
= SEPULUH =
= SEBELAS =
= DUA BELAS =
= TIGA BELAS =
= EMPAT BELAS =
= LIMA BELAS=
= ENAM BELAS =
= TUJUH BELAS =
= DELAPAN BELAS =
= SEMBILAN BELAS =
= DUA PULUH SATU =
= DUA PULUH DUA =
= DUA PULUH TIGA =
= DUA PULUH EMPAT =
= DUA PULUH LIMA =
~ ANNOUNCEMENT ~
= DUA PULUH ENAM =
= DUA PULUH TUJUH =
= DUA PULUH DELAPAN =
= DUA PULUH SEMBILAN =
= TIGA PULUH =
= TIGA PULUH SATU =
= TIGA PULUH DUA =
= TIGA PULUH TIGA =
= TIGA PULUH EMPAT =
= TIGA PULUH LIMA =
= TIGA PULUH ENAM =
= TIGA PULUH TUJUH =
= TIGA PULUH DELAPAN =
= TIGA PULUH SEMBILAN =
= EMPAT PULUH =
BUKAN UPDATE SIH, TAPI SEKILAS INFO AJA
= EMPAT PULUH SATU =
= EMPAT PULUH DUA =
= EMPAT PULUH TIGA =
= EMPAT PULUH EMPAT =
= EMPAT PULUH LIMA =
= EMPAT PULUH ENAM =
= EMPAT PULUH TUJUH =
= EMPAT PULUH DELAPAN =
= EMPAT PULUH SEMBILAN =
= LIMA PULUH =
= LIMA PULUH SATU =
= LIMA PULUH DUA =
= LIMA PULUH TIGA =
= LIMA PULUH EMPAT =
= LIMA PULUH LIMA =
= LIMA PULUH ENAM =
= LIMA PULUH TUJUH =
= LIMA PULUH DELAPAN =
LIMA PULUH SEMBILAN
= EPILOG =

= DUA PULUH =

10.1K 552 13
By vanillahimalayacat

Buat yg dengerin media sambil baca, enak pake headset deh. Feelnya mungkin lebih kerasa, hehehe...

***

Juni menatap bangunan di depannya. Akmal telah berjalan mendahuluinya dan memasuki rumah bercat putih dan berbentuk minimalis tersebut. Juni meneguk ludahnya dengan berat hati. Dia pun menoleh kanan kiri untuk melihat sekitarnya.

Sepi.

Meskipun wilayah perumahan, tetapi lingkungan di tempatnya berada saat ini tergolong sangat sepi. Berbeda sekali dengan kompleks perumahan dimana Juni tinggal. Meskipun sama-sama perumahan, setidaknya masih ada pedagang keliling dan pengguna jalan yang berseliweran di jalanan depan rumahnya. Sedangkan di sini sangat berbeda. Mobil atau motor saja tidak ada yang lewat. Dan hanya mobil Akmal saja yang terparkir di sana.

"Juni! Ayo buruan sini!" Akmal keluar dari rumah berpagar putih tadi dan kembali menyeret Juni untuk mengikutinya.

Hal pertama yang Juni lihat saat memasuki halaman rumah yang didominasi warna putih itu adalah banyak motor yang terparkir di area berpaving dekat dengan taman kecil yang dimiliki rumah itu. Dapat Juni lihat pintu rumah itu juga terbuka lebar. Samar-samar Juni melihat beberapa orang berada di ruang tamu rumah tersebut. Lagi, Juni merasa takut saat Akmal menggandengnya untuk memasuki rumah itu.

Juni berhenti mendadak, hendak menarik tangannya. Akmal pun ikut berhenti dan menoleh ke belakang menatap Juni.

"Kenapa?"

"A-Akmal, ini rumah siapa? K-Kita balik aja ya." Pinta Juni.

Akmal diam sejenak. Dia pun sepenuhnya berbalik badan dan memegang kedua bahu Juni.

"Kamu tenang aja, okay." Pinta cowok itu.

Meskipun Juni berulangkali memberi sugesti pada pikirannya untuk membenci laki-laki di depannya ini, entah kenapa setiap Juni tanpa sengaja menatap mata kelam Akmal, rasanya hati Juni melunak. Rasa bencinya jadi sedikit berkurang. Ah, ini mungkin saja efek dari rasa sukanya pada cowok itu sehingga rasa benci yang seharusnya timbul jadi terhambat. Juni, ingatlah dia adalah cowok brengsek yang merusakmu!

Juni terkesiap.

"Nggak!" Juni bergerak dan melepaskan diri dari kungkungan Akmal pada bahunya.

"Juni, kita udah sejauh ini sampai di sini. Lebih baik kamu turutin aja apa kataku!" Akmal menatap dingin pada Juni.

Juni merasa cukup takut saat mata kelam Akmal terlihat menakutkan. Dia pun melirik ke arah lain guna menghindari tatapan dingin itu. Juni tidak menyukai tatapan itu. Entah dari Akmal ataupun dari siapa saja. Baginya tatapan dingin yang diterima rasanya seperti mendapat tatapan mencemooh tentang dirinya.

"Ayo."

Lagi, Juni terpaksa pasrah ketika Akmal kembali menggandeng tangannya untuk memasuki rumah bercat putih tersebut.

***

"AAAAAARGH!"

Teriakan dari salah satu ruangan beserta isak tangis perempuan di dalam sana membuat Juni berjinggit kaget. Dia langsung menoleh ke arah Akmal. Mengetahui raut ketakutan di wajah Juni, Akmal yang duduk di sampingnya hanya mengelus permukaan tangan Juni. Akmal hanya bersikap ingin menenangkan Juni.

Tersadar dengan perbuatan Akmal itu, Juni langsung menarik tangannya kembali. Dia merasa tidak sudi jika tangannya dipegang bahkan dielus oleh Akmal. Juni menatap sekelilingnya. Ada beberapa pasangan yang duduk sama sepertinya. Rasa penasarannya kembali menyeruak. Apakah Akmal membawanya ke salah satu klinik? Tetapi jika memang itu klinik, kenapa tidak terdapat papan namanya?

"Sebenarnya kita ini dimana sih?!" Bisik Juni pada Akmal.

"Klinik aborsi. Aku ingin kamu menggugurkan anak itu." Jawab Akmal.

Juni membelalakkan matanya karena kaget. Juni bahkan sampai kehilangan kata-katanya.

Klinik aborsi? Menggugurkan kandungan?

Ya Tuhan, kecurigaan dan kekhawatiran Juni memang benar. Akmal telah merencanakan sesuatu terhadap dirinya. Betapa jahat dan bejatnya Akmal sehingga membawa Juni pada klinik ilegal tersebut. Juni sangat tidak menyangka bahwa Akmal dengan tega membawanya kemari dan menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. Entah setan apa yang merasuki pikiran laki-laki itu sehingga dengan brengseknya Akmal menyuruh melakukan perbuatan dosa tersebut. Astaga, aborsi itu sama saja dengan membunuh. Jadi dapat diartikan Akmal menyuruh Juni untuk membunuh anaknya sendiri.

Juni langsung bangkit dari duduknya. Kemarahan melengkupinya.

"ENGGAK! AKU NGGAK MAU GUGURIN ANAK INI!" Teriak Juni pada Akmal.

Laki-laki itu ikut berdiri.

"Kamu harus gugurin anak itu, Jun!" Perintah Akmal.

"Aku nggak mau! Kamu jahat banget ya! Kamu tega tahu nggak! Kamu kerasukan setan apa sih sampai menyuruh aku untuk menggugurkan anak ini?!" Mata Juni mulai berkaca-kaca.

"Juni, denger! Ada alasan khusus aku menyuruh kamu melakukan ini." Ucap Akmal berusaha menenangkan Juni.

"Aku nggak peduli! Bilang aja kamu nggak mau tanggung jawab kan?! IYA KAN?!" Bentak Juni.

Pertengkaran Juni dan Akmal menarik banyak perhatian dari orang-orang di dalam sana. Petugas yang duduk di meja dan bertugas sebagai administrasi sampai mendelik kepada Akmal dan Juni. Petugas itu juga menegur keduanya agar tidak gaduh di dalam sana. Akmal yang merasa sebagai pusat perhatian, langsung menarik Juni ke pojok ruangan yang cukup jauh dari orang-orang.

"Juni, dengerin aku. Ini semua demi kepentingan kita. Apa yang kita lakukan malam itu adalah sebuah kesalahan. Lagipula aku ini pacar Mira, demi Tuhan, aku kekasih Mira dan aku nggak mungkin menikahi orang lain selain Mira. Dan bagi kamu, kehamilan ini pasti akan membawa nama kamu buruk di masyarakat. Coba kamu pikir, kamu hamil di luar nikah. Terlebih kamu ini mahasiswi, jika orang-orang di kampus tahu keadaan kamu, pasti kamu akan dapat banyak cemoohan dan hinaan. Apa kamu nggak mikir hinaan itu nggak cuma buat kamu tapi Mama kamu juga akan dihina. Kamu mau Mama kamu dijelek-jelekin dan dihina oleh masyarakat karena punya anak perempuan yang hamil di luar nikah?!"

Juni terdiam. Air matanya sudah merembes keluar.

"Kalau Mama sampai mendapat hinaan juga, aku bakalan pergi jauh dari Mama. Nggak perlu sampai menggugurkan anak ini. Aku--"

"Lalu gimana dengan impian kamu? Gimana dengan kehidupan yang kamu impikan? Kalau kamu pergi jauh, bagaimana dengan kuliah kamu? Bagaimana dengan impian kamu yang ingin melanjutkan kuliah dan menjadi dosen? Hah! Apa ada dosen punya catatan hamil di luar nikah seperti ini? Dosen yang nakal, merokok, dan playboy mungkin banyak. Nah kalau dosen yang punya anak di luar nikah?!" Akmal bertubi-tubi melancarkan pertanyaan sarkasme.

"Lagipula, kamu masih terlalu muda untuk punya anak, Jun. Masih banyak impian yang seharusnya kamu gapai. Mungkin kamu sanggup menerima cemoohan dari orang lain, tetapi gimana dengan anak ini nanti setelah lahir? Bagaimana dia nanti kalau sudah besar dan banyak orang menghinanya? Kamu mau anak ini mendapat lebih banyak hinaan dari orang-orang?!"

Juni mendongak dan menatap Akmal. "A-Apa kamu nggak mau bertanggung jawab untuk anak ini?" Tanya Juni parau. Air matanya bahkan sudah lolos begitu saja.

"Maaf, Jun. Aku nggak bisa."

Juni kini memilih untuk menunduk.

Benar juga apa yang dikatakan oleh Akmal. Masih banyak hal yang ingin Juni gapai di usianya sekarang. Jika dipikirkan baik-baik, Juni memang masih muda. Dia juga tergolong mahasiswi yang cukup diketahui namanya di kalangan mahasiswa, khususnya jurusan kampusnya. Juni sendiri dikenal sebagai anak baik-baik dan berprestasi. Hampir semua dosen menyukainya. Teman sekelas dan adik tingkat juga banyak dekat dan mengenalnya. Apabila dia sampai memiliki skandal seperti hamil di luar nikah, bukankah semua citra baiknya akan dianggap sebelah mata oleh banyak orang?

Terlebih apalagi jika membicarakan mengenai impiannya menjadi seorang dosen. Dan lagi, perkataan Akmal juga dirasa ada benarnya. Mana ada dosen memiliki riwayat hidup hamil di luar nikah dan punya anak tanpa suami. Ah, memikirkannya membuat Juni ingin menangis saja. Pikiran Juni saat ini sangat kalut. Dia bagai kebingungan untuk berpikir jernih.

"Aku ingin ke kamar mandi. Aku ingin menenangkan diri dulu."

Juni berjalan melewati Akmal dan berjalan menuju lorong belakang. Dia terus saja berjalan ke bagian belakang rumah untuk menemukan kamar mandi yang tersedia. Akmal kali ini mengikutinya. Laki-laki itu takut jika saja Juni kabur dan menggunakan alasannya saja untuk ke kamar kecil.

Dapat dia lihat Juni berdiri diam dan terisak di depan kamar mandi kecil yang ada di belakang. Akmal berdiri dan bersandar pada dinding lorong, bersembunyi dari Juni agar tidak ketahuan bahwa dia mengikuti perempuan ini. Dengan hati-hati, Akmal sedikit mengintip Juni dari tempatnya.

"Adek," Juni mengelus perutnya. Akmal terhenyak melihat pemandangan itu.

"Maafin Bunda ya sayang. Mungkin benar apa yang diucapkan oleh Ayah kamu. Sebenarnya, Bunda sudah menerima keberadaan kamu. Bunda tidak pernah sekalipun menyalahkan kamu. Semua kejadian ini salah Bunda dan Ayah, bukan kamu. Tetapi, Ayah mungkin benar, Nak. Bunda masih muda. Bunda masih memiliki banyak segudang impian yang ingin Bunda capai. Terlebih," Juni terdiam sejenak. Isakannya terdengar semakin keras. Akmal bahkan sampai tertegun bahwa ada panggilan Ayah untuk dirinya.

"T-Terlebih Ayah kamu nggak mau bertanggung jawab. Bunda mungkin bisa menerimanya. Nggak papa bagi Bunda meskipun Ayah kamu nggak mengakui kamu. Nggak masalah Nak, Ayah kamu nggak menerimamu. Masih ada Bunda dan Yangti.

Hampir setiap hari Bunda selalu membayangkan bagaimana diri kamu, Nak. Apa kamu nantinya akan menjadi anak perempuan cantik atau anak laki-laki yang tampan? Apa kamu cukup mendapatkan nutrisi dari Bunda? Apakah kamu nanti akan punya wajah yang mirip dengan Bunda? Apakah kamu nanti akan menjadi anak yang pintar? Apakah n-nanti saat masuk TK, kamu akan tertawa bahagia? Apakah nanti k-kamu akan masuk SD dan membawa banyak piala dan piagam penghargaan? T-Tapi, t-tapi kamu hari ini, hiks, k-kamu..."

Juni tidak melanjutkan monolognya. Perempuan itu sudah menangis sejadi-jadinya. Bahkan untuk menumpu kakinya sendiri Juni tidak sanggup. Perlahan Juni sudah jatuh merosot ke bawah. Dia menangis sejadi-jadinya memikiran anaknya yang mungkin sebentar lagi akan terpisah darinya. Menangisi Adek yang nantinya akan kembali ke Tuhan dalam keadaan masih belum sempurna. Menangisi Adek yang bahkan mungkin belum ditiupkan ruhnya oleh Tuhan.

"Hiks, hiks, hwaaa! HWAAAA!"

Isakan Juni terdengar semakin pilu. Akmal bahkan merasakan pelupuk matanya juga ikut berkaca-kaca. Sekuat tenaga, Akmal mencoba untuk menahan isakannya agar tidak ikut keluar. Mendengarkan semua monolog Juni tadi, Akmal bagaikan dihantam rasa bersalah yang sangat besar. Sebenarnya Akmal sendiri juga tidak ingin seperti ini, memaksa Juni untuk menggugurkan kandungannya. Tetapi, di sisi lain, rasa egonya menekan dan menyuruhnya untuk melakukan semua ini. Akmal tidak bisa menerima kenyataan ini. Akmal tidak ingin adanya kehadiran sosok dalam rahim Juni itu.

Tetapi, melihat Juni menangis seperti itu, Akmal merasa dirinya memang cowok paling brengsek saat ini. Bahkan dia sampai tega membunuh calon darah dagingnya yang tidak bersalah. Memang yang diucapkan Juni benar. Bukan anak itu yang bersalah. Tetapi semua sumber kesalahan adalah pada dirinya, bukan Juni. Dia yang memaksa Juni. Dia yang merampas satu-satunya harta berharga Juni. Dia yang mengotori Juni. Dan sekarang dia pula yang memaksa wanita itu untuk membunuh calon anaknya sendiri.

Kamu laki-laki pengecut dan sadis, Akmal. Kamu pembunuh!

Bisikan yang muncul dari pikirannya barusan membuatnya membelalakkan mata. Bahkan pikirannya pun mengatakan dia adalah seorang pembunuh. Akmal meremas rambutnya. Kata-kata yang terbentuk dalam pikirannya sendiri berulang kali berbisik. Pembunuh! Pembunuh! Pembunuh!

"Nggak! Aku bukan pembunuh!"

Akmal pun keluar dari tempatnya dan berjalan menghampiri Juni. Akmal berdiri di depan Juni. Dengan cepat dia menarik tangan Juni dan membuat wanita itu berdiri. Masih ia lihat mata Juni sangat merah dan air mata masih mengalir deras melewati pipi dan rahangnya. Akmal ikutan merasa terpukul melihat kesedihan Juni yang sangat dalam tersebut. Seumur hidupnya, dia belum pernah melihat wanita menangis dan terpuruk dalam keadaan serapuh ini. Dan entah datang dari mana sebuah keberanian dari Akmal sehingga dia kini merengkuh Juni dalam sebuah pelukan.

"Maaf, maafin aku." Akmal membisikkan kata-kata itu.

"Hiks, hiks, huaaaaa!" Tangis Juni semakin pecah.

Akmal melepas pelukannya dan menangkupkan kedua tangannya pada wajah Juni. Memaksa perempuan mungil itu menatapnya.

"Maafin aku. Aku udah bertindak bodoh."

"A-Anak ini tidak bersalah, Akmal." Ungkap Juni dalam tangisnya.

"Iya, anak kita tidak bersalah. Anak kita sama sekali nggak bersalah." Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Akmal.

Akmal menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya. Akmal memejamkan matanya sejenak. Sebuah keputusan baru telah dia buat. Keputusan yang mungkin akan mengubah jalan takdirnya untuk ke depannya. Sebuah keputusan besar yang seharusnya dia pikirkan matang-matang. Keputusan yang mungkin akan menghancurkan impiannya sendiri.

"Kita pulang. Aku akan menikahi kamu dan bertanggung jawab atas anak itu."

***

Yg kemarin nebaknya Juni bakal ditolong ega mana nih? Hehehe ternyata nggak ada aksi heroik dari ega. Dan malah akmal sendiri yg ngebatalin buat gugurin kandungannya juni 😂

Oh iya, sekalian up ya chapter ini soalnya daripada gantung, hehehehe...

See you next chap...

Continue Reading

You'll Also Like

391K 23.9K 28
Gilbert dan Nayara, dua orang yang tak pernah bisa lepas satu sama lain. Dan status mereka adalah sepasang sahabat. Hubungan itu sudah terjalin sejak...
33.9K 3.9K 43
Namanya Ransi Wisnu Pramoedya, mantan aktivis yang setiap ada demo langsung turun ke jalan. Tapi, dia kurang aktif di organisasi, tidak seperti teman...
1M 64K 27
"cuma kamu yang bisa bantu papa" "aku?" "menikah lah dengan nya" kembali ke negara asalnya setelah melewati berbagai kesulitan adalah hal terburuk...
523K 28.2K 43
Bagi Sam, Hanah adalah alat yang ia perlukan untuk membuat kakek memilihnya menjadi penerus bisnis keluarga. "Buktikan pada kakek bahwa kamu bisa mem...