Salted Wound [Sehun - OC - Ka...

By heena_park

383K 35.2K 3.9K

Luka yang telah tertanam sedari kecil membuat Se-hun berubah menjadi pembunuh berdarah dingin andalan organis... More

PROLOGUE
Youtube Video Trailer
CHAPTER 1 - [Brother]
CHAPTER 2 - [His Darkest Side]
CHAPTER 3 - [Obsessed]
CHAPTER 4 - [Prom Night]
CHAPTER 5 - [Someone From The Past]
CHAPTER 6 - [Your Best Friend is Your Biggest Enemy]
CHAPTER 7 - [The Monster Creator]
CHAPTER 8 - [A Girl in The Maroon Dress]
CHAPTER 9 - [Venice]
CHAPTER 10 - [The Savior]
CHAPTER 11 - [22]
CHAPTER 12 - [Aspectabund]
CHAPTER 13 - [Photograph]
CHAPTER 14 - [Jealousy]
CHAPTER 15 - [Eccedentesiast]
CHAPTER 16 - [The Boyfriend]
CHAPTER 18 - [The Beginning]
CHAPTER 19 - [Parents]
CHAPTER 20 - [First Kiss]
CHAPTER 21 - [Lacuna]
CHAPTER 22 - [THE KILLER]
[EXPLICIT] CHAPTER 23 - [Into You]
CHAPTER 24 - [No Escape]
CHAPTER 25 - [Who Are You?]
CHAPTER 26 - [The Truth]
CHAPTER 27 - [Deimos]
CHAPTER 28 - [Royce Hayden]
CHAPTER 29 - [Ready For War]
CHAPTER 30 - [What a Cruel World]
CHAPTER 31 - [Three of Swords]
BAB 32 - [Far From Home]
CHAPTER 33 - [Far From Home #2]
EXTRA PART

CHAPTER 17 - [Human]

7.1K 899 129
By heena_park

Ps : play I Will Go To You Like The First Snow by Ailee






"B-baiklah, aku akan menghentikannya!"

Se-hun melepaskan cengkeramannya dari kerah Kevin sesaat setelah pria itu bersedia menghentikan pengeboman. Ia menatap Kevin penuh emosi. Untunglah Se-hun bisa menghentikan semua ini, ia tak bisa membayangkan bila Hee-ra sampai celaka gara-gara organisasinya.

Tubuh Kevin sedikit goyah, ia menjauhkan alat komunikasi berbentuk bulan sabit dari mulut dan menatap Se-hun. "Sekarang bagaimana? Apa yang harus kukatakan pada ketua organisasi tentang ini? Kita semua bisa mati!"

Se-hun menggeleng. "Aku yang akan bertanggung jawab." Ia berbalik, melangkah maju beberapa kali dan menengok ke belakang. "Pergilah, bawa semua anak buahmu dan aku yang akan membereskan segalanya," katanya, kemudian kembali melangkah meninggalkan Kevin.

Semua hal yang pantas diperjuangkan memang mebutuhkan banyak pengorbanan. Se-hun tahu dengan baik kalau melawan organisasi sama saja mencari mati. Tapi itu lebih baik daripada melihat Hee-ra terjebak di dalam sana.

Se-hun benar-benar tidak ingin Hee-ra yang mulai membuka hati kembali membencinya. Jadi, ia memilih jalan ini, menerima segala resiko yang mungkin terjadi karena keputusannya.

Langkahnya melebar, kembali memasuki ruangan dan mendapati sosok Hee-ra tengah membungkuk beberapa kali di hadapan para tamu. Senyumnya mengembang, Se-hun tak bisa mengontrol perasaannya kala kedua mata mereka kembali bertemu. Walau hanya sekelebat, hatinya bergemuruh, yakin bila Hee-ra mengenalinya.

"Kau mengenaliku... aku tahu kau selalu mengenaliku, Shin Hee-ra," gumamnya pada diri sendiri setelah Hee-ra pergi ke backstage.

Perlahan, Se-hun mengikuti Hee-ra. Menerobos kerumunan tamu yang mulai membicarakan gadis cantik dengan tarian luar biasa barusan. Se-hun sesekali tersenyum mendengar pujian yang dilontarkan. Tapi, beberapa pria hidung belang mulai mengatakan hal-hal kotor dan berimajinasi tentang Hee-ra. Sungguh, Se-hun merobek mulut pria barusan. Sayang sekali Se-hun sedang tak berniat membuat keributan. Ia masuk ke backstage dari samping, cahaya remang membuat penglihatannya tak begitu jelas.

Ia berusaha mencari Hee-ra, menelusur ke kanan-kiri sampai tak sengaja melihat tiga orang berjalan melewati. Ujung bibirnya tertarik, mereka adalah teman-teman Hee-ra. Ah, pasti gadis itu masih di sekitar sini.

Matanya membulat, berusaha memfokuskan pandangan saat mendapati sosok gadis berambut ikal tengah berdiri memunggungi. Meski samar, tapi Se-hun yakin kalau gadis itu membawa sesuatu, benda kecil bewarna hitam yang terlihat familiar di arahkan tepat kepada Hee-ra.

Bukannya mau menuduh, tapi Se-hun yakin gadis itu adalah Jasmine. Demi Tuhan, Se-hun tak akan membiarkan Jasmine melukai Hee-ra! Tanpa mengulur waktu, Se-hun segera mendekatkan alat komunikasinya ke mulut dan menekan tombol kecil di ujung kanan agar tersambung dengan Jasmine.

"Di mana kau sekarang?" tanyanya pelan, lebih terdengar bagai bisikan.

Napas Jasmine yang tak teratur terdengar dalam telinga Se-hun. "Bukan urusanmu."

Tadinya Se-hun berniat menghentikan Jasmine secara baik-baik, tapi gadis itu memang tak bisa diajak bekerja sama.

Ia merogoh saku dan menodongkan pistol ke kepala Jasmine. "Turunkan pistolmu atau aku akan melakukan hal yang sama?"

Sialan!

Jasmine tak mengira bahwa Se-hun ada di sekitarnya. Ia terkikik. "Kau berani? Silakan, aku rela mati asal bisa membunuh gadismu itu."

Ancaman Jasmine berhasil menaikkan emosi Se-hun. "Kau tidak akan pernah bisa membunuhnya." Se-hun memberikan penekanan pada setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Aku yang akan membunuhmu lebih dulu, Jasmine Rochester."

Kali ini Jasmine terkikik pelan. "Oh astaga, kenapa aku bisa jatuh cinta pada psikopat sepertimu?" Ia menertawai diri sendiri dan mengangguk-anggukkan kepala sambil memasukkan pistol ke tempat semula. "Baiklah, aku tidak akan membunuhnya malam ini. Bersyukurlah karena aku mencintaimu, sehingga aku memiliki alasan untuk melakukan apa yang kau mau."

Setelah mengucapkan kalimat barusan, Jasmine berbalik, melihat ke arah Se-hun yang masih menodongkan pistol padanya. Ia tersenyum pahit meratapi kenyataan. Pria yang sangat ia cintai tega menodongkan pistol ke arahnya? Benar-benar tragis.

Hee-ra baru saja selesai mengemasi barang-barangnya, seluruh staff juga telah mendapat jamuan makan malam dari penyelenggara pesta. Bahkan, secara khusus Hee-ra mendapat uang tambahan serta ucapan terima kasih dari sang penyelenggara.

Namun bayangan Se-hun masih saja terlintas. Hatinya yang paling dalam selalu mengatakan bahwa pria tadi memang Se-hun. Ya, penampilan memang bisa disamarkan, tapi mata itu, mata yang tak sengaja bertemu, tatapan yang sama dengan biasanya, juga rasa mengenal yang tak bisa dihindari semakin membuat Hee-ra menggila.

"Well, kau benar-benar beruntung tampil malam ini." Alice duduk di samping Hee-ra, ia mendekatkan wajah. "Jadi, berapa bonus yang kau dapatkan? Kalau saja Emma yang tampil, aku tidak yakin dia akan mendapat bonus sepertimu," celotehnya.

"Al..." Bukannya menjawab, Hee-ra malah memanggil Alice, pandangannya kosong.

"Ya?" Alice mengerutkan alis. "Kenapa? Apa kau merasa tidak enak badan? Kenapa pandanganmu kosong seperti itu? Haruskah aku memanggil Jong-in? Kau tidak bertengkar dengan Emma, kan?"

Hee-ra terkikik pelan mendengar serentetan pertanyaan dari mulut Alice, namun ia cepat-cepat menggeleng. "Tidak... tidak untuk semuanya.."

"Eh?" Alice menjauhkan wajah dari Hee-ra dan memilih untuk menatap dari samping. "Lalu ada apa denganmu?"

Hee-ra menengok pelan, bibirnya terbuka penuh kebimbangan saat mencoba mengeluarkan suara dan menceritakan segalanya. "Aku rasa... aku melihatnya... seseorang yang seharusnya tidak ada di sini."

Ucapan Hee-ra membuat Alice berpikir keras. Ia tak mengerti dan tidak tahu kalau Hee-ra memiliki musuh. Tentu saja selain Emma. "Siapa? Orang yang kau benci? Kukira hanya Emma orang yang tidak kau sukai."

Hee-ra menunduk, kedua matanya terpejam sebentar, sementara paru-parunya berusaha mengambil oksigen sebanyak mungkin. "Aku... aku tidak membencinya... aku hanya takut jatuh cinta padanya..."

Alice membulatkan mulut, ia merasa telah mendengar kalimat paling mengejutkan selama beberapa bulan ini. Maksudku, Hee-ra telah memiliki Jong-in, tapi dia mengatakan takut jatuh cinta yang lainnya? Apa Hee-ra sudah mulai tidak waras?

Jadi ini alasan kenapa keduanya tak kunjung berbaikan? Karena Hee-ra mulai berpaling pada pria lain? Serius, Alice tak mengerti pada apa yang terjadi di antara mereka.

"Mungkinkah... mungkinkah ini alas—"

"Shin Hee-ra, aku akan mengantarmu pulang." Vokal familiar seorang pria berhasil memotong pembicaraan Alice dan Hee-ra. Pria itu menyunggingkan senyum, namun matanya tidak kelihatan senang. "Aku akan mengantarmu pulang, ada hal yang harus kita bicarakan," ujarnya lagi yang kemudian meraih tas lengan Hee-ra.

Lantas, Jong-in menarik Hee-ra untuk ikut bersamanya, sementara Alice masih terpaku di tempat, memandangi Hee-ra dan Jong-in yang baru saja pergi.

Kali ini tak ada penolakan, Hee-ra membiarkan pria itu membawanya. Ia tidak tahu sejak kapan mobil Jong-in berada di sini, padahal tadi mereka berangkat menggunakan mini bus.

Keduanya duduk bersampingan, Jong-in melajukan mobil dengan pelan. Tidak ada suara yang terdengar selama di perjalanan. Hee-ra sempat melirik Jong-in, memastikan ekspresi apa yang ditunjukkan sang kekasih.

Tidak ada gunanya mereka bersama jika tak ada yang bicara. Akhirnya Hee-ra memutuskan untuk membuka pembicaraan. Ya, walau ia tahu bila kemungkinan Jong-in akan murka.

"Apa kau mendengarnya?"

Jong-in tidak merespon, wajahnya semakin memerah. Sebenarnya, Hee-ra paham kalau itu merupakan tanda bahwa Jong-in tak berniat membahasnya, tapi inilah yang harus ia lakukan, Hee-ra ingin kejelasan antara mereka.

"Apa kau mendengarnya? Pembicaraanku dengan Alice?" Hee-ra bertanya lagi.

Selama beberapa saat, Jong-in terdiam. Ia menengok ke arah Hee-ra dan menepikan mobil. "Ya, aku mendengarnya. Semua yang kalian bicarakan."

Pertanda buruk kah semua ini? Hee-ra menundukkan kepala, tak tahu harus berkata apa, toh Jong-in sudah terlanjur tahu segalanya. Detik berikutnya, Jong-in tiba-tiba menarik Hee-ra dengan paksa, membuat gadis itu menatap wajahnya. Jong-in mencengkeram kasar kedua lengan Hee-ra sampai mengaduh kesakitan, tapi amarahnya jauh lebih besar sampai Jong-in tak berniat menghiraukan racauan yang keluar dari kekasihnya.

"Apa aku masih belum cukup bagimu? Apa pria yang kau lihat itu jauh lebih baik dariku?!" Jong-in berteriak, memberikan penekanan pada setiap kata yang keluar. "Apa kau tahu jika aku rela bolak-balik hanya untuk mengambil mobil dan berharap bisa pulang denganmu? Apa kau tahu aku terpaksa melewatkan penampilanmu dan mengemis agar Alice mau merekamnya? Apa kau tahu bahwa aku memaksa keluar dari rumah sakit karena ingin menemuimu?! Kenapa kau begitu egois? Teganya kau memberikan hatimu pada orang lain yang bahkan tak pernah berkorban bagimu!"

Kemarahan Jong-in yang begitu besar berhasil menggoyahkan hati Hee-ra. Tanpa sadar setetes butiran bening keluar dari matanya, tak menyangka bila Jong-in akan bersikap sekasar ini.

Pria yang biasanya begitu baik dan sangat menyayanginya, pria yang selalu berusaha menjaga perasaannya. Tapi kenapa? Kenapa dia berubah seratus delapan puluh derajat? Ke mana Jong-in yang dulu?

Menyadari perubahan ekspresi Hee-ra, Jong-in segera menarik gadis itu dalam pelukannya, ia mengusap lembut punggung Hee-ra sambil terus menyesali ucapannya barusan. "Maafkan aku... maafkan perkataanku, Shin Hee-ra... aku.. aku tidak berniat memperlakukanmu dengan kasar..."

Hee-ra mengerti, ia benar-benar mengerti dan menerima luapan kemarahan Jong-in. Ia pantas mendapatkannya. Lagipula, Hee-ra memang bersalah, ia tidak seharusnya jatuh cinta pada orang lain. Dia sadar, dia paham, tapi tetap saja rasa kecewa berhasil menggores hatinya.

Bukan soal siapa yang paling berkorban, tapi apalah arti pengorbanan kalau hatinya telah terluka? Sebesar apapun Hee-ra berusaha menerima kemarahan Jong-in, hatinya masih tidak bisa menerima.

"Maafkan aku, aku mencintaimu... aku benar-benar mencintaimu..." Jong-in melonggarkan pelukannya, menangkup kedua pipi Hee-ra penuh kasih. "Kumohon, jangan pernah membuka hatimu untuk pria lain. Aku tidak mau kehilangan orang yang kucintai, Shin Hee-ra.

"Lepaskan aku! Lepaskan aku, Oh Se-hun!"

Berkali-kali Jasmine meronta, namun Se-hun terus menarik lengannya keras-keras. Ia membawa gadis itu ke balkon apartemen dan mendorongnya ke pagar besi hingga terdengar bunyi keras akibat benturan tubuh Jasmine.

"Kuperingatkan padamu, jangan pernah menyentuh Hee-ra sedikitpun!" teriak Se-hun penuh emosi. Matanya mengilatkan kemarahan besar yang siap meledak bila Jasmine mengelak.

Mereka berada di lantai dua puluh, tempat yang aman untuk bertengkar, serta tepat untuk mendorong Jasmine jatuh ke dasar. Bukannya menurut, Jasmine malah tertawa melihat perlakuan Se-hun padanya. Berani sekali ia mengancam Jasmine? Apa dia sudah lupa siapa gadis yang selalu menemani malam-malam kelamnya dulu? Gadis yang pada akhirnya memutuskan untuk melabuhkan hati padanya? Apa Se-hun lupa pada semua itu?

"Pengecut! Kau benar-benar lemah hanya karena ilusi cintamu pada gadis murahan itu! Cinta yang bahkan tidak pernah terbalaskan!"

"Tutup mulutmu, Jasmine Rochester!"

"Apa aku salah?"

Se-hun mengeram, jantungnya berdetak dua kali lebih cepat akibat emosi yang menyelimuti jiwanya. "Dia bahkan jauh lebih baik darimu."

"Jauh lebih baik kau bilang?" Jasmine menggeleng. "Dia tahu kau mencintainya, tapi dia tidak pernah menjaga perasaanmu. Lihatlah, kalian berdua benar-benar menyedihkan. Kau bahkan tak pernah bisa membawa gadis itu dalam pelukanmu! Kau tidak akan pernah bisa memilikinya, Oh Se-hun!"

Merasa Jasmine sudah mulai kelewatan, Se-hun segera mengeluarkan pistol dan menempelkan ujungnya di samping kepala Jasmine. Sekali Se-hun menarik pelatuk, maka gadis itu akan mati.

"Dia bukan gadis murahan yang mau memberikan badan maupun hatinya pada semua lelaki." Se-hun berhenti sebentar, kedua matanya menatap Jasmine tajam, seolah ingin melenyapkan gadis itu. "Dan aku akan berusaha menjaganya. Aku akan melindungi sosok paling berharga dalam duniaku."

Kenapa?

Kenapa begitu menyakitkan saat Se-hun berkata akan melindungi Hee-ra? Kenapa hatinya berasa remuk saat Se-hun berkata demikian? Ingin sekali Jasmine menangis dan menampar Se-hun untuk mengatakan betapa sakit hatinya saat ini. Tapi Jasmine tahu hal itu akan berakhir sia-sia.

Kenyataannya, ia tak bisa bergerak sekarang. Tubuhnya lemas, namun juga kaku. Tak mau diperintah untuk melakukan apapun karena hatinya mulai layu. Semua yang dialaminya hari ini tidak ada bedanya dengan percobaan bunuh diri. Jasmine tak kuat menjadi orang yang ditolak, Jasmine lelah.

"Ingat perkataanku baik-baik, Jasmine Rochester. Aku tidak ingin kita bertengkar hanya karena hal ini." Se-hun menjauhkan pistolnya dari Jasmine. "Kuharap kau mengerti, karena akupun hanya seorang lelaki biasa yang bisa jatuh cinta," lanjutnya yang sedetik kemudian sudah melangkah meninggalkan Jasmine seorang diri.

Se-hun bahkan tidak menengok sama sekali, sedangkan Jasmine hanya mampu memandang punggung pria itu sampai menghilang.

Apakah Se-hun tidak tahu kalau Jasmine juga seorang wanita biasa? Wanita yang tentu bisa jatuh cinta seperti yang lainnya?

Tangisannya tak bisa ditahan lagi, Jasmine terjatuh ke lantai. Duduk sambil memegangi lututnya yang bergetar. "Kenapa... kenapa hanya kau yang boleh memperjuangkan cintamu? Apa aku salah bila ingin memperjuangkan perasaanku, Oh Se-hun? Apa aku salah..."

"Lakukan sekarang. Matikan semua CCTV di rumah sakit." Jasmine melirik ke kanan dan kiri sembari berbicara dengan seseorang melalui ponsel. "Aku harus mengakhirinya, Cross."

Beberapa saat kemudian, Jasmine memasukkan kembali ponselnya dalam tas lengan dan berjalan melalui koridor rumah sakit dengan percaya diri. Ia berhenti di depan kamar nomor 157— kamar rawat Shin Jae-woo.

Ia memutar knop pintu, matanya langsung disambut oleh Shin Jae-woo yang masih terbaring lemas di atas ranjang. Begitu menyedihkan, hidupnya akan segera berakhir dalam beberapa menit ke depan.

"Sayang, kaukah itu?" Shin Jae-woo menyadari kehadiran seseorang, ia berusaha untuk duduk. Namun, dugaannya salah, ternyata bukan sang istri yang datang.. "Miss. Rochester?"

"Lama tidak berjumpa, Mr. Shin," sapa Jasmine. Ia mendekat, berdiri di samping ranjang pria itu. "Anda kelihatan semakin lemah akhir-akhir ini, pasti sangat menyakitkan harus melawan penyakit yang tiba-tiba datang, kan?"

Lantas, Jasmine merogoh tas lengan, mengambil alat suntik berisi cairan aneh bewarna merah. "Kusarankan, lebih baik kau mengakhiri kesakitan ini dan tidur dalam damai," ucapnya.

Shin Jae-woo membelalakkan mata. "Apa yang ingin kau lakukan? Suntikan apa itu, Elizabeth?"

"Elizabeth?" Jasmine mengetuk-ngetukkan jari ke jarum suntik. "Aku tidak suka dipanggil Elizabeth." Ia berhenti sebentar dan mendekatkan suntikan ke selang infus Shin Jae-woo. "Karena Elizabeth bukanlah nama asliku, Mr. Shin. Anda benar-benar bodoh. Dan kebodohan itulah yang akhirnya membawamu pada kematian dengan sangat menyakitkan."

Setelah menyelesaikan ucapannya, Jasmine segera menancapkan jarum suntik ke selang infus Shin Jae-woo. Lelaki itu berada dalam keadaan yang tak menguntungkan. Ia terlalu lemah untuk menggerakan badan.

Kalau saja tubuhnya tidak serapuh ini, kalau saja Shin Jae-woo sanggup menggerakan tangan, ia pasti sudah mendorong Jasmine menjauh. Ia tidak ingin mati dan meninggalkan keluarganya!

"Apa yang kau lakukan?! Cairan apa yang kau masukkan?!"

Jasmine tahu betul kalau Shin Jae-woo tengah ketakutan, dan percayalah bahwa Jasmine sangat menikmatinya. Ia suka melihat raut ketakutan dari tergetnya ketika dijemput sang ajal.

"Entahlah, aku tidak begitu yakin dengan cairan ini," jawabnya sambil menaikkan kedua pundak bersamaan. "Tapi, yang pasti kau akan merasa kepanasan. Panas yang begitu membara sampai kau ingin mencabut kulitmu dari tempatnya. Panas yang kemudian berubah dingin dan mematikan semua indra yang kau punya. Hingga akhirnya... darahmu berhenti mengalir, jantungmu tak mau berdetak, dan napasmu... akan berhembus untuk terakhir kalinya."

Ternyata benar! Baru saja Jasmine selesai menyuntikkan seluruh cairan melalui selang infus, ekspresi Shin Jae-woo berubah. Sebelum menimbulkan keributan, Jasmine segera menutup mulut Shin Jae-woo dengan lakban. Ia tidak ingin teriakan kesakitannya sampai terdengar keluar.

Matanya melotot, rasa panas yang dahsyat seolah membakar seluruh tubuh pria itu. Sedangkan Jasmine hanya mengamati dengan tenang, menunggu Shin Jae-woo menuju gerbang kematian.

Perlahan namun pasti, kulit Shin Jae-woo memerah, napas pria itu makin terputus-putus, menandakan kematian yang sudah menjemput di depan mata. Shin Jae-woo pasrah karena tahu tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Hatinya tercabik. Ia bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal pada istri dan kedua anaknya, mengatakan agar mereka hidup dengan baik dan tidak sedih setelah kepergian Shin Jae-woo nanti. Dan yang paling penting, Shin Jae-woo terpaksa mengingkari janjinya untuk menemani Hee-ra berjalan di altar saat menikah suatu hari nanti.

Tarikan napasnya yang begitu dalam bersamaan dengan terbayangnya wajah tiga orang paling berharga di hidupnya membuat Shin Jae-wpo tak kuasa menahan air mata. Dalam napas terakhir yang dihembuskan, Shin Jae-woo berharap agar keluarganya tegar dan mampu hidup dengan baik... tanpanya.

Continue Reading

You'll Also Like

54.4K 6.2K 53
Chris adalah seorang duda yang memiliki empat anak,anak nakal yang selalu sulit diurus semenjak cerai dengan istri. suatu saat ia bertemu dengan hyun...
50.7K 5.6K 18
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
80.6K 3.8K 22
[ 18+ Mature Content ] Gerald Adiswara diam diam mencintai anak dari istri barunya, Fazzala Berliano. Katherine Binerva mempunyai seorang anak manis...
1.1M 43.1K 36
(CERITA YTH. BAPAK DOSEN DAN SELURUH ISINYA HANYA TERSEDIA DI WATTPAD @eestehpanas , SELAIN DI WATTPAD SAYA KLAIM PLAGIAT) ...... "kok bapak si yang...