Keramaian anak-anak kecil bermain jungkat-jungkit dan ayunan terlihat sangat jelas di salah satu taman bermain kecil di rumah sakit. Terdapat setidaknya tujuh anak berumur kurang lebih tujuh sampai sepuluh tahun saling mengejar satu sama lain. Menjerit keseruan bersama-sama ketika bermain ayunan dan jungkat-jungkit. Juni sedikit tersenyum melihat salah satu anak yang hampir menangis karena selalu tidak kebagian tempat untuk naik jungkat-jungkit.
"Ehem."
Deheman dari Ega membuat Juni tersadar bahwa dia tidak sendirian duduk di bangku taman saat ini. Mengingat pertemuannya dengan Ega secara mendadak tadi, Juni pun menundukkan kepala dan wajahnya. Tangannya saling bertaut. Pandangan Juni pun hanya tertuju pada satu titik, flat shoes warna biru yang dia kenakan.
"Jadi, bisa kamu jelasin semua ini, Juni? Kenapa bisa kamu keluar dari ruangan poli kandungan?"
Juni terdiam. Tidak lagi bergetar atau menangis seperti sebelumnya. Dia hanya diam.
"H-Hei, kamu kok diem aja sih?" Ega mulai sedikit ketakutan. Semoga apa yang dia pikirkan sepanjang tadi tidak terbukti benar.
"Aku hamil, Ga."
Ucapan lirih dari Juni meruntuhkan semua sangkalan yang dipikirkan Ega. Berulang kali cowok itu mendoktrin pikirannya bahwa Juni tidak mengalami yang namanya kehamilan. Tapi, ucapan lirih seakan tanpa emosi yang baru saja keluar dari bibir Juni, seolah menamparnya bahwa ini adalah kenyataan. Kenyataan yang bagi Ega datangnya bak tiba-tiba.
"Kamu nggak lagi bercanda, kan?!" Ega memutar tubuh Juni. Memaksanya untuk menatap Ega.
Juni menggeleng kecil tanpa suara. Memberikan pernyataan melalui bahasa tubuh bahwa apa yang dia katakan adalah kebenaran. Bukan candaan.
Ega melepaskan genggamannya pada kedua bahu Juni. Dengan gerakan kaget, perlahan punggung Ega menabrak sandaran bangku taman. Semua yang baru saja dia dengar masih belum dapat sepenuhnya dia cerna. Rasa kaget dan syok masih bercampur jadi satu. Mempengaruhi otaknya untuk berpikir cepat. Tangannya terangkat dan mengusap rambut cepaknya dengan kasar.
Ada jeda tanpa obrolan di antara Juni dan Ega. Juni hanya diam dan masih menunggu reaksi dari Ega. Sedangkan cowok berkacamata di sebelahnya itu, seperti telah mendapatkan kembali logikanya untuk berpikir. Setelah menghembuskan napas dengan sangat berat, Ega kembali menatap Juni.
"Siapa, Jun? Siapa laki-laki brengsek yang ngelakuin ini semua ke kamu?!" Ada nada amarah di dalam pertanyaan Ega.
"A-Aku nggak bisa bilang, Ga." Cicit Juni.
"Kenapa?!"
"A-Aku..."
"Cowok itu tahu kamu mengandung anaknya?!"
"E-Enggak."
Gusar, kembali Ega mengusap wajahnya.
"Jun, tolong kamu jujur sama aku, siapa laki-laki itu?! Aku perlu tahu, Jun! Aku bakalan buat perhitungan dengan cowok brengsek itu!"
Juni tersentak. Ega hendak membuat perhitungan dengan Akmal? Tidak boleh! Ega tidak boleh berbuat seperti itu. Akmal tidak boleh sampai tahu tentang kehamilannya. Akmal adalah laki-laki yang dicintai oleh Mira. Kalau sampai Akmal tahu kehamilannya, bagaimana dengan Mira?
Sahabatnya itu pasti akan terpukul sekali jika tahu keadaan yang sebenarnya. Lagipula, Mira baru saja bahagia. Dia baru saja kembali bersama dengan Akmal setelah berpisah karena sebuah salah paham. Lalu jika sampai Akmal tahu dan dipaksa untuk bertanggung jawab oleh Ega, tentu saja akan menyakiti hati Mira. Dia tentu saja akan kehilangan sahabat tercintanya tersebut karena permasalahan ini. Juni tidak sampai setega itu untuk merusak persahabatannya dengan Mira.
"Jangan!" Juni langsung berteriak.
"Hah?!"
"J-Jangan berbuat apa-apa! Kumohon Ega! Biarin ini jadi rahasia kita ya??" Pinta Juni. Air matanya sudah mengalir lagi.
"Kenapa nggak Jun!" Ega menatap Juni penuh selidik, "apa... aku kenal laki-laki itu?!"
Juni semakin terisak. Tidak mungkin dia mengatakannya pada Ega siapa yang telah menghamilinya. Ega pasti akan sangat marah dan murka jika tahu siapa laki-laki itu. Ega sudah menganggap Juni seperti adiknya sendiri. Ega akan berbuat apa saja asalkan Juni dan Mira dapat terlindungi. Itulah tindakan Ega yang menjadi satu-satunya laki-laki diantara ketiganya.
"Kumohon jangan ya Ega. Please..." Juni tidak menjawab pertanyaan terakhir, tetapi dia hanya ingin agar Ega tak kembali membahasnya.
Ega perlahan melunak. Dengan sigap, dia kembali membawa Juni dalam pelukan hangat. Pelukan penuh kasih yang diharapkan Ega dapat menenangkan Juni yang semakin terisak. Ega tidak lagi mengungkit laki-laki yang tega melakukan semua ini pada Juni. Dia akan menghindari pembicaraan itu untuk saat ini. Kali ini bukanlah waktu yang tepat, pikirnya.
Nanti, jika sudah saatnya tiba, bakalan aku tanya. Yang jelas dari penolakan Juni untuk membahas siapa cowok itu, setidaknya aku jadi tahu bahwa cowok itu adalah cowok yang Juni dan aku kenal. Siapapun kamu, akan kubuat kamu bertanggung jawab pada Juni!
***
Ega memarkir motornya di depan halaman rumah Juni. Sedangkan Juni yang duduk di belakang, perlahan turun dan berdiri di samping Ega.
"Aku balik ke RS ya. Adikku pasti nyariin." Ega tersenyum.
"Ega... Makasih." Juni sedikit mengukir senyum. Meski dengan paksaan.
Ega mengangkat tangannya dan mengusap puncak kepala Juni. Mengacak pelan tatanan rambut Juni, sama seperti apa yang selalu ia lakukan untuk mengusili cewek itu.
"Kapan pun kamu butuh orang untuk tempat kamu bersandar, ingat untuk panggil aku. Anytime, okay?!"
Juni mengangguk pelan. Ega tersenyum sedikit. Dia pun mulai memundurkan motor dan menyalakannya. Tak berselang lama, sosok Ega dengan motor maticnya sudah hampir tidak terlihat di perempatan komplek depan. Namun Juni masih berdiri di tempatnya.
Setelah sekitar dua menit, baru Juni beranjak dari tempatnya. Berbalik untuk membuka pintu gerbang rumah. Tetapi, belum sempat dia membuka gerbang, Juni menemukan tumpukan surat dan beberapa tagihan di kotak suratnya. Dahinya mengkerut. Kenapa ada banyak surat?
"Banyak banget suratnya. Mama nggak ngambil semua surat ya? Apa kelupaan?"
Dia pun mengambil surat-surat itu. Dengan perlahan dia pilah-pilah surat tersebut. Membaca setiap amplop untuk mengetahui pengirimnya. Rata-rata yang mengirimkan adalah sponsor-sponsor dan brosur-brosur kecil entah itu katering, event organizer, tempat spa, dan sebagainya. Hingga matanya menemukan satu surat yang berasal dari kampusnya. Kok?
Juni buru-buru masuk ke dalam untuk membaca lebih lanjut surat yang diterimanya dari kampus. Setelah memasuki pintu depan dan memilih duduk di ruang tamu, Juni perlahan merobek amplop berwarna coklat itu. Jantungnya berdetak lebih cepat saat tangannya merogoh untuk mengambil surat di dalamnya. Dengan cepat dia membuka lipatan kertas.
Wajah Juni menjadi pucat setelah mengetahui isi dari surat tersebut. Itu adalah surat dari rektorat bagian kemahasiswaan yang menyatakan bahwa beasiswa skripsinya harus dicabut paksa karena dia telah melewati batas waktu yang diberikan kampus untuk mengurus segala pemberkasan yang berkaitan dengan beasiswa skripsi.
Tubuh Juni melemas. Dengan seolah terdapat banyak beban di tubuhnya, dia tumbang dan bersender pada sofa ruang tamu. Matanya kembali tergenangi benih-benih air mata.
Kenapa? Kenapa aku harus kehilangan beasiswa itu?!
Air mata mulai merembes turun melewati pipinya. Juni terisak pelan. Entah kenapa hatinya merasa sangat sakit. Dia merasa sakit hati kala tahu beasiswa skripsi yang dia perjuangkan susah payah harus hilang dan kandas begitu saja. Bukan berarti dia nggak bisa dapat beasiswa lain sih, tapi setidaknya beasiswa ini adalah beasiswa terakhir yang mampu menopang kebutuhan dirinya dalam melangsungkan penelitian untuk skripsi. Beasiswa ini merupakan penolongnya dari krisis finansial. Dan Juni sangat berharap dengan beasiswa ini karena nggak mau membebani Mamanya dengan biaya-biaya lain seperti biaya penelitian skripsi. Cukup biaya uang kuliah saja yang menjadi tanggungan Mama.
"Hiks... Gimana nih..."
Sambil terisak, Juni meremas surat yang dia pegang. Rasanya, ini terlalu berat.
***