Salted Wound [Sehun - OC - Ka...

By heena_park

383K 35.2K 3.9K

Luka yang telah tertanam sedari kecil membuat Se-hun berubah menjadi pembunuh berdarah dingin andalan organis... More

PROLOGUE
Youtube Video Trailer
CHAPTER 1 - [Brother]
CHAPTER 2 - [His Darkest Side]
CHAPTER 3 - [Obsessed]
CHAPTER 4 - [Prom Night]
CHAPTER 5 - [Someone From The Past]
CHAPTER 6 - [Your Best Friend is Your Biggest Enemy]
CHAPTER 7 - [The Monster Creator]
CHAPTER 8 - [A Girl in The Maroon Dress]
CHAPTER 9 - [Venice]
CHAPTER 10 - [The Savior]
CHAPTER 12 - [Aspectabund]
CHAPTER 13 - [Photograph]
CHAPTER 14 - [Jealousy]
CHAPTER 15 - [Eccedentesiast]
CHAPTER 16 - [The Boyfriend]
CHAPTER 17 - [Human]
CHAPTER 18 - [The Beginning]
CHAPTER 19 - [Parents]
CHAPTER 20 - [First Kiss]
CHAPTER 21 - [Lacuna]
CHAPTER 22 - [THE KILLER]
[EXPLICIT] CHAPTER 23 - [Into You]
CHAPTER 24 - [No Escape]
CHAPTER 25 - [Who Are You?]
CHAPTER 26 - [The Truth]
CHAPTER 27 - [Deimos]
CHAPTER 28 - [Royce Hayden]
CHAPTER 29 - [Ready For War]
CHAPTER 30 - [What a Cruel World]
CHAPTER 31 - [Three of Swords]
BAB 32 - [Far From Home]
CHAPTER 33 - [Far From Home #2]
EXTRA PART

CHAPTER 11 - [22]

8.3K 1K 76
By heena_park



"Good morning. Happy Birthday, baby."

Hee-ra menarik kedua ujung bibirnya setelah mendengar suara Jong-in dari telepon. Ia masih mengenakan jubah mandi, rambutnya masih basah dan terbungkus handuk. Hee-ra berdiri di samping jendela, memandang bebas ke luar kaca.

"Cepatlah pulang karena aku punya sesuatu untukmu," lanjut Jong-in yang kembali membuat Hee-ra tersenyum.

"Kuharap kau ada di sini, Kim Jong-in."

Jong-in berdehem beberapa kali. "Bagaimana kalau sekarang aku berlari ke airport dan menyusulmu ke Venice? Astaga, aku membocorkannya. Kau pasti tidak kan terkejut karena sudah tahu, jadi kubatalkan saja."

Hee-ra tertawa, ia menutup gorden jendela. "Aku akan menghubungimu lagi nanti," tukasnya, kemudian menekan tombol akhiri panggilan.

Mengingat hari ini cukup spesial, Hee-ra berpikir apakah kedua orang tuanya merencanakan sesuatu. Ia bergegas membuka lemari, hanya ada beberapa stel pakaian dan dress, lagipula, siapa yang mau membawa banyak baju untuk liburan?

Ia memilih celana jeans biru tua, kaus, dan jaket senada. Rambutnya diikat ke belakang, kasual namun tetap rapi dan enak dipandang.

Baru saja Hee-ra membuka pintu kamar, seorang pria berjas hitam yang sekiranya berusia empat puluh tahunan sudah menunggu di depan.

"Good morning, Miss. Shin. Follow me," ucapnya yang tanpa menunggu balasan dari Hee-ra langsung melenggang begitu saja. Otomatis, Hee-ra segera mengikuti supaya tidak kehilangan jejak, yah, hal ini mengingatkannya dengan kejadian kemarin malam.

Orang itu berhenti di samping sedan hitam, kemudian membuka salah satu pintu sebagai tanda agar Hee-ra masuk ke sana. Ah, ia merasa spesial saat diperlakukan seperti ini. Setelah pria tersebut duduk di kursi pengemudi, mobil mulai melaju melewati beberapa jembatan serta menelusuri pinggiran kanal yang memanjakan kedua mata.

Sekitar dua puluh menit berlalu, mereka berhenti di depan restoran mewah bergaya klasik, Riviera. Nampak kedua orang tuanya dan Se-Hun telah menunggu di sana. Buru-buru Hee-ra turun dan menghampiri mereka, kemudian memeluk sang ayah dan ibu bersamaan.

"Selamat ulang tahun, Moon-bear." Kang So-hee mengusap lembut punggung Hee-ra, sepersekian detik kemudian memberikan kecupan hangat di pipi juga keningnya.

"Happy Birthday, my little princess." Shin Jae-woo membelai rambut belakang Hee-ra, ingatan mengenai perjalanan hidup putri kecil yang kini telah berusia dua puluh dua tahun tersebut seolah kembali terputar. Ya ampun, hatinya terasa hangat setiap kali mengingat tangisan pertama Hee-ra, putrinya yang manja, kini sudah tumbuh dewasa.

Ah, ini dia yang terakhir. Dilihat berkali-kalipun pria itu memang tampan, tak peduli pakaian bergaya apa yang ia gunakan.

"Happy Birthday, sister," gumamnya ringan. Terlalu ringan sampai Hee-ra bahkan ikut terlena. Se-Hun menatapnya hangat, dalam, dan penuh perhatian.

Tidak ada yang mereka lakukan selain berpandangan. Se-Hun juga tidak merentangkan kedua tangan untuk memberi pelukan, begitupula Hee-ra, hanya mematung dan sepersekian detik kemudian mengangguk, mengucapkan terima kasih atas ucapan yang diberikan.

Masih ada rasa canggung di antara mereka, apalagi setelah Se-Hun menciumnya di gondola kemarin malam. Tapi kali ini berbeda, entah karena terbiasa atau apa, namun Hee-ra merasa ciuman Se-Hun bukanlah sesuatu yang aneh lagi dalam hidupnya.

Lantas, mereka memasuki ruangan dan duduk di meja yang telah dipesan. Empat piring panino dan espresso telah menunggu, sarapan yang tak begitu berat, namun cukup membuat perut senang.

"Well, memakan kue tart di pagi hari sepertinya tidak cocok, jadi kami memutuskan bahwa kau akan meniup lilin nanti siang," gumam Kang So-hee tanpa ditanya, sementara Shin Jae-woo dan Se-Hun mengangguk setuju.

Mereka kelihatan seperti keluarga bahagia, bukan?

Pasangan suami-istri yang mencintai kedua anaknya, seorang kakak yang perhatian, dan adik yang bahagia dikelilingi anggota keluarganya. Hampir bisa dikatakan sempurna. Tapi, dalam kebahagiaan sesaat yang tercipta bagaikan ilusi keindahan mata ini hanyalah kebohongan belaka. Bukan, bukannya mereka tak saling menyayangi, hanya saja, satu orang yang sebenarnya bukan siapa-siapa tiba-tiba datang dan mulai ikut campur di dalamnya.

Ada yang bilang rasa nyaman dan cinta tumbuh karena terbiasa. Mungkinkah Se-Hun juga merasakannya? Entah kenapa berada di tengah-tengah keluarga palsunya terasa sangat menyenangkan, seolah ia memang bagian dari mereka. Andai saja suatu hari nanti Se-Hun membuka kedoknya, apakah dia masih diberi kesempatan untuk sekadar menyapa?

Setelah menghabiskan makanan masing-masing sambil bersenda-gurau, mereka akhirnya memutuskan untuk beranjak ke tempat selanjutnya. Tentu saja Hee-ra tidak tahu. Yang ia lakukan hanya mengikuti ke manapun orang tuanya melangkah.

Namun, kali ini mereka tak menggunakan sedan, melainkan sebuah mini bus yang dipesan khusus oleh sang ayah. Satu lagi, Hee-ra tak mendapati Se-Hun berada di sekitarnya, hanya ada empat orang dalam mini bus tersebut: seorang sopir, Hee-ra dan kedua orang tuanya.

"Dia kembali ke hotel untuk mengurus sesuatu," sahut Kang So-hee ketika menyadari ekspresi bingung Hee-ra. "Pegawainya berusaha menghubungi sejak kemarin." Berhenti sebentar dan membuang napas pasrah. "Pengusaha muda memang selalu sibuk, persis seperti ayahmu dulu," lanjutnya sambil melirik Shin Jae-woo di sebelah dan membuat pria berusia akhir empat puluhan itu tertawa hambar.

"Kau tidak perlu marah-marah seperti itu." Se-Hun melirik ke kanan sebentar, memastikan keadaan di sekitarnya memang aman.

Ia duduk di atap sebuah gedung, tangan kanannya memegang senapan, sementara tangan kirinya menempelkan ponsel ke telinga. "Aku bisa membereskannya dengan cepat, asal kau tidak cerewet," lanjutnya.

Telinganya memanas mendengar rengekan pria kliennya. Semalaman, ia terus-terusan menghantui Se-Hun agar segera membunuh lawan bisnisnya, benar-benar mengesalkan. Apakah mereka tidak bisa bersabar sebentar saja? Selalu saja terburu-buru.

"Kusarankan kau pergi ke bar dan menikmati setiap detik berhargamu." Ia mendecak beberapa kali, telinganya mulai tak fokus mendengar serentetan kata yang keluar dari lawan bicaranya.

Netranya menangkap sosok pria berjas hitam yang sedang duduk di dalam mobil. Selama beberapa detik, tidak ada pergerakan lain hingga pintu dibukakan oleh anak buahnya. Se-Hun menyeringai, ia menaruh ponsel di paha dan mulai mengatur posisi tangannya memegang senapan.

Se-Hun tak pernah meleset, latihannya selama belasan tahun membuat pria itu selalu menembak tepat sasaran. Ia menyipitkan salah satu mata dan mulai membidik.

"Nikmati perjalananmu ke surga, kawan."

Dalam sekali tekanan, Se-Hun meluncurkan peluru. Bagaikan suatu kebiasaan yang tak terelakkan, peluru tersebut langsung menembus tubuh sasaran hingga merenggang nyawa. Tanpa perlu pikir panjang, setelah memastikan targetnya tak bisa diselamatkan, Se-Hun segera bangkit dan membakar kursi kayu yang didudukinya barusan. Kemudian, ia mengikat tali ke besi dan meluncur turun melalui dinding sebelum ada yang melihatnya.

Keriuhan akibat penembakan barusan cukup menguntungkan. Se-Hun bisa leluasa pergi tanpa mempedulikan orang-orang yang heboh menyelamatkan diri, berlarian ke sana-ke mari karena takut menjadi sasaran berikutnya. Padahal, tanpa mereka ketahui, sang pembunuh sudah berkeliaran di tengah keramaian, sungguh kamuflase yang mengagumkan.

Yah, masa bodoh dengan mereka. Yang penting, sekarang Se-Hun harus bergegas menyiapkan hadiahnya untuk Hee-ra.

Hee-ra beserta keluarganya sempat singgah ke Lido di Venezia—sebuah gosong pasir sepanjang sebelas kilometer dan menjadi rumah bagi 20.000 penduduk. Walau hanya duduk-duduk santai sembari memandang ke laut lepas ditemani bekal buatan sang ibu, ketiganya sudah cukup senang.

"Kalian mau granita?" tanya Shin Jae-woo ketika tak sengaja melihat seorang penjual granita. Sontak, Kang So-hee dan Hee-ra mengangguk bersamaan.

"Aku akan membelinya. Ada yang mau membantu?"

"Aku!" Hee-ra menawarkan diri dan segera bangkit dari duduk malasnya. Ia menyusul Shin Jae-woo yang sudah berjalan lebih dulu, berusaha mengimbanginya.

Setelah memesan tiga gelas granita, keduanya bersandar ke pagar besi—saling bersampingan, tentu saja. Hee-ra memejamkan mata, menikmati suasana dan ketenangan yang ada. Seharusnya, Shin Jae-woo melakukannya sejak dulu, mengajak anak dan istrinya berlibur bersama, rehat sejenak dari pekerjaan yang tiada habisnya. Bagaimanapun, keluarga lebih penting daripada materi.

"Shin Hee-ra?"

Hee-ra mengangkat wajahnya, menengok ke arah Shin Jae-woo yang tak meliriknya sama sekali. "Ya, papa?"

"Papa lihat sikapmu pada Se-Hun sudah lebih baik dari sebelumnya." Kali ini ia berbalik dan memegang bahu kiri anak gadisnya. "Papa senang melihatnya," lanjut Shin Jae-woo sambil mengusap bahu Hee-ra.

Bukankah ia seorang ayah tiri yang baik? Maksudku, Shin Jae-woo menyayangi Se-Hun sepenuh hati. Padahal pria berusia dua puluh empat tahun itu bukan darah dagingnya.

"Tapi..." Hee-ra menggantung kalimatnya, tak yakin apakah ucapannya setelah ini bisa diterima. Oh ayolah, tidak ada salahnya untuk bertanya. "Papa bilang... Se-Hun banyak berjasa bagi keluarga kita... tapi aku tak pernah melihat pengorbanannya selama ini... jadi?"

Rupanya Hee-ra masih mengingat ucapannya kala itu. Shin Jae-woo sendiri juga baru menyadarinya, seorang Oh Se-Hun—anak tiri yang membuatnya tersadar akan pentingnya keluarga.

Ia kembali menyandar ke pagar besi dan berpikir selama beberapa detik sebelum mengeluarkan suara. "Kau ingat kejadian tiga atau empat tahun lalu? Saat papa melarangmu menari agar fokus pada pendidikan?" Ia terkikik pelan, "Malam harinya, Se-Hun mendatangi papa di ruang kerja, berkali-kali dia memohon agar papa mengizinkanmu mengikuti kelas menari. Awalnya papa menolak dan terus fokus pada pekerjaan, tapi Se-Hun terus menunggu. Ia berdiri di dekat pintu selama lebih dari empat jam, dan ya, papa tetap tidak mengabulkan permintaanya."

Apa? Se-Hun melakukan hal seperti itu? Kenapa ia tidak pernah tahu?

"Dia terus berusaha mendapatkan hati papa, ia sering membersihkan ruang kerja, membukakan pintu saat larut malam, padahal waktu itu kau marah dan tidak mau berbicara dengan papa. Sampai akhirnya dengan tegas Se-Hun kembali berbicara. Ia meyakinkan papa bahwa melarangmu mengembangkan bakat sama saja dengan membunuh salah satu bagian hidupmu, dan akhirnya papa mengizinkanmu menari."

Tunggu dulu, jadi alasan luluhnya hati sang ayah kala itu bukan karena kemarahan Hee-ra, melainkan gara-gara keteguhan Se-Hun? Terdengar kekanakan memang, tapi pria itu berhasil membuatnya diizinkan menari!

"Kau ingat saat mama operasi usus buntu?"

Hee-ra mengangguk cepat. "Ya, waktu itu aku sedang berada di Berlin dengan teman-teman," sahutnya.

"Waktu itu papa juga di luar kota karena urusan bisnis. Se-Hun lah yang akhirnya memutuskan untuk pulang lebih cepat, meninggalkan rapat pemegang saham dan lebih memilih membawa mamamu ke Rumah Sakit. Dia menunggu sampai operasi selesai. Salah satu suster mengatakan jika selama operasi berlangsung, ia terus berdoa."

Hatinya tercelos, telinganya seolah tak percaya pada setiap kata yang keluar dari mulut Shin Jae-woo, tapi hatinya berbeda. Jauh dalam hati yang sangat sulit tercapai, Hee-ra menangis, ia begitu menyesali perbuatannya selama ini, mengacuhkan Se-Hun yang telah banyak berjasa bagi keluarganya.

Ia terlalu sibuk membenci tanpa mau menyadari beribu kebaikan yang dilakukan Se-Hun, ia terlalu sibuk memaki sampai lupa kalau Se-Hun selalu menjaganya.

"Tempat yang akan kita datangi setelah ini adalah pilihan Se-Hun. Dia bilang kau akan sangat menyukainya."

Tempat apa?

Hee-ra mengerutkan kening, meminta penjelasan, tapi Shin Jae-woo tidak berniat membuka mulut dan malah mengalihkan pembicaraan. "Shin Hee-ra, Se-Hun adalah orang pertama yang menanyakanmu di pagi hari dan yang terakhir mengucapkan selamat tidur saat malam. Ia selalu berdiri di depan pintu kamarmu dan mengucapkan selamat tidur tanpa kau sadari."

Tanpa terasa matanya mulai berkaca-kaca, Hee-ra termenung memaki dirinya sendiri. Ia menuduh Se-Hun egois, padahal dirinya sendiri juga sama saja.

"Se-Hun adalah kakak yang baik. Kuharap setelah ini kau tidak membencinya lagi karena papa pun sangat menyayanginya." Shin Jae-woo menepuk-nepuk pundak Hee-ra selama beberapa saat sebelum penjual granita mengatakan pesanannya telah jadi. Pria itu segera menghampiri sang penjual, lalu melambaikan tangan pada Hee-ra agar putrinya bersedia membawa granita yang tersisa.

Pikirannya melayang setelah mendengarkan perkataan Shin Jae-woo. Hee-ra tak pernah menduga jika Se-Hun melakukan hal-hal seperti itu. Mungkinkah Se-Hun benar-benar menyayangi keluarganya? Apakah ia telah berubah?

Setelah menghabiskan cukup banyak waktu di Lido di Venezia, ketiganya mampir sebentar ke Rialto Mercato untuk sekadar melihat-lihat ikan segar, mungkin berniat membeli bila ada yang memikat hati.

Mereka memutuskan untuk membeli beberapa ekor ikan dan meminta seorang chef di salah satu Rumah Makan mengolahnya dengan bumbu spesial. Sambil menunggu hidangannya matang, Kang So-hee kembali ke mini bus dan mengambil kue tart yang telah dijanjikan. Ia menyalakan lilin dan mulai bernyanyi Selamat Ulang Tahun setelah melewati garis pintu.

Begitu mendengar nyanyian Kang So-hee, semua orang yang ada di sana tiba-tiba ikut bernyanyi hingga membuat Hee-ra tersipu malu.

"Ucapkan keinginanmu dalam hati sebelum meniup lilin," gumam Kang So-hee sambil memegang kue tart di depan Hee-ra.

Hee-ra mengangguk antusias dan menyatukan kedua tangan sambil menutup mata. Keinginan yang datang bagaikan semilir angin barusan diucapkannya dalam hati. Sesuatu yang tak pernah terpikir dalam benaknya sebelum hari ini, sesuatu yang diragukan kebenarannya namun tetap ia yakini.

Sesaat setelah berdoa, Hee-ra membuka mata dan mulai meniup lilin berbentuk angka dua puluh dua tersebut. Ia memang tidak begitu percaya dengan mitos, tapi tidak ada salahnya untuk dicoba. Siapa tahu keinginannya terwujud.

"Jadi, apa yang keinginanmu?" tanya Shin Jae-woo penasaran.

Namun, Hee-ra dengan cepat menggeleng sambil memasang senyum penuh arti. "Aku tidak boleh mengatakannya pada kalian kalau ingin dikabulkan," jawabnya lalu mengedipkan mata kiri yang disambut tawa oleh Shin Jae-woo.

Setelah menghabiskan makan siang, mereka pergi ke teater Le Fenice, salah satu tempat yang sejak lama ingin dikunjungi Hee-ra. Mereka menonton opera yang rutin dipentaskan di sana. Megahnya bangunan semakin memperkuat suasana, benar-benar cocok dengan yang sedang ditampilkan. Oh ya ampun, Hee-ra pasti betah tinggal di Venice, rasanya ia tak ingin pulang.

Sepanjang pertunjukan berlangsung, ketiganya tak berhenti untuk megagumi, entah opera yang sedang ditampilkan maupun desain interior bangunan berkelas ini. Jujur saja, mereka merasa seperti berada dalam istana.

Riuh tepuk tangan penonton menggema begitu semua aktor dan aktris opera membungkukkan badan sebagai tanda berakhirnya pertunjukan. Begitupula dengan Hee-ra, ia bahkan sampai berdiri sambil bertepuk tangan.

"Kau menyukainya?" Kang So-hee mengusap rambut putrinya.

"Mama bercanda?" Berhenti sebentar dan menarik napas dalam-dalam, kemudian membuangnya keras. "I love it more than anything!" jawabnya tak kalah heboh.

Mendengar Hee-ra puas dan bahagia dengan semua rencananya membuat hari Kang So-hee terasa sempurna. Apa yang paling penting bagi seorang ibu selain kebahagiaan anaknya? Tidak ada, kan?

"Se-Hun bilang kau akan menyukai semua ini." Kang So-hee menarik Hee-ra dalam pelukannya. "Dan dia benar. Mama sangat senang karena kau menikmatinya," lanjutnya terharu.

Lagi-lagi Se-Hun. Kenapa orang tuanya seolah ingin meyakinkan Hee-ra bahwa Se-Hun adalah saudara yang baik? Mengapa mereka mau mengikuti saran Se-Hun? Dan bagaimana bisa Se-Hun tahu banyak hal tentang Hee-ra?



Waktu terus berjalan, Se-Hun juga terus menunggu. Ia bersandar ke badan mobil sambil sesekali melirik jam di tangan. Baru pukul 19:00 memang, tapi Se-Hun berharap agar Hee-ra dan kedua orang tuanya segera kembali. Well, ia tidak sabar memberikan serentetan kejutan manis untuk sang adik—ralat, calon kekasihnya.

Ia mengetuk-ngetukan kaki ke jalan, menyadari beberapa mata yang tertuju ketika tak sengaja lewat di depannya. Yah, mau bagaimana lagi? Siapa yang tidak menengok dua kali saat melihat wajah tampan Se-Hun?

Sampai akhirnya Se-Hun mendongakkan kepala. Kedua ujung bibirnya tertarik, tersenyum senang ketika mendapati Hee-ra dan kedua orang tuanya telah tiba.

Paham akan sinyal yang diberikan Se-Hun, Kang So-hee mengatakan sesuatu pada Hee-ra hingga ekspresi gadis itu berubah. Namun, semuanya berakhir saat Kang So-hee mendorong pelan punggung putrinya ke arah Se-Hun.

Awalnya terlihat ekspresi ragu dalam air muka Hee-ra, ia menggigit bibir bawah seolah tak yakin pada keputusannya saat ini. Sebelum Hee-ra berubah pikiran, sebelum rencananya berakhir sia-sia, Se-Hun melangkah maju.

"Good evening, sister," ujarnya manis kemudian meraih tangan kanan Hee-ra tanpa permisi. Menggenggamnya erat dan menuntun ke mobil walau serentetan pertanyaan juga protes tak berhenti keluar dari mulut Hee-ra.

"Apa yang kau lakukan? Kita mau ke mana?" protes Hee-ra tak terima ditarik begitu saja, tapi ia tak melakukan penolakan dan tetap membiarkan Se-Hun menggenggam tangannya.

Mereka berhenti di samping mobil, Se-Hun segera membuka pintu dan mendorong Hee-ra masuk. "Kau akan tahu nanti." Ia berhenti sebentar dan membungkuk, mendekatkan wajahnya pada Hee-ra. "Aku tidak menerima penolakan kali ini," lanjutnya lalu mengedipkan sebelah mata, membuat Hee-ra tak sanggup berkata-kata.



Continue Reading

You'll Also Like

173K 15K 82
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...
80.6K 3.8K 22
[ 18+ Mature Content ] Gerald Adiswara diam diam mencintai anak dari istri barunya, Fazzala Berliano. Katherine Binerva mempunyai seorang anak manis...
50.7K 5.6K 18
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++
85.4K 8.9K 28
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...