Salted Wound [Sehun - OC - Ka...

By heena_park

383K 35.2K 3.9K

Luka yang telah tertanam sedari kecil membuat Se-hun berubah menjadi pembunuh berdarah dingin andalan organis... More

PROLOGUE
Youtube Video Trailer
CHAPTER 1 - [Brother]
CHAPTER 2 - [His Darkest Side]
CHAPTER 3 - [Obsessed]
CHAPTER 4 - [Prom Night]
CHAPTER 5 - [Someone From The Past]
CHAPTER 7 - [The Monster Creator]
CHAPTER 8 - [A Girl in The Maroon Dress]
CHAPTER 9 - [Venice]
CHAPTER 10 - [The Savior]
CHAPTER 11 - [22]
CHAPTER 12 - [Aspectabund]
CHAPTER 13 - [Photograph]
CHAPTER 14 - [Jealousy]
CHAPTER 15 - [Eccedentesiast]
CHAPTER 16 - [The Boyfriend]
CHAPTER 17 - [Human]
CHAPTER 18 - [The Beginning]
CHAPTER 19 - [Parents]
CHAPTER 20 - [First Kiss]
CHAPTER 21 - [Lacuna]
CHAPTER 22 - [THE KILLER]
[EXPLICIT] CHAPTER 23 - [Into You]
CHAPTER 24 - [No Escape]
CHAPTER 25 - [Who Are You?]
CHAPTER 26 - [The Truth]
CHAPTER 27 - [Deimos]
CHAPTER 28 - [Royce Hayden]
CHAPTER 29 - [Ready For War]
CHAPTER 30 - [What a Cruel World]
CHAPTER 31 - [Three of Swords]
BAB 32 - [Far From Home]
CHAPTER 33 - [Far From Home #2]
EXTRA PART

CHAPTER 6 - [Your Best Friend is Your Biggest Enemy]

8K 1.1K 77
By heena_park

Seusai acara, Hee-ra buru-buru mengajak keluarganya pergi, tak berniat untuk sekadar mengucapkan selamat pada Jong-in maupun Emma. Sang ibu juga tak protes, ia bisa mengerti perasaan Hee-ra yang tengah terluka, meskipun dalam hati, ia tetap berasumsi bahwa adegan ciuman Jong-in dan lawan mainnya sudah diatur.

Tak ada suara terdengar kecuali alunan musik klasik serta mesin sepanjang perjalanan. Hee-ra terus menewarang keluar jendela, sementara Se-hun megamati dari samping. Pria itu tersenyum tipis. Ia senang, dengan kejadian ini, berarti hubungan Hee-ra dan Jong-in tidak akan sebaik sebelumnya, tapi, di sisi lain ia juga sedih, Se-hun tak suka melihat raut patah hati Hee-ra.

Bahkan sesampainya di rumah, Hee-ra langsung ke kamar tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun. Hal ini sudah cukup membuat KaYng So-hee khawatir. Tapi mau bagaimana lagi? Ia tak ingin ikut campur dalam urusan percintaan putrinya.

Hee-ra mematikan ponsel, kemudian melemparkan badan ke kasur tanpa berganti baju atau sekadar melepas sepatu. Ia terlalu lelah—bukan, hatinya terlalu lelah.

Rasa pedulinya pada Jong-in seolah luntur malam ini. Masa bodoh berapa kali pria itu akan mencoba menelepon atau mengirim pesan, ia tak berniat menyalakan ponsel. Ia butuh waktu untuk sendiri, untuk menerima kenyataan bahwa Jong-in membiarkan Emma menciumnya.

Dalam diam dan kegelisahannya, hawa dingin berhasil membuat Hee-ra menyerah dan terlelap. Tidur begitu dalam sampai-sampai tiada bayangan akan kenangan pahitnya barusan.

Gagang pintu bergerak, seorang pria berkaus coklat masuk begitu saja. Ia langsung duduk di pinggir ranjang Hee-ra, memandang gadis itu dari atas ke bawah secara seksama. Ketika mendapati Hee-ra masih megenakan sepatu, Se-hun segera bergeser dan melepaskan sepatu tersebut dari kaki Hee-ra. Takut kalau gadisnya terluka.

"Kenapa kau bebal sekali? Apa satu kaki tak cukup membuatmu sadar bahwa kesehatan itu mahal?" Se-hun mendesah.

Setelah melepaskan sepatu dari kaki Hee-ra, Se-hun kembali mendekat, kali ini ia mengusap lembut kening gadis itu. Menyingkirkan poni yang mengganggu pandangannya dan mengecup sejenak puncak kepala Hee-ra.

"Tidur yang nyenyak, sayang. Kuharap besok kau bisa melihat kesungguhan hatiku."

Setelah puas mengamati wajah Hee-ra, Se-hun segera beranjak. Ia tentu tidak ingin mendengar teriakan penolakan dari Hee-ra ketika mengetahui dirinya tengah berada di sana.

Pagi-pagi sekali, Jong-in telah menunggu di depan gerbang rumah Hee-ra. Berharap gadis itu segera keluar dan ia bisa menjelaskan kejadian sebenarnya. Namun nihil, hampir satu jam berlalu, belum ada tanda-tanda kehadiran Hee-ra. Apa dia tahu kalau Jong-in sudah menunggu di luar? Makanya Hee-ra memilih untuk tidak keluar.

Sebagai seorang pria, seharusnya Jong-in memberanikan diri untuk menekan interkom dan bertanya pada siapapun yang menyahut mengenai keberadaan Hee-ra.

Ya! Benar, kenapa ia tak melakukannya sejak tadi?

Tunggu dulu, bagaimana kalau yang muncul di layar bukan Hee-ra atau orang tuanya, melainkan Se-hun? Jelas dia tidak akan membiarkan Jong-in menemui adiknya. Menyebalkan sekali.

Setelah sempat berpikir beberapa detik, Jong-in akhirnya memberanikan diri untuk menekan tombol di interkom. Benaknya terus berdoa semoga Hee-ra atau orang tuanya yang menerima. Ia tak suka pada Se-hun, bukan, lebih tepatnya Jong-in tak begitu nyaman apabila harus berhadapan dengan Se-hun.

Sayangnya, keberuntungan tak berpihak padanya. Wajah dingin itu muncul, seorang pria bermata tajam menunjukkan wajah di layar dengan angkuhnya, bersikap seolah Jong-in tak seharusnya berada di sini.

Jantungnya berdegup kencang, entah kenapa setiap kali menghadapi saudara laki-laki Hee-ra selalu terasa menegangkan. Baiklah, siapapun pasti bisa membaca pikiran Se-hun, ia memasang wajah dingin dengan tatapan yang sangat tajam pada Jong-in.

"Bisa aku menemui Hee-ra?"

Se-hun menengok sebentar ke belakang, beberapa detik kemudian kembali menatap Jong-in. "Tidak."

"Kalau begitu, bisakah kau membiarkanku masuk dan memanggilnya?"

"Tidak akan pernah."

Jong-in mendengus, kali ini ia berkacak pinggang. "Hei, apa kau memiliki dendam padaku? Apa aku salah jika menjalin hubungan dengan adikmu?"

Melihat reaksi Jong-in barusan, Se-hun tertawa licik. Ia mengalihkan pandangan dari Jong-in. "Aku bersumpah kau tidak akan pernah bisa memilikinya."

Apa pria ini mabuk? Maksudku, Jong-in sudah menjalin hubungan dengan Hee-ra, tapi kenapa Se-hun berkata seolah Hee-ra belum menjadi miliknya?

Jong-in mendesis, "Terimalah kenyataan Oh Se-hun, adikmu adalah kekasihku."

"Tahu apa kau tentang menerima kenyataan?" tanya Se-hun, lebih seperti sindiran. "Akan kuberitahu tentang apa itu menerima kenyataan, Kim Jong-in." Senyum licik kembali mengembang, hanya segaris tipis namun penuh arti. Sebuah senyuman yang berhasil membuat Jong-in bertanya-tanya mengenai maksud dari pernyataan Se-hun barusan.

"Well, kusarankan kau pergi saja. Aku berani bertaruh kalau Hee-ra tak berniat untuk menemuimu setelah apa yang kau lakukan, dude."

Setelah dipikir-pikir, ucapan Se-hun ada benarnya juga. Kalau saat ini Jong-in yang berada dalam posisi Hee-ra, ia sudah pasti malas untuk menemui gadis itu. Ia butuh waktu untuk menenangkan diri dan menata hati. Namun, layaknya orang dewasa, seharusnya mereka bisa duduk berhadapan dan saling berbicara. Diam dan lari dari masalah hanya akan mempersulit keadaan.

"Baiklah, aku akan pergi," kata Jong-in akhirnya. "Tapi aku tidak akan menyerah untuk menemuinya lagi. Mungkin Hee-ra memang butuh waktu untuk sendiri."

Tidak ada jawaban dari Se-hun selain tatapan mengusir. Dengan langkah gontai, Jong-in kembali ke mobil, sesaat sebelum menyalakan mesin, kedua matanya menerawang ke jendela kamar Hee-ra. Apakah gadis itu benar-benar marah? Andai dia tahu jika Jong-in tidak pernah berniat mencium Emma sedikitpun.

Setiap orang memiliki hobi, begitu pula Jasmine. Ia dengan penuh penghayatan menggesek senar biola, menciptakan alunan nada indah nan menyentuh hati siapapun yang mendengarnya. Sungguh, sisi tak terduga dari seorang pembunuh cantik berdarah dingin, bukan?

Bermain biola sudah ditekuninya sejak kecil. Beberapa tahun setelah dijual pada Bruce oleh ibu tirinya, Bruce Waylon memutuskan untuk mengembangkan bakat gadis itu dengan membiayainya mengikuti les biola.

Bruce selalu berkata, apapun pekerjaanmu, entah baik atau buruk, hobi dan keahlian harus tetap dikembangkan.

"Miss. Rochester, klien anda sudah menunggu di ruang tamu," ujar seorang pria bertuxedo setelah tiga kali mengetuk pintu kamar Jasmine.

Jasmine mengerjap, ia menaruh biola dengan agak kesal. Kenapa orang itu datang di saat yang tidak tepat? Jasmine butuh waktu lebih lama untuk menyalurkan bakat serta menjaga kestabilan emosinya.

"Aku akan segera keluar," ujar Jasmine kemudian.

Ia segera menggerai rambut panjangnya. Berbeda dengan Se-hun yang selalu mengenakan topeng, Jasmine lebih suka tampil apa adanya. Ia tidak masalah kalau sang klien mengetahui jati dirinya, toh kalau mereka berani macam-macam taruhannya adalah nyawa.

Organisasi begitu memperhatikan keselamatan anggota. Sebelum melakukan keinginan klien, mereka diwajibkan menandatangani perjanjian hitam di atas putih yang berisi kesepakatan untuk tidak menyeret nama sang pembunuh apabila suatu hari kedok mereka terbongkar, dengan kata lain, kesalahan berada di tangan sang klien. Apabila klien melanggar perjanjian tersebut, maka organisasi tak akan tinggal diam dan langsung menghabisi nyawanya.

Sesuai prosedur, Jasmine meraih map di atas meja dan membawanya keluar. Seorang pria berusia akhir lima puluhan berbincang dengan Bruce Waylon, seolah mereka telah mengenal satu sama lain cukup lama.

"Oh, Jasmine Rochester, my dear!" Bruce melebarkan kedua tangannya, membanggakan Jasmine yang tengah berjalan menghampirinya.

"Jasmine Rochester," gumamnya memperkenalkan diri.

Pria yang tadinya asyik mengobrol dengan Bruce-pun bangkit. "Alexander Jones, senang bertemu denganmu, Miss. Rochester."

Jasmine tersenyum ramah, kemudian duduk di samping Bruce. Ia menyodorkan map hijau kepada Alexander dan bergumam, "Anda tentu sudah paham mengenai perjanjiannya, bukan, Mr. Jones?"

Pria itu megangguk mantap. "Ya, menandatangani perjanjian, tidak membocorkan pada polisi mengenai keberadaan kalian jika aku tertangkap, dan membayar lima puluh persen di awal."

Jasmine mengangguk dua kali. Ia mengerutkan kening. "Well, siapa orang yang harus kulenyapkan, Mr. Jones?"

Pria yang dipanggil Mr. Jones itu tersenyum tipis, ia mengeluarkan amplop coklat dari tas, kemudian memberikannya pada Jasmine. "Seorang pria Korea yang sangat mengesalkan. Aku muak melihat sikap angkuhnya," ujar Alexander.

Jasmine segera mengambil amplop tersebut. Batinnya mengatakan jika sesungguhnya Alexander hanya iri pada korban mereka. Dan benar saja, setelah dilihat-lihat, pria yang menjadi target Alexander adalah seseorang yang kemungkinan selalu mengalahkannya.

"Shin Jae-woo, usianya empat puluh sembilan tahun. Oh, dia tampan juga." Jasmine dengan sadar memuji sosok pria tampan di foto tersebut. Tidak, ia bukannya menyukai pria yang berusia jauh lebih tua darinya. Hanya saja, orang yang ada di foto itu memang benar-benar tampan. Jasmine bahkan sempat mengira bahwa Shin Jae-woo masih berada pada pertengahan tiga puluhan. Sayang sekali orang setampan ini harus dilenyapkan. Ditambah lagi, pujiannya juga akan semakin membakar emosi Alexander, sehingga pria itu akan semakin membenci Shin Jae-woo.

Setelah mengamati beberapa saat, Jasmine kembali memasukkan foto dan beberapa lembar dokumen tersebut ke amplop.

"Aku akan menyamar dengan melamar pekerjaan di perusahaannya. Seperti keinginanmu, aku akan membunuhnya secara perlahan dan menyakitkan, Mr. Jones."

Bangun terlalu siang berakhir membuat Hee-ra terpaksa diantar sang ayah ke kampus. Ia masih belum boleh mengendarai mobil, meskipun kakinya sudah jauh lebih baik dari sebelumnya. Lagipula, Shin Jae-woo juga tidak keberatan kalau diminta mengantarkan putri kesayangannya itu.

Sepanjang perjalanan, Hee-ra menguap sebanyak tujuh atau delapan kali. Kepalanya dibiarkan menyandar ke kaca jendela, sementara matanya kadang tertutup dan terbuka. Dia tidak kekurangan tidur kemarin malam, tapi kenapa pagi ini tetap mengantuk seperti itu?

"Papa dengar, tadi pagi Jong-in mampir ke rumah." Shin Jae-woo mengawali percakapan.

Tidak ada gerakan berarti dari Hee-ra seperti apa yang diharapkan ayahnya. Gadis itu tetap kelihatan mengantuk dan tak begitu fokus, atau lebih tepatnya, tidak tertarik pada topik pembicaraan mereka.

"Aku sudah menduganya," balas Hee-ra cepat.

"Kau tidak berniat memaafkannya?" Mata Shin Jae-woo menyipit. Sebelum Hee-ra membalas, ia cepat-cepat menambahi, "Bukannya ingin ikut campur. Hanya saja, papa yakin Jong-in adalah pria baik, aku bisa melihat ketulusannya padamu, sayang."

Kurasa tidak ada pria baik yang pasrah ketika bibirnya dijamah wanita lain begitu saja, batin Hee-ra.

"Pertengkaran, salah paham, orang ketiga, semua itu tidak aneh dalam suatu hubungan. Begitupun dengan papa dan mama, kisah kami tidak berjalan mulus begitu saja," ungkap Shin Jae-woo. Matanya menatap lurus ke jalan. "Apa kalian tidak ingin membicarakannya secara baik-baik? Terkadang kita harus megalahkan ego dan berusaha menerima penjelasan."

Hee-ra terdiam. Pikirannya melayang. Kalau dipikir-pikir, memang Jong-in tidak seratus persen salah, bagaimanapun, pria itu pasti sangat terkejut saat Emma tiba-tiba menciumnya. Tapi tetap saja, perasaan wanita tidak akan mau menerima penjelasan seperti itu.

Intinya, apapun kebenarannya, Jong-in tetap salah. Titik.

"Kalau ada pria yang cukup baik untukku, kurasa sifatnya harus mirip dengan papa," kata Hee-ra akhirnya.

Shin Jae-woo tertawa, pipinya merona ketika mendengar pujian dari putrinya. Sepersekian detik kemudian, setelah tawanya reda, Shin Jae-woo kembali menunjukkan raut serius.

"Kalau ada pria yang cukup baik untukmu, kuharap ia memiliki sifat seperti kakakmu."

Kakak?

Hee-ra membulatkan mata, tak percaya pada apa yang barusan didengarnya. Apa yang bagus dari Se-hun? Dia hanya seorang penjahat berdarah dingin serta berego tinggi.

"Kuharap ini salah, tapi terkadang papa melihat tatapan bencimu pada Se-hun."

Oh tentu, Hee-ra sangat membenci Se-hun.

Shin Jae-woo melirik Hee-ra sekilas, hanya beberapa detik, kemudian kembali fokus ke depan. "Meskipun Se-hun bukan anak kandung papa, tapi papa sangat bangga padanya. Dia patut untuk dicintai, sayang."

Ingin rasanya Hee-ra melayangkan protes pada sang ayah. Ia bisa saja membongkar kedok kejahatan Se-hun, tapi Hee-ra tak sampai hati untuk menghancurkan sosok yang dibanggakan ayahnya.

"Papa tidak tahu apa yang membuatmu seperti itu, mungkin karena dia adalah anak dari hubungan di luar nikah mamamu, atau apapun itu. Tapi ketahuilah sayang, dia sangat menyayangimu. Dia benar-benar berusaha melindungimu."

Hee-ra menggeleng. "Aku tidak mengerti arah pembicaraan kita," ungkapnya bingung.

Sayangnya, Shin Jae-woo tak berniat menejelaskan. Ia hanya menarik salah satu ujung bibirnya. "Ada banyak hal yang telah Se-hun lakukan untukmu dan keluarga kita. Suatu hari nanti kau akan mengetahuinya, sayang."

Kepalanya penuh tanda tanya. Kenapa ayahnya berkata seperti itu? Memang apa yang telah Se-hun lakukan?

Apakah Hee-ra terlalu keras pada dirinya sendiri untuk tak mempedulikan sang kakak hingga tidak mengetahui apapun?

Aneh sekali.

"Sayang?"

Hee-ra mengangkat alisnya. "Iya, pa?"

"Kosongkan jadwalmu selama lima hari mulai Rabu."

Eh? Memang kenapa?

Hee-ra menatap penuh tanya. "Apa kita akan pergi ke suatu tempat?"

Shin Jae-woo mengangguk mantap. Setelah memikirkannya semalaman, sepertinya keluarga kecilnya memang butuh liburan untuk kembali mendekatkan hubungan satu sama lain.

"Kita akan berlibur ke Venice."

Se-hun baru saja memutus panggilan telepon. Shin Jae-woo barusan menghubungi dan meminta Se-hun untuk mengosongkan jadwalnya. Tanpa dijelaskanpun, Se-hun sudah paham kalau sang ayah sengaja mengajak berlibur karena akhir-akhir ini mereka memang tak punya cukup waktu untuk berkumpul. Selain itu, empat hari lagi Hee-ra akan berulang tahun yang kedua puluh dua. Mungkin ayahnya ingin memberikan sesuatu yang berbeda di hari ulang tahun Hee-ra kali ini.

Well, beberapa hari belakangan Se-hun juga sibuk memikirkan hadiah apa yang cocok untuk Hee-ra. Gadis itu tidak begitu menyukai make up, tidak juga fashion, apalagi barang branded. Lalu, apa yang cocok dijadikan hadiah? Kalung dan gelang juga bukan pilihan yang tepat.

Sebenarnya, ada satu hal yang lebih penting dari semua itu. Seindah atau sebagus apapun hadiahnya, bila Hee-ra tak mau menerima, apakah ada manfaatnya? Tahun lalu, bahkan Hee-ra tak berniat membuka hadiah dari Se-hun, sehingga Se-hun kembali mengambil dan memilih untuk menyimpannya. Padahal kotak itu berisi boneka Wall-E, robot kecil yang sangat disukai Hee-ra sejak lama.

Ah, yang paling menyedihkan adalah Se-hun sudah terbiasa ditolak. Sangat terbiasa. Padahal tujuannya selama ini hanya ingin membahagiakan Hee-ra. Ia ingin gadis itu menyadari perasaannya, ia ingin Hee-ra menerima keberadaannya, ia ingin Hee-ra melihat ketulusannya.

Ditolak itu tidak enak, ditolak itu menyakitkan, terlebih lagi, setelah begitu banyak pengorbanan yang ia lakukan selama ini. Tapi kembali pada kenyataan yang ada, Hee-ra adalah kelemahannya, Hee-ra adalah satu-satunya orang yang membuat Se-hun tetap memiliki hati nurani, dan Hee-ra adalah satu-satunya alasan bagi Se-hun untuk terus berdiri.

Continue Reading

You'll Also Like

905K 75.4K 28
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
998K 9.9K 19
Sebelum membaca, alangkah baiknya kalian untuk follow akun wp gw ya. WARNING!!!🔞 YANG GAK SUKA CERITA BOYPUSSY SILAHKAN TINGGALKAN LAPAK INI! CAST N...
561K 34K 27
LAPAK BROTHERSHIP ✔️ NOT BOYS LOVE...❌ SUDAH END TAPI TETEP VOTE + FOLLOW PROSES REVISI Kamu tahu obsessi? Ya apa saja bisa dilakukan bahkan bisa m...
182K 18.6K 40
Seorang ibu yang kehilangan anak semata wayang nya dan sangat rindu dengan panggilan "bunda" untuk dirinya Selengkapnya bisa kalian baca aja ya luuvv...