Chasing Memories

Por raatommo

2.4M 278K 12.9K

Nora tidak tahu apa yang telah terjadi hingga membuat semua orang memandangnya khawatir ketika dia bangun. Di... Más

Perhatian
Prolog
Chapter 1
Flashback 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Flashback 2
Chapter 6
Flashback 3
Chapter 7
Flashback 4
Chapter 8
Flashback 5
Chapter 9
Flashback 6
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Flashback 7
Chapter 14
Chapter 15
Flashback 8
Flashback 8 part 2
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Flashback 9
Flashback 10
Flashback 11
Flashback 11 Part 2
Chapter 19
Chapter 21
Flashback 12
Flashback 13
Flashback 14
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Flashback : Memories
Chapter 29
Epilog
Chasing Memories : Segera Terbit
Bantu pilihin cover Wattpad, yuk!

Chapter 20

32.1K 4.5K 267
Por raatommo

"Sudah... jangan terlalu cantik. Nanti aku bisa berubah pikiran." Jamie muncul dari pintu kamar yang terbuka lebar. Dengan Shawn bergelayut di pinggangnya, bersandar di frame pintu sambil menatapku dari ujung rambut hingga ujung kaki.

Aku tersenyum, dan lanjut menyisir rambutku. Mengikatnya menjadi kucir yang rapi sebelum benar-benar menghadap ke arahnya.

"Aku serius. Jangan terlalu cantik di hadapannya, jangan genit, jangan senyum padanya lebih dari satu menit."

"Dengar Ayahmu konyol sekali, Shawn." Aku mencium pipinya, dan mengambilnya dari Jamie.

"Sudah ku bilang aku serius..."

"Jadi kau mau aku interview dengan baju tidur? Dan tanpa make up?"

"Kau juga masih cantik, seperti itu." Sebelah orbs biru itu berkedip ke arahku membuatku hanya bisa menggeleng dan tersipu.

Aku menolak untuk menatap wajahnya, dan membuat Jamie lebih puas lagi karena tujuannya tercapai. Kurasa sudah jadi misinya setiap pagi untuk menggodaku. Kadang-kadang hanya dengan rayuan-rayuan murahan seperti tadi, tapi seringnya juga kalimat porno yang membuatku merah padam.

"Kau tidak berubah. Seharusnya aku yang khawatir, setelah mendengar kata-kata rayuanmu itu." Kataku, melewatinya menuju dapur. Jamie terus membuntutiku. Bahkan saat aku sibuk mengambil sarapan, dia tetap berdiri di sebelahku. Kepalanya menyandar di cupboard, dan kedua tangan terlipat di dada. Senyum di wajahnya masih tetap sama, antara ingin merayu dan berusaha terlihat serius.

"Kau tahu, aku hanya merayumu."

"Aku juga begitu." Balasku percaya diri.

"Begitu apa?" tanya Jamie cepat.

"Aku juga hanya ingin cantik untukmu." Jawabku cepat tanpa pikir panjang.

Aku terdiam setelah mencerna kalimatku sendiri, dan melihat senyum Jamie makin lebar dan lebar.

"Maksudku... aku..."

"Aku beruntung sekali." Jamie mencondongkan kepalanya untuk menekankan bibirnya padaku.

"Sudah puas mengerjaiku?"

"Aku tidak akan pernah puas 'mengerjaimu,'" Jamie meremas pinggangku, "Tapi cukup untuk pagi ini. Masih ada waktu nanti malam."

"Jamie!" sergahku malu, namun hanya ditanggapi dengan dentang rendah tawanya. Aku benar-benar tidak percaya dia melakukan itu di depan Shawn.

Jamie benar-benar berhenti mengusiliku setelah itu (aku tidak mau menggunakan kata mengerjai lagi setelah mendengar kalimat Jamie tadi), dan membiarkan kami sarapan dengan tenang.

Hari ini adalah hari interview yang disepakati. Karena semua ini merupakan usulannya, Cay merasa itu haknya mengantarkanku ke kantor akuntan publik tersebut sebelum dia sendiri pergi kerja.

Semalam aku dan Jamie akhirnya menemukan tempat penitipan yang bagus dan aman untuk Shawn. Letaknya tidak begitu jauh dari repair shop, jadi Jamie bisa mengantar dan menjemputnya setelah selesai bekerja.

Semuanya berjalan dengan lancar. Tapi hal yang selalu berjalan mulus itu justru membuatku merasa gugup. Takut kalau akan ada hal buruk yang ternyata menanti.

Beberapa menit berselang, suara gaduh dari halaman depan jadi pertanda kalau Cay sudah sampai. Lengkap dengan pakaian yang jauh lebih elegan daripada aku. Dia langsung masuk ke dalam, dan sibuk menggendong Shawn. Jame ikut mengantarku ke depan. Membukakan pintu Mercy milik Cay untukku.

"Semoga berhasil." Jamie tersenyum ke arahku. "Sampai jumpa dirumah."

Aku mengangguk.

"Hati-hati, Cay." Jamie berseru waktu Cay mulai menyalakan mesin mobilnya.

Mobil mulai melaju, keluar dari jalan setapak menuju ke jalan aspal. Suara radio terdengar pelan menemani perjalanan kami. Sementara aku sibuk memikirkan kemungkinan buruk yang bakal terjadi nanti. Tiba-tiba saja,

Plak!

Aku mengaduh waktu Cay tiba-tiba menampar tanganku.

"Oww!! Sakit Cay!"

Cay melirik tidak senang, "itu karena kau terus memelintir pakaianmu, dan melamun sampai mengabaikan panggilanku."

"Maaf, aku melamun. Tapi itu karena aku gugup! Tidak perlu memukul kan?"

"Akan ku pukul lagi kalau kau masih melakukannya!! Lagipula tidak ada yang perlu digugupkan, kau sudah pasti diterima." Ujar Cay melirikku sekilas dari kegiatan menyetirnya.

"Kau terlalu yakin."

"Tentu saja, ini semua hanya formalitas. Kenyataannya aku sudah berhasil mengancamnya untuk menerimamu, bahkan sejak kau menyerahkan lamaran."

Sebelah alisku terangkat mendengar nada geli dalam suara Cay. "Rencana jahat apa yang telah kau lakukan padanya, Cay?"

Cay terbahak, "Nora... Aku sungguh tersinggung dengan nada menuduhmu. Kenapa kau langsung berpikir aku melakukan rencana jahat? Tidak ada orang yang pikirannya lebih polos dan murni ketimbang aku."

Aku mendengus geli, "Ya... benar. Tentu saja menjebakku dengan celana dalam keemasan dengan cincin emas, bukanlah rencana jahat darimu." Kataku malas. Sekali lagi Cay tertawa terpingkal-pingkal mendengar hal itu. Untung saja kami terjebak lampu merah, kalau tidak aku mulai ragu dengan keselamatanku.

"Astaga..." Cay menyeka air mata dari ujung matanya, "Kurasa mascaraku luntur karena cerita itu."

"Kau membuatku malu setengah mati. Jamie tidak berhenti menertawakanku, dan itu semua karenamu."

Aku mendengus kesal. Cay benar-benar tahu bagaimana menguji kesabaranku.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau bisa memaksa orang itu untuk memperkerjakanku? Kalian sangat akrab?" tanyaku mengalihkan pembicaraan agar tidak kesal berlarut-larut padanya.

Tanpa mengalihkan pandangan dari depan, bibir Cay mencebik dan bahunya mengedik seolah itu bukan hal besar. "Namanya Antonio. Dulu dia pernah jadi mantan tunangan sepupuku, sebelum sepupuku tercinta ketahuan selingkuh. Ingat waktu ku bilang, aku sedang pergi jauh waktu malam kecelakaanmu terjadi? Itu seharusnya jadi hari pernikahannya dengan Meredith. "

Mataku mengerjap-ngerjap kaget mendengar informasi mengenaskan calon bos ku itu.

"Dia laki-laki yang baik, dan enak diajak mengobrol. Makanya walaupun dia tidak jadi dengan sepupuku, kami tetap berteman akrab bahkan hingga hari ini. Dan waktu aku bilang sahabatku butuh pekerjaan dan pas dengan semua kriteria yang dia inginkan, dia langsung bersedia mempertimbangkannya."

"Aku khawatir, pendidikan formalku akan jadi masalah baginya."

Cay melambaikan tangannya, "Tidak sama sekali. Dia sudah tahu tentang itu setelah membaca surat lamaranmu." Ujar Cay membuat jantungku bergemuruh. "Tapi itu tidak masalah. Dia percaya, disiplin, ketelitian dan dedikasi tidak dapat dipelajari dimanapun selain dari diri sendiri." Cay memberiku senyum penyemangat yang ku balas dengan senyum lega.

"Aku jadi ingin melihat seperti apa dia..." gumamku pelan.

"Oooh dia tampan! Kalau bukan karena Charlie si couch potato, aku pasti sudah bersedia mengganikan Meredith." Mata Cay langsung berbinar-binar. Dasar gadis genit.

Kepalaku langsung beralih ke arahnya, "Kau tahu bukan seperti itu maksudku. Dan lagi, jangan katakan hal seperti itu di depan Jamie kalau kau mau aku tetap bekerja dengan temanmu." Kataku cepat.

Cay terkekeh, "Baiklah-baiklah." Kepalanya mengangguk.

Cay mulai memelankan laju kendaraannya tepat di depan salah satu gedung berlantai tiga, yang terlihat masih baru di antara deretan gedung di area ini.

Aku menelan ludah susah payah.

"Nah, kita sampai. Sekarang kau harus fokus mendapatkan pekerjaan ini. Berikan kesan yang baik pada temanku, buat sahabatmu bangga ok?"

Aku mengangguk, lalu mulai melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. "Aku gugup."

"Dia pasti menyukaimu, percaya padaku. Ayo semangat sedikit." Cay menepuk-nepuk pundakku memberi semangat yang ku balas dengan senyum kecil.

Aku mulai turun dari mobil dan melambaikan tangan kepada Cay yang kembali melaju menuju kantornya sendiri. Ku tarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki yang beralaskan sepatu mahal bertumit lima senti meter berwarna biru milik Cay yang dia pinjamkan padaku.

Tidak begitu banyak orang di luar, tapi suasananya tetap sibuk. Wanita di meja depan di lantai satu langsung mengarahanku ke lantai tiga tempat interview akan berlangsung. Tak lama kemudian aku mulai dipersilahkan masuk ke dalam ruangan.

Aku membenahi pakaianku sebelum mengetuk pintu, "Permisi..."

"Ya, silahkan masuk." Suara rendah milik laki-laki mempersilahkan ku masuk. Waktu aku melangkah ke dalam, dia tampak membenah sesuatu dari bawah meja, "Silahkan duduk, ada yang ku jatuhkan di bawah sini tadi." Jelasnya.

"Terima kasih." Aku mulai duduk menanti lelaki muda berambut hitam gelap yang masih berjongok dari balik mejanya. Waktu dia berdiri, dia menatap dan tersenyum padaku. Tubuhnya tinggi, hampir sama seperti Jamie. Menggunakan kemeja putih bersih, tanpa dasi. Dia terlihat santai dan jauh dari kesan kaku seperti apa yang ku pikirkan di perjalanan menuju kemari tadi.

"Maaf ya." Katanya, "Aku bisa sangat ceroboh seperti ini, kadang-kadang."

Entah kenapa wajahnya tampak tidak asing bagiku.

"Iya tidak apa-apa."

"Saya tidak terlalu bisa bersikap formal. Terutama dengan sesama teman Cay."

Aku tersenyum, "Saya tidak keberatan sama sekali."

"Saya membutuhkan asisten untuk menjadwal semua kegiatan dan pekerjaan, karena asisten saya yang terdahulu tidak cukup disiplin dan teliti untuk melakukan hal itu secara sistematis hingga mengakibatkan beberapa kekacauan untuk saya. Saya percaya dengan penilaian Cay yang mengatakan, kalau Anda memiliki kriteria yang saya inginkan." Jelasnya. Mengambil beberapa lembar kertas dari atas mejanya, yang ku yakini sebagai lamaran pekerjaanku.

"Saya akan melakukannya semaksimal mungkin."

Dia melirikku dari balik kertas yang dia baca, dan tersenyum puas. "Memang itulah yang saya harapkan dari rekomendasi seorang, Carrie Harrington."

Aku menatapnya lama dan sekali lagi aku merasa mengenal orang ini. Tetapi dia hanya tersenyum. Ku lirik papan nama di mejanya dan tidak percaya dengan apa yang ku lihat.

Alisnya tiba-tiba bertaut, waktu dia melirikku sekali lagi. "Riverbank High School..." bisiknya lebih ke diri sendiri, "Maaf sebelumnya tapi..." beliau terlihat ragu, memiringkan kepalanya dan menatapku lebih dalam.

"Marcano... "

Kerutan di dahi Antonio semakin dalam. Orbs coklat itu menatapku lekat-lekat. Perlahan matanya melebar beberapa detik dan akhirnya tersenyum tahu. "Nora Watson. Sudah ku duga aku seperti pernah melihatmu." Katanya.

Di depanku saat ini ternyata-- Antonio teman Cay ternyata adalah Anthony Marcano.

Orang yang dulu sekelas denganku di pelajaran Sosiologi. Satu dari segelintir orang yang baik padaku secara tulus tanpa ada unsur memanfaatkan.

Dia... orang yang pernah kusukai dulu.

 ***

Follow me on Instagram : raatommo

thank you for reading :)x

Seguir leyendo

También te gustarán

1.7M 126K 22
Nara terpenjara dalam sangkar emas ciptaan Akira. Pria yang menikahinya lima tahun yang lalu ketika ia masih berusia dua puluh tiga tahun. Pernikahan...
331K 28K 33
[COMPLETE] Sinopsis: Kehidupan seorang Nora Andreana sejak awal tidaklah begitu indah. Dirinya kehilangan kedua orang tuanya sejak masih begitu kecil...
2.2M 218K 41
Sherenada tidak pernah ingin berhubungan dengan pria menyebalkan seperti atasannya yang selalu membuatnya lembur berhari-hari hingga seseorang makhlu...
6.3M 327K 59
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...