If Loving You is Wrong

By rrkimly

36.3K 2.3K 433

Kaia pernah sangat mencintai Tristan. Itu sebelum Tristan menyakitinya sampai pada titik Kaia tidak bisa mema... More

Satu - Tragedy
Dua - Hardest Days
Tiga - Kembali untuk Pergi
Empat - A Gift
Enam - Arrow
Tujuh - Dusta
Delapan - Heart of Glass
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
[Kapan ilyiw update?]
Duabelas
Tigabelas
Empatbelas
limabelas
enambelas_
tujuhbelas [a]
tujuhbelas [b]
delapanbelas
sembilanbelas
duapuluh
duapuluhsatu
duapuluhdua
duapuluhtiga
duapuluhempat
duapuluhlima

Lima - Cinta yang Berubah Rupa

1.9K 129 24
By rrkimly

Lima tahun yang lalu adalah pertama kali Kaia berjumpa dengan Tristan. Ia ingat dengan jelas hari itu, cuaca, hari, tanggal, waktu dan segala yang berhubungan dengan hari itu. Bahkan pakaian yang Tristan kenakan. Pukul tiga sore, saat itu hujan deras, berangin lebat disertai petir. Bel rumah berkali-kali berbunyi namun Bi Surti tak kunjung membukakan pintu bagi si pengunjung.

Kaia barusaja pulang dari kampus, menunggu Kania dan Bi Surti menyiapkan makan malam di dapur sementara dirinya sedang mengupas apel untuk Yudha, Papanya. Karena hujan deras, hanya Kaia yang duduk di meja makan dapat mendengar bunyi bel itu. Setelah bosan mendengarkan bel yang bernada sendu karena baterainya hampir soak, Kaia akhirnya menyerah dan meletakkan apel di piring lalu beranjak menuju pintu utama.

Klik.

Pintu terbuka. Sang tamu tak begitu saja langsung masuk ke dalam rumah. Pria itu sibuk menepuk-nepuk bekas tetesan hujan di kemeja navy bergaris hitam halus yang dia kenakan. Kaia hendak meninggalkan Tristan ke dalam rumah sebelum cowok itu bertanya dengan suaranya yang rendah, berbeda, membuat Kaia ingin memastikan bagaimana wajah dari pemilik suara itu.

Tidak tahu mengapa, Kaia merasa bagai terhipnotis ketika matanya terhubung dengan milik Tristan. Mata pria itu terasa menaklukkan suatu bagian dari dalam diri Kaia. Jantungnya berdetak cepat, rasanya ada sebuah banjir yang memenuhi rongga dadanya. Sesak, tapi suka.

Dan itu membuat Kaia seketika bersikap kikuk.

Sejak saat itu, tanpa alasan yang jelas, seperti sesuatu yang otomatis, Kaia selalu ingin melirik, melihat, atau bahkan menatap Tristan di dalam setiap kesempatan yang ada. Kunjungan Tristan ke rumah selalu menjadi hal yang dinantikan Kaia. Mulanya ia tak tahu akan perubahan ini, namun lama kelamaan Kaia sadar.

Pernah sekali ketika Tristan menyadari tatapannya dan mata mereka bertemu, Kaia merasakan campuran antara bahagia yang meledak-ledak dan rasa malu. Dari itu, Kaia belajar, bahwa apa yang ia alami saat ini adalah sebuah tanda bahwa dia jatuh cinta pada Tristan.

Cerita itu terdengar sangat indah, ya, jatuh cinta memang selalu indah. Tapi, jika sudah terjadi kebalikannya. Semua itu tak lebih dari senjata yang paling kejam untuk menyiksa diri. Kaia yakin, dia, tidak, mencintai Tristan lagi. Tidak seperti dulu, yang menjadi sumber bahagia, meski ia tahu Tristan hanya mencintai Kania saja. Rasa sakit cemburu jauh lebih kecil dari yang Kaia rasakan sekarang.

Mulai sekarang, Kaia tidak akan percaya pada cinta. Cinta yang Kaia tahu tidaklah seperti ini. Tidak berkhianat, dulu dielu-elukan, sekarang menusuk-nusuk tanpa henti.

Titik-titik hujan yang menempel di kaca mobil membuat Kaia lebih nyaman untuk menatap ke jendela mobil. Dia ingin melanjutkan bermono-drama di dalam pikirannya sembari menikmati sejuknya udara di dalam mobil dan kaca buram yang membuat pemandangan di luar mobil terlihat kabur.

Namun suara seorang pria terdengar. Suara yang sama yang pernah dia dengarkan dulu, namun rasa yang ia rasakan saat mendengar suara itu tak sama lagi. Tak akan pernah sama.

"Kamu sehat?" Tristan membuka suara setelah sepuluh menit berdiam di dalam mobil. Macet membuat Tristan tidak memiliki kegiatan apa pun selain menunggu mobil di depan berjalan. Dan itu membuat suasana di dalam mobil semakin hening, meski ia tidak sendirian di sana.

"Sangat," jawab Kaia dengan suara yang setengah parau. Tak berniat untuk menatap ke arah Tristan. Ia lebih suka menghitung titik air yang menempel di jendela mobil.

"Oh," Tristan mengangguk-angguk. Mengetuk-ngetuk telunjuknya di setir mobil sembari memikirkan ucapan selanjutnya. Tristan ingin mengucapkannya, tapi, ada semacam duri yang tumbuh di tenggorokan secara tiba-tiba sehingga kata-kata itu keluar begitu sulit. Namun, sebelum suasana menjadi lebih buruk, Tristan akhirnya memberanikan diri, "aku minta maaf."

Ya, Tristan tahu ucapan ini adalah hal yang wajib untuk diucapkan.

Rumit. Kaia memejamkan matanya erat. Perih. Baik di telinga maupun di hatinya. Dia sangat membenci kata-kata itu, juga nada dan rasa ragu-ragu Tristan. Kaia ingin mendengarkan kalimat itu, namun, dengan waktu yang bersamaan ia sangat membencinya. Salah satunya karena, semua itu mengingatkan Kaia pada kejadian bejat waktu itu. Seketika bulu kuduknya merinding, teringat Tristan yang berada disebelahnya ini adalah Tristan yang sama dengan yang ada di motel itu. Dan mereka hanya berdua.

"Aku bener-bener kehilangan kendali saat itu. Soal video kamu tidak usah kuatir lagi, Kay. Dan..."

"Kak Tris, aku mohon... aku nggak mau bahas hal ini," serbu Kaia langsung dan menghentikan apapun yang ingin diucapkan Tristan selanjutnya.

Lagi-lagi mereka diselimuti oleh keheningan yang canggung. Kaia sendiriberusaha keras untuk menyembunyikan tangisnya dari Tristan. Wanita itu berusaha menghentikan air matanya, ia tidak ingin terlihat lemah di hadapan Tristan. Demi tuhan.

Tristan meremas kemudi hingga buku-bukunya memutih. Dijilat bibirnya yang basah, setiap kata yang diucapkannya terasa penuh keraguan. Tidak seperti rancangan-rancangan yang selama ini selalu ia paparkan dengan percaya diri. Untuk setiap kata yang akan ia ucapkan pada Kaia, tak ada keyakinan mengenai hal itu. Tristan berdengung beberapa saat sebelum berkata :

"Kalau kita menikah. Semua itu pasti nggak akan berguna lagi buat mereka."

Kaia menarik nafasnya dalam. "Asal kamu tahu, jika ada orang terakhir yang pengen aku nikahin itu adalah kamu!" akhirnya ia memperlihatkan wajahnya pada Tristan. Tidak, bukan wajah lemah yang penuh dengan tangisan. Tapi, wajah yang tegas dan penuh amarah. Nafasnya memburu, matanya membeliak, dan Tristan menatap balik padanya.

Mereka berdiam dengan saling bertatapan cukup lama. Tak ada yang mau mengalah untuk menoleh atau menunduk sampai akhirnya suara klakson di belakang mobil mereka membuat Tristan terpaksa melihat ke depan untuk mengemudi.

"Kamu mau ketemu orangtuaku?" Tristan bersuara lagi. "Aku harus ngenalin kamu ke mereka."

"Mereka tahu?"

Kaia sudah kembali menatap ke jendela di sebelahnya, bersandar dengan tubuh agak meringkuk.

"Nggak tentu saja, semakin sedikit yang tahu maka semakin aman rahasia ini. Meski mereka orang tuaku sendiri. Terlalu riskan kalau banyak yang berdrama," jelas Tristan. Kali ini nada suaranya sudah sedikit lebih santai. Mungkin karena pengaruh dari suara Kaia yang lembut ketika menjawab pertanyaannya barusan. Karena Kaia mau bertanya balik padanya. "Kalau kamu bersedia, akan ku carikan waktu yang tepat."

"Aku mau," balas Kaia singkat. Ia memejamkan mata, berharap bisa tertidur atau setidaknya agar Tristan menyangka ia mengantuk dan tak suka diganggu.

"Oke, aku akan menghubungi kamu secepatnya," tukas Tristan. "Dan satu lagi, kamu mungkin akan denger rumor mengenai hubungan kita."

"Rumor?" Kaia membuka matanya. Rumor apa?

"Publik sudah tahu aku ini tunangan Kania. Jadi, itu diperlukan, kata Om Yudha."

"Ah, Papa..."

***

"...Tristan Lemuel Rasendriya, arsitek sukses ini mengaku jatuh cinta pada Kaia Kamitha Adhirajasa, adik dari tunanganya. Diakuinya selama ini hubungan dia dengan Kania hanya sebatas hubungan pertunangan bisnis saja. Kisah cinta Tristan dan Kaia sempat diwarnai pertentangan oleh Yudha, tapi akhirnya waktu yang telah meluluhkan hati Yudha. Mengikuti restu yang telah diberikan, Tristan dan Kaia akan melangsungkan pernikahan secepatnya. Belum ada konfirmasi dari pihak keluarga Adhirajasa mengenai berita ini..."

Kania yang sebelumnya berusaha menyembunyikan tablet pintarnya dari Kaia, justru membuat semua bertambah curiga. Dan berakhir dengan Kaia yang membaca artikel hangat yang keluar pagi ini dari situs berita terkenal. Melihat ekspresi Kaia yang terkesan datar, meski agak muram membuat Kania cukup lega. Ia menggaruk leher tak enak, melirik-lirik pada Kaia lalu berucap :

"Situs berita macam apa yang bikin artikel kayak ini?"

"Karena Papa bayar jurnalisnya," Kaia berkata dengan nada mendesah lelah setelah meletakkan tablet itu di atas paha. Ia tak tahu hanya dengan membaca berita saja membuat dirinya capek.

"Kamu nggak apa-apa baca begituan?"

Kaia mengangguk. "Aku baik-baik aja. Kak Tristan udah kasih tahu kalo semua ini bakal terjadi... Ini 'usaha' Papa untuk melindungi anaknya."

Jawaban Kaia membuat Kania terkesiap. "Kamu ketemu Tristan?! Kaia..."

"Aku nggak apa-apa? Toh suatu saat aku akan hidup serumah dengan dia. Aku harus terbiasa liat wajah dia."

"Tapi, kamu bisa pelan-pelan, kamu bisa tampar wajah dia atau kamu ludahin juga nggak apa-apa. Meski..."

"Aku mau keluar," Kaia memotong cepat-cepat. Itu cukup membuat Kania mengerti bahwa ia tak mau membahas hal ini.

"Mau kemana?"

"Aku mau ketemu Bian."

***

"...kamu bisa tampar wajah atau kamu ludahin juga boleh..."

Bibir Kaia berdesis mengingat ucapan Kania sebelumnya. Yah, sejujurnya hal itu adalah hal yang paling dia inginkan saat bertemu dengan Tristan. Seperti ada gunung erupsi yang siap meletus di dalam dadanya, dan lahar berupa kata-kata kejam, sumpah serapah, tangisan atau pukulan.

Jika Kaia melakukannya, ia takut yang dilakukannya bukan hanya sebatas menyumpah, menampar atau meludah melainkan sampai membunuh pria itu. Yah, jika ia bisa. Tapi Kaia punya hati yang tak punya malu, tak tahu artinya memilih dan tak bisa membedakan yang mana benci atau cinta. Kaia tahu, jika ia melakukan semua itu, hanya dirinya yang merasakan sakit. Dan, Kaia tak mau hal itu terjadi. Jika Kaia melakukannya, itu artinya ia mengakui bahwa Tristan masih ada di hatinya. Jadi, Kaia menelannya, semua sumpah serapah dan tangisan itu.

"Sabtu ini, aku jemput kamu jam 12 siang. Kita ke rumah orang tuaku Kamu bisa?"

Speak of the devil, batin Kaia setelah membaca pesan dari Tristan. Ia membalasnya dengan dua huruf, 'ya'.

***
Tristan membaca balasan pesan dari Kaia yang singkat. Ia lega mendengar jawaban itu, meski hanya sebatas dua huruf. ada kemungkinan besar Kaia menolak ajakannya, dia pikir itulah yang membuatnya cemas menunggu balasan dari Kaia. Ia harus mengajak wanita itu menemui kedua orang tuanya secepatnya. Tristan sudah bosan di bombardir pertanyaan dari mereka. Ada banyak pertanyaan dari kedua orang tuanya mengenai apa yang terjadi. Dari pembatalan pertunangan dengan Kaia, sampai rumor yang beredar mengenai hubungan ia dengan Kaia. Tristan tidak bisa menjelaskan semuanya melalui telepon. Lagipula Tristan belum mempersiapkan 'skenario' yang cocok untuk di pentaskan di depan mereka.

Bukan hanya orang tuanya, semua anak buah menatapnya dengan tatapan penasaran setelah artikel mengenai pernikahan dengan Kaia keluar. Juga beberapa teman yang entah apa kabarnya tiba-tiba menelpon untuk menanyakan kebenaran.

Tristan menjawab mereka, seringkali dengan kata 'ya' untuk pertanyaan 'apakah gosip itu benar?' atau 'apa kalian berdua pacaran?'. Tristan menjawab semua itu seakan semuanya kebiasaan. Mereka benar akan benar akan menikah, benar mereka berpacaran. Seakan kebohongan sudah menjadi kenyataan, drama sudah menjadi kisah nyata.

Bahwa dia akan menikah dan menjadi suami seorang Kaia Adhirajasa.
Kaia...

Setiap bertemu dengan wanita itu, Tristan bingung ingin bersikap bagaimana, harus berkata apa. Adalah sebuah standar untuk mengucap kata 'maaf' ketika seseorang merasa bersalah kepada yang lain. Tapi, Kaia dengan jelas menolak kata itu. Mimik Kaia begitu pahit saat Tristan menyampaikan maaf. Kenapa? Tristan tidak bisa mengerti. Pada saat ia merasa bersalah, meski pun semua yang terjadi bukan 100% kesalahanya. Namun, ia tetap tidak bisa melupakan apa yang dilakukannya pada Kaia, brengsek, kejam. Dan Tristan mencoba mencari kenyamanan dengan meminta maaf. Tapi, Kaia tidak bisa memberikannya. Apa, Apa yang harus dia lakukan?

Sebuah telepon membuyarkan lamunan Tristan.

"Halo."

"Halo Pak Tristan. Saya menelpon untuk memberi tahu bahwa Johan Winarta sudah kembali."

***

"Apa?!"

"Apanya yang apa?"

"Kamu serius mau buka praktek?"

"Hmm, iya. Daripada nggak ada kerjaan. Buka praktek sendiri nggak sesibuk residen yang harus siap sedia 24 jam di rumah sakit," jawab Kaia mantap pada pertanyaan Bian.

Mereka berdua, duduk berhadapan di kantin rumah sakit. Makan siang bersama di tempat ini bukan pilihan buruk. Makanan disini enak, bersih dan higinis. Dari sini juga makanan pasien di hasilkan, dengan saran dari ahli gizi yang mumpuni tentu saja. Tempatnya luas, jadi sebanyak apa pun yang datang tak akan membuat kantin sesak. Apalagi mereka berdua datang agak terlambat dari jam makan siang yang seharusnya. Jadi, kantin sudah agak lengang.

"Kalo gitu aku bisa berobat ke kamu," Bian menjentikkan jarinya.

"Kamu ngejalanin pendidikan spesialis di rumah sakit sebesar ini dan di penuhi sama dokter-dokter hebat. Terus, kenapa mesti berobat ke aku?"

"Bedalah, kalo kamu ada plus-plusnya," Bian menyeringai. Namun, ketika menyadari tatapan tak tertarik dari Kaia, Bian akhirnya menambahkan, "Plus sugesti baik."

"Jangan bilang kamu lagi ngegombalin calon istri orang?" tanya Kaia lalu menyuap sepotong beef katsu ke mulutnya.

Bian tidak menjawab pertanyaan Kaia, dan hanya menanggapi pertanyaan itu dengan senyuman. Kemudian ia memutuskan untuk mengalihkan pembicaraan. "Oya, Britta bilang mau pulang ke Indo hari ini."

"Serius? Bukannya dia masih ada kontrak sama drama, baru pulang bulan depan?" Kaia menghentikan suapan selanjutnya ketika mendengar informasi dari Bian. Bagaimana Britta tidak memberi tahunya lebih dulu, melainkan Bian? Dan, "Tunggu, kok kamu bisa tahu?"

"Dia telepon aku. Katanya ada urusan mendadak di Indonesia, makanya pulang dan tugas dia digantiin sama junior dia." Bian menjelaskan seakan semuanya wajar dan ia sudah bersahabat dengan Britta sejak orok.

"Sejak kapan kamu akrab sama temen kecilku?"

"Temenmu kan temenku juga."

"Nggak mungkin. Kalian pasti ada apa-apanya. PDKT?"

Bian menanggapi dengan wajah datar dan sebal. Britta itu tempat curhatnya, mengenai semua yang ia rasakan pada Kaia. Britta tempat Bian meminta saran, mencari info atau sekedar ngobrol santai mengenai masa kecil Kaia. Tapi sekarang, apa semua itu masih berguna?

"Kamu lagi ngelucu ya?" lalu menusuk selada segar yang ada di atas nampan makan siangnya. "Makan nih! Sayuran hijau bagus buat ibu hamil. Aaaaa." Ia membuka mulutnya untuk melafalkan huruf A sembari mengarahkan selada itu ke mulut Kaia.

Kaia membuka mulutnya, menerima selada yang disuapkan Bian cepat-cepat. Well, dia tidak pilih-pilih soal makanan. Tapi, pandangan orang membuat Kaia risih.

"Bagiku, wanita cantik itu yang nggak nahan-nahan makan demi keliatan kurus. Jadi, Britta itu bukan tipeku," tutup Bian.

Mereka melanjutkan makan dalam diam. Setelah 10 menit berlalu Kaia berhasil menandaskan makan siangnya. Dan sekarang ia menikmati puding susu yang disediakan sebagai makanan penutup di sudut nampan makanannya.

"Kay," panggil Bian.

"Hmm."

"Kalo aku tahu dia yang bakal nikahin kamu. Aku rasa aku nggak bakal bilang apa-apa."

Kaia menaikkan alisnya. "Kenapa?"

"Karena kamu suka sama dia, Tristan Rasendriya," Bian berucap, dan itu cukup untuk membuat Kaia mematung. Seakan sebuah rahasia yang ia rasa ia simpan baik ternyata bukanlah rahasia bagi orang lain. Bian tersenyum meyakinkan, lalu meraih tangan Kaia yang menggenggam sendok puding. "Kaia, cuma orang bodoh yang nggak tahu kalo kamu suka dia. Setiap dia kesini buat ketemu Dokter Gama, bintang di mata kamu langsung nyala." Bian mengeratkan genggaman tangan mereka. "Karena itu aku sama sekali nggak khawatir."

Membalas senyuman Bian, Kaia menatap mata lelaki itu. Memang benar ia mencintai Tristan, tapi semua sudah berubah. Cinta yang dulu begitu indah sudah berubah menjadi mimpi buruk. Seandainya Kaia bisa menceritakan kejujuran pada Bian. Semuanya, tanpa rasa malu.

"Tapi, menikah dengan orang yang kita cintai itu belum tentu bahagia," jawab Kaia tanpa sadar. Dia sendiri baru tahu fakta ini, bagaimana bisa menikah dengan yang dicinta tapi tak merasa kesenangan, kegembiraan saat semuanya hampir terwujud. Semuanya justru terasa pahit.

"Kamu bilang apa?"

"Nggak..." Kaia menarik tangannya dari genggaman Bian dengan alasan ingin melanjutkan memakan pudingnya.

"Kamu sakit? Nggak morning sick?"

Mendengar pertanyaan itu, entah kenapa membuat Kaia senang. Tak ada teman baginya untuk menceritakan tentang si mungil yang berada di perutnya selain Bian. "Aku juga kaget, dia nggak rewel sama sekali, aku nggak pernah mual sedikitpun. Makan juga nggak masalah."

"Aku bisa liat itu." Bian melirik makanan Kaia yang tandas tak bersisa. "Wah, kuat dong dedeknya. Betewe, dia belum ada namanya?"

"Emang harus dinamain?"

"Iya dong, biar enak Om Bian manggilnya."

"Menurut kamu yang bagus apa?"

Bian menggaruk-garuk dagunya sebelum menjawab. "Gimana kalo lemper?"

"Ih, masak lemper?"

"Terus apa dong? Kesemek? Kueni? Beong?"

Kaia tergelak. Ya ampun, tidak ada yang bisa menghibur ia sebaik Bian. Sudah sejak berapa lama Kaia tertawa lepas begini. Terus saja tertawa, sembari ia mengulang-ulang nama yang disarankan Bian. Kesemek, Kueni, Beong? Konyol! Kaia harus mengontrol dirinya agar tidak mengundang perhatian pengunjung kantin lain. Dengan menarik nafasnya dan membuat tawanya terhenti, Kaia berkata pada Bian, "masa nggak ada yang bener? Aku mau Kiwi aja, manis kedengerannya."

"Kiwi kebagusan, Neng."

"Terus apa?"

Tak langsung menjawab, Bian sempat terdiam beberapa detik sebelum matanya mendelik. Sebuah lampu seakan menyala di sebelah kepala pria itu. "Aku tahu! Makanan kesukaan kamu!"

*******
*******

Seorang pria berperawakan pendek, berkulit agak gelap terlihata memandangi sebuah kos-kosan sederhana yang ada di hadapannya. Pria itu berpakaian kaos hitam dan jeans sobek serta menggunakan topi yang menutupi wajahnya. Gerak-geriknya mencurigakan, suasana yang sepi membuat keadaan berpihak pada si pria. Tidak akan ada yang mencurigainya sebagai penjahat dengan pakaian demikian. Setelah beberapa lama, pria itu akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam area kos-kosan. Namun, sebelum sempat memasuki gerbang, seseorang menarik lengannya dan memukul rahangnya cukup keras. Ia tersungkur.

"Berani muncul juga kamu, Johan!"

Johan, nama si Pria. Ia menoleh menatap wajah yang penuh amarah. Tangan itu mengepal bersiap untuk memukul bagian wajah yang lain atau bisa jadi perutnya.

"Tristan?!" Johan memperjelas nama itu di bibirnya. Dia berusaha bangkit, bersikap kuat dan memberikan senyum sinis. Meyakinkan dalam hati berkali-kali, bahwa meski di pukul dan malu ia tetap menang, yah, menang.

"Setelah kabur ke luar negeri, bersembunyi kayak tikus karena jadi antek-antek perusahaan musuh untuk menghancurkan hidup orang lain. Kamu pulang minta perlindungan adik kamu?" Tristan membalas senyuman sinis Johan dengan dengusan jijik. "Johan, aku orang yang mungut kamu, setelah pintu demi pintu nolak kamu. Semua itu demi pertemanan kita selama kuliah. Dan kamu membalasnya begini?"

Johan meludahkan darah yang memenuhi mulutnya. "Cih, mungut? Kamu nggak pernah terima ide-ideku dan menganggap semuanya sampah."

"Semua itu memang sampah," Tristan menjawab dengan nada yang kasihan sekaligus jijik. "Menurut kamu, perusahaan yang nyuruh kamu bisa nerima ide kamu?!"

"Ya, ya! Mereka mau. Aku buktikan kalau aku bisa jauh lebih di atas kamu. Nggak usah khawatirkan aku, Tris. Sebaiknya kamu cari solusi buat video yang mungkin sebentar lagi bakal tersebar. Aku sudah dengan baik hati memasang bom waktu buat kamu. Mereka bisa meledak kapan saja."

"Bajingan kamu!"

Tristan kembali memukul Johan tepat di hidungnya kali ini. Lagi-lagi, Johan tersungkur, mengerang kesakitan memegangi hidung yang mengeluarkan darah dari kedua hidungnya.

Sebuah suara perempuan yang berteriak tiba-tiba terdengar. "Ya ampun! Kak Johan!" Perempuan itu berlutut merengkuh kakaknya yang masih belum sanggup melepaskan tangan dari hidungnya. "Kamu apa-apaan?! Pukul orang sembarangan!" menunjuk-nunjuk Tristan tepat di wajah pria itu.

"Sembarangan? Kakak kamu berhak dapat lebih dari sekedar tonjokan itu, asal kamu tahu," balas Tristan terengah-engah. "Kamu punya adik perempuan, kan?! Apa yang kamu lakukan padaku dan Kaia itu brengsek!"

Tanpa disangka-sangka, di antara desisan kesakitan Johan, pria itu tertawa. Mulanya tawa yang kecil, lalu makin membesar-dan besar. Johan melepaskan tangan dari wajahnya dan menunjukkan wajah yang penuh darah dan hidung yang agak bengkok. "Seorang yang hanya tahu satu wanita di dunia kayak kamu, bisa juga peduli sama wanita lain? Cuih." Meludah ke arah Tristan.

"Anjing kamu!"

Tristan menarik kerah kaos Johan, menarik pria itu untuk kembali berdiri. Johan yang berdiri sempoyongan pasrah dan tertawa-tawa ketika Tristan akan memukulnya lagi. Sebelum Tristan sempat memukulnya, Johan kembali berseloroh.

"Laporin aja aku ke polisi! Aku masuk penjara, tapi video itu terlanjur tersebar, aib antara kamu dan adik wanita yang kamu cintai!"

Tangan Tristan, tanpa bisa dikendalikan memukuli Johan berjali-kali. Di dalam hati, ia tidak memiliki niatan untuk berhenti meski melihat wajah Johan yang berdarah-darah di hadapannya. Namun, nama kelamaan pukulannya melemah, pandangannya memburuk, suara-suara di sekitarnya mengecil. Yang terakhir didengar Tristan adalah suara adik perempuan Johan berteriak-teriak meminta tolong dan suara ribut-ribut orang yang mengerubunginya. Selebihnya ia lupa.

******
Jangan lupa votement ;)
Aku pengen tahu pendapat kalian!

Untuk menanyakan hal lain di luar konteks cerita ini silahkan langsung ke wall atau kirim pesan aja. TRIMS!

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 47.8K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
7.3M 353K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
1.4M 72.1K 69
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.1M 112K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...