Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

Epilogue

6.8K 296 80
By Shinyrainy

Jika bahagia selamanya adalah nyata, aku ingin akhir itu bersama kamu di sisiku. Tapi, jika bahagia selamanya hanya ada dalam dongeng-dongeng pengantar tidur, aku ingin. Hidup dalam dongeng-dongeng itu selalu, bersamamu.

***

Batang coklat ketiga yang ia lahap, tak serta merta membuat matanya kembali hidup seperti biasanya. Jika orang percaya coklat bisa memberi ketenangan, hari ini Melody kehilangan kepercayaan itu.

Hampir coklat keempat tapi sesak di dadanya belum reda juga.

Dering ponsel di tas tangannya juga sejak tadi tak Melody gubris. Pandangannya masih kosong ke depan, napasnya masih belum teratur dan air matanya masih terus mengalir seperti keran yang dibiarkan terbuka.

Melody benar-benar tidak mempercayai hatinya lagi.

Setelah pertemuannya dengan Regen, gadis itu memutuskan pulang dan bersembunyi di sudut depan balkon kamar lamanya bersama semua persediaan coklatnya. Make-upnya acak-acakan. Pun jepitan rambutnya yang sudah tak berbentuk lagi.

Bukankah seharusnya ia percaya Regen? Ini 'kan, yang dia mau? Regen membalas perasaannya saat hatinya belum berubah. Tapi kenapa ia malah lari? Lagi? Meninggalkan Regen seolah dia sudah tak memiliki perasaan apa pun pada cowok itu. Kenapa ia melakukannya sementara yang ada sekarang tinggal rasa sesal?

Suara ketukan pintu kamar Dilla ini membuat Melody mengangkat wajah, buru buru menghapus air matanya dengan tisu dan merapikan air lienernya yang luntur tak beraturan.

Tok. Tok. Tok.

Si pengetuk masih bersikeras. Melody mendesah. Suaranya pasti serak kalau ia berbicara sekarang.

"Ehm, ehm, siapa pun itu, aku hari ini nggak mau diganggu dulu. Please" pinta Melody, tak beranjak dari tempatnya.

Orang di luar menghentikan gerakannya. Membuat Melody mengembuskan napas lega karena tak akan ada yang melihatnya seberantakkan ini.

Gadis itu menatap langit biru yang menggantung, kalut. Kenapa ia terpikir mengharapkan hujan turun?

"Sorry Dy, gue harus masuk"

Tiba-tiba suara itu terdengar. Sangat jelas, membuat Melody tersentak lantas mematung di tempatnya. Suara familiar ini, yang begitu ia rindukan karena setahunan tak ia dengar. Suara yang biasa menyemangatinya, menghiburnya saat ia sedih, mengejeknya, menenangkannya.

Melody mengangkat wajah dan matanya langsung menangkap Livia berdiri dengan t-shirt dan rok floral selutut dan kaca mata hipster melapisi mata beningnya. Dia tersenyum, menghampiri Melody dan duduk disampingnya.

"Gue minta kunci ke Dilla kemarin, karena gue tau lo bakal kesini abis ketemu Regen" Livia menatap menerawang ke depan. "Semuanya udah selesai Dy. Gue udah berhasil bikin Papa gue buka mata tentang semua ini, gue udah putus sama Regen. Dan sekarang kita akan balikin semuanya yang dulu hancur, terutama lo"

Melody melengos pelan. dia tidak tahu apa yang harus ia rasakan dan apa yang harus ia lakukan sekarang. Yang dia tahu, dia tidak pernah membenci Livia maupun Regen karena gadis itu menyayangi keduanya.

Tapi di sisi lain dia tidak bisa memungkiri, kalau ada sebagian darinya marah karena dua orang itu menghilang tanpa penjelasan apa pun. Satu tahun ini, ia benar-benar kehilangan separuh hatinya sekaligus seorang sahabat. Melody hanya butuh penjelasan. Karena dengan begitu, mungkin, akan lebih mudah baginya belajar mengikhlaskan.

"Maaf..." ucap Livia setelah hening yang cukup lama.

Lalu gadis itu memeluknya. Menangis di pundak Melody dan terisak-isak di sana.

"Maaf karena gue pergi tanpa penjelasan. Lo harus tau Dy, waktu tau orang yang mau dijodohin sama gue itu Regen... gue langsung merasa jadi sahabat paling gagal sedunia. Gue penghianat, gue jahat-"

"Sama sekali bukan salah lo, Liv" balas Melody setelah jeda hening. Matanya menatap mata Livia lurus. Sahabatnya itu belum berubah. Setahun mereka tak saling berhubungan, tapi rasanya seperti baru kemarin.

Melody tak akan pernah bisa membenci Livia, semarah apa pun dia pada gadis itu.

"Semua udah di arusnya masing-masing" lanjut Melody. Livia menggeleng . Menangkup pipi sahabatnya itu dan menatap mata coklat Melody lurus-lurus. Meyakinkan.

"Arusnya belum selesai Melody. Lo nggak tau kemana hati lo akhinya bakal berlabuh, lo nggak akan tau hidup lo sebelum lo ngelewatinnya. Yang tau hati lo sekarang, cuma hati lo sendiri. Bukan lo, gue, atau orang lain" seru Livia. Nada yakin di suaranya, seperti Melody menemukan Livianya kembali. Livia yang tegas. Livia si ketua.

Melody tersenyum getir kemudian kepalanya menunduk. Menatap ujung-ujung gaun putihnya yang sudah kusut, ia kembali berpikir tentang apa yang sudah Regen katakan, juga apa yang sudah ia ucapkan.

Dan... tentang apakah terlambat, jika ia menarik kata-katanya tadi?

"Belum terlambat Dy," Melody menatap bingung Livia, bertanya dalam hati bagaimana Livia bisa membaca pikirannya.

"Gue nggak bisa jamin apa pun tentang kalian berdua. Tapi yang pasti, lo harus percaya sama Regen. Perasaan dia bukan sekedar perasaan bersalah karena pernah nyakitin hati lo, bukan basa-basi apalagi sekedar mainan, Dy" Melody mengangkat wajah. Hatinya mencelos mendengar penuturan Livia. Rasa marahnya pada Regen, egonya, sampai kapan pun tak akan mengalahkan rasa rindunya.

Hatinya tak pernah berbohong.

"Dy. Saran gue..." Livia tersenyum, menepuk pelan lengan sahabatnya itu. "Jangan percaya sama Regen atau gue. Percaya..."

Suara ramai dari arah pintu membuat kepala Melody tertoleh. Di sana, Selda dan Aira begitu rusuh memasuki kamar sambil membawa balon warna-warni dan terompet tahun baru. Ralat, itu bukan Selda dan Aira yang biasanya. Mereka menggunakan kostum! Kostum kelici tanpa kepala yang Melody yakin sangat-amat panas.

"Jangan percaya sama siapa pun, kecuali sama hati lo! YAY! Akhirnya kita kumpul lagi. Aduh Liv, sorry ya, gue baru catok rambut nanti ancur lagi kalo pake kepala kelincinya. Jadi...hehe" seru Selda. Langsung disetujui oleh Aira.

Livia memutar mata, namun tak bisa menahan senyumnya juga. Kemudian keempatnya tertawa keras, seperti yang dulu biasa mereka lakukan. Akhirnya, mereka berkumpul lagi. Setelah satu tahun kehilangan satu keping puzzle yang membuat keempatnya merasa ganjil.

***

Angin berembus. Dingin. Menusuk kulit.

Gadis itu merapatkan jaketnya sambil satu tangannya menggenggam samakin erat tangan orang di sampingnya. Hangat. Tangan orang itu hangat. Membuat darahnya berdesir lembut dan rasa takutnya perlahan-lahan terkikis.

Orang itu menatapnya. Ia tak perlu takut menatap mata itu lagi sekarang.

"Kenapa sih, kamu ngajak aku ke sini? Kamu kan tau aku punya trauma" ucap gadis itu. Sama sekali enggan membuka matanya.

Orang itu tersenyum. Memindahkan genggaman tangan gadisnya dari kanan ke kiri. Lalu tangan kanannya menggenggam tangan kanan gadis itu sehingga dua tangan mereka sekarang saling menggenggam satu sama lain.

Dia meletakkan dagunya di bahu gadis itu.

"Selama ada aku, jangan pernah takut apa-pun" bisiknya kemudian. Membuat sebersit senyuman terbit di wajah gadis itu.

Dia belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.

***

"Ada apa?"

Suara Regan dingin. Regen bisa menangkapnya hanya dengan mendengar dua kata itu.

Regan lalu duduk di depan Regen. Menatap orang di depannya lurus-lurus sambil seakan berusaha membaca pikiran Regen.

"Gue sayang Melody"

Terlalu to the point, huh? Tapi Regen memang sudah tidak mau berbasa-basi apa pun lagi. Dia hanya ingin mengatakan apa yang di rasakannya, selama ini. Perasaan yang tidak pernah ia sadari kapan datangnya, yang ia terlambat mengerti.

Regan sejenak mengerjap dan mencerna apa yang baru saja diucapkan partnernya itu. Lalu setelahnya, yang timbul malah senyuman sinis. Regan menautkan alisnya menatap Regen, kemudian bertanya.

"Terus apa urusannya sama gue? Lo aneh banget deh Re,"

"Maaf"

Regan mengerjap lagi. Apa Regen sudah mengetahui? Tentang perasannya pada Melody? Regan benar-benar tidak mengerti apa yang mau Regen sampaikan sehingga memaksanya untuk datang ke sini. Well dia sedang bekerja. Beruntung ada beberapa sambutan di luar agenda yang mengambil waktu bernyanyi The Rainstorm. Beruntung managernya sedang berbaik hati memperbolehkan Regan ke sini.

"Maaf kalo gue bikin lo sakit hati nantinya-"

"Udah terlanjur sakit Re" Regan memotong. Baiklah, sepertinya Regen memang sudah mengetahui perasaannya ini. "Gue sakit waktu liat lo nyakitin Melody" Sambungnya, membuat giliran Regen yang mengerjap. Mencerna.

Cowok itu lalu menghela napas kasar lantas menyerupur moccanya yang sudah dingin. Mungkin ini, arti kata sebenarnya 'there is no love story without hurt'.

"Gue juga sakit setiap nyakitin Melody. Sumpah. Gue cuma buta, waktu itu. Gue cuma lakuin apa yang menurut gue bener tanpa mau dengerin orang, bukannya apa yang bener dan seharusnya gue lakuin" Seloroh Regen. Dia benar-benar menyesali kebodohannya selama ini. "Gue yakin Melo mau maafin gue"

"Oyya? Kenapa lo yakin banget?" Tanya Regan sinis. Dalam hati, sebenarnya ia tahu. Apa yang di katakan Regen tadi bisa saja benar. Bahwa Melody akan memaafkannya, Melody akan kembali padanya.

Regan tahu jelas Melody masih mencintai Regen. Sejelas hitam di atas putih, Regan tahu Melody masih menginginkan Regen.

"Karena gue percaya hati gue"

Regen mengambil tasnya lalu menepuk bahu Regan pelan. Tersenyum, berterima kasih.

"Makasih banyak Regan. Makasih bayak udah jagain separuh hati gue satu tahun ini"

Dengan itu, Regen meninggalkannya. Dengan itu, Regan tahu. Tugasnya telah selesai. Cepat atau lambat, dia mungkin harus menjauh dari orang yang disayanginya.

Dari Melody.

***

"Makannya buka mata"

Melody cepat-cepat menggeleng. Meskipun Regen sekarang ada di sisinya, dan semua drama seakan telah berakhir, tetap saja ia akan takut melihat genangan air. Well, mereka di danau sekarang. Ya ampun, bisa-bisanya kan Regen membawanya ke danau di malam seperti ini? Bangkai.

"Buka Melo, ekkhhmm, aku nggak akan dorong kamu ke sana terus ninggalin kamu kayak abis buang kucing kok," canda Regen. Malah membuat Melody kesal setengah mati dan melepaskan tangannya.

"Emangnya aku kucing? Emangnya kamu mau buang aku ke danau? Dan siapa manusia yang tega buang kucing ke danau terus ninggalin dia? Apaan si nih orang gemes banget deh yaampun, ngga bisa gini Regen, ngga bisa," Ucap Melody sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Membuat Regen tertawa karena sekarang, justru dia yang merasa gemas.

Dia meraih tangan Melody untuk menariknya mendekat. Rasanya hangat, ketika akhirnya ia bisa merasakan sesuatu yang benar dan nyata. Bukan obsesi, atau kesenangan akan sesuatu tertentu.

Regen kehilangan Embun, tapi bersama Melody justru membuatnya lengkap. Seperti... sesuatu yang sudah seharusnya? Persis bagaimana hujan turun ke bumi. Jatuh di tempat yang seharusnya ia jatuh, dan mengalir di aliran yang semestinya ia mengalir.

Gadis ini mengajarinya banyak.

"Mel, maaf ya aku freak banget. Tapi janji deh, bakal bikin kamu ketawa dengan cara aku sendiri"

Melody berakting memuntahkan sesuatu, namun setelahnya, dia mengulum seulas senyuman. Rasanya bahagia, ketika akhirnya ia bisa mendapatkan sesuatu yang sudah ia inginkan dan perjuangkan. Tanpa topeng, hanya menunjukkan dirinya. Apa adanya.

Regan memutar tubuh Melody menghadapnya dan menyentuh kantung mata gadis itu dengan jari. Menyuruhnya membuka mata.

"Kamu nggak akan nyesel deh, kalo buka mata. Serius," ucap Regen. Membuat Melody akhirnya menyerah pada dirinya sendiri. Dia juga kan sebenarnya mau seperti orang-orang yang lain. Bisa naik perahu di danau, main air di pantai, berenang. Jadi apa salahnya kan, kalau dia mencoba?

Toh, bukannya Regen ada di sampingnya?

Melody mengeratkan pegangannya pada Regen lalu mengangguk pelan. matanya lalu perlahan terbuka, pelan ia berbalik. Jantungnya tiba-tiba berpacu cepat dan keringat dingin mulai membanjiri tubuhnya.

Tapi dia sekarang tidak sendirian.

Ia menelan ludah susah payah. Ia akan baik-baik saja. Dia, akan baik-baik saja dan terus seperti itu Melody meyakinkan diri.

"Bener kan, nggak papa. Kamu aja udah parno duluan kalo liat air. Nggak papa kan? hm?" ujar Regen. Melody mendengus lalu terkekeh pelan.

Tanpa Melody tahu, Regen memberikan kode pada teman-teman mereka yang lain untuk memulai pertunjukkan. Misi rahasia mereka.

"Eh eh, itu..." ucapannya terhenti. Melody ternganga melihat belasan—atau puluhan, entahlah, lampion terbang memenuhi langit di depannya yang semula gelap gulita. Matanya lalu beralih pada Regen. Mereka sejenak saling melempar senyum.

Hari ini, setelah hari-hari yang mereka lewati, dan meskipun tak kekal, akhirya keduanya saling memiliki.

Satu yang pasti. Cinta datang tanpa syarat. Hati berlabuh pada seseorang yang tepat. Seperti yang kukatakan, ia turun seperti rintik hujan yang jatuh ke bumi. Di mana dan kapannya, hanya dia yang tahu pasti jawabannya. Kita, manusia, hanya bisa meniti untaian benang itu hingga cinta menemukan tempatnya sendiri. Dan setelah hati sudah menemukan tempatnya, apa pun yang terjadi kedepannya, ingat satu:

Kita tidak pernah sendirian.

"Kamu ngomong apa aja sama Regan?"

"Enggak, urusan cowok"

"Apaan?"

"Engga ih kepo banget,"

"Oke gitu, kamu nggak mau tau apa aja yang aku obrolin sama kak Embun sebelum akadnya kemarin?"

"Enggak ah"

"Kenapa? Emang udah nggak ada rasa gitu, sama dia?"

"Hmmm, Enggak. Gimana ya..."

"Kok gimana ya?"

"Iya, ngga tau soalnya kalo besok"

"OGITU RE? OJADI AKU DI PRANK NIH? ISH ISH,"

"AAKK SAKIT, BOHONG NGGA IYA NGGA SUKA LAGI SUKANYA SAMA MELODY DOANG SEKARANG ADUH IYA MAAF"

*E N D*
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

SEJUJURNYA,GUE JUGA BAVER SETIAP BACA ULANG!!!
Entahlah. Semoga akhir cerita berjalan sesuai yang diharapkan. Dan, AKHIRNYA SELESAI AYEEE!!

For 15k first readers, thank you so much+++ telah mendukung cerita ini hingga hati mereka bertemu muaranya. Masih banyak sekilo kekurangan, yang aku usahakan perbaiki di cerita-cerita selanjutnya.

Buat itsfals , terima kesong udah tega memenuhi kolom komentar!! You're my best pokoknya. Sukses buat ceritanya juga.

Sebetulnya, ada banyak funfact tentang Aku dan Hujan dan proses penulisannya. Ngakak dah kalo dijelasin. Yang jelas gue bahagia bgtbgt akhirnya gue punya dua cerita yang udah selesai.

Bingung mau nulis apa lagi, pokoknya, buat para pembaca Aku dan Hujan. Jangan bosen-bosen sama gue. YAH? Jangan lupa juga, baca cerita gue yang lain, "ANOTHER US" yang semoga, nggak kalah seru sama ceritanya Melody-Regen.

Last, Terima kasih dan sampai jumpa!!!

P.s: komen sesuka hati lo!

A
31/7/16

Continue Reading

You'll Also Like

32K 6.2K 31
[SUDAH TERBIT - TEEN FICTION] Menyimpan sebuah kilasan waktu dalam memori, yang tak pernah luruh bersama detik. Membawa kotak keabadian atas pertemua...
2.8K 408 33
[COMPLETED] AKU BENCI KAMU! Satu kalimat penuh makna yang aku simpan selama ini sebagai peringatan darimu. Kamu begitu membenciku dan aku begitu menc...
56.1K 9.8K 9
"Pak." "Pak." "Ya, dek?" "Martabak coklat kacang 1." "Martabak coklat kacang 1." "Kok lo ngikutin gue, sih?" "Dih, enak aja. Lo yang ngikutin!" Inspi...
8.7K 997 14
Katanya... cantik gak selalu tentang fisik, tapi nyatanya? • Cover by canva