Chasing Memories

By raatommo

2.4M 278K 12.9K

Nora tidak tahu apa yang telah terjadi hingga membuat semua orang memandangnya khawatir ketika dia bangun. Di... More

Perhatian
Prolog
Chapter 1
Flashback 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Flashback 2
Chapter 6
Flashback 3
Chapter 7
Flashback 4
Chapter 8
Flashback 5
Chapter 9
Flashback 6
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Flashback 7
Chapter 15
Flashback 8
Flashback 8 part 2
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Flashback 9
Flashback 10
Flashback 11
Flashback 11 Part 2
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Flashback 12
Flashback 13
Flashback 14
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Flashback : Memories
Chapter 29
Epilog
Chasing Memories : Segera Terbit
Bantu pilihin cover Wattpad, yuk!

Chapter 14

39.3K 5.1K 179
By raatommo

Suasana terasa sunyi senyap. Waktu seperti terhenti ketika Jamie berlutut di depanku dengan sabar. Orbs biru yang bercampur dengan warna kelabu tersebut tak pernah berhenti menatap dan menanti jawaban. Membuatku menelan kembali apa yang sangat ingin ku katakan  dan malah berubah menjadi rasa penyesalan.

Aku mencoba mengalihkan pandangan ke arah jendela. Ke arah langit yang tampak terang oleh sinar matahari, tetapi ditutupi awan-awan. Seperti layaknya pemandangan normal untuk rumah di tengah pohon pinus di pagi hari.

Pikiranku kembali mereka-reka apa yang baru saja kukatakan, serta mencernanya baik-baik. Dan bagaimanapun aku berpikir, rasanya tetap saja tidak menemukan pembenaran jika aku setuju Sarah dipecat.

Pikiran rasionalku mengambil alih dan mulai mencetuskan alasan yang lebih masuk akal;
Kalau Sarah terlalu berharga untuk usaha Jamie yang masih dalam tahap merintis. Karena bagaimanapun, Sarah lah orang yang mengenalkan Jamie pada orang-orang yang punya event menguntungkan, dan mendatangkan uang untuk usaha Jamie. Dia juga punya banyak pengalaman di bidang layanan jasa seperti ini.
Intinya, Sarah adalah aset berharga yang tidak bisa di lepas tanpa pengganti yang jelas.

Semua alasan itu cukup untuk membuatku kembali menelan perasaan tidak aman yang kerap muncul tiap kali melihat Sarah. Mereka bahkan tidak melakukan hal diluar kewajaran. Jamie dan Sarah selalu berlaku seperti bos dan karyawan, tidak lebih...

Dan lagi, aku bahkan tidak menginginkan Jamie pada awalnya, lalu kenapa sekarang merasa terancam seperti ini?

Aku menghela napas lelah, lalu menunduk memperhatikan tangan Jamie yang terasa kasar, kini masih memegangi tanganku.

"Kau baik-baik saja?" ku dengar dia bertanya, mengangkat daguku lembut agar kembali melihat ke arahnya.

Bibirku melengkung, membentuk senyum miris, "Kau benar... aku memang konyol marah padamu untuk urusan ini. Kurasa selain otakku, mood-ku juga tidak sehat."

"Kau pasti sering kesal karena aku?" Bisikku pelan.

Jamie mendengus, "Ya. Kadang-kadang." katanya tidak membantah,
"Tapi aku lebih senang kau buat kesal dari pada ketakutan seperti waktu polisi menelponku dan bilang kau tidak sadarkan diri di rumah sakit."

"Aku lebih suka kita bertengkar untuk sesuatu yang konyol, berargumen untuk sesuatu yang sebenarnya mudah, melihatmu mengerutkan kening tiap aku menjawab dengan lelucon, daripada kau diam saja dan hanya ada suara mesin yang menjawabku." Ibu jarinya mengusap tanganku.

"Aku disini sekarang..." bisikku. Mencoba menyemangatinya

"Ya aku tau. Karena itu aku tidak mau ada penyesalan lagi. Tidak semua orang cukup beruntung diberi kesempatan kedua sepertiku. Apapun yang membuatmu merasa aman, akan kulakukan sekarang ini." Jelas sekali, yang dimaksud Jamie adalah keputusanku saat ini mengenai Sarah.

"Dia banyak membantumu mendapat pekerjaan kan?" Tanyaku. Jamie terlihat menimbang-nimbang apakah aku baru saja melontarkan pertanyaan jebakan atau tidak.

Cukup lama akhirnya dia baru menjawab dengan anggukan kecil dan suara yang pelan, "Sarah punya terlalu banyak koneksi."

"Menurutmu bijak jika memecatnya hanya karena aku tidak suka padanya?"

"Aku tidak peduli. Pasti ada cara lain untuk mendapat uang."

Aku menggeleng, "Tidak. Jangan." Bisikku pelan, "Jangan pecat dia."

Jamie menyingkirkan rambut yang menutupi wajahku, sebelah alisnya terangkat.
"Jangan? Kau yakin."

"Ya." Aku menelan ludah dengan susah payah untuk memberikan alasan, "Dia aset berharga usahamu saat ini. Dan aset seperti itu tidak boleh dilepas tanpa pengganti yang jelas. Jadi sampai usahamu lebih dikenal orang, atau kau menemukan pekerja yang lebih baik dari dia. Kurasa kau belum bisa memecatnya."

Jamie memperhatikanku lama, seperti sedang mencari sesuatu.
"Jangan salah paham, aku senang kau cemburu." Katanya, dan sukses membuat wajahku merah dan merasa konyol,
"Tapi percayalah, kau tidak punya alasan untuk merasa terancam. Kau dan Shawn sudah menggenggamku di dalam telapak tangan kalian."

Jantungku rasanya mulai berdetak dua kali lebih cepat. Mataku membelalak tidak percaya, wajahku terasa panas.

Laki-laki di depanku mulai berdiri dan berjalan ke arah pintu kamar.

"Aku akan ke bawah memberitau Josh soal perubahan rencana, kalau aku saja yang tinggal di rumah dan biar mereka yang menjalankan bisnis hari ini. Kau tidak keberatan kan?"

Aku membuka dan menutup kembali mulutku dalam hitungan sepersekian detik karena tidak menemukan suara. Lalu akhirnya hanya bisa menggeleng cepat.

"Bagus." Katanya, diapun pergi keluar kamar sementara aku menenangkan diri.

Jam sudah menunjukkan pukul 11.00 pagi saat itu, Charlie dan Cay lebih dulu pergi karena mereka juga memiliki pekerjaan yang harus di lakukan kalau tidak ingin dipecat, katanya.

Sementara Josh dan Sarah juga pergi ke Repair Shop berdua tanpa Jamie seperti yang di rencanakan pada awalnya.

Aku tidak turun ke bawah, dan hanya menguping dari dekat tangga waktu Jamie sambil menggendong Shawn menjelaskan kalau sebaiknya dia saja yang memasang CCTV di rumah sambil memastikan keadaan memang sudah aman.
Dia juga memberi beberapa arahan kepada dua pekerjanya itu, sebelum mereka pergi dan hanya tersisa kami bertiga di rumah ini.

Aku, Shawn, dan Jamie.

Aku turun ke bawah waktu Jamie mengantar Josh dan Sarah keluar rumah, menuju ke arah mobil mereka.

Kuperhatikan Jamie yang menggendong Shawn dan mengangguk sekilas waktu Josh membunyikan klakson untuk bosnya sebelum mereka pergi.

Cukup lama dia berdiri disana, sebelum akhirnya berbalik dan sedikit kaget waktu menemuiku sudah ada di depan pintu memperhatikannya dari belakang seperti stalker.

"Kenapa berdiri saja disana?"

Bertingkah biasa, Nora...

Bahuku, mengedik. "Aku baru turun tadi. Mereka sudah pergi?"

Jamie mengangguk. Aku mengambil Shawn dari Jamie dan menggendongnya ke dalam waktu Jamie menutup pintu.

"Tadi waktu kau di atas Doktermu menelpon. Dia ingin mengingatkan jadwal pertemuan besok jam 11 siang. Kau mau aku juga ikut?"

"Kukira besok kau mau pergi menonton pertandingan dengan Charlie?" Tanyaku, menarik kursi dari balik meja makan dan duduk disana. Sementara Jamie ke arah kulkas untuk mengambil sesuatu.

"Memang. Tapi kalau kau butuh aku disana, kurasa Charlie tidak akan keberatan tahun ini kami tidak menonton." Ujarnya.

"Tidak apa-apa, kau bisa tetap pergi. Lagipula aku sudah janji dengan Cay akan pergi ke mall dengannya selama kalian bersenang-senang."

"Jadi dia yang akan menemanimu?" Tanyanya, menumpukan sebelah tangan ke atas konter dan sebelah lagi memegang gelas di dekat bibirnya.

Aku mengangguk, mengangkat Shawn dan tersenyum ke arahnya sebelum menjawab, "Ya. Shawn juga akan ikut denganku. Jadi kalian pergilah."

Jamie menaruh gelas jus kosongmya di atas westafel.

"Baiklah. Aku akan mulai memperbaiki pintu dan instalasi CCTV nya. Kalau butuh sesuatu, aku di garasi oke?"

Aku mengagguk, "Ada yang bisa ku lakukan untuk membantu?"

Jamie berhenti di depan pintu dan berpikir sebentar. Kedua tangannya kemudian dia masukkan ke dalam hoodie yang dia pakai, "Kau bisa masak makan siang untukku."

"Kau mau aku masak apa?"

"Apa saja yang enak, aku tidak pemilih."

"Oke." Ujarku, tersenyum ke arahnya.
Selama Jamie bekerja di garasi dengan semua suara bor listrik, palu dan paku saling menghantam, aku dan Shawn di dapur membuatkan makanan yang sering di buat Anita untukku dulu;

Spaghetti carbonara dengan ekstra keju dan resep rahasia.

Tidak sulit memasaknya, yang sulit justru menjaga Shawn tetap terhibur selama aku memasak. Jadi sambil memastikan pasta yang ku rebus agar tidak terlalu matang, aku juga menirukan suara kucing atau burung atau apalah yang membuat Shawn senang.

Makananku lebih dulu selesai ketimbang kegiatan Jamie di luar. Aku mengangkat balita dari kursinya untuk menemui ayah Shawn.

"Makan siangnya sudah selesai." Kataku dari bawah tangga yang di naiki Jamie untuk memasang CCTV disana.

"Oh, iya sebentar, sedikit lagi."  Katanya. Suara bor listrik kembali berdesing untung mengencangkan baut.

Aku membenarkan letak gendongan Shawn di pinggangku sambil memperhatikan garasi ini. Kunci pintunya sudah di ganti dengan yang baru, tapi Jamie belum membuang kunci lama yang sekarang sudah rusak seperti habis dibuka paksa dengan benda tajam hingga hancur seperti itu.

Memikirkan orang-orang tadi malam membawa benda tajam, membuatku kembali merinding.
Aku menatap ke arah Jamie yang masih berdiri di tangga sambil memegang bor.

Bagaimana jadinya kalau aku tidak bangun tadi malam?

"Kulanjutkan nanti saja, ayo kita makan." Jamie turun dengan perlahan dari tangga dan berjalan ke arahku, "Apa yang kau perhatikan?"

"Kunci ini." Kataku mengusap takut-takut benda rusak itu. "Dia membawa benda tajam. Sementara kau turun sendirian untuk memeriksa tadi malam. Aku jadi berpikir bagaimana jadinya kalau mereka melawanmu..."

"Aku tidak akan kalah semudah itu, lagipula kenyataannya nyali mereka tidak begitu besar kan? Sudah jangan di pikirkan lagi, aku janji sudah aman sekarang. Ayo kita makan, apa yang kau buat?" Dia mengulurkan tangannya untuk mengajakku pergi jauh dari bangkai kunci dan pintu tadi.

"Spaghetti carbonara . Kau suka?"

"Sudah ku duga kau masak itu. Baunya tercium sampai ke luar. Aku benar-benar lapar."

Kami makan di meja makan, sambil berbincang sedikit apa saja yang di katakan polisi soal kejadian tadi malam.

"Jadi benar-benar tidak ada barang yang dicuri?"

Jamie menggeleng. "Kurasa dia baru sempat masuk waktu kau memergoki."

"Lalu... telpon itu memang tidak ada sangkutpautnya?"

"Itu hanya kebetulan menurut mereka." Jawab Jamie menyuapkan suapan terakhir makananya sebelum menegak air di gelasnya hingga habis.

"Ini enak sekali. Terima kasih untuk makanannya."

"Itu hanya Spaghetti." Kataku sambil tersenyum dan menggeleng pelan. Memperhatikan Shawn yang sudah belepotan makan siangnya sendiri.

"Ini Spaghetti carbonara yang sering di buat Anita untukmu. Jadi ini spesial."

"Kau tau?" Aku menoleh kaget ke arahnya.

"Kita sudah menikah selama enam tahun. Ini bukan pertama kalinya kau memasak itu untukku."

Aku tersenyum. Memperhatikan pasta di piringku dan memuntirnya dengan garpu, "Aku jadi teringat dimana Anita sekarang..."

Aku rindu padanya...

"Aku yakin Ibumu tau soal Anita, kenapa tidak telpon saja dia?"

"Entahlah... aku tidak yakin."

"Telpon dia, biar aku yang mandikan Shawn. Kami butuh waktu berdua untuk membentuk karakternya jadi penuh kharisma sepertiku dulu."

Mataku meyipit curiga ke arahnya, "Jangan ajari dia yang aneh-aneh." Kataku memperingatkan.

Jamie terbahak, namun tidak berhenti berjalan.

"Memangnya apa yang bisa ku ajari untuk anak sekecil ini?" Jamie menggeleng, "Ibumu terlalu menyepelekan DNA kita, nak." Lalu mereka menghambur meniki tangga.

Aku memutar bola mataku untuk perkataan Jamie tadi.

Perhatianku akhirnya kembali tertuju ke telpon rumah di tanganku. Jariku mulai menekan beberapa nomor dengan kode negara singapur sebelum meletakkannya ke telingaku.

Sambil menunggu sambungan di angkat, aku mengumpulkan piring kotor dan meletakkannya di westafel.

Ku lirik jam di dinding dekat tangga dan berdoa semoga Ibu tidak sibuk atau sedang tidur saat ini.

"Halo?"

"Err... Ibu, ini aku Nora...."

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 218K 41
Sherenada tidak pernah ingin berhubungan dengan pria menyebalkan seperti atasannya yang selalu membuatnya lembur berhari-hari hingga seseorang makhlu...
Filantropi By aileum

General Fiction

1M 116K 45
Dinikahi oleh pria sejenis Andreas Junial Adinegoro adalah impian semua wanita. Selain harta yang dimiliki melimpah ruah bak air bah, nama keluargany...
1.8M 87.6K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.5M 81.3K 31
Cakep sih cakep, tapi kalau galak siapa sih yang betah? Maugy contohnya. Cewek yang punya kebiasaan gigit dari kecil ini, punya pacar yang super dupe...