Pain(t)ed Heart

By sifanne

4.7K 179 17

Indahnya cinta mungkin hilang saat masalah itu datang. Imel adalah remaja korban broken home. Dulu ia hanya... More

Prolog
1. Cahaya dari Langit
2. Suatu Saat Nanti
3. Bukit Berbunga
4. Aku tak Mau ini terjadi
5. Aku Mohon Jangan
6. Seandainya Aku tak Ada
7. Percaya
8. Pelarian
9. Jodoh di Tangan Nenek
10. Panggil Aku Raib
11. Kakak Ketemu Gede
12. Sampaikan Rinduku, Hujan
13. Aku Tak Bisa
15. T without T
16. Sweet Temptation
17. Kertas Gambar vs Tensimeter
19. KuasA
20. You Get It!
21. Sama Saja
Epilog

18. Mengapa Harus Aku?

182 7 1
By sifanne

1 tahun kemudian...

Hari ini. Aku mendapat ijasah SMAku. Senang bukan main hatiku ini. Beberapa bulan setelah menetap di rumah Pakde, aku ditawari oleh Tama untuk mengikuti homeschooling yang dikelola salah satu teman kuliahnya. Walaupun bukan sekolah umum, homeschooling memiliki standart pendidikan yang setara dengan sekolah biasa. Sebenarnya aku tidak mau lagi bersekolah. Tapi Tama memaksaku dengan menakut-nakutiku akan masa depan yang sulit diraih tanpa ijazah SMA.

Inilah efek sejak kecil terlalu akrab dan percaya akan dongeng fantasi, yang selalu menjadi pengantar manis tiap tidurku. Imajinasiku terlalu kuat sampai satu kata saja orang menyebutnya, aku sudah memiliki kepekaan akan bagaimana bentuk visualisasinya.

Sejak pagi Bude sudah memasak makanan yang begitu banyak untuk merayakan keberhasilanku meraih kelulusan ujian nasional. Walaupun tidak mendapat nilai yang bagus, Pakde, Bude, bang Erde serta Tama merasa bahwa aku sudah sangat hebat. Sekian lamanya aku tak menjamah buku-buku pelajaran, sekejab saja aku berusaha untuk bisa mengikuti serangkaian pendidikan formal modern ini. Dan hasilnya, tidak begitu mengecewakan.

"Nggak apa, Mel. Yang aku tahu, malah banyak anak-anak yang sekolah di sekolah standart nilainya jauh di bawah kamu. Kamu patut bangga, Mel," Tama terus mengucapkan selamat dan menepuk-nepuk pundakku kasar.

"Sakit, tau," erangku tidak suka.

Tidak hanya orang-orang tadi yang menghadiri syukuran kelulusanku, mas Dibyo sekeluarga dan beberapa murid sanggar lukis Pakde tampak hadir. Bahkan beberapa datang sambil menyalamiku dan memberikan kado untukku.

Seperti ulang tahun saja.

Bang Erde tampak senang melihatku akhir-akhir ini lebih bersemangat menjalani hidup. Hingga berimbas ikut membaiknya kondisi tubuh yang perlahan lebih kuat dari sebelumnya.

"Terima kasih Abang udah jadi motifatorku yang paling hebat. Abang nggak perlu kasih apa-apa ke Imel, Imel nggak masalah. Yang penting Imel mau, Abang harus terus kuat. Karena Imel akan selalu ada untuk Abang," ku rengkuh tubuhnya mendekat. Aku peluk tubuhnya yang sudah seperti tulang berjalan itu. Ringkih.

Suaranya terdengar berat di telingaku. Samar-samar ia bergumam, "abbang.. pe-ng-enn l-iha..tt ka-kam.. u jadi pe-llu.. kis hebat," katanya susah payah.

Kulepas pelan-pelan pautan lenganku, aku menganggung takzim, mengamini. "Iya, Bang. Pasti. Mangkanya, Abang harus selalu sehat. Nanti Abang yang harus jadi penonton yang paling keras tepuk tangannya di pameran lukisanku kelak," semoga. Amin. Amin. Amin.

Acara ini memang spesial untukku. Sekilas seperti pesta ulang tahun. Tapi bukan. "Nduk, gimana kalau sekeluarga jalan-jalan ke Jogya. Kali ini kita ajak juga masmu. Biar bisa lihat-lihat Jogya," kata Pakde saat para tamu kembali pulang. Hanya tinggal Tama masih curi-curi waktu menerapi kaki dan tangan bang Erde.

Bang Erde melotot ketika Tama mengurut pelan kakinya. Bukan. Bukan kesakitan, tapi kaget dengan perkataan Pakde.

"Ikut? Pak Marwan nggak salah. Mas Erde harus terus diminta gerak. Kalau ke Jogya, terapinya bagaimana? Di mobil nantinya juga akan sering duduk diam," Tama menghawatirkan kondisi bang Erde. Akhir-akhir ini, semua syaraf bang Erde seperti mati suri. Kadang tidak berfungsi. Seper sekian menit kemudian, hidup lagi. Nggak tentu.

Pakde tersenyum memelototi Tama, "ya, dokternya harus ikut kalau begitu. Sekalian biar si Putri punya teman," kata Pakde melirik nakal ke arahku. Maksudnya?

"Iya, ikut saja, Ma. Itung-itung ngisi liburanmu. Libur panjang, kok, nggak ke mana-mana," Bude jadi ikut-ikutan usul.

Tama sekarang melihatku bingung. Mulutnya terbuka tanpa suara. Bagaimana? Mungkin itu katanya. Sekali anggukan dariku. "Beres. Kita berangkat besok," lantas forum kecil rencana liburan ke Jogya selesai juga. Para anggotanya sudah balik kanan bubar jalan.

****

Kami berangkat sore. Pakde ada urusan mendadak di kampusnya. Rencana kami untuk berangkat subuh hanya tinggal alamat. Kami berangkat dengan mobil Pakde yang dikemudikannya sendiri. Sebagai penumpangnya ada aku, Bude, Tama dan bang Erde.

"Kamu yakin masih kuat, Mas?" tanya Tama sedikit khawatir saat bang Erde seperti menahan sakit di pundak kirinya.

Ia hanya diam sembari mengangguk memberi jawaban, aku baik-baik saja, Mas Tama. Pakde harus terus berkonsentrasi untuk mengemudi, apalagi dengan kondisi tubuhnya yang sudah tidak muda lagi. Walaupun sering bilang masih kuat, usia tetap tidak bisa bohong.

Tiba-tiba Pakde menepuk jidatnya, "Ya Allah, Nduk. Pakde lupa ndak bawa alat lukis. Kan, di sana bisa buat kamu corat-coret. Aduhh.. dasar udah tua," kata Pakde kemudian memohon maaf padaku.

"Aduh, nggak apa-apa, Pakde. Toh.. Imel juga nggak minta Pakde bawain, kan. Ya sudah, nanti bisa pakai pensil atau paling enggak beli di sana," kataku menenangkan Pakde. Jangan sampai Pakde merasa bersalah karenaku.

Perjalanan Semarang – Jogya kalau macet, ya, bisa-bisa sampai empat – lima jam. Kami sampai Jogya tidak disambut matahari. Orang-orangpun sudah terbang dengan mimpi-mimpinya. Termasuk Tama dan bang Erde yang terus menampakkan wajah kesakitan.

Air muka Pakde berubah, "hotel masih jauh, Nduk. Kasihan Masmu kalau terus-teruan tidur dengan posisi duduk. Ma..," Pakde melihat sekilas ke bangku belakang. "Ma, kira-kira kondisi Erde sekarang gimana?" kecepatan mobil lebih diperlambat. Konsentrasi Pakde terpecah karena percakapan ini.

Tama tidak langsung menjawab, ia menguap dulu, "begini, Pak. Kalau bisa segera cari tempat istirahat dulu. Bukan apa-apa, takutnya mas Erde tambah sulit gerak karena badannya kaku," tubuh bang Erde menggelit pelan.

Sepanjang jalan hanya gelap yang menyambut kami. Ternyata masih ada sisi Jogya yang kurang cerah. Kurang cahaya lampu. Berbeda dengan pusat kotanya, gemerlap seperti area pesta. Ramai seperti kawanan semut yang mencari makan.

Posisi kami makin tidak jelas dengan keberadaan hotel atau penginapan yang nyaman. Boro-boro nyaman, ketemu saja tidak.

"Vvviii-iila..vi-la..," seluruh energi yang bang Erde punya kini ia tumpahkan semua untuk member pendapat kepada kami. "Villa?" Tama ternyata mengerti apa yang dibicarakan bang Erde.

Villa. Tempat itu lagi.

"Oh iya, villa Ayah dan Bunda kalian, kan, ada di sekitar sini. Kita coba ke sana saja," belum aku mengelak tak mau pergi ke sana, Pakde sudah sigap memutar stir mobil balik arah. Aku mohon, jangan buat kebahagiaan ini rusak lagi..

Masih sama. Seperti terakhir kami kemari. Aku, bang Erde, Ayah dan Bunda. Tapi... "Kok, bersih, ya? Seperti ada yang tinggal," kata Bude. Satu persatu dari kami turun dari mobil. Aku dan Tama bekerja sama utuk membantu menurunkan bang Erde dari mobil.

"Ambilkan kursi rodanya di bagasi, Mel," pinta Tama.

Selagi kami membantu bang Erde bersiap turun, Pakde dan Bude sudah berjalan mendekati pintu masuk villa. Benar. Lampu menyala. Pekarangan bersih. Dan lampu taman seperti dulu, terang sekali. Seperti baru diganti yang baru.

Satu.. dua.. tiga..

Bang Erde berhasil turun dan mendarat di kursi roda yang sudah aku bentangkan dari posisi lipatan. Sebagai terapis bang Erde, Tama sudah hapal betul bagaiman harus menurunkan badan bang Erde dengan posisi dan arah manapun.

"Terima kasih," kataku saat Tama membantu mendorong kursi roda bang Erde. Tanganku pegal sekali berjam-jam menjadi sandaran kepala bang Erde di mobil.

Dari jauh, kami melihat Pakde dan Bude sedang berdiri terpaku di depan pintu bersama seorang wanita muda berambut panjang digelung. Baju daster panjang dan kain serbet di pundak menambah kesan bahwa diriya sedang bersih-bersih rumah. Di malam hari. Tiba-tiba aku teringat mbak Ajeng. PRT yang pernah membantu di rumahku dulu. Sebelum pergi tidur, ia selalu tidak meninggalkan tanggung jawabnya dalam membersihkan rumah. Sebelum tidur, mbak Ajeng selalu mengecek dan membersihkan rumah. Biar esok hari tidak berat, katanya.

Tiba-tiba, gamaran akan sosok mbak Ajeng itu terlihat sangat nyata di hadapanku. Wanita itu, "mbak?" aku spontan memanggilnya. Enteng sekali mulut ini.

Semua tidak bersuara. Mungkin jantungku berhenti entah berapa detik. Semuanya. Aku merasakan de javu saat ini. Semua yang sedang aku alami sekarang terasa pernah terlewati. Dulu.. dulu sekali.

"Enggg..ngg.. engghh..." 

BRUAK

Tubuh ringkih di depanku hampir jatuh menyentuh tanah. Kursi rodanya hampir oleng menahan berat tubuhnya. "Imel, ambil peralatanku di mobil. Dan cepat bawa kemari," Tama dengan sigap menggendong tubuh bang Erde masuk ke dalam rumah. Masuk. Harus masuk ke dalam rumah.

Aku mengambil tas hitam yang sering Tama bawa setiap memeriksa bang Erde. Pikiranku kacau. Membayangkan siapa yang ada di dalam villa itu lagi. Tidak. Aku tidak boleh keras kepala. Abangku sekarat.

****

Rumah di pinggiran perbukitan ini tak sedamai dengan bagaimana kondisi di dalamnya. Berat sekali aku melangkah lagi ke dalam. Seperti cari mati.

Seorang wanita berbalut jilbab warna biru laut keluar membawa segelas air putih. Menyodorkan ke hadapan Tama yang sedang menyokong tubuh bang Erde dengan sebelah tangannya. "Terima kasih," itu yang Tama ucapkan tanpa senyum ramah di bibirnya. Bagi Tama, wajah itu sudah sangat ia kenal dariku. Sudah sangat jelas dengan semua penggambaran yang aku berikan padanya. Kini.. ia sudah bertemu langsung.

Hanya sekali tegukan. Belum sampai membasahi tenggorokan, bang Erde tersedak hingga membasahi kausnya. Sangat sulit aku sembunyikan rasa sakit ini. Wajahku bergetar menahan panas. Air mukaku berubah drastis. Aku menangis tanpa dikomando siapapun.

Aku berlari keluar villa. Menjauh dari orang-orang itu. Samar, aku dengar Pakde berkata, "biarkan. Dia butuh sendiri," tidak jelas apa yang selanjutnya terjadi. Aku sudah menghilang dari balik pintu.

Malam mengharuskan lampu jalan pedesaan menyala. Bohlam lima watt sudah lumayan terang daripada menunggu jatah pemerintah mendapat aliran listrik beberapa tahun lagi. Warga butuh kepastian. Selagi bisa berbuat, mengapa tidak bertindak?

Aku tidak tahu tempat lain selain di sini. Bukit tertinggi di antara bukit-bukit yang lain, kata Ayah dulu. Pohon berdaun rindang tempat Ayah dan Bunda berteduh saat kami tidur terlentang di atas bukit memandang langit. Memori itu berputar lagi.

Sambil memandang jauh hamparan bukit gelap di bawah sana, aku merasa seseorang datang dari arah belakang. Gesekan kaki dengan rerumputan bukit menciptakan suara kemresek memekik telinga. Wanita kerudung biru laut itu kini berdiri tepat di belakang punggungku.

"Buat apa Bunda ke sini? Kasihan Bang Erde, dia butuh Bunda," kataku tanpa melihat Bunda sedikitpun. Setali tiga uang denganku, Bunda masih keukeh dengan posisinya di sana.

Suara jangkrik terus bersautan entah dari mana asalnya. Gemerisik rerumputan sebenarnya sedikit membuatku takut jika ada reptil liar tiba-tiba melilit kakiku dan tak segan menggigitnya hingga biru. Aku masih ingin hidup, Tuhan.

Kresekk.. langkah kaki Bunda membuatku terkejut. Bunda mendekat, tapi masih tidak menghadap. Stak di belakang punggungku. "Apa kamu tidak butuh Bunda, sayang?" katanya sediki bergetar. Waktu terus berlalu tapi kami masih dalam pendirian masing-masing. Langit dihias dengan sebaran bintang-bintang membentuk model rasi-rasi cantik. Seharusnya ada bang Erde di sini. Kami pernah berjanji untuk melihat bintang di bukit ini bersama.

"Imel.." panggil Bunda. Hampir tiga tahun aku tidak mendengar pemilik rahim ternyaman tempatku tumbuh dulu. "Maafkan Bunda, sayang.. ," Bunda menghela napas panjang lantas pergi meninggalkanku di bukit.

Aku beranikan untuk menatapnya lekat, "seharusnya tidak perlu ada kata maaf, Bunda," kataku. Sayang, hanya punggungya yang kini aku lihat. Kembali kami tidak bertatap muka.

Bunda terperanjat. Ia diam tertunduk. "Seharunya tidak perlu ada perjanjian itu. Seharusnya tidak perlu. Mengapa, Bunda? Mengapa harus Imel?" tidak perlu aku menutupinya sekarang. Rasa benci itu harus segera aku luapkan. Sekarang juga.

"Di sini," sambil aku tepuk-tepuk dadaku keras-keras, "rasanya.. sudah nggak ada rasa bahagia melihat Bunda lagi. Udah mati rasa, Bun. Nggak ada sayang seperti dulu. Yang ada sekarang.. sakit. Sakit lihat Bunda datang lagi," dinginnya malam tidak lantas membuatku gentar berdiri dan berteriak meluapkan semua yang mengerak di lubuh hati. Sakit hati itu, kecewa itu. Semuanya.

Tidak ada orang di bukit ini. Selain kami, aku dan Bunda. "Bunda tahu tidak, bagaimana sulitnya kami menjalani hidup-hidup tanpa kalian? Orang tua yang seharusnya ada saat kami.. anak-anaknya membutuhkan sandaran. Bagaimana lelahnya kami hidup dalam pasungan Nenek? Bagaimana sulitnya hari yang terasa mencekik setiap waktu berjalan hingga hari berganti terus dan terus? Bunda nggak tahu.."

"Bunda memang tidak tahu, sayang" sekarang, kami berhadapan. Wajah itu terlihat semakin tua. Masalah berat tampak mengendap di area wajahnya. Bunda tidak seperti Bundaku yang dulu, "semuanya Bunda lakukan demi kebaikan kalian juga. Bunda tidak mau jika kalian harus hidup menderita bersama Bunda," kata Bunda sedikit berteriak. Melawan isakan yang sesekali keluar tanpa ia mau. Buliran air mata jatuh perlahan, kini sudah membanjiri pipinya. Kemudian turun dan membasahi jilbab biru lautnya. Warna kesukaan Bunda.

"Omong kosong," ini kali pertama aku membentak Bundaku sendiri. "Tidak ada kebaikan yang pernah kami dapat, Bunda. Sekalipun yang kami inginkan semuanya Nenek penuhi," pandanganku seperti sedang dibutakan oleh rasa marah pada.. entahlah. Bunda atau realita ini, "tapi itu semua materi, Bunda. Yang sebenarnya kami inginkan hanya satu. Kalian. Kami ingin seperti dulu. Hidup bersama satu rumah. Tertawa bersama. Bahagia bersama. Bersedih bersama. Bukan perpisahan," rasa penyesalan sedang menghujam hatiku bertubi-tubi. Menyesali semua yang aku ucapkan kepada Bundaku sendiri.

Kakiku lemas sekali. Tak kuat menahan beban tubuhku sendiri. Aku terduduk dengan kaki terlipat. Aku tangkupkan telapak tanganku menutup wajah. Kebiasaanku saat menangis sejadi-jadinya. "Imel nggak kuat, Bunda. Imel nyerah," sekarang, yang aku inginkan hanya Bunda datang dan memelukku lagi seperti biasanya.

Sadar akan apa yang harus Bunda lakukan. Tangan lembut keibuannya merengkuhku erat ke dalam pelukannya. Jilbabnya yang sudah hampir kering sekarang kembali basah karena air mataku.

Pelan-pelan aku redam emosiku. Menelan ludah malah tersedak sendiri. Sedikit menyakitkan namun melegakan. "Bunda, akan terus lindungi kalian. Bunda janji, sayang. Bunda janji,"

Masihkah ada harapan? Entahlah. Tapi aku rasa.. Tuhan masih menyayangiku.

****

Mumpung di Jogja, Pakde punya inisiatif untuk pergi mengunjungi sanggar Sai. Dulu, sebelum pamit undur diri, Sai sempat memberikan alamat sanggar lukisnya kepada Pakde. "Ya, sowan sebentar saja ndak apa-apa, kan?" ajak Pakde kepada kami saat sarapan bersama.

"Saya diajak ndak, Pak?" Tama tiba-tiba bersuara dengan gaya medok khas Pakde. Lumayan, lah, pencair suasana. Itung-itung nggak rugi ajak dia. Pakde pasang wajah berpikir, Tama mendelik menunggu kepastian.

"Yo, pasti to, Tama. Kasihan kalo kamu ditinggal di villa sendiri. Nanti di makan tikus," kata Pakde menirukan suara tikus plus geraknnya. Ciutt ciutt.. lucu sekali. Bunda ikutan tersenyum walaupun hanya diam. Mengulum bibir tanpa menampakan giginya. Aku rindu senyuman itu.

Rencana Pakde untuk mengunjungi Sai diundur sampai nanti siang. Pakde sempat menelepon Afru untuk memastikan apakah Sai ada. Untung saja belum berangkat, Sai masih ada acara untuk mengisi seminar sampai siang hari.

Matahari sudah sombong di atas langit. Panasnya nggak mau tahu apakah orang-orang kepanasan atau bahkan kebakaran. Yang penting, siang ini jatahnya ia menyetor panas ke bumi. Nggak ada tapi-tapian. Tuhan sudah mengatur. Bunda sedang duduk terpekur di mihrab mushola villa. Aku tak sengaja melihatnya saat aku sedang asik melukis di depan teras. Letak mushola kecil yang ada di samping ruang tamu sedikit memudahkan orang-orang yang masuk melihatnya walaupun sudah samar-samar terhalang penyekat ruangan dari kayu ukir.

Pelan-pelan aku mendekat, "sudah sholat, sayang?" tanya Bunda tiba-tiba. Tidak aku jawab dulu, aku posisikan tubuhku untuk duduk di lantai luar batas suci mushola. "Sudah, Bunda. Tuh, yang ngeberantakin sajadah siapa? Kalau bukan aku," jawabku sopan. Bunda hanya menanggapi seadanya dengan kesan bibir membentuk huruf O. Sajahdah yang ia duduki sekarang sudah terlipat rapi di samping jajaran mukena dan sarung.

Rambut Bunda acak-acakan tertarik mukena. Tanpa memperbaiki tatanan rambutnya, Bunda mengambil jilbab instan langsung dipakai ke kepalanya. Cantik. "Bunda kangen kamu, sayang," katanya lirih. Matanya berkabut air mata. Cukup tebal.

"Kan, Imel sudah di sini. Di depan Bunda," aku mengubah posisiku lebih mengahadap Bunda yang duduk selonjor. Lukisan yang aku buat tadi hampir jatuh karena tersenggol kaki Bunda. Salah juga, sih, meletakkan kanvas basah di dekat tembok.

Tangan Bunda menggapai-gapai ingin mengambil lukisanku. "Apa judulnya?" wajahnya kebingungan. Nggak tahu. Sejak tadi aku tidak membayangkan akan melukis apa. Cat yang adapun terbatas. Aku menemukan alat-alat lukis di laci kamarku. Itu tertinggal saat pertama kali aku dan keluarga menginjakkan kaki pertama kali di villa ini. "Kok diem? Seorang pelukis harus tahu maksud yang ia gambar," Bunda masih bersihkeras meminta pertanggungjawaban atas karya yang aku buat.

Intinya adalah hati yang akan meleleh di tangan seseorang. "Hatinya dari es mungkin, Bunda, hehehe," kataku sambil garuk-garuk tengkuk.

Kami tertawa bersama. Cepat sekali. Rasanya kami baru saja beradu argument di atas bukit. Berteriak di muka lawan masing-masing. Dan berpelukan sambil bersautan meminta maaf. "Mungkin? Yang pasti, dong!" lagi-lagi Bunda main paksa.

Sebenarnya, aku tidak mau memikirkan nama apa untuk lukisanku ini. Bagiku, melukis itu seperti halnya bernapas. Alasannya sudah pasti, tidak perlu mencari apa dan mengapa aku harus melakukannya. Mengalir. Bertindak tanpa harus diperintahkan.

"Hati yang meleleh? Story of heart? Hati yang Tersakiti? Antara Cinta dan Hati?" judul-judul rujukan Bunda. Semuanya seperti judul sinetron. "So, what do you choose?" lanjut Bunda.

"Imel nggak mau buat sinetron, Bunda,"

"!@#$%^&,"

Tanpa perlu melanjutkan pemilihan judul apa yang tepat, Pakde sudah nyelonong datang dan memasang lukisanku di dinding ruang tamu. "Judulnya.. Atiku Loro. Hatiku sakit. Gitu aja, kok, repot."

tbc..


Continue Reading

You'll Also Like

5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...
542K 88.4K 30
✒ 노민 [ Completed ] Mereka nyata bukan hanya karangan fiksi, mereka diciptakan atau tercipta dengan sendirinya, hidup diluar nalar dan keluar dari huk...
9.8M 886K 51
#1 In Horor #1 In Teenlit (20.05.20) Tahap Revisi! Vasilla Agatha yang dijauhi orang tuanya dan tak memiliki teman satupun. Dia menjalani setiap har...