Hidden Truth

By angelxs_

884K 70.3K 2.9K

"We all have secrets we'll never tell anyone." ••• Kiara trauma akan acara ulang tahun. Ada sebuah kejadian d... More

• prolog •
• satu •
• dua •
• empat •
• lima •
• enam •
• tujuh •
• delapan •
• sembilan •
• sepuluh •
• sebelas •
• dua belas •
• tiga belas •
• empat belas •
• lima belas •
• enam belas •
• tujuh belas •
• delapan belas •
• sembilan belas •
• dua puluh •
• dua puluh satu •
• dua puluh dua •
• dua puluh tiga •
• dua puluh empat •
• dua puluh lima •
• dua puluh enam •
• dua puluh tujuh •
• dua puluh delapan •
• dua puluh sembilan •
• tiga puluh •
• tiga puluh satu •
• tiga puluh dua •
• tiga puluh tiga •
• tiga puluh empat •
• epilog •
Extra Part (Jaden & Violet)

• tiga •

36.2K 2.8K 21
By angelxs_

Aku sedang asik menikmati bakmiku saat Elena mulai bergosip. Memang di antara kami bertiga, Elenalah orang yang paling up to date. Mulai dari berita dalam sekolah maupun luar sekolah, ia pasti akan tahu semuanya. Jangan tanya padaku bagaimana caranya ia tahu. Bahkan, Violet yang mengenalnya lebih lama dariku saja tidak tahu.

"Eh, lo tau gak sih?"

Aku menggeleng. "Tau apaan?"

"Hari Senin, angkatan kita ada anak baru loh!" ucap Elena dengan semangat.

"Serius?" tanya Violet sambil memfokuskan dirinya pada Elena sepenuhnya.

Elena mengangguk. "Beneran. Tadi gue denger guru-guru lagi ngomong. Dia masuknya hari Senin, gak tau deh masuk di kelas siapa."

"Semoga aja masuk kelas kita deh. Kan lumayan kalau ganteng." Violet menopang dagunya dengan tangan kanannya.

Tanpa bertanyapun, aku sudah tahu itu siapa. Itu sudah pasti cucu Oma Debbie yang dipuja-puja Ryder karena jago menulis surat cinta. Dan juga si penyanyi hebat yang sudah beberapa hari belakangan ini menyanyikan lagu sampai aku tertidur. Aku harus mengakui bahwa aku memang suka dengan suara nyanyiannya yang bisa membuatku merasa nyaman dan tenang. Tapi, sampai sekarang, aku masih belum berkenalan dengannya. Wajahnya bagaimana saja aku tidak tahu.

"Diem aja lo, Ra," panggil Elena sambil menyenggol lenganku.

Aku tersadar dari lamunanku. "Kenapa?"

"Itu, si Violet nanya, jadi gak nanti pulang sekolah?"

Lalu, aku teringat dengan janji kami yang akan menonton film di bioskop seusai pulang sekolah. "Jadi kok. Emang kenapa gak jadi?"

Violet mengangkat kedua bahunya. "Siapa tau lo gak bisa."

"Tapi, gue mesti balik sebelum jam lima. Soalnya keluarga gue hari ini mau dateng," ucapku sambil memberikan cengiran.

Violet mengangguk-anggukkan kepalanya dan menjawab, "bisalah. Kan filmnya cuma satu jam lebih dikit doang."

"Eh, Kiara," panggil Elena tiba-tiba. "Arah jam sembilan."

Aku pun menolehkan kepalaku ke arah yang diberitahu Elena dan mendapati Julian, laki-laki yang belakangan ini bersikeras mendekatiku, sedang berjalan ke arahku.

Aku langsung mengalihkan pandanganku ke kedua sahabatku. "Gimana dong? Pergi yuk!" ucapku dengan panik.

Belum sempat mereka menjawab ucapanku, Julian sudah berdiri di sampingku. "Hai, Kiara yang cantik," sapanya.

Mau tidak mau pun, aku menoleh ke arahnya dan memaksakan senyum. "Hai, Jul. Ada apa?"

"Gak papa. Gue cuma mau nyapa lo aja. Lo keliatan cantik hari ini, seperti biasa," ucapnya sambil membetulkan letak kacamatanya.

Aku kembali memaksakan senyuman. "Makasih ya. Oh ya, Len, katanya mau ke toilet? Yuk, gue juga mau ke toilet," ucapku pada Elena yang sedang berpura-pura sibuk dengan ponselnya.

Elena yang dipanggil tiba-tiba pun mengangkat kepalanya. "Oh iya, yuk. Violet, ikut yuk!" ucap Elena sambil menarik tangan Violet.

"Duluan ya, Jul. Mau ke toilet." Aku kembali tersenyum ke arahnya sebelum berjalan meninggalkannya.

"Huh." Aku menghembuskan nafasku dengan lega begitu kami sampai di toilet.

"Gila ya. Lo dikejer-kejer sama Julian loh, cowok paling ganteng di sekolahan ini. Tapi kenapa lo gak mau?" tanya Elena dengan nada tidak mengerti.

"Iya," timpal Violet yang sedang merapihkan rambutnya. "Gue heran sama lo. Kenapa lo kayaknya gak mau deket-deket sama dia sih?"

Aku menggelengkan kepalaku dengan pelan dan bersandar pada tembok. "Gue cuma gak mau terlalu deket sama cowok manapun aja sih."

"Kenapa? Lo pernah disakitin ya?" tanya Violet dengan perhatian.

Tanpa aku jawabpun, aku yakin mereka berdua mengerti apa yang kumaksud. Aku tidak mau terlalu dekat dengan Julian. Tipe laki-laki seperti Julian itu biasanya berpikir dia bisa mendapatkan perempuan mana saja yang ia suka. Dan jika aku sampai dekat dan suka pada Julian, pada akhirnya aku yang akan merasa sakit.

"Gue ngerti sekarang kenapa. Emang Julian ganteng, tapi gak menjamin dia bakal setia," ucap Elena sambil menepuk pundakku dengan pelan. "Tenang aja, kita bakal bantu lo jauh-jauh dari cowok kayak dia. Ya gak, Vio?"

"Yoi dong. Itu kan tugas kita sebagai sahabat. Melindungi sahabat kita dari cowok playboy yang kerjaannya cuma mainin hati cewek," balas Violet dengan serius.

Bibirku langsung tertarik ke atas. "Thankyou, guys. You are the best," ucapku sambil mengacungkan jempol.

"Yaudah, kita ke kelas aja. Bentar lagi bel. Lo tau kan pelajaran siapa abis ini," ucap Elena sambil membuka pintu dan membiarkan aku dan Violet keluar terlebih dahulu.

Aku menganggukkan kepalaku. "Si Bu Lani kan? Aduh, gue mau bolos aja deh rasanya," rengekku.

Masalahnya, aku memang malas bertemu dengan guru matematikaku. Dia pasti akan mencari-cari kesalahanku sehingga dia bisa menceramahiku di depan murid-murid lain. Maka dari itu, aku sangat tidak suka padanya dan juga pelajarannya.

"Kalau bisa sih, lo diem aja. Jangan ngapa-ngapain biar dia gak ngocehin lo," saran Violet.

Aku menghembuskan nafasku dengan berat dan menganggukkan kepalaku. Mau bagaimana lagi? Aku harus menghadapi Bu Lani. Lagipula, tidak mungkin aku bolos pelajarannya. Bisa-bisa aku tidak diizinkan masuk ke kelas saat pelajarannya selama satu tahun.

***

Begitu mendengar suara mobil yang masuk ke halaman rumah Tante Lily, aku langsung bangkit dari tempat tidurku dan berlari ke bawah dengan kecepatan cahaya. Aku sudah kangen sekali dengan Papa, Mama, dan Brandon. Sudah hampir satu bulan yang lalu terakhir kali mereka datang ke sini.

"PAPA! MAMA! BRANDON! HALO!" teriakku sambil berlari menghampiri mereka yang baru turun dari mobil.

Mama langsung menerima pelukanku dan tertawa. "Hai, sayang. Kamu makin cantik ya."

"Ah, Mama bisa aja sih. Ngegombalin anaknya sendiri," ucapku sambil melepaskan pelukanku.

Lalu, aku memeluk Papa. "Hai, Pa. Aku kangen," ucapku dengan manja.

Papa mengelus rambutku dengan lembut dan berkata, "tapi, Papa gak kangen tuh."

Aku mengerucutkan bibirku dengan sebal. "Jahat banget sih, Pa. Setidaknya boong dikit juga gak papa kali."

"Idih, Kak, lo ngarep banget dikangenin sama Papa," ucap Brandon sambil memutar kedua bola matanya.

"Brandon!!" teriakku dengan heboh sambil mencubit kedua pipinya yang tembem.

Ia refleks mengaduh kesakitan. "Kak! Buset dah ini pipi loh. Kira-kira dikit!"

"Gak papa dong sekali-sekali. Gue kangen tau cubitin pipi lo. Pipinya Ryder gak seempuk punya lo soalnya," ucapku sambil memberikan cengiran.

"Gila itu kakak lo. Pipi gue jadi korban tiap hari dicubitin dia," lapor Ryder dengan sebal.

Brandon tertawa. "Kasian deh lo. Pasti menderita jadi korban dia tiap hari."

"Tapi, kok kayaknya kamu kurusan sih?" tanya Papa sambil memperhatikanku dari atas sampai bawah.

"Iya tuh, dia katanya mau diet. Jadi, tiap makan itu dikit banget," sahut Tante Lily yang baru keluar dari dalam rumah.

Papa langsung menatapku dengan tidak setuju. "Kamu itu kan lagi masa-masa pertumbuhan, jangan diet-diet lagi."

Aku menganggukkan kepalaku. Saat ini, aku sedang tidak ingin mempermasalahkan itu. Yang terpenting adalah aku bisa bertemu dengan keluargaku.

"Udah, udah, ngapain berdiri di depan? Yuk, masuk ke dalem," ajak Tante Lily.

Kami semua mengangguk dan berjalan masuk ke dalam rumah.

"Rudy mana, Li?" tanya Mama saat kami sudah duduk di sofa.

"Oh, dia masih kerja. Bentar lagi juga pulang," jawab Tante Lily sambil berjalan menuju dapur.

Aku kembali memeluk Mama yang berada di sampingku. "Kangen, Ma."

Mama tertawa pelan dan mengelus rambutku. "Sama, sayang. Kamu sekolahnya gimana? Gak males kan? Gak bikin masalah apa-apa?"

Aku menggeleng. "Aku kan anak baik-baik, Ma."

"Alah, boong banget," sahut Brandon.

Aku langsung melempar tatapan tajam ke arah Brandon. Dari dulu sampai sekarang, ia masih sama menyebalkannya.

"Eh, Don, gue ada games baru. Mau liat gak?" tanya Ryder dengan semangat.

"Mau! Gue juga mau kasih tau lo soal games baru," balas Brandon tidak kalah bersemangatnya.

Mereka berdua pun bangkit dari sofa dan berjalan menuju kamar Ryder untuk bermain games di laptop Ryder. Tinggallah aku, Mama, dan Papa.

"Kamu apa kabar, Ra?" tanya Papa.

Aku mengangkat sebelah alisku. "Aku baik-baik aja kok. Sehat-sehat aja kayak yang Mama sama Papa bisa liat."

Papa menggelengkan kepalanya. "Bukan itu maksud Papa. Kamu tau kan, soal itu loh."

Ah, aku baru mengerti sekarang. Papa sedang menanyakan kondisi hati dan juga batinku mengenai kejadian tahun lalu.

"Udah lumayan sih, Pa. Cuma terkadang aku masih suka kebawa mimpi dan rasa sakit itu balik lagi. Aku bener-bener gak bisa ngelupain itu semua," jelasku dengan lemah.

Kurasakan usapan lembut di punggungku. "Kamu pasti bisa ngelewatin itu kok. Lagipula, kamu kan masih bisa tinggal di sini satu tahun lagi. Mungkin nanti kamu udah bisa balik ke rumah," ucap Mama sambil tersenyum.

"Iya, sayang. Pelan-pelan aja, kita gak ada yang maksa kamu buat pulang secepatnya kok. Santai aja," lanjut Papa dengan lembut.

Tiba-tiba saja mataku terasa perih. Aku sangat merasa bersalah sekarang. Papa dan Mama pasti menderita melihat kondisiku seperti ini. Sudah hampir satu tahun, tapi aku tidak mengalami kemajuan apa-apa. Aku merasa seperti orang yang tidak berguna.

"Minum dulu nih tehnya," ucap Tante Lily sambil membawa nampan berisi beberapa gelas teh.

"Brandon sama Ryder udah sibuk di kamar ngomongin games?" tebak Tante Lily saat menyadari mereka berdua sudah tidak bersama kami.

Aku menganggukkan kepala dan tertawa. "Biasalah, Tan. Kayak gak tau mereka aja."

"Oh ya, soal restaurant tempat Brandon mau rayain ulangtahunnya, udah aku reservasi ya, Kak," ucap Tante Lily pada Mama.

Mama menganggukkan kepalanya. "Thankyou ya, Li. Sorry harus ngerepotin kamu terus."

"Iya. Makasih banyak ya atas bantuan kalian selama ini," timpal Papa yang sekarang sedang mencari mengganti-ganti channel televisi.

Tante Lily tertawa. "Yaampun, kalian ini udah kayak orang asing aja sih. Kita kan keluarga, jadi apa salahnya kita saling bantu? Kecuali kalau aku gak kenal kalian, aku bakal minta bayaran disuruh ngurusin anak bandel kayak Kiara."

Aku mengerucutkan bibirku dengan sebal. "Aish, yang kena aku lagi. Aku salah apa coba?"

Mereka bertiga tertawa mendengar gerutuanku. "Tante bercanda kok. Yaampun, Kiara, kamu udah kayak orang PMS aja deh."

"Btw, nanti malem kita pergi makan aja ya?" tanya Mama. "Daripada kamu harus masak lagi, Li."

"Boleh. Nanti tunggu Rudy pulang baru kita berangkat," ucap Tante Lily bersamaan dengan terdengarnya suara mobil Om Rudy.

"Pas banget." Aku tertawa pelan.

Tidak lama kemudian, Om Rudy berjalan masuk ke dalam rumah dengan pakaian kerjanya. Ia langsung berjalan menghampiri Papa dan bersalaman.

"Udah lama sampenya? Sorry ya lama, kena macet," ucap Om Rudy sambil duduk di samping Papa.

"Gak papa, Dy. Santai aja," sahut Mama.

"Ra, panggilin Brandon sama Ryder gih. Bilangin kita mau pergi makan malem, terus kamu ganti baju juga," ucap Tante Lily.

Aku menganggukkan kepalaku dan berjalan menuju kamar Ryder. Mereka berdua sedang asik duduk di depan laptop saat aku masuk.

"Ganti baju ya. Bentar lagi kita mau pergi makan," ucapku sebelum keluar lagi dari kamar Ryder.

Lalu, aku menaiki tangga dan masuk ke dalam kamarku. Aku memilih-milih baju di lemariku. Dan keputusan akhirku adalah memakai dress bergaris hitam putih dengan lengan seperempat. Setelah itu, aku memakai bedak dan memoleskan lipbalm berwarna merah ke bibirku.

Begitu aku turun ke bawah, mereka semua sudah berkumpul dan siap untuk pergi. "Yuk, sorry aku lama."

"Emang lama lo, ganti baju aja lama bener," sindir Brandon.

Aku menatapnya dengan tajam. "Namanya juga cewek. Pasti lama lah siap-siapnya."

"Udah, kalian baru ketemu aja udah berantem berapa kali. Mending kita berangkat sekarang," saran Papa.

Kami mengangguk dan berjalan keluar rumah. Kami memutuskan untuk memakai mobil Papa dan berangkat menuju tempat yang direkomendasikan oleh Om Rudy.

"Eh, Don, tau gak sih? Gue ada tetangga baru!" ucap Ryder dengan heboh saat kami sedang menunggu makanan kami tiba.

Brandon mengangkat sebelah alisnya. "Loh? Oma Debbie emang pindah kemana?"

"Nggak, Oma Debbie gak pindah. Cuma sekarang ada cucunya. Seumuran Kak Kiara gitu, ganteng loh! Dia juga jago bikin surat cinta," jelas Ryder dengan heboh.

Aku memutar kedua bola mataku. Terkadang aku heran dengan Ryder. Dia kan laki-laki, tapi kenapa mulutnya seperti perempuan? Dia suka sekali menggosip dan juga bawel. Koreksi, bawel sekali. Bahkan, tingkat kebawelan dia melebihi aku yang perempuan.

"Serius?" tanya Mama yang kelihatannya tertarik dengan topik tetangga baru.

"Iya, memang cucu Oma Debbie sekarang tinggal sama dia. Soalnya tuh orangtuanya sibuk gitu, jadi gak ada waktu ngurusin dia," jelas Tante Lily.

Ryder mengangguk lalu melirikku. "Aku kan suruh Kak Kiara kenalan, tapi dia gak mau. Padahal Kak Axelnya itu pengen kenalan sama Kak Kiara."

Kedua mataku langsung melebar mendengar perkataan Ryder. Kenapa dia harus mengatakan hal itu pada semua orang? Memangnya salah jika aku tidak mau berkenalan dengan Axel Axel itu?

"Kenapa? Emangnya kenapa kalau aku gak mau kenalan sama dia?" tanyaku saat mereka semua menatapku dengan pandangan bertanya.

Brandon yang pertama kali tertawa. "Emang kenapa gak mau? Kan lumayan ganteng. Siapa tau lo kepincut."

"Nggak, gue gak mau deket-deket sama cowok manapun," balasku dengan tajam.

"Yaudah, tapi setidaknya kamu kenalan gitu. Dia kan bakal jadi tetangga kamu juga," ucap Papa dengan jahil.

Aku memutar kedua bola mataku dengan malas. "Yaudah, nanti kalau aku ketemu dia, aku bakal kenalan."

Lalu mereka semua tersenyum ke arahku. Aku heran, kenapa mereka semua ingin sekali aku berkenalan dengan Axel? Mereka tidak berkerja sama dengan Axel bukan untuk membuatku melupakan masa laluku? Ah, tidak mungkin.

Continue Reading

You'll Also Like

536K 6.6K 23
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.3M 76.1K 53
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
12.8K 1.7K 7
Season 2 dari Figh For Happiness Sebelumnya, Hito secara terus menerus mendekati Ines, mengajaknya perempuan itu balikan hingga menikah. Namun ketika...
913K 3.7K 2
Tentang kita yang terbelenggu pada sesak dan rusuhnya jalan di depan sana. Ingin melupakan kilas lama yang sama, ingin menarik agar semua itu musnah...