Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[35] Run Away

4K 223 6
By Shinyrainy

"Bahwa sesuatu yang sangat jauh pun, bisa jadi sangat dekat kalau takdir yang mendekatkannya"

***

"BISA KECILIN NGGAK LAGUNYA!"

As you see, itu kalimat perintah alih-alih kalimat tanya. Dilla, di kamarnya yang dulu juga kamarku, menyetel lagu All I Ask dengan volume yang cukup menggelegar sampai ke kamarku yang ada di seberang kanan kamarnya. Iya, aku mungkin akan membiarkannya kalau suasana hatiku sedang dalam keadaan baik. Tapi sayang, entah kenapa sejak bangun tidur moodku hancur.

Seperti ada sesuatu yang mengganjal, dan aku sama sekali tidak tahu apa itu.

"LAGUNYA NGGAK BISA DIKECILIN, VOLUME TAPE NYA BARU BISA"

Kenapa sih, Dilla harus menjengkelkan di saat-saat seperti ini?

Aku mendengus berlebihan sambil melenggang menuju meja kerja kak Tania, yang masih bertengger di pojok dekat jendela. Dengan mudah, aku menaiki meja itu dan duduk di sana. Membuka jendela lebar-lebar seraya merasakan semilir angin pagi dan sinar mentari yang menghangatkan.

Tapi itu tetap tidak membuat suasana hatiku membaik.

Drrrrttt drrrrttt

Aku mengumpat sendiri meraih ponsel yang ada di meja, di samping meja yang aku duduki. Sebelum aku sempat menemukan pesan siapa yang masuk ke ponselku, mataku tertaut pada wallpaper display yang baru aku ganti semalam.

Foto itu membuatku akhirnya menarik senyum. Ya, itu fotoku bersama Regen kemarin. Dan kami benar-benar terlihat manis disana.

From: Regan.

Morning rabbit, breakfast?

Senyumku, tanpa sadar semakin lebar mendapati satu SMS menyangkut dengan atas nama Regan. Sebut aku murahan, ini terjadi secara spontan. Aku, sangat sangat sangat bahagia ketika bersama Regen. Tapi aku, sangat sangat sangat merasa spesial ketika bersama seorang Regan.

Lupakan, aku yakin lambat laun hatiku akan memilih.

Atau... sebenarnya aku sudah punya pilihan?

To: Regan

Morning Horse, sayangnya udah:(

Tepat di detik ke sepuluh, Regan membalas pesanku dan sontak membuatku mengernyit.

From: Regan

Yah, padahal gue udah bawain bubur nih.

Dengan panik, aku turun dari meja dan membuka pintu balkon selebar-lebarnya. Kepalaku lantas menunduk ke bawah, menemukan sosok Regan dengan dua plastik bening yang bisa aku pastikan itu isinya bubur ayam.

Dia berdiri, di sana.Tersenyum manis yang refleks membuatku membalas senyumnya. Perlakuan Regan membuat aku sejenak mengenyahkan atas pernyataan cintanya tempo hari yang belum benar-benar aku jawab. Well, kalau Regan pikir apa yang aku katakan waktu itu bukan termasuk penolakan.

Aku menatapnya bertanya ketika sudah mendarat di lantai satu, masih dengan piyama tidur. Regan malah semakin menarik sudut bibirnya.

Mungkin juga aku tidak perlu terlalu memikirkan pernyataan itu dan membiarkan semuanya mengalir seperti air. Biar aku dan dia begini, untuk saat ini. Cukup.

"Mau sarapan lagi nggaaak?"

Aku memutar kepala, mengedarkan mata keseisi rumah. Sepi, Mama mungkin ke pasar dan kak Litha sibuk di kamar dengan skripsinya.

"Emmmm... gue udah sarapan sih" kataku pura-pura kecewa, "tapi kayaknya bubur enak juga" Tanganku dengan tidak sopannya merebut dua kantung plastik di tangan Regan dengan sekali sentakan. Membuatnya terenyak, tapi sedetik kemudian tergelak.

Tanpa ragu, di masuk dan duduk di ruang tamu rumahku sementara aku sibuk mengambil mangkuk.

***

"Mel.."

Aku mengangkat wajah dari bubur mendengar panggilan Regan.

"Apa?"

Dia menghela napas. Mengelap mulutnya dengan tissue lalu menatapku lamat-lamat.

"Yang tempo hari gue omongin... nggak usah dipikirin ya. Gue cuma nyatain dan nggak perlu lo ambil pusing. Kita sahabatan udah lebih dari cukup kok buat gue"

Hatiku sedikit terusik. Ada rasa menyesal karena telah menolaknya secara halus, ada rasa trenyuh, dan sedikit kecewa mendengar Regan seperti menyerah.

Aku ikut mengelap tangan dan mulutku dengan tissue, menyentuh punggung tangannya yang bebas.

"Lo tau lagu One Call Away nya Charlie Puth nggak?"

"Hm" Regan menatapku serius.

"Liat video clipnya? Dia ganteng gila loh"

"Jehh, sekilas doang, gue jarang nonton gituan, siih"

Bahuku berjengit seraya menarik tangan untuk kembali meraih sendok. Melanjutkan makan,

"Terkadang, yang spesial bakal kalah sama yang selalu ada" ucapku sebelum kembali melahap bubur beserta sate telurnya.

Regan masih menatapku lamat-lamat, tersenyum, lalu terkekeh dan akhirnya terbahak-bahak. Aku melihatnya kesal, ini orang lagi serius dia malah ketawa gaje gitu. Perusak momen banget tau nggak.

Mataku lalu beralih pada ponsel yang tepat tergeletak di samping mangkuk. Ada satu chat masuk dari Bian. Oh, anak itu apa kabar ya?

"Gue nggak mau doa yang jelek jelek buat lo sama Regen, tapi gue berdoa supaya gue masih punya kesempatan"

Bian: Liat kotak pos di depan rumah? Janji, kabarin gue dulu kalau udah tau isinya!

"Eh Reg, gue kedepan dulu ya. Kayaknya ada surat masuk"

Regan lantas mengernyit sementara aku melenggang ke arah kotak kecil yang bertengger manis di samping pagar.

Bian kenapa ya? Tanpa aku tahu, Regan juga penasaran dan mengikutiku ke halaman depan rumah.

Dengan jantung yang entah kenapa berdegup kencang, aku membuka kotak itu dan segera menemukan beberapa surat dengan amplop yang berbeda-beda.

Dan dari itu, ada satu yang menarik perhatianku.

Aku hampir terlonjak mendengar bunyi telepon masuk yang ternyata dari Bian. Dengan cepat menekan tombol hijau.

"Halo, maksud lo apaan sih Bi?"

Bian mendesah keras di seberang sana dan menambah kadar kebingunganku.

"Buka amplop krem yang nyatu sama buket krisan"

Mataku semakin mengerjap bingung. Kepalaku kembali melongok ke dalam kotak dan menemukan sebuket bunga krisan bersama sebuah amplop manis berwarna krem. Omong-omong, kenapa aku tadi tidak melihatnya ya? Ah,Ody yang linglung.

Dengan jantung yang semakin berdetak tidak karuan dan ponsel di antara telinga dan dagu, aku membuka surat itu. Awalnya, aku mengira surat itu adalah surat undangan biasa.

Tapi dugaanku ternyata salah besar.

Itu undangan pertunangan. Napasku tanpa sadar tersenggal mendapati nama itu. Langkahku mundur.

Ini mimpi. SIAPA PUN KATAKAN PADAKU INI MIMPI?!

Kalau ini bukan mimpi, ini terlalu mengejutkan. Kalau ini bukan mimpi, ini terlalu tiba-tiba. Apa ada, kenyataan yang setiba-tiba ini? yang semengagetkan ini?

Lambat laun, aku merasakan kepalaku dihantam batu tak kasat mata. Kakiku mrndadak lemas.

Kenyataan apa yang seaneh, semenyakitkan ini?

Tubuhku terkulai jatuh di atas rumput yang basah dilapisi embun pagi. Tapi tidak, itu tak pernah terjadi karena tangan Regan yang besar lebih dulu menangkap dan membawaku kepelukannya.

Lalu gelap.

***

Raka sedih anak sulungnya harus berkorban. Ia tahu INI pengorbanan untuk Regen, tidak, lebih tepatnya untuk hati Regen. Anaknya yang sempat tidak ia anggap sebagai anaknya, malah menjadi yang paling depan ketika dia terpuruk.

Sudah sejak tiga bulan yang lalu, perusahaannya terus menerus ambruk dan mengalami banyak kerugian. Dan itu jelas ulahnya. Kalau, kalau saja ia tidak egois dan mudah termakan tipu, mungkin ceritanya tidak akan begini.

Dan anaknya telah pasti tidak akan menjadi korban.

Tapi, tidak ada yang bisa di ubah dalam segala yang telah lalu. Raka sudah terlanjur ditipu oleh anak buahnya sendiri, semua harta kekayaannya semakin habis. Sampai dia bertemu Andri dan pria itu dengan senang hati menawarkan bantuan untuknya.

Andri mengganti lebih dari 2 Milyar kerugian perusahaan, dan memberinya modal untuk kembali melanjutkan usaha dari awal. Pria yang ia kenal sebagai teman SMA nya yang sukses itu, dengan senang hati mengulurkan bantuan. Dan Raka tidak punya daya apa pun untuk sekedar menolak.

Meskipun satu anaknya harus menjadi korban. Lagi,

Andri yang super protektif, tidak mau anak sematawayangnya, Livia Luciana, mendapat laki-laki yang tidak sesuai kriteriannya di kemudian hari. Maka sebagai ganjaran atas segala bantuannya, Andri meminta Raka memasangkan salah satu putranya dengan anaknya itu.

"Regen, kamu nggak papa?"

Regen membulatkan mata menatap Papanya kemudian tersenyum kecil. Biar bagaimana pun, darah tidak bisa berbohong kalau dirinya adalah anak dari sorang Raka Radian.

"Aku oke kok pa" jawab Regen sambil membetulkan kancing jas hitamnya.

Ini mungkin bukan sebuah pesta pernikahan, tapi untuk ukuran keluarga Livia yang konglomerat, hari jadi pun mungkin bisa jadi lebih meriah.

Yang Regen tahu, Livia hanya ke sekolah dengan motor matic biasa. Sama sekali tidak mencerminkan anak seorang milyarder.

"Reg" sebuah suara muncul dari balik pintu. Bian, dengan setelan jas biru tua dan celana bahan, membuat dia terlihat lebih dewasa dari umurnya. Raka yang menyadari tatapan anak keduanya itu, seolah langsung mengerti hingga beranjak. Menyisakan Regen dan Bian berdua. Meninggalkan dua kakak beradik itu.

"Gue udah kasih tau Ody"

Jantung Regen saat itu seolah dihempas ke bawah. Jujur, ia merasa apa yang ia lakukan pada Melody kemarin adalah pemberian harapan palsu paling hebat sepanjang masa. Toh pada akhirnya mereka tidak akan pernah bisa bersama karena keadaan memaksanya memilih Livia.

Kalau Regen tidak melakukan ini, bagaimana nasib keluarganya 'kan?

"Gue ngerti perasaan lo. Merasa bersalah sekaligus lega, Right?" Bian menepuk pundak kakaknya satu-satunya itu bersahabat. "Kalau gue bisa, gue pasti udah gantiin posisi lo sekarang, kak"

Kak? Ada rasa hangat ketika Regen mendengar perkataan itu. Seolah keluarganya telah kembali. Seolah adiknya telah kembali.

Regen malah balas meninju pundak Bian pelan. "Emangnya lo mau putus sama Ranya?!"

Karena ada beberapa kebahagian, yang hanya bisa didapatkan dengan pengorbanan melepaskan kebahagiaan lainnya.

***

"And I'm feeling so small, it was over my had I know nothing at all. Regan?"

Regan menolehkan kepalanya, menatap Melody dengan pandangan bertanya. Siang ini, langit mendung menggantung di kota Jakarta. Membuat udara lantas menjadi sejuk meskipun semua orang mesti siap kalau-kalau hujan tiba-tiba datang. Apalagi sekarang mereka di rooftop. Ya, setelah lima belas menit pingsan, Ody akhirnya sadar dan entah kenapa langsung mengajaknya kesini.

Rooftop gedung tempat sekolahnya mengadakan Prom Night tempo waktu.

Dan mereka duduk di sisinya dengan kaki menggantung ke bawah, agak nekat sebetulnya.

"Kenapa rasa sakit itu nggak pernah mau berhenti ya?" Tanya gadis itu, mengulurkan tangan menatap buket bunga krisan putih kiriman seorang Regen.

Ya. Regan tersenyum getir. Melody-Regen memang ada 'sesuatu' , seperti dugaannya.

"Dan kenapa rasa sakit selalu menuntut untuk dirasakan?"

Melody memetik sebuah bunga krisan dari buket itu lalu menjatuhkannya hingga bunga itu sukses mendarat di lantai dasar. Memetik lagi, lalu menjatuhkannya lagi. Terus seperti itu sampai hanya tinggal tangkai-tangkainya yang tersisa.

Dia tidak menangis, catat, Regan tahu Melody bukan tipe perempuan yang gampang menangis. Dia murung, jelas. Tapi disela itu juga dia berusaha menunjukkan senyum tegarnya.

Regan nyaris berjengit kala sesuatu memberatkan bahu kanannya. Ternyata Melody, gadis itu menyandarkan kepalanya ke bahu Regan. Merasakan semilir angin yang menyentuh lembut wajahnya yang sayu.

Bagi Regan, segini juga sudah cukup.

"And I will stumble and fall, I'm still learning to love, just starting to crawl" Regan malah melanjutkan lagu yang tadi dinyanyikan Melody alih-alih memjawab pertanyaannya. "Semuanya udah punya aliran masing-masing Dy, takdir mengaturnya sedemikian rupa. Dan... sesuatu yang sangat jauh pun, bisa jadi sangat dekat kalau takdir yang mendekatkannya"

Kalau yang mendengar bukan Ody, barangkali orang itu tidak akan menangkap apa yang dimaksud oleh perkataan Regan.

"Senggakmungkin apa pun itu?" Melody tetap bertanya, meskipun ia tahu pasti jawaban Regan hanya akan membuatnya semakin sakit.

Regan mengusap pucuk kepala Ody penuh kelembutan. Wangi samphonya yang lembut, memenuhi indra penciumannya lantas memberi kenyamanan. Hatinya menghangat. "Gue nggak tau tepatnya"

Dan setelah kalimat yang Regan lontarkan, bunyi langkah kaki mendekat membuat keduanya refleks menengok. Tangan Regan langsung terulur menjaga punggung Melody, takut-takut perempuan itu terkulai lagi. Di belakang mereka, Regen dan Livia menatap terpaku.

Regen dengan jas hitam yang dihiasi mawar palsu di saku atasnya, dan Livia dengan gaun putih polos berpuring di bagian rok. Regan sangsi mengakui, tapi mereka, benar-benar terlihat serasi.

Dan di sini, mereka berempat. Di rooftop yang pernah menjadi saksi berakhirnya satu konflik dan sakit hati yang berujung pada keputus asaan. Di sini, mungkin bumi akan berhenti berputar sejenak.

Mata Regen yang hitam menatap mata coklat terang gadis itu lurus-lurus. Membuat timbunan rasa bersalahnya semakin menumpuk, menumpuk, dan menumpuk menyisakan rasa sesak. Di hidupnya, kenyataan tak selalu sejalan dengan keinginan. Mungkin kenyaatan yang diterima Melody lebih buruk.

Maka mulutnya berujar pelan.

"Maaf, Melo"

Lalu gadis itu bangkit bersama Regan di sampingnya yang seolah terus menjadi penjaga.

"Ody" Livia ikut berseru lirih. Air matanya sudah merebak mendapati sahabatnya, Ody, dengan wajah lesu yang tidak bisa digambarkan. Sebut Livia penghianat, sebut dia perusak, sebut dia berengsek! Livia ingin saat ini juga Ody menamparnya dan memakinya sampai seluruh tubuhnya kebas. Livia mau sekarang juga Ody menyalahkannya, menyalahkan orang yang hanya bisa bungkam menghadapi kenyataan ini.

Menyalahkan dia yang tidak bisa melanggar seluruh perintah orang tuanya.

Tapi air mata dan marah sepertinya masih bergemung di dasar benak seorang Melody. Gadis itu berjalan dengan bibir digigit. Seolah tidak ada apa pun yang terjadi dan pertunangan Livia-Regen hanya pertunangan biasa.

Mereka tidak tahu, di dalam hatinya ia sedang berusaha melawan keinginannya untuk terjun ke lantai dasar.

Regan hanya mengamati semua itu dalam diam.

"Liv..." Tangan Melody menyentuh tangan Livia seraya tersenyum, kelu.

"Regen..." giliran tangan kirinya menyentuh tangan Regen dan menyejajarkannya dengan tangan Livia.

Lalu tangan itu segera Melody satukan. Membuat keduanya-ketiganya barangkali, hampir-hampir terpekik melihat tindakanhnya.

Begitu, tapi Regen tahu jelas. Mata gadis itu menyiaratkan luka yang begitu dalam.

Untuk sesaat, Melody terpaku menatap tangan itu kini saling menyatu. Livia, Regen, kejutan bukan?

"Kalian..." Ody menarik napasnya. "Congrast" dan tangan itu dia lepaskan pelan-pelan. Lambat tapi pasti, di berjalan meninggalkan rooftop menuruni tangga yang berbelok membentuk lingkaran. Panggilan terdengar bersamaan derap langkah orang-orang mengejarnya, namun justru membuatnya semakin mempercepat langkah.

Dia berjalan, semakin cepat lagi, lebih cepat lagi, kemudian dia berlari.

Melody berlari. Membuat apa yang ada di depannya lantas menjadi ada di belakangnya. Mencabik-cabik segala topeng dusta yang selama beberapa detik tadi dia gunakan di depan kedua orang berharganya. Berusaha melepas segala kepedihannya sekalipun pedih itu tak kunjung mau terlepas.

Di sisi lain, Regen menatap buket bunga krisannya yang hancur berantakan dengan hujaman rasa bersalah.

***

A
19/7/16

Continue Reading

You'll Also Like

56K 9.8K 9
"Pak." "Pak." "Ya, dek?" "Martabak coklat kacang 1." "Martabak coklat kacang 1." "Kok lo ngikutin gue, sih?" "Dih, enak aja. Lo yang ngikutin!" Inspi...
9.3K 888 5
"but in fact, no storm can separate us"
787K 53.1K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
1.1K 55 12
Sebuah kisah yang aku abadikan lewat tulisan. Latar belakang cerita berasal dari real storyku. Cerita ini menceritakan perjalanan untuk mencapai keti...