If Loving You is Wrong

Por rrkimly

36.3K 2.3K 433

Kaia pernah sangat mencintai Tristan. Itu sebelum Tristan menyakitinya sampai pada titik Kaia tidak bisa mema... Más

Satu - Tragedy
Dua - Hardest Days
Empat - A Gift
Lima - Cinta yang Berubah Rupa
Enam - Arrow
Tujuh - Dusta
Delapan - Heart of Glass
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
[Kapan ilyiw update?]
Duabelas
Tigabelas
Empatbelas
limabelas
enambelas_
tujuhbelas [a]
tujuhbelas [b]
delapanbelas
sembilanbelas
duapuluh
duapuluhsatu
duapuluhdua
duapuluhtiga
duapuluhempat
duapuluhlima

Tiga - Kembali untuk Pergi

3.6K 227 28
Por rrkimly

Kania Kusuma Adhirajasa. Laras menyelipkan 'kusuma' di dalam nama anak sulungnya dengan harapan gadis itu tumbuh seperti bunga, cantik, wangi, menyenangkan hati dan mampu melindungi diri. Yah, Kania memang tumbuh demikian, setidaknya dia cantik seperti bunga mekar yang mengundang kumbang-kumbang untuk mendekati. Meski kulitnya putih pucat, dia memiliki bibir tipis berwarna cerah, rambut sebahu yang ikal dicat sewarna almond dan iris hazel yang diturunkan oleh Laras padanya.

Kania memiliki semua material yang diperlukan pria untuk mencari istri. Salah satunya, Kania suka memasak. Karenanya dulu Kania memaksa Yudha untuk mengizinkan dirinya sekolah keluar negeri untuk bisa belajar memasak. Yudha sebenarnya lebih suka Kania meneruskan usaha konstruksi bersama suaminya kelak. Namun, Kania memenangkan kompetisi ini. Menghabiskan waktu tiga tahun di Itali, Kania kembali dan bekerja sebagai chef di hotel milik keluarga Adhirajasa. Itu sebabnya, di rumah Kania lah yang lebih sering memasak meski pun mereka punya Bi Surti.

Seperti saat ini misalnya. Kania sedang menyiapkan makan malam untuk keluarganya – karena dia anak dari pemilik hotel, Kania sedikit memiliki waktu yang leluasa untuk bekerja. Semua tergantung padanya. Untunglah, kepala chef tak masalah akan hal itu. Tangan itu dengan lincah mengiris daun bawang di atas talenan. Terkadang tangan yang lain sibuk membuka panci memastikan apa yang direbus di dalam sana sudah matang atau belum.

"Kak..."

Suara memanggil itu membuat Kania menoleh. "Loh, Kaia?"

Adiknya itu tersenyum, sangat jelas bahwa dipaksakan.

"Aku boleh bantu Kak Kania masak?" tanya Kaia ragu.

"Tentu!" Mata Kania membulat senang. Jelas saja, setelah berminggu-minggu mengurung diri di kamar akhirnya Kaia bersedia menemani dirinya memasak lagi. Seperti yang dulu sering mereka lakukan. "Ah! Kamu bisa bantu Kakak potong bayamnya." tukas Kania hampir menumpahkan sesuatu karena terlalu girang.

Kaia mengangguk lalu meraih sekantong bayam yang tadi dibeli Kania di supermarket. Kania memperhatikan Kaia yang memetik daun-daun bayam dengan pandangan kosong. Gadis ini adalah adik kesayangannya. Satu-satunya yang dia punya. Dan, kini sedang ditimpa masalah yang begitu berat, membuat Kania meraba dada yang sesak. Dia yakin pasti semua wanita tidak ingin mengalami hal seperti itu. Hal pertama yang ingin dilakukan saat mendengar musibah itu adalah menampar wajah Tristan. Lelaki yang telah melukai Kaia.

Dia ingat satu minggu yang lalu Kaia mengadu padanya bahwa dia tidak ingin menikah dengan Tristan. Yah, menikah dengan Tristan sama saja mendorong Kaia ke dalam lubang derita. Tapi, Kania tahu bahwa hal itu juga mampu menyelamatkan Kaia. Dia memberitahu seluruh alasan yang ia bisa pada Kaia agar mau menikah dengan Tristan. Kania tahu bahwa Kaia merasa tak enak padanya karena sebenarnya Tristan adalah mantan calon suami kakaknya. Meski dia juga yakin Kaia memiliki alasan yang lebih besar untuk membenci Tristan. Kita tidak perlu menyebut secara lugas.

Semenjak mengatakan semua itu pada Kaia, adiknya itu kembali mengurung diri. Seharian, tak mau memakan dan minum, Kania curiga dia juga tak mau tidur. Namun esoknya, Kaia keluar kamar untuk sarapan pagi di meja bersama keluarga. Sikapnya berangsur berubah, meski dingin dan tanpa banyak bicara, dia rutin makan bersama. Kemudian esoknya lagi, dia mulai memiliki kegiatan lain selain berdiam di kamar. Kaia membersihkan kamar tidur, mengganti tata letak barang dan menyusun kembali lemari pakaian. Di hari berikutnya lagi, dia membantu Laras berkebun. Dan hari ini, memasak...

***

Kaia hampir menyembur jus jeruk yang baru saja diminum saat melihat Kaia menuruni tangga dengan pakaian rapi, kemeja violet lembut dan celana kulot biru gelap. Wajah itu di dandani dengan make up ringan, terlihat cantik namun tak mampu menyimpan kelabu hatinya. Heelsnya berbunyi merdu ketika beradu dengan permukaan tangga yang terbuat dari kayu.

"Kamu mau ke mana?" tanya Kania saat Kaia sampai di dapur.

"Mau ke rumah sakit."

Kania mengernyit. "Sekarang? Kamu mulai mau masuk? Udah bilang sama Gama? Mau Kakak anter? Sekalian Kakak mau ke Primrose." Katanya menyebut nama hotel tempatnya bekerja.

"Nggak perlu bilang ke dokter Gama, dia nanti juga tahu kalo aku dateng." Kaia tersenyum tipis. "Dan, aku memang mau minta dianter Kakak."

Kania membalas senyum itu lega. Lalu menjawab, "Yaudah, kalo gitu kamu sarapan aja dulu. Kakak tungguin!"

Kania menatap Kaia terus-menerus selama sarapan berlangsung. Sarapannya tidak banyak, dia hanya menyantap dua lembar toast dengan siraman sirup mapel. Kania menawarkan untuk menggoreng sosis atau bahkan memasakkan nasi goreng untuk Kaia, namun gadis itu menolak dengan gelengan sopan dan senyum samar. Untung saja, Kaia mau meminum susu jeruk yang diracik Kania. Minuman favorit Kaia itu selalu berhasil.

Mereka berangkat dengan Ford Everest milik Kania. Bukan Yudha tak mau memfasilitasi Kaia dengan mobil seperti yang diberikan pada Kania. Hanya saja Kaia tidak bisa menyetir, dibanding Kania, Kaia lebih penakut. Disuruh belajar sepeda saja dia menyerah apalagi menyetir mobil. Biasanya, Kaia mengandalkan jasa taksi atau jika Kania memiliki waktu, dia yang akan menjemput. Ada lagi yang biasa diandalkan, Bian rekan seperjuangan Kaia biasanya membawa motor dan bersedia memberi tumpangan pulang.

"Sampaikan salamku pada Gama! Bilang dia harus bales pesanku!'' teriak Kania seraya melambai-lambai dari dalam mobil lalu pergi.

Kaia membalas lambaian itu, menatap mobil Kania yang makin lama makin menjauh. Ada ketakutan yang datang, yang mungkin karena dia merasa kehilangan perlindungan dari Kania. Ini kedua kalinya dia keluar rumah sendirian – pertama saat dia membeli sesuatu di minimarket di komplek rumahnya – dan jaraknya sangat jauh dari rumah. Kaia merasa rumah sakit 'Cinta Sehat' berubah menjadi tempat asing setelah kurang lebih satu tahun dia menjadi seorang residen di sini. Halaman rumah sakit penuh dengan mobil. Dengan melihat sebuah mobil yang melintas di depan wajah saja sudah membuatnya cukup ketakutan. Takut, jika mobil itu berhenti dan menculiknya lagi.

Kepalanya menggeleng, menyadarkan bahwa hal seperti itu tak mungkin terjadi. Dengan penuh keyakinan, Kaia melangkah. Sepatu itu beradu dengan lantai rumah sakit, beberapa perawat dan dokter yang melihat langsung menatap dirinya heran. Kaia bisa menilai pandangan–pandangan itu. Kurang lebih, 'akhirnya Kaia masuk juga,' atau 'seenaknya saja, mentang-mentang residen kesayangan dokter Gama,' atau 'baru residen sudah berani bolos selama itu,'. Kaia tak mempedulikan hal itu kemudian berjalan lurus ke arah meja resepsionis yang ada di lobi rumah sakit.

"Pagi Nay, kamu lihat dokter Bian?" tanya Kaia pada salah satu perawat yang dia kenal, Naya

"Coba cari aja di PICU (pediatric intensive care unit), tadi dia dipanggil sama dokter Gama buat nanyain kondisi pasien." Jawab gadis ayu itu, tampak tak menilai seperti orang lain. "Dokter Kaia udah sehat? Katanya dokter Kaia sakit makanya nggak masuk? Tapi, keliatannya dokter masih lemes deh."

Kaia melempar senyum samar. "Yah, aku sudah nggak apa-apa. Thanks ya... aku pamit dulu. Mau nyerahin tugas ke dokter Gama."

Kaia melambai, seraya melimbai berjalan meninggalkan meja resepsionis. Namun langkahnya terhenti tiba-tiba seperti robot yang kehabisan daya. Matanya melotot, nafasnya sesak, air mata memaksa merangsek keluar dan dadanya sakit tak terhingga. Dengan tubuh yang menegang itu dan mata berair, Kaia memandang lurus ke arah pintu masuk rumah sakit. Pria itu berjalan dengan penuh percaya diri, bergerak terus hingga lewat beberapa meter ke depan. Kaia menatap pria itu tanpa bisa terlepas sedetikpun. Bukannya ingin, tapi karena dia terlalu syok. Terakhir kali dia bertemu dengan pria ini adalah di mana malam durjana itu terjadi. Tristan, apa yang dilakukan pria itu di sini?

***

"Jantungmu sehat, kok." Gama meletakkan transducer ke tempatnya semula. Lalu memberikan dua lembar tisu pada Tristan untuk membersihkan gel di dadanya. "Lain kali konsultasi lah dengan ahli jantung." Lanjutnya sebal. Mata sipit itu memperhatikan Tristan yang membersihkan gel lalu memasang kembali kancing kemeja yang terlepas.

Tristan meremas tisu lalu membuang benda itu di kotak sampah yang ada di dalam ruangan. "Kenapa harus sama orang lain? Kamu juga ahli bedah, penyakit dalam. Dan selagi kamu punya benda itu."

Tristan menunjuk ekokardiografi yang tadi digunakan Gama untuk memeriksa jantungnya. Salah satu ekokardiografi yang menganggur di rumah sakit ini, termasuk yang teronggok di ruang penyimpanan obat. Setiap kali Tristan datang berkonsultasi, mereka pasti ke ruangan penyimpanan obat. Semuanya karena Tristan tidak suka menjadi diperiksa oleh sembarang orang dan dia ingin bisa berkonsultasi kapan pun ia mau tanpa terbatas waktu. Dan itu hanya bisa dilakukan Gamaliel, temannya.

"Ya, ya, tapi aku spesialis bedah anak!" keluh Gama sebal. "Omong-omong kenapa kamu periksa? Tumben, biasanya harus diingatkan dulu baru mau periksa. Kamu stres belakangan ini?"

Tristan berdecak, dia membenahi posisi menjadi duduk. Lalu berucap, "Johan itu.. dia penghianat busuk. Harusnya aku dengar kata-katamu..."

"Kenapa? Memangnya ada apa?"

Wajah Gama berubah serius, menanti cerita yang telah dilewatkan olehnya. Tristan jarang bercerita jika tidak hal yang mengganggunya tidak menekan dan membuat kondisi tubuhnya berubah buruk. Melihat wajah Tristan yang serius, pastilah masalah itu seserius ekspresi wajahnya.

"Dia merencanakan hal busuk untuk membatalkan tender yang kami menangkan." Tristan kelihatan ragu. Namun, kepercayaannya pada Gama meyakinkan untuk mengatakan semuanya. "Johan..." katanya mengawali kalimatnya, lalu melanjutkan, "...ngasih minumanku obat perangsang, dia menyekap aku berdua dengan Kaia dan... aku maksa Kaia melakukannya."

Gama melotot. "Apa?! Maksudmu, Kaia?! Kaia Kamitha Adhirajasa adiknya Kania?!" suaranya meninggi, urat-urat menegang di leher dan pelipisnya.

"Iya..."

"Tris!"

Gama hampir bergerak dengan tangan yang terkepal. Namun, kalimat Tristan selanjutnya langsung menghentikan gerakannya.

"Aku akan menikahi dia..." Tristan menatap Gama serius. "Aku tahu kamu mau mengataiku brengsek. Kamu pasti mau nonjok aku, kan? Kaia sudah seperti adikmu..." lanjutnya dengan suara rendah. "Waktu itu aku di luar kontrol. Aku sudah tahan sebisaku, tapi mereka lebih pintar. Aku nggak tahu obat jenis apa yang dia kasih. Yang jelas kamu pasti paham, susah untuk meredam semua itu. Sekarang, mereka semua memandang aku brengsek, Pak Yudha, Tante Laras, Kania... Cuma kamu yang mungkin bisa paham."

Nama 'Kania' yang terdengar sangat sendu keluar dari bibir Tristan membuat Gama mau tak mau mereda amarahnya. Yah, dia bisa mengerti bagaimana berat posisi Tristan yang terlihat sangat salah. Dia tahu, memang Tristan salah, namun, tidak ada yang sudi melihat dari sudut pandang Tristan.

"Sudah ku bilang dia brengsek. Harusnya kamu pecat dia dari dulu... siapa juga yang mau mempekerjakan musuh kayak kamu..." Gama berdeham, mengembalikan posisi duduk menjadi lebih rileks. Bersandar di sofa yang dia duduki.

"Kerjaan dia bagus... Coba kamu bayangkan kalau ada yang mau masuk ke rumah sakit Cinta Sehat, dia pernah kerja di Johns Hopkins dan track recordnya bagus. Apa mungkin kamu nggak setuju?"

Gama menggeleng. "Nggak tentu, tapi, untuk ukuran orang tamak dan nggak pernah puas kayak dia. Nggak pernah suka berada di bawah bayang-bayang kamu. Dia juga pengen jadi nomor satu. Dan dia bisa melakukan apapun termasuk memfitnah kamu. Ditambah dia suka Kania yang hampir jadi istri kamu. Yah, siapa yang nggak suka Kania." Tristan menggedikkan bahu, sejenak mengulum bibir kurang kerjaan.

"Ada, kamu."

Tristan melirik Gama di sebelahnya. Membuat Gama memutar bola mata.

"Okay, nggak usah dibahas." Gama mengangkat tangan tanda menyerah.

Tristan tersenyum skeptis. "Semenjak hari itu Johan nggak pernah lagi muncul di kantor."

"Yah, dia memang selalu pengecut. Aku nggak heran..."

***

"Gimana, Kayla? Udah enakan belum? Tadi nasinya diabisin apa nggak? Kalo nggak nanti dokter suntik pake suntik pake suntikan gajah, loh." Tanya Bian sembari memeriksa mata dan warna kulit Kayla, gadis tujuh tahun yang menjadi pasiennya. Lalu mencatat di atas kertas yang sudah dilapisi papan agar dia lebih mudah menulis. "Aw! Kenapa sih cubit-cubit?!" erangnya menoleh pada gadis yang telah tega menyakitinya.

"Kamu nggak boleh nakutin anak-anak!" tukas Kaia. Lalu menggerakkan kepala sebagai tanda agar Bian melanjutkan tugasnya. Sekarang, dia sedang mengikuti Bian melakukan pemeriksaan rutin sore hari di Bangsal Anak, tempat di mana anak-anak dirawat inap.

Bian kembali berbalik pada Kayla. "Yaudah, kalo Kayla rajin minum obat, dan makan nasi habis terus. Besok siang pas infus habis, Kayla boleh pulang."

Mata gadis kecil itu membulat girang. "Wah, beneran dok? Oke! Kayla bakal habisin nasinya! Makasih ya dokter!"

Bian tersenyum, menawarkan tangannya yang langsung disambut dengan tepukan cukup keras ketika kedua telapak tangan itu beradu.

"Okay, sampai jumpa ya, Kayla." Bian melambai, lalu meninggalkan bangsal anak bersama Kaia di sampingnya. Kemudian, dia mulai bercerita, "Aku diomelin dokter Gama lagi. Kemaren aku disuruh diagnosa pasien dari simulasi yang dia bikin. Aku jawab pasien kena ISK (infeksi saluran kencing), ternyata dia bilang anak itu kena usus buntu. Lagian, dia cuma bilang, ada pasien umur enam tahun, dia bilang sakit di pinggang kayak digigit-gigit sesuatu. Perutnya buncit, anusnya sering gatel..."

"Itulah risiko jadi dokter anak, kata-kata anak-anak sering ambigu, tubuh mereka juga beda sama orang dewasa. Tugas dokter yang harus lebih teliti mendiagnosa." Kaia menghela nafasnya. "Dia itu cacingan, cacingan kan juga bisa jadi penyebab usus buntu."

Itu adalah kalimat-kalimat terpanjang yang pernah dia ucapkan setelah melewati malam yang membuatnya trauma. Memang jika berhubungan dengan pekerjaan, Kaia tak pernah main-main. Bekerja memang mampu mengalihkan pikiran dari syok yang dia alami berminggu yang lalu. Rumah sakit membuatnya bergairah seketika. Dia merindukan hiruk pikuk rumah sakit yang bergeliat dengan kegiatan menampung pasien yang membutuhkan mereka. Sayangnya, semua pasien yang ditangani Kaia sebelum cuti sudah pulang, dia tak punya pilihan lain selain mengikuti Bian melakukan pemeriksaan rutin. Barangkali setelah ini dia bisa ke PICU untuk berjaga-jaga di sana.

"Iya, iya, aku udah denger hal itu ratusan kali dari kamu dan dokter Gama." Bian memutar bola matanya.

"Kamu juga kenapa mau jadi dokter anak kalo kesulitan? Bukannya kamu dulu mau ambil anestesi?"

Bian diam, menatap Kaia penuh arti. Yah, tentu dia punya alasan mengambil spesialis anak. Alasan yang tidak mungkin diucapkannya langsung pada Kaia. Diakhirinya tatapan itu dengan desahan. Kemudian dia bertanya, "Kamu kangen kerja? Semua pasien kamu sudah kan pulang. Kalo mau minta pasien, sana temuin dokter Gama."

"Nggak, aku ke sini mau minta cuti."

"Lho, kok?!"

"Ada yang mau aku ceritain ke kamu..."

***

Bian mengajak Kaia duduk di taman rumah sakit, tempat di mana keluarga pasien dan pasien menghabiskan waktu bersama untuk menghirup udara segar. Tampak beberapa pasien menggunakan kursi roda atau membawa serta tiang infus mereka untuk duduk-duduk mengobrol. Bian menyerahkan sekaleng jus pada Kaia yang diterima gadis itu dengan senyuman.

"Kamu keliatan pucat. Yakin nggak mau makan?"

"Yakin. Aku nggak apa-apa..."

Kaia mencoba membuka kaleng soda dengan jemari yang kurus-kurus itu. Bian yang melihat Kaia kesulitan dalam usahanya langsung merebut benda itu dan membukanya dengan mudah. Hanya dalam satu kali jentikan. Dikembalikan kaleng itu pada Kaia, yang dibalas dengan kata 'makasih' dari bibir Kaia yang penuh.

"Kamu bener-bener nggak sehat. Pucat, lemes sampai buka kaleng jus aja nggak mampu." Tukas Bian lalu meminum soda miliknya.

Mereka berdiam sejenak menikmati minuman mereka masing-masing sembari memandangi pasien-pasien yang berinteraksi dengan pengunjung mereka di taman.  Lalu Kaia kembali bersuara,

"Aku mau ngasih tahu kamu sesuatu. Kamu adalah orang pertama yang tahu..."

Kaia tersenyum, namun bukan senyuman indah yang biasa ditunjukkan. Tapi, senyuman pahit. Melihat itu membuat Bian seketika bersikap serius. Sesungguhnya dia bisa membaca bahwa ada yang salah dengan Kaia. Mulai dari alasan cuti, sampai sikap yang berubah dari ceria ke arah sendu dan senyum yang tidak secantik dulu.

Kaia menarik nafas dalam...

"Aku hamil."

"Hah?"

"Aku hamil, ada janin di perutku."


_______________________________


Yeay, aku comeback!

Makasih banget lumayan banyak juga yang nagih kelanjutan tulisanku yang ini :3

aku lanjutin, maaf kalo aneh. aku bukan orang kesehatan apa lagi dokter. so, cmiiw ya :)

jangan lupa votement nya, aku pengen tahu pendapat kalian mengenai bab ini...


see ya!

Seguir leyendo

También te gustarán

620K 27K 42
Siapa yang punya pacar? Kalau mereka selingkuh, kamu bakal ngapain? Kalau Pipie sih, rebut papanya! Pearly Aurora yang kerap disapa Pie atau Lily in...
1.5M 137K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
3.8M 40.8K 33
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
3.6M 53.4K 32
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...