Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[27] Kembali

3.6K 233 7
By Shinyrainy

"But I leave my window open,
Cus I'm too tired at night for all these games,
Just know I'm right here hopin',
That you'll come in with the rain" -Come In With The Rain, Taylor Swift

***

PERSIAPAN UN semakin gencar dan aku rugi banyak nggak masuk sekolah walaupun cuma satu minggu. Kan nyebelin, aku jadi harus meminjam catatan Aira dan menyalin ulang semuanya ke bukuku. Belum lagi latihan soal dan ulangan harian. Rasanya aku mau berhenti sekolah kalau kayak gini caranya. Huaa.

Napasku berhembus berat menatap kertas soal ulangan Fisika di depanku yang seperti sedang menjulurkan lidah. Sekarang aku di perpus, ulangan susulan. Dan asal kalian tahu, aku baru saja ulangan susulan matematika sejam yang lalu.

Kurang menderita apa lagi?

"Melody, sudah selesai?" Bu Ayu masuk ke perpustakaan dan langsung membuatku panik. Ini masih lima soal lagi yaampun yaampun gimana ini.

"Dikit lagi bu" Dari Hongkong!

Bu Ayu hanya tersenyum kecil lalu melenggang menuju deretan buku dan menghilang dibalik rak astronomi. Mataku kembali memelototi soal, mengotret, lagi, lagi, lagi, sampai bel pergantian jam-yang tandanya waktu mengerjakanku sudah habis-berbunyi dan bu Ayu mengambil lembar jawabanku.

Entah berapa nilainya nanti.

"Melooodyyy, gimana ulangannya, hm?"

Aira tiba-tiba muncul dari arah tangga dan menaik-turunkan alisnya sambil nyengir kocak. Aku menghampirinya. Mendengus.

"Menurut lo aja Ra" ucapku, dibalas tawa oleh Aira. Dia enak ulangan bareng yang lain, bisa nanya sana sini pas udah mentok-mentok banget. Lah aku? Mentokkin pala ke tembok iya.

Aku memegang kasa persegi yang masih menempel di keningku. Sebenarnya luka ini belum seratus persen pulih. Tapi dari pada harus semakin ketinggalan pelajaran 'kan? Come on guys, aku sudah kelas akhir dan tinggal menghitung bulan menuju Ujian Nasional.

"Ssstt ssstt"

Aku mengangkat wajah menatap siapa yang sekarang hendak menaiki tangga. Selda, ya. Dia membawa tumpukan buku bersampul kuning dari kelasnya-mungkin-yang pasti dia sedang menuju perpus. Yang artinya kami, aku dan Aira, harus berpapasan dengannya.

Dia sendirian.

Tadinya aku mau bersikap tidak peduli. Tidak mengacuhkannya dan pura-pura melihat kearah lain. Tapi dasar sial. Tumpukkan buku itu tiba-tiba jatuh dan berceceran di lantai koridor, tepat beberapa langkah lagi posisi kami sejajar. Dan karena ini bukan jam istirahat, hanya ada kami bertiga dan akan-sangat-aneh kalau aku masih acuh tak acuh.

Akhirnya aku berjongkok membantu cewek itu memuungut buku.

"Nggak usah sok peduli. Gue gabutuh bantuan lo!" Ucap Selda, pelan tapi tajam setelah buku-buku itu kembali betumpuk rapi. Dia lalu berjalan memasuki perpustakaan. Meninggakan aku dan Aira yang saling tatap.

Dasar Selda, sampai kapan pun aku tidak akan mengerti jalan pikirannya.

***

Regen memukul keyboard komputer dengan frustasi lalu menyandarkan tubuhnya yang letih ke sandaran kursi. Pikirannya kalut. Baru kali ini dia tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran sekolah. Perkataan Bian tadi malam terngiang-ngiang terus seperti radio usang yang enggan berhenti sebelum baterainya habis.

Dia tidak tahu mengapa ucapan itu begitu mengganggu pikirannya.

"Lo harusnya tau, ada orang-orang di sekitar lo yang berusaha untuk peduli. Lo harusnya buka mata Reg. Selama ini yang ada di otak lo cuma Embun Embun Embun dan Embun. Lo nggak pernah tau 'kan, lo nyakitin banyak orang karena obsesi lo itu"

Waktu itu Regen hanya mendiamkan ucapan Bian yang penuh penekanan itu. Tapi diam-diam ternyata dia mencerna semuanya. Ada satu kata yang menggelitik benak Regen setiap Regen mengingatnya, bahkan sampai sekarang.

Obsesi.

Bian sama sekali tidak tahu apa-apa.

Ia memejamkan matanya kuat-kuat. Berusaha berkonsentrasi.

Pada kenyataannya, semua perkataan itu bullshit! Dia mencintai Embun, lebih dari rasa pedulinya pada orang lain.

Bruukk

Laboratorium Komputer, dimana tadinya hanya ada cowok itu, pintunya tiba-tiba menjeblak terbuka dan menampilkan sesosok perempuan dengan 'looks' yang sudah sangat familiar dimata Regen. Livia. Membuka pintu Lab keras-keras sehingga menimbulkan bunyi yang cukup kencang. Dan mengagetkan tentu saja.

"Sori Reg, gue kira kekunci jadi.. gue main dobrak aja" ujar Livia sambil menuju ke salah satu komputer yang berjejer disana. Well, dia tidak akan kesini kalau saja bu Tita, guru Ekonominya tidak menyuruhnya membantu memasukkan list nilai kelas. Ngerjain memang. Tapi masa iya Livia menolak?

Regen hanya menggangguk tak acuh. Meneruskan pekerjaannya membuat laporan praktikum sambil berusaha berkonsentrasi.

Keheningan menyelimuti mereka berdua. Hanya terdengar suara keyboard dan click dari mouse masing-masing.

Sampai tiba-tiba, Livia teringat sesuatu. Ya, ada hal yang mesti ia bicarakan empat mata dengan Regen. Dan ini pasti waktu yang tepat karena hanya ada mereka berdua di Lab.

"Regen, gue perlu ngomong sama lo" Livia membuka suara. Membuat gerakkan mengetik Regen terhenti walaupun hanya sebentar. Cowok itu mengangguk.

"Kak Embun pernah cerita sama lo, tentang kecelakaan itu? em, jangan heran ya kalau gue tau tentang hubungan kalian. Kak Embun deket banget sama keluarganya Ody, jadi, nggak ada yang bisa mencegah gue untuk tau" seloroh Livia. Regen sekarang benar-benar menghentikan pekerjaannya.

"Cerita apa?" tanya cowok itu. Livia memutar kursinya menghadap Regen dan mengernyit bingung.

"Tentang cewek yang berdiri di depan mobilnya sebelum kecelakaan?"

Mata Regen sempurna terbuka. Embun sama sekali tidak pernah menceritakan apa pun tentang kecelakaan itu dan Regen tidak pernah berusaha untuk mengungkitnya. Dia takut Embun menangis histeris lagi seperti yang ia lakukan waktu melihat Melody tempo hari. Regen pikir...

"Maksud lo apa sih?"

Livia berdecak heran lalu menarik kursinya supaya lebih dekat pada Regen. Cowok itu berjengit mundur, seakan tidak mau Livia mendekatinya.

Gadis itu memutar bola matanya melihat Regen yang anti-pati.

"Please ya Reg, gue cuma mau ngajak lo kerja sama. Dengerin gue" Ujar Livia dengan nada memerintah. Ketua banget.

"Gini, gue punya firasat ada yang aneh dengan kecelakaan itu. Gue punya feeling kalo ada seseorang yang punya niat jahat-" Livia berhennti sejenak."Because, Kak Embun cerita ke gue ada seseorang, cewek, yang berdiri di tengah jalan waktu itu dan bikin dia akhirnya banting setir. Kak Embun samar-samar inget mukanya. Yeaah, I think lo mau bantu. Lo juga penasaran kan, cewek itu siapa?"

Regen menggaruk tengkuknya sambil berpikir dan mencerna segala informasi yang diberikan Livia.

"Kenapa lo bisa langsung menyimpukan cewek itu punya niat jahat?"

"Yaahh.. aneh aja gitu. Di jalan sepi, ada orang berdiri di tengah jelan nggak jelas mau ngapain"

"Bunuh diri"

Livia menautkan kedua alisnya bingung. "Kalau dia mau bunuh diri, kenapa nggak dijalan rame? Please ya Reg, gue sebenernya punya dugaan ke satu orang dan tugas lo, cuma ajak kak Embun kesini. Ke sekolah ini"

"Kenapa nggak lo aja?"

Livia menghela napasnya dan memukul meja dengan frustasi. Kenapa ngajak Regen kerja sama mesti sesusah ini sih? Padahal dulu di Mading dia kalau disuruh iya iya aja.

"Regen, gue nggak ngerti lagi ya sama lo. Tadi gue tanya kak Embun udah cerita soal ini atau belum, lo nggak tau apa-apa. sekarang gue suruh lo bawa kak Embun kesini, lo malah balik nyuruh gue. Reg, You're her boyfriend. Lo harusnya lebih tau dia daripada orang lain" Papar Livia, memukup meja komputer sekali lagi lalu kembali pada komputernya untuk melanjutkan pekerjaan.

Sementara Regen termangu.

Ucapan Livia sangan menancap di hatinya. Tepat.

Selama ini yang ada di otaknya cuma Embun Embun Embun dan Embun. Tapi kenapa Regen baru sadar, apa Embun juga selalu memikirkannya?

Sementara untuk urusan kecil pun dia lebih mempercayai Livia? Yang bukan siapa-siapanya?

***

Aku keluar dari kelas bersamaan dengan murid-murid kelas dua belas lain yang seperti baru dilepas dari kandang mereka. Lari, dan tawa bahagia akhirnya bel pulang berbunyi setelah berjam-jam suntuk mengerjakan latihan soal. Juga karena besok hari Sabtu yang artinya I-AM-FREE.

"Eh Dy, tunggu bentar, katanya Livia mau nunjukin sesuatu ke elo" Aira menarik tanganku menuju lapangan upacara. Entah apa maksudnya 'menunjukkan sesuatu' itu. aku hanya menurut karena sudah malas berdebat dengan Aira yang pasti akan jadi panjang.

"Mana? Livia nggak ada" protesku ketika tidak kunjung menemukan Livia diantara orang-orang yang baru keluar dari kelas. Aira seperti tidak mendengarkan protesku, matanya malah sibuk berkeliling.

Dan..

"Nah, tuh dia Regen. Ayo kita kesana"

"Hah? Katanya mau ketemu Livia, kenapa jadi Regen?"

Aira menatapku sambil mengretakkan kakinya.

"Udah deh Dy, lo ikut aja"

"Nggak!"

"Ikut ajaa" Aira menarik-narik tanganku dengan paksa sementara mataku tertuju ke arah Regen yang... oh God, kenapa bisa ada kak Embun disini?

"Hai Reg, Hai pacarnya Regen, hehe, kenalin aku Aira, temennya Melody sama Regen" mulutku terbuka mendengar ucapan Aira yang seringan kapas itu. Dari mana dia tahu tentang kak Embun? Apa aku pernah memberi tahunya? Oh tidak, jangan-jangan Aira punya cenayang sampai bisa tau tentang Bian dan kak Embun tanpa aku kasih tahu. Atau mungkin ini kerjaannya Livia ya.

Tapi maksudnya apa dia membawaku pada mereka? Mau menunjukkan tangan mereka yang bergandengan dan membuatku muak? Gila ini sekolah kali, bukannya tempat umum dimana mereka bisa mengumbar kemesraan!

"Hallo Aira, Aku Embun"

Mataku mendelik pada Aira yang cengengesan. Rasanya pengen mukul dia pake palu Thor tau nggak.

"Ikut gue sebentar kenapa sih lo ih!"

"NGGAK! Lo pikir lo siapa nyuruh-nyuruh gue seenaknya. LEPASIN! Gue mau balik!"

Kepalaku berputar spontan mendengar keributan itu dan seketika rahangku jatuh kebawah. Livia, sedang berusaha menarik Selda ke arah kami meskipun cewek itu berontak habis-habisan. Cukup menarik perhatian orang-orang, dan tentu saja membuatku bingung apa yang sebenarnya terjadi.

Livia dengan kuat, memegang bahu Selda dan menghadapkannya pada kami berempat. Mukanya merah padam,dan aku bisa melihat ada binar ketakutan di kedua bola matanya.

"DIA!" Kepalaku kembali menghadap kak Embun ketika ia memekikkan kata 'dia' dengan begitu keras. Kak Embun, ya, memegangi kepalanya dan wajahnya berubah pucat pasi. Sejurus kemudian matanya mulai mengeluarkan air dan bahunya berherak naik turun. Dia menagis! Dan tentu saja kejadian ini langsung jadi tontonan semua orang.

"Exactly, gue bener kan? dugaan gue bener" Kata Livia, penuh penekanan, pada Regen yang sekarang sedang berusaha menenangkan kak Embun.

Aku berdecak putus asa.

"Please ya, ah, gue bener bener nggak ngerti apa yang terjadi sekarang. kak Embun kenapa, dan... apa maksud lo dugaan lo bener?" cetusku akhirnya. Sumpah aku benar-benar bingung.

Livia berpikir sejenak, lalu pandangannya beralih pada tahanan yang berdiri di depannya. Tajam.

"Dia yang bikin lo sama kak Embun masuk rumah sakit. Dia. penyebab. semua. kecelakaan. itu,"

Aku bisa mendengar kata 'hah?' di sekelilingku bergema bersamaan dengan mulutku yang terbuka lebar. Takjub. Livia memang pernah bilang kalau kak Embun sudah menceritakan bagaimana kecelakaan itu terjadi kepadanya waktu di rumah sakit.

Tapi... Heck, it's unbelievable.

"Kak Embun liat dia berdiri di tengah jalan dan berusaha ngehindar sampe akhirnya malah nabrak pohon. Gue heran deh Dy, kayaknya dia nggak ada puas-puasnya bikin lo sengsara. Harusnya waktu itu kak Embun tabrak aja padahal. Biar-"

"STOP IT LIV! Lo sama sekali nggak tau gimana rasanya jadi gue!"

"Oyya? Emangnya lo tau, gimana rasanya jadi Ody, yang tiap hari lo bully, lo kerjain, lo salah salahin? TAU? Gue harap, lo ngertiin perasaan orang lain dulu sebelum mau perasaan lo dingertiin orang!"

Hikss... Hikkss

Isakan itu sebetulnya bagai hantaman batu besar di dadaku dan membuat aku hampir-hampir jatuh ke tanah. Selda menangis. Untuk kedua kalinya setelah aku memeluknya di tengah hujan waktu itu. Selda menangis, dan rasanya seluruh tubuhku ikut tersayat.

Dia sahabatku, mau bagaimana pun aku mengelaknya, mau sesering apapun dia menyakitiku. Dia tetap sahabatku. Sampai kapan pun.

"Ya... gue emang egois. Nggak pernah mikirin perasaan orang lain. HIks, Gue egois, gue Cuma mau ambisi gue terlaksana. GUE EGOIS karena ninggalin sahabat-sahabat gue cuma karena sesuatu yang menurut kalian mungkin nggak adil. Gue jahat dan gue tau itu!"

Air mataku luruh tanpa bisa kubendung lagi. Pegangan Livia pada bahu Selda terlepas. Dia mengalihkan matanya.

"Tapi kalian harus tau gimana rasanya ditinggal seseorang yang lo pikir Hiks bakal bareng lo selama lamanya. Vanya, adek gue, adalah satu-satunya alesan gue hidup setiap hari Hiks setelah mama gue meninggal dan papa pergi entah kemana. Dia penyemangat gue, dia yang ngajarin gue banyak hal dan selalu jadi temen terbaik gue. Vanya..." Selda meyeka air mata di pipinya "Vanya harta yang nggak bisa digantikan oleh apa pun"

Hatiku benar-benar trenyuh mendengar penjelasan cewek itu. Rasa bersalah itu kembali datang. Membanjiriku tanpa ampun sampai-sampai napasku tersenggal-senggal. Kalau saja waktu itu aku tidak mengambil buku diary milik Vanya. Kalau saja aku tahu dari awal.

Selda menarik napasnya dalam-dalam.

"Tapi sekarang gue sadar. Gue-gue nggak seharusnya nyalahin Ody atas semua ini. semua udah digarisin, memang umurnya Vanya segitu, semua udah diatur dan pada tempatnya" Selda tersenyum disela air matanya yang terus jatuh. Di sela isakannya.

Tiba-tiba cewek itu maju kedepan, menghampiri kak Embun dan menggenggam kedua tangannya.

"Kak, mungkin kata maaf nggak bisah ngubah apa yang udah terjadi. Tapi, maaf. Kakak seharusnya nentuin sendiri apa yang terbaik untuk hidup kakak" Selda memeluk kak Embun sekilas. Lalu beralih pada Regen.

Kak Embun seorang pemaaf. Satu yang harus kalian tahu.

"Sorry, gue,.. bawa-bawa lo dalam masalah ini"

Regen hanya menatap Selda dengan pandangan datarnya. Tahu tidak akan dibalas, dia segera berbalik dan berjalan ke arahku.

Beberapa detik, Selda hanya menatapku dengan mata berkaca-kaca. Kemudian dia memelukku dan semua beban yang selama ini kami pendam akhirnya tumpah ruah. Selda kembali. Satu keeping bagian penting dalam hidupku kembali dan menutup segala luka lama yang dulu menganga di sana.

Selda kembali. Dan aku kembali merasa lengkap.

Livia ikut memeluk kami dan akhirnya kami bertiga berpelukkan seraya melepas senyum.

Jika kata maaf tidak mampu mengubah semua yang sudah terjadi, kata maaf bisa jadi obat penyembuh luka hati. Maaf menunjukkan apa yang selama ini ditutupi;penyesalan. Maaf menjelaskan kejujuran tersirat, dan membuat hati kembali bersih tanpa iri dengki yang menggerogoti.

Satu lagi tugasku membuat seseorang mau memaafkan.

***

A/n

So,guys. Sorry b-g-t gue update telat. Sinyal kayak anak panda minta dicubit/ha/ Anyway gue nggak tahu apakah jum'at depan masih bisa on atau nggak. UKK Vroh, dede gemes mau naik kelas 11. Doain ya, UKK beres Regen kembali. Kay?

A
13/5/16

Continue Reading

You'll Also Like

8.7K 997 14
Katanya... cantik gak selalu tentang fisik, tapi nyatanya? • Cover by canva
Abadi By KIKI

Teen Fiction

1.6K 152 20
Kamu abadi disini, semestaku. *** @Kiki Cover by pinterest Follow my IG: @fr_ikyy
474K 5.2K 6
JANGAN DISIMPAN, BACA AJA LANGSUNG. KARENA TAKUT NGILANG🤭 Transmigrasi ke buku ber-genre Thriller-harem. Lantas bagaimana cara Alin menghadapi kegi...
2.3K 655 49
Bagaimana rasanya saat dihadapkan pada dua orang yang sama-sama berarti untuk hidupmu. Siapa yang akan kamu pilih saat diharuskan memilih? Ini tentan...