Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[22] Luka

4.2K 254 8
By Shinyrainy

"Semoga aku akan memahami sisi hatimu yang beku
Semoga akan datang keajaiban hingga kaupun mau" -Pupus, Dewa19

***

"REGEN!"

Pagi Senin berikutnya, mendung. Satu keuntungan karena dengan begitu, jam upacara akan menjelma menjadi jam kosong yang dicintai seluruh siswa siswi seantero Indonesia. Yay! Aku melangkah dengan penuh suka cita menyusuri koridor menuju kelas Dua belas IPA dua. Jangan heran kalau hari ini aku senang bukan kepalang.

Because, today.

MELODY OFFICIALLY FIGHT FOR REGEN.

Yay! yay! yay! Seperti yang kak Kimmy bilang tempo waktu; Percaya nggak ada perjuangan yang sia-sia. Dan kalaupun nanti hasilnya yang terburuk, tinggal kembal ke kesimpulan awal. He is not my destiny.

"Buat lo" penuh senyum, aku menyodorkan sebuah kotak bekal berisi sandwich buatanku sendiri. For your information, aku rela bangun sebelum subuh demi buat ini.

Regen menatapku sekilas lalu ke kotak itu lalu ke arahku lagi. Ini baru langkah pertama. Apapun reaksinya, siap nggak siap tetap harus siap.

Tapi Regen ternyata masih belum mau bereaksi.

Cukup lama tanganku melayang di udara. Ya, cukup pegal. Tapi ternyata semua itu terbayar begitu Regen menerima kotak bekalku dengan tangan kanannya. Semoga dia nggak marah lagi, semoga ada sedikit aja celah dihatinya untuk seorang Melody Aristya Aeldra ini, semoga-

"Der, Deri sini deh"

Aku menatap Regen dengan padangan bertanya. Detik berikutnya, rahangku segera jatuh ke bawah. Regen memberikan kotak yang baru beberapa detik ada di tangannya dengan santai kepada Deri. Seolah-olah benda itu memang sudah seharusnya untuk Deri. Tapi sandwich itu kan buat dia?!

Deri, dengan tidak berdosanya, menerima kotak bekal itu sambil nyengir kuda sementara Regen kembali melanjutkan jalan. Aku menatapnya sebal. Mengambil kotak itu dengan paksa-yang jelas-jelas dibalas Deri dengan tidak terimanya.

"Ehh Mel, punya guee.."

"Mimpi lo!"

"Tapikan-"

"Bodo amat. Gue mau ke kelas"

Pada kenyataannya, moodku belum bisa beradaptasi dengan penolakkan Regen.

***

Jam kosong aku isi dengan pergi ke perpustakaan.

Agak gila sih, nggak-aku-banget gituloh. Tapi no problem. Selama ada di samping Regen, I think di gua pun aku mau.

Orang bilang cinta itu buta 'kan?

"Gue tau"

Aku menolehkan kepalaku ke kanan dimana duduk seorang Airana Karin yang tersenyum seperti baru mendapatkan uang lima milyar. Matanya berkilat-kilat. Sesekali melirik ke deretan rak buku yang berjejer rapi memenuhi ruangan besar perpustakaan ini. Eh? Bukan. Entah kemana tepatnya arah pandangan Aira.

"Lo suka 'kan? Mel, sama Regen?"

Mulutku sempurna ternganga mendengar ucapan Aira yang unpredict itu. Aku tidak peduli lagi bagaimana tablonya mukaku. Kacau. Tahu dari mana coba, dia?

Pandangan mata Aira beralih ke arahku dan tatapan itu bukan tatapan yang cukup baik. Aku berani bertaruh setelah ini dia akan bercuap menanyaiku segala hal. Kembali membeberkan ini-itu tentang Regen yang aku yakin akan aku balas dengan 'bodo amat'. Mau bagaimanapun juga, sebuah panah besar di hatiku sudah menunjuk tepat ke arahnya. Apapun, dan siapapun, bahkan jikalau badai besar menerjang, panah itu tetap akan mengarah ke satu orang itu.

Ampun guys, cinta memang membuat semua orang berubah puitis.

"Ya kan? bener kan? lo pikir dari kemaren kemaren gue nggak merhatiin apa? lo, Melody, berubah jadi orang paling sering bengong. Kalo lagi ngobrol sama Regen, mata lo.. gimana.. gitu pokoknya beda"

Aku menggaruk tengkuk dan menatap buku di depanku dengan pandangan kosong. Bingung harus menjawab apa.

"Mel.. mel, gue bilang juga-"

Keningku mengernyit. Melirik Aira tentang kelanjutan kata-katanya tapi yang aku dapat malah dia yang senyum-senyum takjub ke arah sesuatu di belakangku.

Dan aku menoleh. Mendapati Bian dengan senyum cerahnya seperti biasa, dan tangan memeluk buku paket Biologi dengan label kelas 11. Dia mengambil duduk di sebelah kiriku. Satu doaku dalam hati; jangan sampai dia dengar ucapan Aira.

"Ajarin gue Biologi dong kakk, kakak kan pinter.. ya ya ya??" Mohon Bian, menyatukan kedua telapak tangannya.

Jarum jam masih menunjuk jam delapan kurang sementara diluar hujan sedang deras-derasnya. Aku tidak punya alasan cukup bagus untuk menolak permintaan Bian. Dia tahu, dari semua pelajaran MIPA aku paling bisa di Biologi.

Tapi bukannnya kakaknya lebih pinter?

"Eh, Bi.. emm.." gumamanku menggantung, kala mataku melihat ke arah pintu dan mendapati Regen berdiri disana. Hendak keluar, oke berarti aku juga harus bersiap ke luar.

Tapi Bian?

Tanpa aku sadari, Bian mengikuti arah pandangku dan mendesah keras.

"Gue harus kekelas" kata-kata itu juga aku ucapkan dengan buru-buru dan refleks. Aira-yang masih di sampingku-dan Bian, sontak menatapku dengan pandangan bertanya. Aku kembali menoleh kearah pintu dimana Regen sudah menghilang. Entah kenapa aku cuma ingin dia tatap di jarak pandangku.

"Tapi lo ajarin gue Bio dulu"

"Hah? Penting banget ya?"

Bian melebarkan matanya mendengar balasanku yang, yah, I know, keterlaluan dan pasti di luar dugaanya. Mataku sekali lagi melirik kea rah pintu berharap Regen kembali masuk ke perpustakaan. Menghela napas,

"Oke, lo nggak ngerti yang mana?"

***

From : 0819xxxxyyyy

Hari ini, jam tujuh ke kafe kejora. Ajak Regen, atau gue bakal beberin ke media tentang hubungan lo sama anak SMA itu.

Embun baru selesai mencoba pakaian terakhir untuk fashion show-nya ketika ponselnya berdenting menunjukkan pesan masuk. Menghela napas, ia berjalan ke satu-satunya sofa di ruang rias. Duduk disana dan sedikit menjauh dari keramaian.

Ya, sekarang ia menyesal menerima permintaan gadis misterius itu; menerima Regen. Sekarang semuanya jadi serba sulit dan membingungkan. Dia jadi punya rahasia yang harus ditutupi dari media, teman-temannya,terutama keluarganya. Rahasia tentang Regen yang masih berbalut seragam putih abu.

To : 0819xxxxyyyy

Gue nggak ngerti mau lo apa

Semuanya tidak akan serumit ini kalau Regen bukanlah anak dari pemilik salah satu organ tubuhnya.

Tak lama kemudian, satu balasan masuk membuat Embun menghela napas keras.

From : 0819xxxxyyyy

Ikutin aja Rulesnya.

***

Hari ini, matahari seperti enggan menunjukkan dirinya penuh-penuh menerangi bumi. See? Langit masih setia menunjukkan wajah abu-abunya meskipun hujan sudah lama berhenti. Mendukung sekali dengan kekeruhan hatiku. Hari ini flat to the flat flat flat.

Mungkin karena Regen belum juga menunjukkan tanda-tanda akan memaafkanku. Padahal, yaampun, ucapanku tentang kak Embun itu sudah hampir dua minggu yang lalu.

"Mel, lo bisa bantuin gue bikin laporan PKN nggak hari ini? Kafe kejora yok, lo kan kelompok gue"

Aku menautkan alis mendengar ucapan Sindy-salah satu teman sekelasku-tepat ketika pak Dirga keluar dari kelas. Aneh. Padahal tugas membuat laporan itu baru diberikan hari ini dan Sindy sudah berniat untuk mengerjakannya? Anak rajin macam apa lagi dia?

"Harus hari ini banget ya? Gue gak mood nih"

"Lagi lo rajin banget dah Sin" timpal Aira, aku mengangguk. Setuju.

Sindy tampak bingung sejenak lalu menggeleng cepat-sampai aku takut lehernya tercengklak--. Matanya sarat akan keraguan tapi dia tetap keukeuh pada pendiriannya.

"Gue nggak ada waktu lagi," katanya, sambil merapikan tas bersiap keluar kelas.

Kelas mulai sepi. Bahkan Regen sudah pergi entah kemana tanpa aku sadar kapan perginya. God, apa lagi yang harus aku lakukan supaya cowok itu mau menerima permintaan maafku? Kenapa dia batu banget sih jadi orang?

Dan kenapa perasaan begitu mempersulit?

Kepalaku rasanya pusing dan aku hanya mau tidur sekarang.

"Besok deh Sin... kalo nggak sama yang lain aja" pintaku, berharap Sindy luluh.

Tapi harapan tingga harapan, Sindy tetap menggelengkan kepalanya dengan muka yang begitu serius.

"Yang lain tugasnya beda lagi lah, yang bikin laporan ya elo sama gue. Ya ya? Gue traktir coklat panas deh, asal lo mau ke kafe Kejora hari ini. ya?"

Menghela napas, aku meminta pendapat Aira melalui tatapan dan dibalasnya dengan mengangkat bahu. Terserah. Oke, Sindy sepertinya tidak akan menyerah sampai matahari tenggelam. Bukan karena cokelat juga, lebih karena aku sedang badmood dan malas berdebat panjang lebar. Maka,

"Jam berapa?"

Aku tidak tahu kalau ternyata keputusan itu membawaku pada alur yang salah.

***

Jam setengah tujuh kurang, Sindy menjemputku di rumah dengan sedan silvernya. Oke, awalnya aku agak takut berhubung anak itu belum punya SIM. Tapi ternyata ketakutanku tidak terbukti karena lima belas menit kemudian kami sampai di kafe Kejora dengan selamat. Kafe ini, ah, kenapa juga harus disini sih?

Kafe ini adalah tempat dimana aku melihat Regen dari sisi yang berbeda. Kalau kalian lupa, kalian bisa scrool ke part sepuluh. Kalau begini caranya mana bisa aku konsen?

Sindy memilih meja di kosong yang terletak di tengah ruangan. Dia membuka laptopnya, mengetik yang memang harus diketik di dalam laporan, dan aku diam tanpa tahu apa fungsiku disini. Setiap aku memberi usul dia selalu megelaknya dengan alasan mmacam-macam. Terus gue disini ngapain kalau cuma dijadiin pajangan nggak berguna?

Bosan, pandanganku menyapu ke sekililing kafe yang normal seperti biasa. Nyaman, hangat. Lagu-lagu lembut dan aroma kopi serta coklat yang semerbak menyatu. Obrolan santai orang di sekeliling, kafe ini sebenarnya enak juga buat nge-galau.

Galau mulu nggak bosen mbak?

"Aku mau nanya sesuatu, boleh?"

Kepalaku tertoleh mendengar suara perempuan yang sudah sangat familiar itu. Takdir oh takdir. Ini, untuk kedua kalinya aku bertemu mereka setelah yang pertama di IceSweet. Maksudnya apa? aku benar-benar tidak mengerti bagaimana waktu mempertemukan aku lagi dengan dua sejoli itu.

Seakan semuanya membold dan underline dan capslock kata REGEN PACAR KAK EMBUN. Yaampun, aku mau pulang.

"Nanya aja"

Sindy aku mau pulang.

"Kenapa kamu milih aku diantara semua perempuan yang lebih segalanya di dunia ini?"

Aku bisa melihat senyum Regen lewat sudut mataku. Mereka cukup dekat dari sini. Dan ucapan mereka sejelas toa di masjid dekat rumahku. Seakan mereka tahu aku disini dan sengaja mengeraskan suaranya untuk merobek-robek hatiku yang malang ini.

Fun fact; Regen selalu tersenyum saat dia bersama kak Embun. Why it can be fu*k fact if I'm who hear that!

"Kenapa ya, ada sesuatu dalam diri kamu yang nggak dimiliki sama orang lain. Ya, you're very special and only one in a million"

Ada paku besar yang menancap tepat di uluh hatku ketika Regen mengucapkan kata-kata itu. Tepat. Dan cukup dalam. Lebih baik kalau aku mati dan tidak merasakan sakit dari bekas tusukkan itu. Tapi kenyataannya, sakit itu tidak membunuh. Sakit di hati datang pelan-pelan dan menyiksa orang yang menderitanya sampai dia kehabisan napas.

Lalu ketika paku itu di cabut, yang ada tinggal bekas darah yang terus mengalir dan mungkin tak akan pernah berhenti mengalir. Konsekuensi jatuh cinta.

Regen mengacak rambut Embun pelan dan aku ingin sekali melempar keduanya dengan vas bunga di depanku.

"Sin, mau pindah tempat duduk ga?"

Sindy mengalihkan pandangan dari laptop dan menatapku bertanya.

"Kenapa emang? Kita kan baru mesen Mel, nanti kalau pelayannya bingung dan nyariin kita gimana?"

Sialnya aku. Dia nggak ngeliat ada Regen apa disini helaw? Atau dia pura-pura nggak ngeliat? Ah, Ody, lo bego apa gimanasih? Ada Regen juga dia bodo amat lah. Mana tahu dia lo suka Regen.

Aku mencuri pandang kea rah mereka lagi dan melihat tangan mereka sekarang bertaut. Lambaikan tangan pada kamera, aku nggak kuat!!!

"Kamu yakin sama perasaan kamu dan mau terima konsekuensinya?"

Cokelat panasku datang tapat ketika kak Embun selesai bertanya. Apa jawaban Regen? Oh ayolah. Aku mengangkat mug ku dan menyesap coklat itu dengan amat perlahan. Menikmati setiap tetesnya yang memberiku rasa tenang. Ya, melihat mereka memang membuatku ingin memakan coklat banyak-banyak.

"Yakin lah, nggak ada yang perlu diragukan tentang hubungan ini. I love you to the Neptunus and back. Aku bukan tipe orang yang gampang buat janji, tapi sekali berjanji, aku akan berusaha untuk nepatin. Don't be afraid about anything, ya? Sebentar lagi semuanya selesai. Aku lulus SMA, punya pekerjaan tetap lalu kita menikah."

Aku tersedak. Batuk-batuk. Sesak napas. Itu adalah kalimat paling panjang sekaligus paling manis yang pernah aku dengar dari seorang Regen Aditya Radian. Terlebih lagi satu kalimat terakhir yang membuatku ingin menangis sekarang. Menikah? it's hear too far in our age, right? Bahkan dia sudah memikirkan sampai menikah?

Paku besar lainnya sukses tertancap di sisi lain hatiku.

"Sweet" Balas kak Embun, pendek.

Regen meraih tangannya dan mengecupnya lembut sementara aku mengertakkan gigi. Cukup Reg, lo emang raja tega ya.

Sekali lagi aku menyesap coklat dari mug di tanganku supaya aku bsa mengendalikan diri.

"And, how about you? Kenapa kamu akhirnya nerima aku padahal, yah.. kamu tahunya kita baru saling kenal?"

Apa ini klimaksnya? Bilang kak.. please bilang kak Embun nerima dia Cuma karena kasihan. Please bilang kak Embun nerima dia cuma karena nggak tega.

Aku berdoa dalam hati. Dengan mug masih dealam genggaman dan harum coklat yang memenuhi indra penciumanku.

"Karena.."

"Karena dari pertama kenal kamu pun, aku tau sebenarnya hati aku juga untuk kamu"

Plankk plank

Mataku terbelalak mendapati mug beling di tanganku sukses mendarat di lantai kayu kafe ini dan pecah berkeping-keping. Coklat yang ada di dalamnya bercecer keluar. Cukup mengundang perhatian pengunjung kafe yang ada termasuk dua sejoli itu. Para pelayan langsung datang dan membantuku membersihkan beling-beling yang berhamburan.

Tanpa sengaja, jariku meraih salah satu ujung beling yang cukup tajam. Membuatnya seketika mengeluarkan darah segar. Perih. Tapi luka yang ada di dalam ternyata jauh lebih perih.

"Melo? Lo nggak papa?"

Mataku melebar melihat orang itu tiba-tiba ikut berjongkok dan meraih tanganku yang berdarah. Air mataku entah kenapa malah merebak keluar. Dia...

Dengan satu sentakkan cepat, aku menarik tanganku dari tangannya dan meraih tas tanganku yang tergantung di kursi. Setengah berlari, keluar dari kafe penuh siksaan itu. Dengan air mata yang luruh dan luka di hati yang mungkin tidak mudah untuk sembuh.

***

A/n

Tinggalkan jejak:)

-A
13/4/16

Continue Reading

You'll Also Like

216K 15.7K 37
Aku hanyalah gadis biasa tanpa kelebihan apapun. Aku tidak pintar, namun aku masih berusaha untuk menjadi pintar. Aku tidak cantik, dan aku tahu den...
5.7M 245K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
37.2K 2.6K 20
Dandelion. Sama kah hidupku dengan bunga Dandelion? Rapuh, sendiri, tak terlihat oleh siapapun Hanya sebuah karya fiksi semata.
2.3K 654 49
Bagaimana rasanya saat dihadapkan pada dua orang yang sama-sama berarti untuk hidupmu. Siapa yang akan kamu pilih saat diharuskan memilih? Ini tentan...