Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[21] Heart(s)

4.4K 256 18
By Shinyrainy

"If i walk, would you run?
If i stop, would you come?
If i say you're the one, would you believe me?" --Try, Asher Book

***

"Mungkin ini kesannya buru-buru banget. Apalagi kamu belum lama kenal sama aku. Aku maklum kalau kamu nolak atau gimana, but... would you believe me If I say I love you more than I love other person?"

LANGKAH Embun sontak terhenti mendengar serentet kalimat yang keluar dari mulut Regen. Mulutnya terbuka dan tertutup. Bingung, terlalu kaget untuk bereaksi. Belum sempat keterkejutannya menghilang, tiba-tiba cowok di sampingnya itu berlutut dan menyerahkan sebuket bunga krisan yang entah dari mana dia dapatkan.

Cukup untuk mengundang penonton karena taman itu memang sedang ramai.

"Reg, yaampun, nggak usah kayak gini jugaa" Gadis itu meringis. Ia tidak terlalu suka menjadi tontonan di depan umum, yaah walaupun seharusnya dia sudah terbiasa berhubung wajahnya sudah sering tampil di majalah-majalah fashion. Tapi, bagi Embun, semua ini konteksnya beda.

"Kalo aku nggak kayak gini, apa kamu bakal terima?" Tanya Regen, cowok itu sebenarnya tahu cara ini adalah cara-nembak-paling basi. Klasik. Tapi memang mau bagaimana lagi? Satu-satunya ide yang bercokol di kepalanya agar Embun mau menerimanya ya hanya ini. Menyatakannya di depan banyak orang supaya Embun tahu dia benar-benar serius.

Embun, diam seribu bahasa. Baginya, Regen adalah seseorang yang paling baik dan tahu dirinya meskipun mereka baru saling kenal. Dia tahu, dari sorot matanya Regen serius. Dia tidak pernah tidak menyukai Regen sebenarnya dan mungkin, dia bisa menerima Regen apalagi setelah pengorbanan yang ia lakukan untuk Embun tempo waktu kalau saja...

Umur anak ini tidak delapan tahun dibawah umurnya.

Dan seragam abu-abu yang hampir setiap hari digunakannya terasa semakin mempersulit. Dia, seorang wanita matang, dua puluh enam tahun dengan karir yang gilang gemintang, berpasangan dengan seorang anak SMA delapan belas tahun yang baru dikenalnya beberapa bulan ini?

Embun menegak ludah, dia tidak siap menerima konsekuensinya.

Tapi setega itukah dia menolak Regen disituasi seperti ini?

"Be mine, Please?"

Menghela napas, Embun lalu tersenyum dan menerima buket bunga krisan itu. Regen balas tersenyum lega, belum sempat, karena setelah itu Embun berucap sesuatu yang membuat senyumnya tertahan. Setengah berbisik.

"Kasih aku waktu untuk semuanya, okay?"

***

"Mutiara Embun"

Gerakkannya terhenti. Kunci rumah yang baru ia masukkan ke lubangnya kembali ia tarik keluar dengan gerakkan dramatis. Embun berbalik, di depannya, berdiri seorang gadis dengan rambut panjang yang dikuncir kuda. Dia tersenyum, aneh, wajah anak itu beranding terbalik dengan suaranya yang terdengar sinis.

"Siapa ya?" tanya Embun, dibalas seringai oleh anak perempuan itu.

Embun salah, oke, dia sadar akan pepatah don't judge book by its cover.

"Nggak perlu tahu siapa gue. Yang terpenting adalah gue sangat tau lo" nada sinis itu lagi. Embun mengernyit. Dia sama sekali tidak mengerti pada apa yang dikatakan oleh anak perempuan dengan kaca mata gelap bertengger di hidungnya ini. Aneh, mungkin ia sengaja menutupi wajahnya supaya Embun mengenali. Atau jangan-jangan...

"Hati itu, bukan hati lo kan?"

Tubuh Embun sontak menegak mendengar satu kalimat itu. Jantungnya seketika berdegup lebih cepat. Siapa orang ini? dengan sedikit emosi, Embun menghampiri perempuan itu dan berdiri di depannya. Menatap matanya yang tertutup kaca mata tebal lamat-lamat dengan harapan bisa sedikit melihat dan mengenali wajahnya. Tapi nihil. Kaca mata itu terlalu gelap.

"LO SIAPA? HUH?! LO SIAPA?!" pekik Embun, tangannya mencengkram jaket dongker yang di pakai perempuan misterius itu. Matanya sudah memerah. Ketakutan itu menyergapnya lagi, dalam sekejap. Ketakutan yang sudah bisa ia kubur dalam-dalam sejak hampir tiga tahun yang lalu itu.

"Kalem... gue kesini bukan untuk bikin lo takut dan sebagainya."

Embun menghentikan kehisterisannya dan memejamkan mata kuat-kuat.

"Gue kesini, cuman mau ngasih tau lo sesuatu." Orang itu menyeringai lagi. "Tentang Regen"

Napas Embun detik itu juga terasa tercekat. Regen? Apa hubungannya Regen dengan masa lalunya itu?

"Dan gue harap, setelah apa yang gue kasih ke elo nanti, lo nerima dia"

Embun benar-benar tidak mengerti.

***

Melody's POV back.

Liburan benar-benar terasa cepat selama aku di Bogor. Well, aku tidak akan menceritakan semuanya sedetail-detailnya karena pasti akan sangat panjang lebar tinggi volume. Ngaco. Intinya, aku bersenang-senang disana. Pergi ke kebun teh setiap pagi, makan sepuasnya, dan jalan-jalan keliling Bogor bersama sepupuku yang ramai.

Disana, sejenak aku bisa melupakan Regen dan semua tentangnya yang selalu membuatku sesak.

Aku berharap bisa tinggal dan sekolah disana saja. Hikss.

By the way, masalah dompet waktu itu terselesaikan karena Bian dengan baiknya mengantarkan benda itu sampai ke rumahku sorenya. Dia cuman nanya kenapa dompetnya belum aku ambil dan aku, berbohong-terpaksa, bilang aku mager alias males gerak jadi belum sempet ngambil. Dan Bian, lalu mengangguk dan pergi entah kemana lagi.

"Melody... gue kangeenn"

Lamunanku buyar oleh suara Aira yang lebay tingkat dewa itu. Histeris, dia memelukku erat. Udah kayak setahun nggak ketemu, eh, emang udah setahun ding. Kan udah dua ribu lima belas.

"Lo kemana aja liburan? Gilss,,, lo harus tau gue balik ke Makassar. Rumah nenek gue, yaampun, udah dari tahun berapa gue nggak main kesana"

Aku balas tersenyum, mengangkat bahu sambil menggeleng-gelengkan kepala. Pasti seru banget jadi Aira.

"Seru seru gue nggak dibawain oleh-oleh gitu? Hiiihh temen macam apa itu" ejekku, dibalas Aira dengan nyengir kocak. Kami sedang duduk di kursi panjang di pinggir lapangan basket. Hari ini masih free class. Jadi murid masih bebas berkeliaran di sekolah. Dan, oke aku tahu di kelas ada Regen. Jadi aku memilih untuk duduk-duduk di pinggir lapangan basket sambil memakan wafer coklat dan mendengarkan ucapan Aira tentang liburannya.

Hiburan juga sih.

"Tenang, nanti gue bawain deeh..."

Aku mengangkat sebelah alis.

"Kaos pantai Losari"

Dan memutar mata. Aira nggak bisa nggak kocak sehari, aja.

Gadis itu sedang kembali mengoceh tentang liburannya ketika Kiki-ketua kelas, kelas 12IPA2, kelasku kalau kalian ingat-berjalan menghampiri kami sambil sesekali memberi tahu sesuatu kepada anak-anak kelas dua belas lain yang ia lewati. Kiki, si seksi sebuk, udah jadi ketua kelas masih ngurusin OSIS pula.

"Mel, Ra, lima menit lagi ke aula ya, kita mau diskusi masalah buku tahunan. Jangan kabur, oke? Dan Mel, walaupun lo baru, lo tetep harus partisipasi kayak yang lainnya. Ya" Katanya, seraya menjentikkan jari sambil mengedipkan mata.

Geli.

Aku dan Aira hanya membalasnya dengan cengiran dan satu kata ya.

***

"Okee, thanks udah mau ikut rapat akbar ini. Gue minta partisipasi kalian semua karena ini acara kita. OSIS cuman koordinir, tetep butuh bantuan kalian semuanya"

Rafi, si ketua OSIS yang sebentar lagi lengser, memberikkan sedikit wejangan ketika aku baru saja masuk ke aula bersama Aira, Livia, dan beberapa anak kelas akhir lainnya. Seperti yang Kiki bilang. Kami berkumpul disini untuk membahas tentang rencana pembuatan buku tahunan. Hmm, konsep dan sebagainya I think.

"Gue mau kalian semua aktif ngusulin" ucap Della, sekertaris OSIS yang cukup beken di sekolah. Eksis. Katanya si Della ini eskulnya banyak banget. Wajar sih, keliatan anaknya nggak bisa diem.

Setelah pengurus OSIS menggambarkan sedikit tentang ini-itu yang berhubungan dengan buku tahunan, dan sesekali menyinggung acara prom night-please UN aja belom. Akhirnya Rafi sampai juga pada pertanyaan puncak mengenai tema dan tempat diambilnya foto BuTa itu. Semua riuh mengusulkan. Ada yang mau temanya tradisional Indonesia (dengan kebaya totopong dan sebaganya), ada yang mengusulkan kausual aja, ada yang mau kerajaan-kerajaan.

Dan dari semua usulan itu, aku paling suka usulan yang terakhir. Well, aku hanya membayangkan diriku mengenakan gaun biru mengembang dengan rambut digelung keatas dan sarung tangan putih. And of course sepasang sepatu kaca cantik yang aku tinggalkan ketika jam menunjukkan tengah malam. Setelah aku berdansa dengan sang pangeran //plaakk// oke, maaf. Aku terlalu terobsesi dengan kisah para princess yang selalu berakhir bahagia.

Karena pada kenyataannya, tidak semua orang punya kisah happily ever after.

"Gimana kalau princess"

Aku kaget setengah mati ketika sadar kalimat itu aku lontarkan ketika suasana sedang hening. Sekarang, semua orang menatapku bertanya. Sebagian menahan tawa karena menganggapku kekanakkan. Apa? Princess juga kurasa bukan sesuatu yang jelek 'kan?

"Well, castle. Latarnya istana dengan pepohonan rindang dan benda-benda klasik. Kita bisa ambil scane di gedung-gedung dan hutan yang ditata sedemikian rupa kan? Yang perempuan, dengan gaun mengembang ala Cinderella, Snow White, Belle, dan yang cowok, tuxedo atau jubbah ala pangeran. Simple, but memorable"

Aira, Livia, dan orang-orang yang mendengar usulanku terpaku membayangkan situasi yang kugambarkan.

"Buku tahunan itu kan sesuatu yang suatu hari bakal jadi jembatan kita untuk mengenang masa SMA. Mengenang masa lalu. Kalian pasti tau cerita princess-princess itu kayak abadi banget dari jaman kita kecil sampe anak-anak kita nanti. Gue juga mau cerita kita begitu, unforgettable"

Tiwi, sekertaris kelasku, berdiri dari duduknya dan menatapku degan pandangan takjub. Tangannya terangkat ke depan lalu bertepuk tangan. Sejurus kemudian, seantero aula bertepuk tangan sembari menatapku seakan aku baru saja berorasi tentang kemanusiaan atau apa. Sumpah, sebenarnya aku juga bingung dapat kalimat tadi dari mana. I just did it, jangan-jangan aku kerasukan lagi ya?

Tepukan tangan itu baru berhenti ketika seseorang yang duduk di barisan depan mengangkat tangannya mengajukan intrupsi. Jantungku seperti berhenti berdetak kala tahu siempunya tangan itu. Regen. Ya, siapa lagi yang bisa memainkan detak jantugku selain dia?

"Gue nggak setuju"

Seluruh manusia di ruangan ini menatap Regen dengan antusias.

"Memorable bukan bererti tema dan tetek bengeknya harus segitu ribet. Memorable masalah actionnya, gimana kita bikin acara ini jadi sesuatu yang nggak biasa! Bukan berarti harus dengan ini itu yang menurut gue Cuma buang-buang uang dan tenaga"

Tenggorokkanku terasa kering mendengar perkataan ketus Regen seakan kata-katanya itu berhasil menguras habis cairan yang ada di tenggorokkanku sampai benar-benar kering kerontan. Aku tiba-tiba kehilangan suara. Apa ini soal tempo hari? Soal perkataanku tentang kak Embun yang membuat dia marah sampai segitunya?

Rafi, menatap Regen dengan pandangan bertanya.

"Terus mau lo gimana?"

Aku tidak bisa melihat bagaimana ekspresi Regen karena aku duduk lumayan jauh di belakangnya. Regen is unpredictable person, and trust me if I look him now, I still can't read what are on going in his mind.

"Nothing theme"

Ha? Kata itu kompak meluncur dari bibir semua orang yang mendengar dua kalimat yang menjadi jawaban untuk pertanyaan Rafi. Nothing theme? Lalu buat apa kita semua dikumpulkan disini?

"Just white and grey."

"Lo nggak seru ah Reg" Deri yang brisik, menimpali perkataan Regen mewakili seluruh murid. I know, ini tidak seperti Regen yang aku kenal. See? Regen yang aku tahu adalah Regen yang lebih memilih mengkuti arus. Terserah. Nggak mau tahu. tapi sekarang? oh oh oh, apa.. apa kalau aku tidak menyumbang usul dia akan tetap menyelak?

"Kalian tau, yang paling membekas dalam masa SMA adalah apa yang kita pakai sekarang. Ini. Di tempat ini dengan Bet High Light. Kalian nggak akan bisa pakai putih abu-abu untuk masuk ke kampus kan? ini cuman dipakai tiga tahun dalam sekian tahun umur kalian" jelas Regen, dengan nada datar tapi cukup mengretak hati orang-orang yang awalnya kontra.

"Gue harap kalian bisa pertimbangin" tambah Regen, memutar badannya dan menatapku lurus dengan pandangan tajam. Ya. Tapat di manik.

Rafi tampak bingung setengah hidup. Aku tidak peduli lagi keputusan apa yang akan dia ambil untuk ini. Yang sekarang bercokol di kepalaku adalah tentang arti tatapan itu. Apa maksud tatapan tajam menyakitkan itu?

Livia menyenggol bahuku pelan. "Dy are you okay?"

Aku menggeleng pelan. Livia dan Aira menatapku dengan pandangan khawatir. Walaupun cuman Livia yang tahu bagaimana perasaanku pada Regen, tapi Aira juga aku rasa sudah menduga.

"Oke, kita udah punya dua usul yang keren banget. Walaupun sebenernya gue lebih setuju sama usulnya, Melody? Ah iya Melody. Tapi keputusan tetep ada pada hasil voting." Ujar Rafi. Aku hanya balas tersenyum kecil.

Bagaimana namaku dan dia berada di papan persaingan?

***

"Regen tunggu"

Yang dipanggil masih terus berjalan. Sama sekali tidak berniat untuk sekedar berhenti atau menoleh ke arahku. Segitu marahnya kah? Hanya karena aku tidak sengaja menjelek-oke, menghina kak Embun dan masa lalunya?

"Lo sama Aira duluan aja oke. Gue nyusul ke kantin nanti" ucapku, tanpa menunggu persetujuan Aira dan Livia lagi, melesat menyusul Regen menembus kerumunan. Ya, rapat itu baru saja berakhir dengan usulanku sebagai pemenangnya. Jelas, mereka pasti akan memilih mengenakan pakaian kuno yang lucu namun mewah itu lah, daripada sekedar seragam putih-abu yang biasa dipakai. Bagaimaapun filosofinya.

"Regen kita harus ngomong"

Tubuhku menyelinap diantara tubuh orang-orang yang juga sedang kelar dari aula. Fine, Reg, kamu benar-benar membuatku harus berlari.

"Reg please. Gue mau minta maaf soal ucapan gue tentang kak Embun"

Tap, tanganku berhasil meraih lengannya dan dia berhasil berhenti. Regen menepis tanganku kasar. Membuatku sedikit terkesiap dan menyesali fakta bahwa tangan itu juga yang menggenggam tanganku disaat aku ketakutan.

"Maaf soal waktu itu" ucapku akhirnya, lirih. Napasku naik turun setelah lari tadi.

Regen hanya membalasnya dengan diam dan menatapku dengan ekpresi datar yang tidak bisa kutebak. Aneh, aku mendapati diriku selalu ingin membaca apa yang ada dibalik mata gelap Regen yang sudah berhasil membuatku jatuh itu.

"Udah?"

Satu tanda tanya itu membuatku bingung.

"Maksudnya?"

Regen berdecak lalu berbalik lagi menuju ke perpustakaan yang ada di lantai dua. Meninggalkan aku, sendiri, menatap punggungnaya dengan pikiran kalut yang sulit dijelaskan. Jadi? Permintaan maafku itu dimaafkan atau tidak?

Akhirnya, setelah punggung Regen menghilang di balik tikungan tangga, aku menghela napas berat.

Kay, Reg, apa aku harus benar-benar berlari untuk mengejar kamu yang penuh teka teki itu?

***

Mentari masih terlalu terik ketika aku keluar dari gerbang sekolah dan menunggu Dilla menjemput. Ya, setelah kak Tania menikah dan pindah ke rumah sendiri, tugas antar jemputku beralih kepada si pengangguran banyak acara itu. Berhubung Dilla sekarang jomblo juga, HAHA, aku ingin sekali tertawa di depan wajahnya kalau tidak ingat aku sendiri juga jomblo.

Bye! Lupakan masalah jomblo-jomblo yang tidak penting itu.

Aku melirik sekali lagi jam boots yang masih setia melingkar di tanga kiriku. Ya, si kunyuk itu sudah ngaret setengah jam! fuh, bahkan sekarang halte yang kutempati untuk menunggu Dilla sudah lumayan ramai oleh orang-orang yang menunggu.

Menunggu, betapa ambigunya kata itu sekarang.

"Melody, ya?"

Aku memutar kepala dan menemukan sepasang manik hitam bening milik orang yang samar-samar aku kenal. Dia,.. tunggu.. oh!

"Kak Kimmy ya?"

Kimmy, pemilik manik hitam itu, tersenyum kepadaku seraya mengangguk. Senyumnya manis juga ternyata, aku kira orang ini cuma bisa cemberut dan mendengus.

"Kamu... nunggu jemputan atau gimana?"

Aku menjawabnya dengan mengangkat bahu dan mengangguk singkat. Kimmy ber'oh'ria. Satu tangannya tampak membawa sebuah buku yang tidak bisa kubaca apa judulnya.

"Pulang bareng aku yuk, kita ngobrol dulu di IceSweet. Gimana? Kamu suka es krim nggak?" tanya Kimmy, dengan senyum dan kilat mata antusias.

Aku tersenyum ragu dan berpkir sejenak. Menggiurkan sih, siang-siang bolong gini makan es krim coklat yang terkenal enak banget di restoran es krim itu. Tapi... sama Kimmy? Pasti bakal awkward banget deh.

"Gimana? Mau yuk, janji deh nggak lama" Kimmy mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V. Aku tersenyum kaku, melirik jam Boots ku lagi sebelum kemudian akhirnya menganguk.

***

Kak Kimmy ternyata bawa mobil dan aku sangat bersyukur karena itu.

Dan betapa bersyukurnya lagi ketika ternyata, Dilla mengabariku lewat LINE dan bilang dia gak bisa jemput karena harus jenguk temennya yang sakit. Temennya gais, dia lebih milih temennya daripada adiknya ini. Kakak macam apa?

Sesampainya di IceSweet, aku langsung memesan large chocolate ice cream-agak nggak tahu diri berhubung ini di traktir-sementara kak Kimmy dengan Red velvet nya. Kami mengambil tempat di pinggir dekat jendela besar yang menampakkan sungai buatan restoran ini. Ya, tentu saja aku tidak akan coba-coba untuk meliriknya, atau, trauma itu kambuh lagi.

Namanya juga ditraktir, jadi harus nurutin maunya yang neraktir.

"Jadi, kamu di High Light baru? Kenal bu Rita nggak mel? Ituloh.. guru Fisika killer yang hobi banget ngasih hukuman" Kimmy menyendok es krimnya.

Ini orang dari tadi nanyain High Light mulu.

"Iya tapi, enggak, eh, maksudnya aku gakenal bu Rita. Guru Fisika aku bu Ayu" Jawabku sekenanya. Kembali menyantap es krim super enak di depanku yang sudah tinggal setengah.

Kimmy sedang ber'oh' ria menanggapi jawabanku ketika tiba-tiba aku melihat dua orang yang baru saja datang dan menempati meja di belakangnya yang berarti di seberangku. Es krim coklat yang baru masuk ke mulutku sontak melanggar peraturan katup epiglotis. Membuat aku sontak tersedak saking kagetnya aku melihat dua sosok itu.

Alih-alih memberiku segelas air, Kimmy malah menengok ke belakang dan mengikuti arah pandangku. Jahat.

"Eh, Mel kamu gapapa?"

Telat!

Aku menghela napas setelah menaruh botol minumku di meja. Untung aku punya minum, untung.

"Itu kan... temen kamu 'kan?"

You don't say. Aku sibuk mencari-cari buku menu dan mengangkatnya sampai menutupi wajahku. Kacau kalau sampai Regen tahu aku disini. Bisa-bisa dia kira aku mata-matain dia sama kak Embun.

Yeah, They both are Regen and Embun.

"Kak, please biasa aja please, jangan sampe dia tau ini aku ya?" Ucapku, menyendok eskrim sekali lagi saking tidak relanya kehilangan makanan paling langka itu. Heh, es krim gratis itu langka ya?!

"Kenapa? Kalian bukannya...partner?"

Aku meringis pelan dan menatap Regen dari celah buku. Partner katanya?

"Kayaknya dia liat aku tapi kok nggak nyapa ya? Nggak peduli apa gimana sih? Apa lupa?"

Aku ingin sekali membalas perkataan kak Kimmy dengan Hey, come on, Regen kalo nggak ke ka Embun, pedulinya ya ke hujan doang. Tapi demi menjaga persembunyian, aku memilih untuk menanggapi kak Kimmy dengan nggak tau.

I know, I am someone who not good in hiding. Terakhir kali aku sembunyi-sembunyi begini ada ulet bulu nemplok.
"Yang sama dia tuh siapanya Regen? Pacar? Kok familiar ya mukanya?"

DUUH, bisa tolong bekap mulutnya pakai lakban? Brisik sekali.

Regen tampak berbicara sesuatu yang tidak bisa ku tangkap jelas dari sini. Ada sinar aneh yang belum pernah aku lihat sebelumnya ketika matanya bersitatap dengan mata kak Embun. Senyumnya juga, selalu terangkat. Dan melihat itu semua membuat sesuatu di dalam dadaku riuh bergemuruh.

Tatapan itu terlalu bukan Regen. Setidaknya yang aku kenal,

"Ya kak, dia pacarnya Regen iya"

Kalimat dan nada yang jelek sejelek-jelekknya. Well, karena itu, kak Kimmy langsung menyimpulkan dan menatapku dengan pandangan sulit dimengerti. Sambil tersenyum,

"Kamu ada feeling ya, sama dia?"

Terlalu pas. Tapi toh perasaan bukan berarti harus cinta juga 'kan? Sometimes it can be hate, angry, and something like that. Yang jelas adanya di hati.

"Kalo iya juga gapapa"

Iya. Memang iya. Hanya aku yang kadang terlalu naïf untuk mengakuinya. Aku juga benci pada apa yang kurasakan sekarang sebenarnya. Tapi aku bisa apa?

Satu dari sekian banyak hal yang tidak bisa diatur dalam dunia ini; perasaan.

Meja di seberang ku mengeluarkan tawa yang cukup lepas. Mereka tertawa. Ya, betapa bahagianya.

Kak Kimmy tiba-tiba menggenggam tanganku yang bebas di atas meja. Tersenyum, dan mengatakan sesuatu yang, yah, membuatku harus mengakui dia sebagai penulis novel romantic. Meskipun akhirnya tidak harus selalu bahagia.

"Cintaitu bukan bagaimana dua hati saling berbalas. Cinta soal bagaimana satu hati kehati lain. Bagaimana kita memberi, bukan bagaimana kita menerima walaupun pada kenyataannya, kita juga manusia dan sangat ingin menerima hati orang lain.Cinta tapi diam dan nunggu sampe orang yang kita cintai berbalik. Cih, mau sampe kapan? Berjuang Mel, Percaya nggak ada perjuangan yang sia-sia"

***

A/n

Sumpah ini panjang, sampe 3000+ niat banget. Btw, bentar lagi gue masuk *hiks, pr masih banyak* ada kemungkinan gabisa apdet tiap hari kayak biasa.

See you next part! Fyi, kedepannya akan lebih banyak yang hurt hurt.

-A
11/4/16

Continue Reading

You'll Also Like

110K 1.1K 9
Berisi kutipan-kutipan novel PERGI yang di tulis oleh Tere Liye
32K 6.2K 31
[SUDAH TERBIT - TEEN FICTION] Menyimpan sebuah kilasan waktu dalam memori, yang tak pernah luruh bersama detik. Membawa kotak keabadian atas pertemua...
2.3K 655 49
Bagaimana rasanya saat dihadapkan pada dua orang yang sama-sama berarti untuk hidupmu. Siapa yang akan kamu pilih saat diharuskan memilih? Ini tentan...
4.9K 171 8
(LENGKAP) Kamu adalah sebuah cerita. Entah mau aku kategorikan apa. Bahagia atau kesedihan. Kamu adalah sebuah cat pemberi warna dalam setiap toreha...