Aku dan Hujan

Bởi Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... Xem Thêm

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[13] Sisa-Sisa Persahabatan

3.8K 240 3
Bởi Shinyrainy

"Here I am, once again
I'm torn into pieces
Can't deny it, can't pretend
Just thought were the one"- Behind These Hazel Eyes, Kelly Clarkson

***

MALAMNYA, Livia datang ke rumahku dan menjerit-jerit histeris. Pertama, karena proyek mading hampir goal dan berjalan sesuai rencana. Kedua, karena tragedi bangke sialan itu. Aku, akhirnya, dengan malas menceritakan semuanya dari awal sampai akhir. Dari awal bangkai itu tercium sampai si imut (aku mau muntah) itu keluar dan dikubur oleh teman-teman laki-laki super gantle di kelasku.

Semoga aku tidak berlebihan.

"Dy?"

Aku mengangkat kepala dari layar Hp dan menatap Livia yang tampak menerawang. Aneh emang, dari jerit-jerit heboh tiba-tiba diem kayak orang banyak pikiran.

"Lo mikir nggak kalo ini semua kerjaannya Selda?" ucapnya. Seketika membuatku mematung.

Aku tidak mengira Livia akan mengucap nama itu juga. Nama sahabatnya dulu. Ya, Selda sahabat kami, sungguh, sahabat terbaik yang pernah kami miliki seumur hidup. Ya, sebelum sesuatu membutakan matanya.

Sebelum Ia memaki kami dan menganggap kami penghianat.

"Gu... gue"

"Gue tau kok Dy, gue liat waktu dia ngelabrak lo di parkiran. Dan gue yakin usahanya buat ngancurin lo nggak sampai situ aja."

Kerongkonganku tiba-tiba terasa kering. Aku jelas masih mengingat hari itu, pertama kalinya aku melihat Selda lagi setelah hampir tiga tahun. Saat dia mencekal kerah bajuku, saat aku-dengan nekat dan sok beraninya-mengatakan sahabatku selain Livia sudah mati.

Kepalaku mendadak pusing.

"Terus kenapa lo nggak nolongin gue waktu itu?" tanyaku tanpa menoleh lagi pada Livia. Kami sedang duduk di sofa balkon kamarku-dan Dilla-, dan disini, aku bisa bebas menatap lapangan basket dan taman kompleks di depan. Satu hal yang membuat aku suka bersemedi di balkon.

"Karena gue nggak mau bikin keributan. Lagipula waktu itu ada Regen kan? selama lo sama Regen, gue jamin lo aman" Livia terkekeh renyah. Mungkin dia ingat 'fobia'ku pada manusia bernama Regen. Lucu, memang, tapi entah kenapa belakangan ini aku sudah terbiasa dengan sifat ketusnya yang pangkat lima puluh itu. Sejak kejadian Jum'at itu.. entahlah, dan kenapa jadi nyambung-nyambung ke Regen lagi?!

"Gue nggak mau nuduh siapa siapa sih Liv, tapi..." aku menatap Livia dan menghembuskan nafas. "Lo tau sendiri"

Livia mengangguk dan menepuk bahuku pelan. Selda adalah sahabatnya sejak sekolah dasar, sementara aku? Aku bahkan baru mengenal mereka di masa orientasi SMP dulu. Satu yang membuatku tidak mau cepat menuduh Selda sebagai pelakunya, dan mengadukan perbuatan cewek itu terhadapku kepada Livia.

Sejujurnya, aku tidak pernah ingin melihat mereka bejauhan seperti sekarang.

Tapi aku cuma manusia, bisa apa? Selda sudah terlanjur membenci kami. Semuanya sudah terlanjur.

Dering Hp Livia menyentak kami dari hening yang cukup lama. Cewek itu mengambil benda itu dari saku jeans yang dia kenakan, melihat nama yang ada di display, dan seketika matanya melebar sempurna.

"Ayam, Dy... Ody"

Livia menyodorkan Hpnya ke arahku sambil menutup mulutnya dengan satu tangan. Aku menerimanya dengan sedikit takut.

Dan melihat nama di display hpnya,

Rahangku jatuh kebawah.

***

"Ini gue, Sella"

Mata kami bersitatap mendengar suara orang di seberang telepon. Aku, dan mungkin juga Livia, awalnya berpikir suara pertaama yang akan kami dengar adalah suara seorang Griselda Afrisha. Ya, orang yang baru saja diperbincangkan panjang lebar.

Tapi ternyata dugaan kami salah. Yang pertama kami dengar justru suara orang yang mengaku dirinya bernama Sella. Sella, Selda, aku nggak tahu lagi ya Tuhan.

"Ada apa bos lo nyuruh nelepon-nelepon gue?"

Kesimpulannya, si Sella ini anak buahnya Selda. Otakku berusaha merangkai satu persatu apa yang terjadi. Tapi alih-alih menemukan jawaban, kepalaku malah tambah pusing tujuh keliling.

"Ngga usah banyak bacot deh. Cepet turun, Selda nunggu lo di taman depan rumah... siapa tuh temen lo yang tasnya dimasukkin bangke itu,"

"Lo ya? Ini kerjaan kalian kan?"

Aku hanya menggigit bibir bawahku sambil menatap hp Livia yang di loadspeaker di meja depan sofa. Bingung harus bereaksi apa.

Tiba-tiba orang di seberang telepon tertawa ngeri. Persis nenek lampir di gunung ceremai. Horror?!

"Lo tau jadi buat apa lagi gue kasih tau? Udah cepet turun, Selda mau ketemu kalian berdua"

"heeehhh oncom, lo pikir kita bab-"

"Bilang Selda, sepuluh menit lagi kita turun. Satu lagi, bilangin ke dia, jangan jadi pengecut dengan neror kita pake cara norak kayak gitu." Sifat sok beraniku keluar lagi. Untuk saat ini, mungkin itu akan berguna. Tapi nanti... ah, aku pasti bisa kok.

"Bilangin juga kalo mau nelepon nggak usah malu-malu. Halo? Halo? Wooyy, ah dasar kutukupret. Sialan" Livia mulai mengumpat aneh lagi. Kebiasaanya kalau sedang kesal, panik , atau frustasi.

Dia memasukkan kembali hp nya ke saku blue jeans. Lalu aku menariknya masuk ke dalam rumah.

Menyiapkan mental.

***

Malam yang terang. Bintang gemintang bersinar. Rembulan penuh benderang. Seharusnya senyum yang terukir di setiap orang yang melihatnya. Tetapi tidak bagi Regen. Cowok itu bahkan sudah lupa caranya tersenyum ketika kakinya menginjak bangunan bernama rumah ini.

Malam ini, Regen justru mengharapkan hujan turun.

Sederas apapun, ia ingin melepas semua beban yang jenuh menumpuk di dalam kepalanya. Ia ingin melarutkan semuanya bersama hujan.

Ia benar-benar tidak bisa mengerti jalan hidupnya sendiri.

Tadi sore, papanya tiba-tiba saja membawa seorang wanita dengan setelan kantor ala-ala wanita karir. Mungkin ia masih bisa terima kalau saja wanita itu hanya sekedar mampir atau bertamu ke rumahnya, mungkin ia masih maklum kalau papanya memperkenalkan wanita itu sebagai rekan kerja sekantornya.

Dia masih bisa terima.

Tapi tidak dengan kehadiran wanita itu sebagai calon 'ibu' tirinya, tidak dengan papanya yang mengaku mencintai wanita itu, tidak karena tidak ada yang bisa menggantikan mamanya. Tidak akan ada yang bisa. Sampai kapanpun.

Langkah Regen yang tanpa tujuan membawanya ke salah satu taman tak jauh dari rumahnya. Taman yang menjadi saksi bisu ke-frustasiannya selama ini. ya, kakinya membawanya pada tempat yang selama dua tahun ini menjadi tempat favoritnya.

Cowok itu baru saja melangkah memasuki area taman ketika telinganya menangkap suara yang sangat familier di telinganya. Alih-alih mendekat, Regen malah bersembunyi di balik salah satu kursi panjang yang ada di taman itu. Ini bukan malam Sabtu-Minggu. Jadi hanya ada sunyi yang mengisi atmosfer. Taman ini sepi.

"Terus, kalo lo balikin itu semua, gue sama Ody harus apa? berlutut? Minta maaf atas perbuatan yang sama sekali nggak kita lakuin?!"

"Apa? sama sekali nggak kalian lakuin? Lo pikir, dengan jadiannya Ody sama Bian atas comblangan lo, ade gue nggak sakit? Lo pikir Vanya-"

Plaakk

Regen menatap tiga cewek yang dia kenal itu dengan pandangan nanar sekaligus bingung.

Apa yang terjadi dengan mereka dan... apa hubungannya dengan Bian?

***

Aku berdiri di samping Livia. Di depan Selda. Tapi posisi kami seakan seperti dua kurcaci melawan ratu jahat di film snow white. Tatapan Selda itu loh gils... mengintimidasi. Oke, dua dedemit yang selalu ada di samping Selda ternyata tidak ikut campur dalam urusan ini.

"Hai, sahabat-sahabat gue tercinta. Apa kabar?" dulu, senyum itu senyum termanis sepanjang masa. Sekarang, iblis! eh, bagusan iblis deng.

"Basi sekali anda. Langsung aja deh, maksud lo nyuruh kita kesini apa? eh maksudnya ngundang kesini apa?" Balas Livia. Aku nggak tahu apa yang bikin dia seberani itu berhadapan dengan Selda, padahal dalam kasus ini harusnya Livia yang lebih sakit.

"Gue, ngundang kalian kesini cuma mau balikin sesuatu. Bentar"

Aku menoleh dan bertukar pandang dengan Livia. Mencoba saling menebak apa yang akan dilakukan Selda untuk memenuhi hasratnya kali ini.

Tak lama kemudian, cewek sengak itu datang dengan sebuah kotak. Mungkin isinya bangkai. Ih, aku merinding.

"Nih, gue nggak butuh" Selda melempar kotak itu. membuat aku dan Livia tersentak seketika. Kami berdua berjongkok dan menggoyangkan kotak itu untuk menebak isinya. Aneh, tingkah kami kenapa jadi seperti baru mendapat kado di pesta ulang tahun.

Pelan, dan dengan jantung berdebar keras, kami membuka kotak itu dan melihat isinya.

Bukan bom..

Apalagi bangkai..

Hanya...

"Terus, kalo lo balikin itu semua, gue sama Ody harus apa? berlutut? Minta maaf atas perbuatan yang sama sekali nggak kita lakuin?!" Bentak Livia sambil mengeluarkan kertas warna-warni dari dalam kotak itu kasar. Berbagai bentuk origami yang menjadi hobi kami mengisi waktu luang dulu. Ternyata selama ini Selda masih menyimpannya.

Dia masih menyimpannya, bukannya harusnya udah dia buang sejak pertama kali dia memusuhi aku dan Livia? Kenapa sekarang dia malah menunjukkan kertas-kertas penuh kenangan itu, yang dengan sangat jelas membeberkan kalau sebenarnya dia juga nggak mau kehilangan kami?

Aku nggak ngerti lagi.

Mata Selda menatap Livia tajam dan dia mendekati kami beberapa langkah.

Dia berhenti dan matanya beralih kepadaku. Menatapku dari ujung kepala sampai kaki!

"Apa? sama sekali nggak kalian lakuin? Lo pikir, dengan jadiannya Ody sama Bian atas comblangan lo, ade gue nggak sakit? Lo pikir Vanya-"

Plaaakk

Apa yang sudah dilakukan tanganku? Apa yang sudah aku lakukan? Mataku menatap tangan kananku yang sekarang sudah memerah dengan horor. Ucapan Selda yang mengungkit masa lalu itu membuat emosiku seketika naik ke ubun-ubun. Sekarang, yang ada padaku hanya perasaan menyesal. Selda sahabatku dan aku baru saja menamparnya?

Selda mengibas rambut yang menutupi wajahnya. Tersenyum sinis.

"Ody.. ody. Gue nggak nyangka lo bisa seberani ini. Belajar apa lo di Singapore? Tinju? Atau.. bela diri ketika di bully?" Selda terkekeh sarkastik. Livia sudah ingin maju kalau saja aku tidak menahannya. Aku tahu ucapan Selda belum selesai.

"Awalnya, gue pikir lo cewek baik, ceria, pengertian, and something which make you like a perfect friend." Aku menegak ludah. Berusaha menatap Selda dengan pandangan berani.

"But actually, lo nggak lebih dari seorang pembu-"

"STOOPP!" aku sudah nggak tahan lagi. Emosiku sudah benar-benar meledak. Cukup! Sudah cukup aku mendengar semua hina dina nya. Sudah cukup! Aku lelah, aku benar-benar lelah dan muak. Bukan hanya kali ini, tapi sejak tiga tahun yang lalu.

"Terserah lo mau katain gue apa! Pembunuh lah, apa lah. Yang jelas, dengan lo lampiasin semuanya ke gue sama Livia. Bahkan kalau suatu saat lo buat dunia kita hancur sampe kita mati. Satu yang harus lo tau Sel, semua itu nggak ada pengaruhnya buat Vanya. Dia nggak akan hidup lagi dan nggak akan pernah!" tukasku, langsung, membuat Selda seketika mematung di tempatnya.

Aku sudah menduga 'pertemuan' ini tak akan berjalan baik. Aku sudah menduga ini hanya akan menambah luka di hati masing-masing. Tentang persahabatan kami yang hancur. Persahabatan kami yang buntu pada akhirnya.

Persahabatan kami yang tinggal sisa.

Pada akhirnya, aku tak menemukan sedikitpun celah untuk menyelamatkan persahabatan kami. Karena itu, aku memilih beranjak, pergi.

***

A/n

Comment something!

Gue punya rencana ngerubah prolog, boleh?

-A
29/3/16

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

2.3K 654 49
Bagaimana rasanya saat dihadapkan pada dua orang yang sama-sama berarti untuk hidupmu. Siapa yang akan kamu pilih saat diharuskan memilih? Ini tentan...
1.1K 55 12
Sebuah kisah yang aku abadikan lewat tulisan. Latar belakang cerita berasal dari real storyku. Cerita ini menceritakan perjalanan untuk mencapai keti...
32K 6.2K 31
[SUDAH TERBIT - TEEN FICTION] Menyimpan sebuah kilasan waktu dalam memori, yang tak pernah luruh bersama detik. Membawa kotak keabadian atas pertemua...
4.9K 171 8
(LENGKAP) Kamu adalah sebuah cerita. Entah mau aku kategorikan apa. Bahagia atau kesedihan. Kamu adalah sebuah cat pemberi warna dalam setiap toreha...