Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[12] Dendam Masa Lalu

4.3K 245 2
By Shinyrainy

Dendam itu seperti penyakit.
Ketika penyakit itu kambuh, yang memilikinya akan melakukan apapun demi mengurangi sakitnya.

***

Jam olahraga yang melelahkan baru saja selesai. Bukannya aku tidak suka olahraga. Tapi kali ini pak Mulyo-guru olahraga kelas ini-bener-bener gila bin sarap bin sinting ngasih tugasnya. Masa cewek disuruh tanding lari sama cowok-cowok sih. Melawan kodrat, udah jelas-jelas cowok sama cewek itu beda dalam segala hal. Apalagi yang menyangkut fisik!

Aku menegak isi tupperwere yang aku bawa sampai benar-benar tandas. Over lelah setelah berusaha mengejar Deri yang larinya mirip super hero flash. Jangan-jangan dia emang punya kekuatan macem flash lagi.

"Mel, lo nyium sesuatu nggak? Kok kayak.. bau bangke ya?"

Aku mengernyit mendengar pertanyaan Aira yang aneh itu. Menutup hidung dengan telapak tangan, dan seketika terbatuk-batuk waktu aku melepas tanganku dan menghirup udara sekeliling.

Ini serius bau bangke gaes.

"Njirrr siapa yang belom mandi wooyy" Ian, yang duduk tepat di belakangku, memekik heboh sambil menutup hidungnya. Dia keluar kelas, aku ikut, dan semua penghuni kelas yang mencium bau menyengat itu akhirnya ikut keluar. Nggak semua sih, ada Regen yang masih di dalam. Oh iya, setelah kejadian Jum'at itu, Regen sama sekali nggak menunjukkan perubahan berarti. Jadi aku anggap kemarin itu dia lagi kesurupan setan baik hati.

Ada gitu setan baik hati?

"Kalo lo semua keluar, sampe kita lulus juga nggak bakal ilang tuh bau" seru Regen dari dalam kelas, hiperbola. "Ki, lo kan ketua kelas. Gimana sih, ada masalah di kelas kok malah kabur!" lanjutnya.

Kiki langsung merasa tersindir. Maka dia masuk kedalam kelas dan menghadap Regen.

"Yang merasa cewek boleh diluar" kali ini suara Kiki. Dan itu membuat cowok-cowok kelasku langsung menyerbu masuk ke dalam. Ciah, nggak mau dibilang banci bangke pun dihadapi. Hahaha,

Kami, bangsa cewek, menyemangati para cowok dan menunggu informasi mengenai asal muasal bangkai itu. Aku merinding sendiri. Membayangkan ada hewan mati, ohh.. jangan dibayangkan. Aku bergidik ngeri. Ini kan sekolah lumayan elit. Masa sih ada hewan mati di kelas, lagian tadi pagi kelas masih harum wangi nan bersih kok. Terus darimana asalnya bangkai mengerikan itu coba?!

Aku baru mau beranjak mencari udara segar di taman belakang ketika suara Deri dari dalam kelas terdengar seperti petir di siang bolong.

Jantungku hampir jatuh ke kaki pemirsah.

"Melody, bangkenya ada di tas lo!!!!"

***

Yang pertama terlintas di pikiranku ketika mendengar 'pernyataan' Deri adalah teman-temanku akan langsung menjauhiku karena berpikir aku jorok dan sebagainya. Ini bagian dari trauma. Makannya aku kaget setengah waras begitu mereka malah membantuku untuk mengeluarkan 'isi' tasku yang malang itu.

Kami sekarang sedang duduk melingkar mengelilingi meja besar yang ada di perpustakaan sekolah. Mengisi kekosongan pelajaran Bahasa Indonesia dengan alibi ngerjain tugas. Nggak semua, hanya para ciwi-ciwi yang sedang berpkir keras bagaimana bisa ada bangkai di dalam tas ku.

Dan hari ini, untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa punya teman.

"Gue rasa ada yang lagi neror lo Mel." Kata Dina-cewek yang dijuluki 'informan' kelas karena pengetahuannya yang canggih tentang anak-kelas-lain-.

"Dia, atau kita?" kali ini Tiwi.

Aku hanya balas menatap mereka dengan tatapan gue-nggak-tau-apa-apa-yaampun.

"Mungkin kita bisa liat sidik jari di tasnya Melo" Aira berusul. Langsung dibalas dengan sorakan karena anak bernama Aira ini mengusulkan sesuatu yang 'ada-ada aja'. Dia pikir alat menunjuk sidik jarinya ada? Mau manggil polisi? Yakallee.

Penjaga perpustakaan segera berkoar.

"Gue nggak tau ada orang yang sejahat itu ngasih tikus mati ke tas gue. Gue nggak merasa salah sama siapa-siapa. Gue" mataku sontak melebar mengingat kesalahan yang terkandung di dalam ucapanku tadi. Ada seseorang. Yang selama ini keberadaanya hampir aku lupakan karena aku belum melihat mukanya lagi.

Kalian pasti tahu.

Dia...

Sumpah kalian pasti tahu.

Aku memejamkan mata kuat-kuat mengingat semua tentang orang itu. apa mungkin? Setega itu dia memperlakukan aku?

Teman-temanku yang menyadari apa yang terjadi padaku segera menatapku dengan pandangan bingung. Bukan. Bukan tatapan mata mengintrogasi atau semacanya. Tatapan mereka justru menyiaratkan rasa percaya. Dan bukan lagi, bukannya aku tidak mau mnceritakan semuanya kepada mereka. Tapi... aku.. aku belum siap. Aku belum siap membuka kenangan perih itu lagi. Aku takut.

Sintia, cewek berkerudung dan kaca mata tiba-tiba merangkul bahu ku dan tersenyum hangat. "Kamu tau Mel, kita semua temen. Apapun yang terjadi, kita ditakdirkan ada untuk satu sama lain"

Hatiku langsung trenyuh.

***

"Hii! Aku Melody, boleh gabung?"

Dua anak perempuan yang masih menggunakan seragam putih merah dan embel-embel MOS itu sontak memutar kepala mereka ke sumber suara. Mereka menatap anak perempuan yang tadi menyapa mereka, Melody, anak perempuan yang juga mengenakan pakaian serupa.

Griselda Afrisha, salah satu dari dua anak itu, segera tersenyum dan menggeser duduknya. Livia Luciana, anak perempuan yang satu lagi,mengikuti apa yang dilakukan temannya dari SD itu. Selda.

"Makasih ya. Nama kalian siapa?" Tanya Melody, suaranya agak tenggelam di tengah riuhnya suara orang-orang di kantin ini.

"Gue Selda, dia temen sebangku gue dari SD, Livia. Lo?"

Mereka berjabat tangan.

"Aku Melody, panggil aja Ody. Kalian dari SD mana?"

***

"Hooowwaa gila lo Sel, lo Ranking satu lagi." Livia memekik heboh sambil memeluk Selda dan mengguncang-guncangkan bahunya.

Selda tersenyum, balas memeluk. Bukan hal aneh sebenarnya mendapati ia kembali menduduki posisi juara kelas. Tapi sahabatnya ini tetap saja menjadi orang yang paling histeris. Dia sendiripun tidak pernah seheboh ini.

"Lebay lo. Biasa aja lagi" tukas gadis itu. Salah tingkah. Matanya mencari- cari seseorang yang seharusnya juga berada disini untuk memberinya selamat. Kemana dia? Apa jangan-jangan dia lupa memberi ucapan? Ah, kenapa Selda jadi orang yang gila ucapan seperti ini?

"Lo nyari Ody ya? Dia lagi ke kelasnya Bian noh. Biasa, baru jadian jadi nempel mulu kayak perangko,"celetuk Livia. Membuat ekspresi Selda sontak berubah, meskipun hanya sepersekian detik. Karena setelah itu, dia kembali tersenyum seperti semula lagi.

"Lo kenapa Sel?" itulah tidak enaknya punya sahabat sejak kecil. Dia akan segera tahu apa yang terjadi padamu sekuat apapun kamu berusaha menutupi. Seapik apapun acting yang kamu lakukan di depannya, pasti akan langsung disadarinya. Dan itulah yang Livia lakukan sekarang.

"Nggak papa kok. Gue Cuma keingetan Vanya" jawabnya. Setengah berbohong setengah jujur.

"Emangnya Vanya kenapa?eh dia di Satu gimana? Masih juara kelas kayak lo?"

Selda segera tersenyum miris. Adiknya itu bahkan harus drop di semester pertama sekolahnya karena orang itu. Lucu, kenapa cinta datang padanya pada waktu dan orang yang tidak tepat? Kenapa cinta harus mempermainkan perasaan adiknya yang masih putih? Membuatnya mencintai orang yang mencintai orang lain. Kenapa cinta begitu jahat kepada Vanya?

Selda melangkah menuju gerbang sekolahnya tanpa menghiraukan panggilan Livia.

Dia sudah muak.

***

Seorang anak perempuan dengan seragam putih biru dilapisi sweeter biru lautnya,berjalan mengendap-endap memasuki gedung bertuliskan SMP Kalista. Dengan segenap keberanian, dia memasuki gedung itu dan mencari celah untuk menuju kelas yang sudah ia ketahui letaknya. Kelas 7B. dan kakaknya tidak boleh tahu dia kesini.

Hari ini, dia memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Dia akan menyatakan perasaan yang selama ini ia pendam.

Tak peduli bagaimanapun respon dan resikonya.

"Lo jadian nggak bagi-bagi PJ parah banget!"

"Bian doyannya kakak kelas euy"

"Ody kok mau sih sama Bian. Bian kan gila!"

Langkah Vanya tiba-tiba berhenti mendengar teriakkan teriakkan itu. Dia bersembunyi di balik tembok tak jauh dari tempat teriakkan-teriakkan itu berasal. Napasnya memburu, menggambarkan detak jantungnya yang juga naik turun.

Pelan, ia mengintip dan menyaksikkan apa yang sebenarnya terjadi.

Dan seketika jantungnya berhenti berdegup.

"Sorry ya sayang, temen-temen aku emang rada sinting"

Vanya mundur selangkah mendengar perkataan orang yang rencanyanya, ingin ditemuinya. Sayang?bukannya terakhir kali ia dengar cowok itu belum punya pacar?lalu, kenapa?

Berbagai pertanyaan berkecamuk di benak Vanya dan membuatnya semakin pusing. Ia menegak ludah. Berusaha membasahi kerongkogannya yang tiba-tiba saja terasa kering. Kenapa kenyataan bisa semenyakitkan ini?

"Hey, biasa aja kali. Kamu kayak nggak tau Selda sama Livia gimana."

Dan ya. Vanya kenal siapa yang ada di samping cowok pujaannya itu. itu Melody. Gadis yang satu tahun lalu dikenalkan kakaknya, Selda. Tutornya. Orang yang selama ini juga dikagumi Vanya karena auranya yang selalu ceria. Karena matanya yang seperti bulan, terang.

Lagi-lagi Vanya mundur selangkah.

"Pulang sekolah jalan yuk" Suara Bian, suara yang selalu ia suka, sekarang berubah menjadi belati yang menusuk hatinya hingga ia terkoyak.

"Ayo, adeknya Selda rekomen tempat enak buat nyegerin pikiran. Ntar aku kasih tau deh"

Satu belati lagi berhasil mengiris hatinya hingga tinggal serpihan. Kenapa mereka tega melakukan ini? Kenapa mereka tidak tahu ada seseorang disini?

Sebuah kenyataan menampar hati Vanya keras-keras.

Dia hanya butiran debu diantar luasnya padang pasir. Tak terlihat.

"Adeknya kak Selda? Kak Selda punya adek toh"

Bahkan orang itu baru tahu.

Vanya merasa mata dan hatinya memanas.

"Iya. Nanti aku kenalin deh kapan-kapan."

Ha,, sudah cukup kak Ody. Sudah cukup. Bagaimana dia bisa bepikir seperti itu sementara Vanya, dengan melihat Bian merangkul Ody, saja sudah sesakit ini, bagaimana bisa dia berhadapan dengan keduanya eye to eye. Bagaimana hatinya kuat melihat pendangan memuakkan itu?

Vanya mundur dan akhirnya berbalik meninggaklkan tembok yang baru saja menjadi persembunyaiannya.

Terkadang, disaat dunia tidak memihak kepada kita, yang bisa kita lakukan adalah berbalik dan pergi meninggalkan semuanya.

***

"Bengong mulu, mikirin gue ya?"

Aku tersentak kaget mendengar suara khas Bian yang sudah sangat ku kenal. Dia, seperti biasa, tersenyum cerah dan menatapku dengan wajah hangat. Kalo boleh diibaratkan, Bian itu persis mentari jam 7 pagi. Menghangatkan, tapi nggak membakar.

"Apaan sih, geer" balasku, menatap ke arah lain dengan malas. Sumpah deh, gara-gara bangke sialan itu aku jadi malas melakukan segala hal. Mana sekarang harus bawa buku pake kantong plastik sementara tas ku di plastik lain. Kak Tania pake acara ngaret jemput pula.

Bener-bener paket combo.

"Gue denger tas lo ada yang masukin bangke ya? Itu serius?"

Tersenyum masam, aku menunjukkan kantong plastik hitam besar yang berisi tasku kepada Bian sebagai jawabannya. Mungkin nanti malam tuh tas bakal mandi kembang tujuh rupa. Biar wangi.

"Gue nggak tau siapa yang ngelakuin perbuatan sekejam ini. Tapi yang jelas, orang itu pasti punya dendam sama gue" ucapku, sedikit menerawang.

Bian mengangguk-ngangguk sambil mengikutiku menatap ke depan. Suasana taman belakan yang selalu sepi membuat keheningan cepat terasa. Memang ini yang aku butuhkan. Sepi. Aku rasa lambat laun tempat ini akan menjadi basecampku. Seperti rooftop rumah oma di Singapore yang selalu menjadi tempat persembunyianku. Juga balkon kamar aku dan Dilla di rumah.

Aku tiba-tiba merasa jadi orang paling menyendiri. Sumpah.

"Nungguin kak Tania ya? Balik bareng gue aja yuk. Mumpung gue bawa mobil nih"

Aku menatap Bian sejenak dan berpikir. Tapi otakku yang lelah ini enggan di ajak berpikir lagi. Maka, aku menerima ajakan Bian dan beranjak dari taman itu.

***

A/n

Hallo kesayangan, gue mau bilang maaf kalau dua part yang baru gue publish ini agak aneh, banyak yang kepotong, nggak jelas, Vanya siapa?, dan kesannya freaky dan masa lalu Melody-Regen itu misterius bgt.

Ini gaya gue/eak/ maksudnya ya emang ceritanya begini. Kalian bakal tau kejelasan semuanya mungkin di tengah atau akhir cerita. Dan saat itu, gue jamin kalian bakalan ngomong "oooooooooooohhhhhhhhhhhh" sepanjang anyer-panarukan.

Pokoknya, gue harap kalian still read cerita ini dan tetep support gue apapun yang terjadi. Karena tanpa kalian; gue males nulis.

Cek blog baru gue ya:
Shinyrainyterritory.blogspot.com

Gue mungkin bakal cerita-cerita disitu.

Regards,
-A
26/3/16

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 408 33
[COMPLETED] AKU BENCI KAMU! Satu kalimat penuh makna yang aku simpan selama ini sebagai peringatan darimu. Kamu begitu membenciku dan aku begitu menc...
824 274 12
Original story. Apa artinya menunggu? Jika hanya ketidakpastian berujung kenyataan pahit yang menungguku. Bukankah kamu telah berjanji menjadi langi...
32K 6.2K 31
[SUDAH TERBIT - TEEN FICTION] Menyimpan sebuah kilasan waktu dalam memori, yang tak pernah luruh bersama detik. Membawa kotak keabadian atas pertemua...
56K 9.8K 9
"Pak." "Pak." "Ya, dek?" "Martabak coklat kacang 1." "Martabak coklat kacang 1." "Kok lo ngikutin gue, sih?" "Dih, enak aja. Lo yang ngikutin!" Inspi...