Pain(t)ed Heart

By sifanne

4.7K 179 17

Indahnya cinta mungkin hilang saat masalah itu datang. Imel adalah remaja korban broken home. Dulu ia hanya... More

Prolog
1. Cahaya dari Langit
2. Suatu Saat Nanti
4. Aku tak Mau ini terjadi
5. Aku Mohon Jangan
6. Seandainya Aku tak Ada
7. Percaya
8. Pelarian
9. Jodoh di Tangan Nenek
10. Panggil Aku Raib
11. Kakak Ketemu Gede
12. Sampaikan Rinduku, Hujan
13. Aku Tak Bisa
15. T without T
16. Sweet Temptation
17. Kertas Gambar vs Tensimeter
18. Mengapa Harus Aku?
19. KuasA
20. You Get It!
21. Sama Saja
Epilog

3. Bukit Berbunga

200 7 0
By sifanne

Tidak seperti biasanya, teman. Aku bangun sepagi ini. Bahkan, Ayah yang melihatku seperti ini ingin tak mau lepas berkomentar.

"Aduh, akhirnya putri tidur Ayah bangun juga. Siapakah gerangan pangeran yang membangunkan putri kesayanganku ini, ya?" kata Ayah sembari memotongi rerumputan liar di sekitar halaman depan villa kami.

Aku sedikit mengucek mataku, "Ayah bisa saja." Jawabku malu-malu.

"Iya, lo. Apa mungkin pangeran Langit yang membangunkan kamu, sayang?"

"Pangeran Langit? Siapa itu, Bunda?" kata Ayah tak mengerti.

Ayah pantas untuk tidak tahu. Pangeran langit itu adalah dongeng yang tadi malam diceritakan oleh Bunda kepadaku. Jadi Bunda bercerita, kalau di atas langit sana ada sebuah kerajaan yang indah. Begitu banyak kedamaian di sana. Penuh dengan cinta. Nama kerajaannya mengingatkanku pada sebuah lagu kesukaan Ayah,

... kau mainkan untukku, sebuah lagu.. tentang negeri di awan...

Begitulah sepenggal lagunya, aku tidak begitu hafal liriknya. Yang pasti, bunda bercerita jika aku bisa memiliki kedamaian di dunia ini, suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan pangeran Langit impianku. Dan di izinkan untuk aku bisa melihat istana kedamaiannya. Semoga..

"Ow.. begitu. Jadi anak Ayah sudah ingin bertemu dengan pangeran Langit atau pangeran hatinya?"

"Ih, Ayah. Jangan bercanda," mungkin jika kalian melihatku saat ini, tawa tak akan pernah bisa kalian tahan melihat wajahku yang merah merona karena malu tak tertolongkan. Aku memutar bola mataku pada sekeliling rumah. Memasang wajah siaga satu jika bang Erde ada di dekatku dan siap dengan ejekan super ampuhnya. Tapi, mana dia?

"Abang kamu saja belum bangun," kata Bunda.

Apa? Bang Erde belum bangun? Ini dia saatnya aku membalas dendam kesumatku. Tanpa mengganti piama terlebih dahulu, plus wajah bantal yang belum hilang, aku bergegas menuju kamar bang Erde.

Benar, di dalam kamarnya yang tidak dikunci, aku langsung saja masuk tanpa permisi. Bang Erde masih tancap selimut di kasurnya. Aku putar otakku, mencari apa yang harus aku lakukan untuk Abang tercintaku yang satu ini.

"Aha," aku teringat sesuatu.

Sebelum kami sekeluarga berangkat ke villa ini, bang Erde sempat bercerita tentang seorang gadis yang dia taksir di kampusnya.

"Cantiknya seperti putri Cleopatra. Tahu tidak kamu putri Cleopatra?" Aku hanya menggeleng. Jawaban yang tidak melegakan hati bang Erde.

"Hah.. payah kamu," sambil meminum gelas ketiga susu sapinya.

Mungkin dengan cara itu aku bisa membangunkannya. Tapi sepertinya dewi Fortuna sedang berpihak padaku. Belum saja aku keluarkan jurus rayuan sinetronku, bang Erde mengigau.

"Sandra.. Sandra... kau begitu cantik. Laksana bunga melati di antara ribuan bunga bangkai," aduh.. rayuan yang memuakkan. Oke, it's show time... Aku belai rambut bang Erde mesra. Terasa sedikit lengket di tangaku, "ih..jorok!"

Hahay.. dia menyambutku. Next.

"Erde, aku di sini."

"Ha... Sandra... Sandra.. ini aku Erde. Anak yang terlanjur lahir tampan ke dunia ini ingin memelukmu," akhirnya, bang Erde merespon.

Aku belai rambutnya, aku belai pipinya, lalu... BYUR!

"Abbbbbruuuuu...sssss.... Heh, banjir... banjir!"

"Hahahahah.... Mangkanya, bangun, dong. Hari kebalikan, ya, sekarang? Aku yang kepagian atau Abang yang kesiangan?" ya, puas... sudah memberikan guyuran segelas kesejukan di pagi hari.

###

Setelah sarapan, Ayah akhirnya mengajak kami keluar villa. Tidak jauh, sih. Hanya beberapa meter saja dari belakang villa kami. Dan, wow!

Sebuah bukit dengan hamparan rumput yang hijau, serta hiasan bunga berwarna-warni di berbagai arah. Teringat aku dengan lagu sewaktu kecilku, bagai permadani di kaki langit.. memang benar.

"Di sinilah.. tempat Ayah meminta Bunda kalian menjadi pendamping Ayah sampai sekarang," kata Ayah sambil membentangkan kedua tanggannya. Aku tirukan saja apa yang Ayah lakukan. Tiba-tiba aku ingin sekali melukis di sini. Tapi, "hah, segar sekali udara di bukit ini."

Bang Erde langsung saja tiduran di gundukan bukit tak jauh dari tempat aku, Ayah dan Bunda berdiri.

"Bunda, Bunda kenapa? Bunda capek?" tanyaku. Lamunanku sudah kabur. Wajah Bunda terlihat sendu sekali. Aku rasa Bunda baru saja menangis.

Bunda tak menjawab pertanyaanku, ia hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Walaupun aku tak percaya jika Bunda tidak sedang dalam masalah. Karena senyumnya, aku sedikit lega.

"Nah, bukit yang bang Erde tiduri itu adalah bukit yang tertinggi. Dan," belum selesai Ayah menjelaskan, aku langsung tancap gas lari menuju bang Erde berbaring. Hehehe... Ayah hanya tersenyum melihatku yang langsung lari meninggalkannya.

"Kamu di sana saja, Ayah dan Bunda ada di bawah pohon sana." Kalau Ayah sudah mengizinkanku, aku bisa tenang berbuat apa saja di sana.

"Bang," sapaku sedikit centil.

Bang Erde melirikku sekilas. "Hem, eh, Mel. Coba, deh. Lihat langit di atas sana!" Tunjuknya pada sekumpulan awan yang berarak menuju arah selatan.

Aku ikut-ikutan berbaring sambil mengarahkan wajahku ke atas. Membebaskan mataku melihat benda putih yang sedang berjalan-jalan pelan di atas langit.

"Seperti perahu, ya, Bang," kataku melihat salah satu awan yang bergerak menyerupai perahu berlayar.

"Kalau yang itu seperti burung elang." Bang Erde mengarahkan ranting pohon yang ia bawa saat menemukannya di halaman villa tadi.

Bang Erde, ia adalah Abangku. Walaupun ia begitu sering menjahiliku, dan berbagai tingkah aneh-anehnya yang tidak aku suka, tetapi yang ini aku satu hati dengannya. Berkhayal. Ya, berkhayal. Bang Erde begitu senang dengan berkhayal tentang sesuatu yang ajaib, aneh dan di luar nalar manusia, ia sangat suka. Mungkin karena sejak kecil kami selalu diberikan dongeng sebelum tidur oleh Bunda kami. Mangkanya, dunia khayal tak pernah luput dari kehidupan kami. Dalam suasana apapun, saat serius saja kami sering berkhayal. Tapi yang positif,. Misalnya, saat mencari ide untuk lukisan-lukisanku.

"Tempat ini enak juga kalau dibuat menyendiri, tenang.. ngelukis apa lagi," kata bang Erde sembari tersenyum imajinasi.

"Iya, Bang. Bener banget. Kalau begitu kita di sini saja kalau mau cari ketenangan. Tempatnya juga nggak jauh dengan villa kita, kan?"

"Bener juga. Berarti nggak ada salahnya kalau tiap malam kita ke sini sambil lihat bintang-bintang. Pasti indah banget. Setuju!" kata bang Erde semangat.

"Setuju.. Kapan-kapan temenin aku ngelukis di sini, ya." Aku gerakkan kepalan tinjuku ke arah langit tanda semangat.

Saat kami kembali menatap langit dan terhanyut dalam awang-awang kami, di bawah pohon mahoni yang berdaun lebat tak jauh dari bukit kami, Ayah dan Bunda terlibat dalam satu pembicaraan yang hangat. Dan.. satu yang aku pastikan, kami tak pernah tahu.

Bunda mengusap air matanya di pelukan Ayah.

"Nin, aku nggak mau semua ini terjadi. Aku hanya ingin kamu. Cuma kamu. Ini bukan aku yang minta. Seandainya perjanjian itu nggak pernah ada."

"Hus.., jangan pernah mas Akmal ungkit itu lagi."

"Tapi, Ninta. Ini semua karena perjanjian Ibuku," kata Ayahku bangkit dari duduknya.

"Dan ini juga salahku, aku tidak bisa menempati janjiku kepada Ibu," Aku tidak tahu apa yang terjadi ketika dua puluh tahun yang lalu. Aku tak bisa menyaksikan perjanjian mereka.

"Ibu Maria," Maria, itu nama nenekku, "saya setuju dengan permintaan Ibu. Saya bersedia meninggalkan mas Akmal jika sampai kami memiliki anak kedua, dan berusia tujuh belas tahun, namun Erde belum sembuh juga, aku akan meninggalkan kehidupan Ibu dan mas Akmal"

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana perasaan Bunda ketika bersedia dengan perjanjian nenekku. Ayah menjalin hubungan dengan Bunda di bawah ketidaksetujuan Nenekku. Nenek tidak suka dengan Bunda yang berasal dari keluarga sederhana. Orang tua Bunda bukan seperti orang tua Ayah. Kakek dan Nenek dari Bunda hanyalah buruh tani di desa, sedangkan Nenek dan Kakek dari Ayah adalah pengusaha perkebunan sayuran di Malang. Nenekku ingin Ayah mendapatkan jodoh dari kalangan yang setara dengan mereka. Tapi apa mau dikata, cinta sudah mempersatukan mereka, Ayah dan Bundaku. Atas nama cinta, mereka bersatu. Bukan karena harta. Ataupun paksaan semata.

"Kamu tenanglah, masih ada tiga tahun lagi. Aku akan berbicara baik-baik dengan Ibu" gumam Ayah dalam pelukan Bunda.

###

Malam harinya, aku dan bang Erde sepakat akan kembali ke bukit belakang villa setelah makan malam. TING!

Kedipan mata bang Erde mengisyaratkanku untuk meminta izin kepada Ayah dan Bunda.

"Ay—" KRINNGGG! 

Bunda segera bergegas mengangkat telepon yang berdering sedari tadi. Tenang, Ayah masih di tempat.

"Yah, Imel sama bang Erde mau ke bukit lagi. Boleh, ya?"

"Boleh ya, Yah!!" bang Erde membantuku. Bagus.

"Boleh.. tapi jangan malam-malam, ya, pulangnya," pesan Ayah.

"Siap, Yah. Aku siap-siap dulu, ya," bang Erde langsung berganti pakaian dan menuju ke halaman menungguku.

Ayah melihat sekilas Bunda yang sedang di ruang tengah. "Imel izin Bunda dulu, ya"

"Iya, Ayah" Aku langsung mencari Bunda ke dalam, "mana Bunda, ya?"

Di dekat pintu belakang rumah, aku melihat Bunda sedang menangis sambil berbicara di balik telepon.

"Tapi, Bu. Saya masih—"

"Bunda, Bunda kenapa?" tanyaku dari jauh.

"Halo.. halo—"

Bunda meletakkan telepon yang ia bawa dengan tangan bergetar. Bunda memandangku, aku memandangnya. Bunda berhenti menangis, mataku mulai berair.

"Bunda nggak apa-apa?" aku khawatir.

Bunda berdalih sambil menyembunyikan air matanya. "Nggak, sayang. Oh, iya ada apa?" suara Bunda bergetar.

"Imel.. Imel dan bang Erde mau ke bukit belakang villa. Boleh, Bunda?"

Bunda diam, tapi tidak lama Bunda menjawab, "boleh, tapi jangan lama-lama, ya"

Aku hanya mengangguk. Bunda mengecup keningku. Sambil menyunggingkan senyum manisnya, aku perlahan melangkahkan kaki meninggalkan Bunda. Bunda masih berdiri mematung di dekat meja telepon.

Di perjalanan menuju bukit, aku tampak resah dengan apa yang baru saja aku lihat. Dan ternyata, bang Erde melihat keanehanku. Sesampainya di bukit, kami menempatkan diri berbaring di atas rerumputan hijau yang tampak terang di bawah sinar bulan purnama.

"Mel, kamu kenapa sih? Lupa nggak bawa alat lukis?" Tanya bang Erde melirik ke arahku.

"Nggak, bang" aku hanya dia saja.

"Akhir-akhir ini aku sering banget lihat Bunda—"

"Nangis." potongku, "bang Erde juga tahu?"

Bang Erde mengangguk kecil. "Kamu tahu?"

Kami berdua diam. Ternyata ada yang Bunda sembunyikan dari kami. Bang Erde melihatku lagi.

"Mel, kasihan si Sandra," kata bang Erde sedih.

"Sandra? Sandra.. cewek yang Abang taksir? Kenapa?"

Ada raut kesedihan di balik wajah bulatnya. "Dia harus pindah kampus ke luar kota. Dan nggak bakalan tinggal di Semarang lagi."

"Loh, kenapa?" tanyaku penasaran. Wajah bang Erde pucat pasi. Aku yakin batinnya tersiksa. Dan itu pertanda kesehatannya akan terganggu.

"Orang tuanya cerai."

"Hah.. yang bener, Bang?" mataku melotot mendengarnya. Akhirnya bang Erde pun mulai bercerita bagaimana bisa itu terjadi.

Orang tua kak Sandra sudah lama merasa tidak cocok satu sama lain. Sering bertengkar dan imbasnya sering diterima oleh kak Sandra. Papanya tempramen, suka main tangan. Setiap Papa kak Sandra bertengkar dengan Mamanya, kak Sandra sering mendapatkan pukulan, tamparan hingga penyiksaan kata-kata kasar dari Papanya. Selalu saja kak Sandra yang merasakan sakitnya permasalahan kedua orang tuanya itu.

"Kasihan sekali, ya, Bang." ujarku.

"Iya, mangkanya Abang takut jika itu semua, yang dialami Sandra, terjadi pada kita." Katanya mulai ngelantur kemana-mana.

Aku pukul pundaknya keras. "Hus, Abang ngomong apa, sih? Nggak usah ngomong kaya gitu. Ayah dan Bunda kita baik-baik saja, kan. Mereka sangat menyayangi kita. Nggak mungkin mereka akan berpisah."

"Ya, semoga," jawab bang Erde lemas.

"Bang, Abang sakit? Nggak usah dipikirin, lah, Bang. Kita berdoa saja, Ayah dan Bunda bakalan langgeng sampai maut misahin mereka," harapanku sangat tinggi.

Kami melanjutkan ritual melihat bintang di malam ini. Sekejap aku melihat wajah Ayah dan Ibu di atas langit gelap. Mereka tersenyum ke arahku.

Hem.. kalian yang paling aku sayang.


Continue Reading

You'll Also Like

143K 2.3K 7
Judul sebelumnya : Baby Akira Squel dari 'Kau Yang Aku Semogakan' **** Keluarga adalah rumah dengan semua kehangatan di dalamnya... "Kila kalo ayah b...
1.5M 132K 61
"Jangan lupa Yunifer, saat ini di dalam perutmu sedang ada anakku, kau tak bisa lari ke mana-mana," ujar Alaric dengan ekspresi datarnya. * * * Pang...
97.5K 8.4K 26
Alan adalah seorang artis papan atas. Alan menyukai Lie. Dia tidak tahu bagaimana Lie bisa menarik perhatiannya sejak pertama kali mereka bertemu. Li...
2.2K 46 1
Berawal dari rasa iba, perlahan tumbuh menjadi rasa suka, yang semakin membesar menjadi rasa cinta, namun pada akhirnya harus terluka. _______ ______...