Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[2] Welcome to OUR Home
[3] Dia Itu
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[4] Jalan Pulang

6K 355 2
By Shinyrainy

HP yang ada di dalam saku rok abu abu ku berkelip kelip menunjukkan tulisan Kak Tania calling...

Aku mendengus. Tapi membiarkan benda itu terus begkelip kelip dan terus berkonsentrasi pada misi yang sedang aku lakukan ini. Ya, M I S S I O N. karena sekarang aku merasa sudah seperti detektif atau agen rahasia Amerika Serikat yang sedang menguntit buronan yang akan melakukan aksinya. Mau tau aku menguntit siapa? Regen dan Fabian. Aku penasaran yaampun! Ada hubungan apa antara Bian dan Regen. Mantanku dengan cowok ketus itu. Si ganteng dan si tukang marah marah.

Aku menggelengkan kepala demi mengenyahkan pikiran pikiran yang mengganggu konsentrasiku. Sorry guys, aku harus focus!

"Mau ngomong apa?" Bian membuka pembicaraan. Mereka bertemu di taman belakang sekolah-aku bahkan baru tau ada taman sebagus ini disini-, sementara aku besembunyi di balik pohon besar yang di kelilingi semak belukar. Berdoa aja semoga habis ini kakiku nggak gatal gatal.

Si cowok ketus itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Kemudian menjawab,

"Lo tau kan sebenernya papa dimana?"

Aku mengernyit. Apa maksudnya?

Hening. Aku semakin meyipitkan mata demi melihat bagaimana reaksi Bian. Tidak ada. Sepertinya Bian tidak menunjukkan ekspresi apapun, datar. Sumpah deh, aku masih belum mengerti ada apa sebenarnya diantara mereka.

"Nggak. Gue nggak tau" jawab Bian datar sambil ikut memasukkan tangannya ke saku celana. Ya,aku bilang ikut karena Regen sudah melakukannya terlebih dahulu. Mereka berdiri berhadapan, aku sudah tau sejak tadi kalau ini pembicaraan serius. Yang aku tidak tahu adalah apa yang akan dibicarakan oleh mereka dan apa hubungan keduanya. Aku benar benar penasaran. Dan sudah sekian kali aku bilang rasa penasaan bisa menggerogoti isi otakku dan membuat tampangku yang sudah bloon semakin bloon lagi.

"Lo ngajak gue ketemu cuma mau ngomong gitu doang? Anjrit, nggak penting banget." Bian mendengus lalu berbalik dan berjalan menjauh. Tapi baru beberapa langkah, suara Regen menghentikan jalannya.

"Sebenernya masih ada" Regen kembali menatap sekeliling dan membuatku harus bersusah payah mengecilkan badan di balik pohon.

"Tapi gue rasa ada enam telinga disini"

Deg.

Nggak mungkin nggak mungkin nggak mungkin. Aku sudah bersebunyi susah payah seperti ini, masa iya Regen liat? Nggak mungkin kan? Aku berusaha menghibur diriku sendiri, dan saat itulah aku melihat makhluk itu. Mataku sempurna melebar, makhluk itu dengan enaknya bertengger di betisku, dengan enaknya berjalan-

"AAARRRGGGHHHTTTTT"

"Ody?"

Bruk brukk Aww

***

Ulet bulu sialan.

Aku mengusap usap betisku yang kini sudah penuh bentolan merah. Hari ini adalah hari paling memalukan seumur hidupku. Arght! Mau disimpan dimana, mukaku didepan bian? Bukan, bukan itu yang aku khawatirkan. Tapi mau di taro mana pride di depan Regen?!

"Kamu kenapa Dy?" Kak Talitha masuk kamarku masih menggunakan setelan kuliahnya. Aku balas tersenyum malas, baru saja membuka mulut untuk menjawab ketika suara terkutuk tiba tiba keluar dari mulut orang yang sekamar dengan ku ini. "Ulet bulu kak, biasa si Ody mah.. dia kan-"

"Brisik lo! Adenya sakit mala di ketawain, erght"

"emangnya siapa yang ketawa? Yee"

"tapi lo ngejek"

"Gue ngga ngejek"

"Itu apa?"

"Apa?"

"Duuhh, kalian kenapa sih, berantem mulu kerjaannya. Kakak pusing nih" Kak Litha menengahi. Aku dan Dilla sama sama mencibir. Inilah yang aku benci saat bersama kakak kakakku terutama Dilla. Rese! Sama sekali nggak au tahu kondisi hatiku. Eh, tapi memang hatiku kenapa? Ah pokoknya Dilla itu ratu rese deh.

Aku tersentak ketika tiba tiba teringat sesuatu. Ya ya ya, aku harus segera memasukkannya ke gorong gorong. Liat aja..

"Canttiikkk," Dilla bangkit dari ranjangnya dan menangkap kucing kesayangannya yang juga berlari menghampirinya. Kucing angora krem yang dia kasih nama 'cantik' itu, yang sebentar lagi tamat riwayatnya karena aku kasih makan coklat batangan.

"Ehh ada cantik," aku menghampiri kucing di pelukan Dilla dan mengelus bulunya yang lebat dengan lembut. Dilla menatapku penuh selidik, dia tahu, kalau aku udah mulai baik baik sama cantik-yang biasanya aku tending tendang--, pasti ada apa apanya.

"Mau apa lo? Jangan macem macem ya, sama cantik" aku tersenyum jail. Sementara kak Litha memilih keluar kamar dan masuk ke kamarnya sendiri.

"Mau apa yaa.."

Dilla melotot. Aku tertawa. Ya, aku semakin nggak sabar mau ngasih si beauty ini sebungkus toblerone. Biar mabok dia, wkwkwk.

"Gue mau nanya sama majikannya si cantik dulu sih sebenernya."

Dilla mendelik ke arahku sambil masih mengelus ngelus kepala kucing itu seperti yang biasa dilakukannya. Sebuah suara tiba tiba muncul di kepalaku, Buat apa juga lo nanya dia, bukannya harusnya lo seneng Bian punya nomor lo?

"Apa? Awas aja macem macem"

Aku menggaruk kepalaku serba salah. Nah lo, sekarang malah ada suara lain yang mengatakan Harusnya lo berterima kasih sama si Dilla.

"Lo ngasih nomor gue ke Bian ya?"

Dilla mengangkat alis, lalu tertawa terbahak bahak sampai memegangi perutnya. Itu pertanyaan konyol? Well, aku kan Cuma mau tahu Bian jujur atau nggak, dan kakakku ini penghianat atau bukan. Itu aja kok,

"Kalo iya? Lo mau apa? Buat apa juga lo nanya gue dan bukannya harusnya lo seneng, Bian jadi punya nomor lo?"

WHAT?! Apa apaan ini. sejak kapan setan di kepalaku berkomplot dengan isi kepalanya Dilla?

"Harusnya lo berterimakasih sama gue dy"

Aku mengerjap ngerjapkan mata kaget. Percaya nggak percaya. Antara mimpi dan nyata. Dilla kan harusnya tau dong,, kalau aku harus move on dari Bian. Kenapa dia malah berhianat dengan ngasih nomor hp ku?!

Kakakku yang satu itu bangkit dari ranjangnya dan berjalan keluar kamar sambil membawa cantik. Aarrrgghht! Dilla jahat, aku jadi benar benar ingin membunuh cantik kalau begini caranya.

***

Omong kosong. aku never and will never membunuh kucing sok imut itu pada kenyataannya. Toblerone yang aku curi dari kulkaspun akhirnya malah sukses mendarat di perutku. Bodo amat kalau nanti mama ngomel ngomel karena mulai ada teman arisannya yang menatapku dengan wajah SCSM-sok cantik sok muda- sambil berkata "Eh, ini melody. Gendutan ya?" Hello, aku kan bukannya mau jadi miss Indonesia yang gak boleh gendut ya. Sorry!

Aku menatap buku PPKN dengan seksama, berusaha membaca dan memasukkannya ke otakku yang payah ini. Tapi tetap saja, otakku hanya muat untuk satu objek pikiran, dan objek itu adalah orang yang sekarang duduk di belakangku sambil mencoret coret bukunya. Menggambar? Ah, manaku tahu.

Dia seperti waktu pertama kali aku melihatnya saat hari pertamaku masuk sekolah satu minggu yang lalu. Sibuk sendiri. Dengan buku nya, entah sedang apa, aku masih penasaran apa hubungannya dengan Bian. Fiuh, kalau kemarin aku nggak pake acara kepergok nguping mereka, aku pasti sudah bertanya padanya dari tadi.

"Reg, kita tunggu di basecamp ya. Surat dispen lo udah sama pak Dirga"

Aku mengangkat wajah. Loh? Sejak kapan ada Livia di sini?

"Hai Dy," sapa Livia lalu keluar dari kelasku diikuti Regen. Aku menatap mereka tanpa berkata apa apa. Sampai suara Aira tiba tiba menyentakku,

"Lo kenal sama Livia?"

Aku mengerjap, mengankat bahu lalu kembali pura pura membaca buku PPKN.

"Livia temen SMP gue" jawabku pendek. Aira memutar kursinya menghadap kearahku tanpa memedulikan keberadaan pak Dirga yang sedang sibuk mengoreksi tugas kami.

"Jadi lo alumni SMP Kalista?"

Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandangan. Seminggu duduk di belakang cewek ini mengajarkanku untuk tidak membalas ucapannya terlalu panjang lebar. Aira nggak ada bedanya sama Dilla, karena Aira ini bukan kakakku yang bisa seenak jidat ku ajak bertengkar, jadi aku harus lebih sabar menghadapinya. Gak lucu kan, kalau aku adu mulut dengan Aira seperti yang biasa aku lakukan dengan Dilla.

"Pantesan lo deket banget sama si Bian. Udah saling kenal toh rupanya"

Aku mengangguk lagi. Menahan mulutku untuk tidak berteriak di depan telinganya Hello, gue ini mantannya Bian!

"Berarti lo juga kenal sama Selda dong?"

Kali ini aku membeku. Nama itu sudah hampir tersingkir dari dalam memoriku. Nama yang sebenarnya tidak perlu ku ingat lagi. Nama itu seharusnya sudah musnah dari dalam otakku. Tapi pada kenyataanya aku membeku juga. Aira membuatku ingat lagi pada semua luka masa laluku. Setelah berjuang keras melupakan semuanya dua tahun ini, mati matian, jatuh bangun. Kenapa dengan mendengar namanya saja aku bisa jadi seperti ini lagi? Sia sia lah aku di rumah oma demi menghapus semua rasa bersalahku.

Memangnya salahku apa? Aku tidak melakukan apa apa dan aku tidak salah apa apa. Calm ody, sama sekali bukan salah lo.

"Okey, anak anak, sekian pelajaran hari ini. sampai bertemu minggu depan"

Guru PKN itu meninggalkan kelasku diikuti suara riuh anak anak sekelas. Aira tidak bertanya lagi, sekarang dia malah sibuk mengeluarkan isi tasnya mencari sesuatu. Pikiranku juga masih sibuk sendiri. Memutar kejadian lampau yang begitu membekas tentang nama itu.

***

Aku turun dari angkot yang membawaku sampai ke depan kompleks perumahan dimana rumahku berada ini. Yeah, angkot. Aku naik ini karena kak Tania tiba tiba bilang kalau dia nggak bisa jemput aku karena harus fitting gaun hasil desain-an nya sendiri. Yeah again, my older sister will get married three months later. Di usianya yang ke dua puluh enam tahun. Aku tidak tahu apakah itu terlalu muda, pas, atau terlalu tua.

Aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri sehingga tidak memperhatikan posisiku yang teryata sudah di tengah jalan. Aku begitu linglung dan hanya sempat mendengar suara klakson mobil ketika sesorang menarikku ke pinggir. Jantungku seperti berhenti berdegup. Semuanya terjadi terlalu cepat seperti kelebat. Fast motion. Aku baru sadar dari keterkejutanku ketika orang yang menarikku tadi melepaskan tangannya dengan tiba tiba sampai aku jatuh terduduk.

Sepertinya aku kenal? Kayak pernah liat tasnya? Seragamnya? Yaampun dia kan..

"Regen"

Orang itu berhenti berjalan.Voila! itu benar benar si ketus.

"tunggu sebentar" ucapku lalu meringis memegangi pantat. Sial.

Aku bangkit berdiri dan cepat cepat menyusul langkahnya. Ini kesempatan, aku harus bertanya apa hubungannya dengan Bian.

"Thanks ya, lo udah dua kali nolongin gue" ucapku tulus. Ini beneran loh, bukan sekedar basa basi atau cari muka.

Regen tetap mengunci mulutnya rapat rapat. Jangankan bilang "sama sama", senyum dikiiiiit juga sepertinya susah.

"Eh, lo ikut eskul mading ya?" kenapa semakin dia diam semakin aku tertantang untuk bertanya ya? "Padahal tadinya gue kira lo anak basket loh"

Regen masih bungkam. Matanya lurus ke depan, sama sekali nggak ada niatan untuk melihat ke arahku sedikit aja. Eh tapi, tunggu, ini kan jalan ke rumah ku? Kok dia ikut.. wohoho, aku punya feeling kalau kami tetangga. Kalau iya, berarti Bian tetanggaku juga? Mungkin.

"Eh, kemarin itu.. sorry ya, abis gue penasaran banget ada hubungan apa lo sama Bian." Usahaku masih terus berlanjut. "Emangnya apa sih hubungan lo sama Bian?"

Regen tiba tiba menghentikan langkahnya tepat ketika kami tiba di pertigaan. Tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke rumahku, berarti rumah kami memang dekat. Yak yak yak.

Cowok itu tiba tiba memutar badannya menghadapku. Sial! He's so cool!! Mata hitamnya menatapku lurus dan tajam. Oke, ini pertama kalinya aku berdiri sedekat ini dengan si ketus. Dan aku berani bersumpah aku melihat pantulan diriku jelas di gelap matanya. Seakan akan matanya itu bisa buat ngaca.

Dia menghembuskan nafasnya pelan. Kalau mau ngomong, cepet ngomong somplak! Jangan bikin jantungku buka kelab lagi.

"Bian itu adek gue. Puas lo!"

Dia mengucapkannya penuh penekanan. Lalu berbelok kea rah yang berlawanan dengan jalan menuju rumahku.

Bian itu adek gue. Puas lo

Bian itu adek gue. Puas lo

Bian itu adek gue. Puas lo

Aku membalikkan badan dan berjalan menuju rumahku sendiri persis robot. Kaku, kata kata Regen tadi terngiang ngiang dan bercampur dengan kata kata Livia tempo hari.

Lo merasa pernah liat Regen sebelumnya nggak dy.

Sekarang, aku tahu apa maksud kata kata itu.

***

Author's Notes

Apa masih ada yang baca? Entah, tapi dari awal punya wattpad emg tujuan utamanya cuma pengen punya karya. Punya cerita (yang-selesai-sesuai-ekspetasi), jadi kalau seandainya masih ada readernya ya alhamdulillah , walaupun silent. Yang udah vote, makasih banyak. Semoga cerita ini menyusul Rain After Cloudy!

Love,
-A

21/2/16

Continue Reading

You'll Also Like

824 274 12
Original story. Apa artinya menunggu? Jika hanya ketidakpastian berujung kenyataan pahit yang menungguku. Bukankah kamu telah berjanji menjadi langi...
2.8K 408 33
[COMPLETED] AKU BENCI KAMU! Satu kalimat penuh makna yang aku simpan selama ini sebagai peringatan darimu. Kamu begitu membenciku dan aku begitu menc...
Arial & Adara By B

Teen Fiction

428K 36.5K 20
[ TERSEDIA DI TOKO BUKU SELURUH INDONESIA ] Di sudut Kota Solo, di rengkuh semesta yang sedih melihat pemuda bernama Arial Sakti Dhanurendra. Pasalny...
3.3K 133 2
"Jadilah seperti lukisan semesta amerta, yang memberikan keindahan pada semua orang. Namun, disaat kepergiannya, dia mampu memberikan penyesalan dan...