Aku dan Hujan

By Shinyrainy

209K 10K 464

Aku curiga, jangan-jangan aku sudah mati makannya Regen tidak bisa melihatku bahkan sekadar menyadari keberad... More

Prologue
[1]
[3] Dia Itu
[4] Jalan Pulang
[5] Selda Cs and Bian's Bro
[6] New Member
[7] It's About The Rain
[8] A Photo
[9] Bianicious
[10] Dancing in The Rain
[11] Home Sweet Home
[12] Dendam Masa Lalu
[13] Sisa-Sisa Persahabatan
[14] Intuisi
[15] Hugging
[16] Butterflies in My Stomach
[17] Sweet Chocolates
[18] Pernikahan Kak Tania
[19] Penuh Kejutan
[20] Kejutan Lainnya
[21] Heart(s)
[22] Luka
[23] Photograph
[24] The Fact
[25] Sing Along
[26] The Fate
[27] Kembali
[28] The Last Homework
[29] Prom Night
[30] One Last Cry
[31] It's Just About E and A
[32] Regan Is A Sweet Boy
[33] Another and Another
[34] A Day For Us
[35] Run Away
[36] Jatuh Seperti Hujan (Last)
Epilogue
years later
Hello (lagi)
[PENGUMUMAN] Kalau Aku dan Hujan Terbit...

[2] Welcome to OUR Home

8.9K 322 5
By Shinyrainy

"GIMANA sekolah barunya?"

Aku terlonjak kaget dan langsung menjitak kepala Dilla yang menyembul dari celah pintu rumah yang hanya terbuka sedikit. Sumpah, jangan heran. Jarakku dengan orang ini memang hanya satu tahun dan sumpah, aku sudah sangat terbiasa melakukan hal barusan setiap bertemu dengannya. For your information, sejak masih bayi pun, aku no way manggil orang ini kakak.

"Gue mau masuk. Please ya, gue capek"

Dilla membukakan pintu dengan muka cemberut. Bagus, setidaknya dia tahu diri untuk tidak mengoceh dan membuat suasana hatiku semakin buruk. Kalian tahu? Kesialanku hari ini tidak berakhir setelah bertemu Bian di sekolah tadi. Kalian harus tahu, kalian harus tahu tadi aku salah naik angkot dan akhirnya harus memutar jalan. Erght?!

"Melody cintaku sayangku kasihku, udah pulang?" oke, itu bukan suara Dilla. Itu suara kakakku yang satu lagi. Diatas Diila, namanya Talitha atau aku biasa panggil kak Lita. Sebelas dua belas dengan Dilla, mereka punya hobi mengoceh dan mencampuri urusan orang. Urusankusih lebih tepatnya sih.

"Kok muka kamu lesu gitu sih Dy? Kamu sakit, atau jangan jangan kamu abis di bully ya? Dipalak?" yang ini beda lagi. Ini suara kakak pertaamaku yang cantik tapi protectif banget banget. Sebut saja dia kak Tania. Umurnya sekarang 4 tahun diatas kak Lita alias 26 tahun. Dia ini designer pakaian yang udah canggih parah. Tapi aku mohon dengan sangat jangan pernah suruh dia masuk pasar, supermarket, dan yang paling penting, Da-pur! Karena sudah pasti semuanya akan kacau balau atau paling tidak, teh mu akan berubah kadi teh asin dan telur dadarmu akan jadi gulali goreng.

"Aku nggak papa kok kak.. aku Cuma nyasar dikit-"

"HAH?" Mama yang sejak tadi diam, kak Tania, dan kak Talitha serentak memekik kaget. Jangan cari seorang Nadilla , karena dia sedang tertawa terbahak bahak sekarang.

Aku memilih menghempaskan tubuh di sofa yang empuk. Ah, kalau aku nggak pake acara nyasar tadi, pasti aku sudah sampai di rumah dari sejam yang lalu.

"Kok bisa dy?"

"Tapi kamu nggak papa kan?"

"Kamu nggak dirampok kan?"

"Duh kamu pasti capek ya"

"Harusnya tadi kakak jemput kamu"

"Anjir kocak lu dy"

Aku menutup telinga dan menghembuskan nafas kasar. Oh come on guys, sudah ku bilang keluargaku ini arght. Rame.. ini belum ada papa loh ya.

***

Hujan. Aku menatap kaca jendela kamarku yang buram dengan pandangan menerawang. Bukan kamarku sepeenuhnya juga sih, karena disini ada kasur dan barang barangnya Dilla juga. Sebelum aku tinggal di Singapore pun, aku selalu tidur sekamar dengan orang yang satu itu.mama selalu bilang kalau aku sama Dilla itu udah kayak anak kembar. Kembar apaan... Musuh iya.

Tapi aku akui juga kalau aku punya satu kesamaan dengan kakakku yang satu itu dibanding dengan kak Lita ataupun kak Tania. Aku dan Dilla masih sama sama kayak anak kecil. Yeah yeah, aku akui kami berdua memang childish terutama aku. But I thing, itu wajar banget berhubung aku punya keluarga yang begitu memanjankan. Papa yang nggak pernah perhitungan dalam memberi uang jajan, mama yang lembut dan selalu nurutin kemauan, dan dua kakak yang selalu siap jadi bodyguard walaupun kami sama sama cewe.

Oke, aku mulai ngelantur dengan menyebutkan kebaikan kebaikan keluargaku, maafkan, aku aku menyesal. Karena semua kebaikan kebaikan di atas itu ada di samping,

- Gen bawel yang erght?!

- Gen malu maluin dan norak kronizz

- Gen lugu yang bikin keluargaku ini sering hampir ditipu orang. Untung hampir, beruntung sekali keluargaku ini masih dilindungi oleh Allah SWT. Terimakasih ya Allah.

"Oke, sampe ketemu besok di sekolah say, daaahh"

Aku tersentak dan memutar bola mata mendengar ucapan Dilla yang tiba tiba masuk ke dalam kamar. Jangan tanya. Aku mual setiap kali melihat sifat buruknya yang satu ini.

"Say say say say, Abis teleponan sama siapa? Sayton?" tanyaku ketus. Lalu merebahkan diri diatas kasur sambil memeluk guling.

Dilla duduk di ranjangnya sendiri kemudian ikut berbaring.

"Abis teleponan sama Dika" balasnya sambil tersenyum dan menatap langit langit kamar menerawang. Hidih, aku rasa kakakku ini sedang punya gangguan jiwa. Eh, emang dari dulu deng.

"Siapa lagi tuh Dill? Peliharaan baru?" celetukku asal. Senyum di bibir Dilla malah semakin lebar dan akhirnya berubah menjadi kikikkan ala ala nenek lampir.

"Apaan sih lo. Gue udah satu bulan kelles sama dia. Eh Dy, Dika baik banget loh. Ganteng lagi.. aaa beruntung banget gue dapet dia" ocehnya membuat perut ku seperti diaduk aduk alias mual. Memang nggak ada kriteria lain dari cowok nya Dilla dari zaman SMA sampai sekarang jadi lulusan pengangguran. Baik dan ganteng. Makan tuh baik sama ganteng!

"Lo nggak ada niatan buat cari cowok gitu Dy? Lo kan udah kelas tiga. Emangnya di sekolah gue nggak ada yan ganteng gitu? Di Singapore juga gue nggak pernah denger lo punya pacar? Atau, lo mau gue cariin? Emang tipe lo-"

"Duuuuhh udah deh, Nadilla kakakku yang paling cantik sedunia"

"oh iya dong"

Aku menghembuskan nafas dengan kesal dan kembali duduk di tepi ranjang.

"Justru karena gue udah kelas tiga gue jadi males pacaran. Lagian, yaampun Dil, gue kan sekolah mau nyari ilmu, bukan mau cari cowok. Dan, oh, satu lagi. Sekolah gue, bukan sekolah lo. Okey? Lo cuma alumni" Aku tahu apa yang aku katakan itu sudah sinting banget. Sejak kapan aku ke sekolah buat cari ilmu? Toh selama aku di Singpore juga kerjaanku di sekolah Cuma baca manga dan main puzzle Dora the explorer.

"Lebay lo. Liatin aja, bentar lagi juga 'Dil, gue suka sama si ini nih, bantuin gue deketin dong, cariin nomor teleponya dong'" Balas Dilla sambil cekakakan sendiri. Aku mendengus, kemudian sekuat tenaga melemparnya dengan bantal terdekat.

"Gue bukan lo. Liat aja, gue cuma akan ngasih hati gue sama orang yang bener bener tepat dan sayang sama gue. Ble" aku memeletkan lidah lalu bangkit berdiri keluar kamar.

"Uuuu co cwiitt, mau dong dikasih hatinya Melody"

Aku menghentikan langkah dan enggeram kesal. Lalu dengan setengah berlari, aku kembali ke kamar itu dan melempari Dilla dengan bantal sampai anak itu berteriak teriak minta ampun.

***

Acara makan malam bersama yang sudah menjadi kebiasaan di keluargaku baru saja selesai ketika Hp di saku celanaku tiba tiba berbunyi. Aku segera berlari kearah westafel, lalu dengan susah payah mengeluarkan benda itu dari saku dan menempelkannya diantara telinga dan bahu sementara aku mencuci tangan.

"Halo, siapa ini?" seruku ketika sadar aku belum sempat melihat nama yang tertera di display.

"Ini... Ody kan?"

Gerakan tanganku seketika terhenti. Hanya orang orang yang kenal dekat denganku yang memanggil namaku dengan nama itu. Ya, Bian termasuk tentu saja dan, aku tiba tiba terringat perkataan cowok itu di sekolah tadi eh dy, udah ya. Gue udah ditunggu sama orang. Oh iya, Livia di 12IPS1. Kelasnya di ujung koridor ini..

"LIVIA YA?" jeritku histeris sadar kemungkinan siapa yang menelepon.

Orang di seberang sana sepertinya menjauhkan hp nya dari telinga mendengar jeritanku yang over load.

"Lo inget? Odyyyyy apa kabar? Gue kangen banget sama lo" balas Livia setelah diam beberapa saat.

Aku mendesah senang lalu memegang hp ku dan berjalan naik ke kamar.

"Baik, baik banget. Lo apa kabar? Kemana aja selama ini nggak ngabarin gue?" tanyaku.

Livia itu teman sebangkuku, sahabatku, partnerku, korban kegilaanku, pokoknya bestie ku banget dari jamannya masuk SMP dulu. Kami kehilangan kontak sejak aku diungsikan ke rumah oma di Singapore dua tahun lalu. Aku kehilangan HP ku di bandara waktu itu, dan Livia pindah rumah entah kemana. For your information, jaman dulu sosial media masih minim banget. Dan sialnya aku tidak menulis satupun nomor HP temanku di buku catatan atau apapun.

"Gue baik. Sorry ya dy, abis lonya ngilang tiba tiba," balas Livia.

Aku membuka pintu lalu duduk di kursi balkon kamar yang menghadap langsung kearah lapangan basket dekat taman kompleks. Well, tempat ini dari dulu memang jadi tempat favoritku. Selain pemandangan bagus yang bisa menjernihkan fikiran. Dari sini juga semilir angin lebih terasa dan sentuhan lembut dari angin itulah yang seringkali membuatku tenang.

"Iya deh maklum. Hp gue ilang waktu itu, jadi semua kontak juga ilang. Oiya Liv, lo tau nomor gue yang ini dari mana?"

"Gue dikabarin Bian."

Aku mengerjap kaget. Ap.. apa? Maksudnya? Bukannya aku baru ketemu Bian hari ini. Dari mana Bian tau nomor telepon ku?

"Bian nelfon gue tadi sore. Dia bilang dia ketemu lo di sekolah, eh Dy lo kenapa pindah sih? Kan setahun lagi.. Tanggung amat" ucap Livia santai. Berbeda sekali denganku yang masih ternganga nganga bingung. Bian?

"Lo dapet nomor gue dari Bian? Bian dapet nomor gue dari mana?" Tanyaku oon. Sama sekali tidak memedulikan pertanyaan Livia.

"Mana gue tauu... emang lo nggak merasa pernah ngasih nomor lo ke dia gitu?"

Keningku mengernyit. Mengingat ngingat apa aku pernah berhubungan dengan Bian sebelum bertemu siang tadi. Tapi kapan? Ah, hp ku kan hilang entah kemana. Dan kalau hp ku waktu itu nggak hilang pun, buat apa aku menghubungi Bian? Toh hubungan kami sudah end sejak papa menyuruhku tinggal dengan oma. Kalau kalian tanya siapa orang yang paling ingn aku hubungi waktu di Singapore dan kalian jawab Bian, kalian salah besar. Jawabannya adalah orang di seberang telepon ini.

"Nggak ah Liv. Orang gue baru ketemu dia tadi di sekolah-"

"Gimana perasaan lo?"

"Hah?"

"Gimana perasaan lo waktu ketemu bian tadi"

Aku terkesiap mendengar pertanyaan tiba tiba yang dilontarkan Livia. Memangya apa perasaanku tadi? Ah, kenapa Livia jadi muter muter gini sih?!

Aku berdecak sekali sambil bersandar di punggung kursi menatap langit malam yang bersih.

"Gue nggak tau. Tapi serius lo nggak tahu Bian dapet nomor gue dari mana?"

"Lo tanya aja langsung sama orangnya."

Dan celoteh kamipun baru berakhir dua jam kemudian.

***

A/n

I still waiting for your comment for this story. Everything, i will reply. Thanks,

-A
5/2/16

Continue Reading

You'll Also Like

824 274 12
Original story. Apa artinya menunggu? Jika hanya ketidakpastian berujung kenyataan pahit yang menungguku. Bukankah kamu telah berjanji menjadi langi...
842K 56.9K 40
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
32K 6.2K 31
[SUDAH TERBIT - TEEN FICTION] Menyimpan sebuah kilasan waktu dalam memori, yang tak pernah luruh bersama detik. Membawa kotak keabadian atas pertemua...
Abadi By KIKI

Teen Fiction

1.6K 152 20
Kamu abadi disini, semestaku. *** @Kiki Cover by pinterest Follow my IG: @fr_ikyy