My Last Happiness (TELAH TERB...

By demimoy

2.1M 75.8K 4.3K

Sequel Of The Story 'My Possessive Hero' Masalah itu datang silih berganti dalam kehidupan rumah tangga Anna... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8
Bagian 9
Bagian 12
Bimo's Pov
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 18
Bagian 19
1. Author's Pov -Sudut Pandang Bimo-
2. Author's Pov -Sudut Pandang Bimo-
3. Author's Pov -Sudut Pandang Bimo-
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Dibaca! Butuh Jawaban
PO
OPEN PO - MY LAST HAPPINESS

Bagian 17

57.7K 2.7K 120
By demimoy

Part ini mungkin datar, tapi semoga kalian masih terhibur yaaa:)) Selamat tahun baru, haha telat gak papa yaaa:)) Happy Reading..

Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi sekali. Tanpa membangunkan Bimo. Aku menyibukan diri di dapur membantu Mbak Asih memasak.

Moodku hari ini cukup baik. Bahkan sangat baik, entahlah meskipun aku masih memikirkan masalah yang sekarang sedang dialami perusahaan, tapi aku tidak mau ambil pusing semuanya. Dan keadaan seperti ini yang aku perlukan. Tidak banyak pikiran dan selalu berpikir positif pada hal apapun. Karena dengan begitu, semuanya akan terasa lebih mudah.

Sambil bersenandung aku membolak-balik masakanku. Tak memperdulikan mbak Asih yang sesekali melirikku penasaran.

"Sepertinya sedang bahagia pagi ini non?" gumam mbak Asih akhirnya tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Tidak mbak, mood lagi baik aja," jawabku tersenyum. "Apalagi mbak yang dimasukin?"

"Itu langsung masukin dagingnya saja, Non." Akupun langsung memasukan daging yang sudah direbus terlebih dahulu.

Tepat jam tujuh pagi, semua masakan sudah siap dihidangkan. Aku mengelap piring-piring sebelum aku menyimpannya di meja. Sedang, mbak Asih menyimpan masakan yang sejak tadi kami buat.

Sayup-sayup aku mendengar suara Bimo dari dalam rumah. Aku menyimpan piring terakhir lalu bergegas melangkah ke dalam rumah. Aku kaget saat Bimo tampak sedang marah-marah pada Bagas yang tampak bingung.

Aku menepuk jidatku mengingat sesuatu. Ya ampun, aku belum bilang kalau Bagas menginap disini. Aku segera lari menghampiri Bimo yang hendak menyeret Bagas keluar rumah.

"Mas, hentikan!" Aku menarik lengan Bimo. Bimo menghentikan langkahnya dan mematapku bingung. Dan Bagas tampak mencoba melepaskan diri dari cengkraman Bimo.

"Ada apa? Rumah kita kemasukan maling, mana ngaku-ngaku lagi kalau dia sepupu kamu. Memangnya kamu kenal dia?"

"Hei, apa tampangku seperti seorang maling. Ve, ayo jelaskan. Aku benar-benar sepupunya. Venuce ayo jelaskan," sela Bagas protes di tuduh maling.

"Tampangmu memang seperti maling. Dan kalau memang kamu sepupu istriku, dia pasti meminta ijin terlebih dahulu."

"Ya mana kutahu, yang pasti aku sudah di ijinkan untuk menginap disini beberapa hari." Mataku mengikuti setiap orang yang berbicara. Lalu aku berdiri di antara mereka.

"Stop!" ujarku menginterupsi dua pria yang saling berdebat itu. "Mas, maaf sebelumnya aku lupa memberitahumu. Kenalkan ini Bagas." Aku menyingkir berdiri di samping Bagas. Lalu melingkarkan lengannku pada lengan Bagas. "Dia anak dari tanteku. Semalam sebenarnya aku mau memberitahu tapi aku lupa, Bagas akan menginap disini beberapa hari. Paspor nya hilang, jadi mungkin dia akan menginap disini beberapa hari," jelasku panjang. Bimo tampak mengernyit mendengar penjelasanku. Dan Bagas memasang senyum kemenangan. "Tidak pa-pa kan kalau Bagas tinggal beberapa hari?" tanyaku Ragu.

Bimo menatapku lalu mengalihkan pandangannya pada Bagas di sampingku. Lalu dia menarik lenganku yang melingkar di lengan Bagas dengan kasar. Membuatku kaget dan menatapnya bingung. "Hm... boleh, tapi tidak lebih dari tiga hari saja," gumam Bimo dingin lalu menatap Bagas dengan tatapan tidak suka. "Dan jangan dekat-dekat dengan isteri-ku!!" tukasnya lalu menarik tanganku ke ruang makan.

Bibirku mengulum senyum. Terkikik geli melihat tingkah Bimo barusan. Sepertinya Bimo tidak suka aku berdekatan dengan Bagas, "kenapa ketawa-ketawa?" Bimo menoleh menatapku yang berjalan di belakangnya.

"Tidak, kakak cemburu ya?" tanyaku menatapnya menggoda.

"Cemburu? Sama siapa? Pria tadi? Tentu saja tidak. Untuk apa cemburu, dia 'kan sepupumu." Bimo mengelak. Aku melangkah mengejar langkahnya. Lalu berdiri di hadapan Bimo yang menatapku heran.

"Aiiiiih... gemes banget sih wajah kakak kalau lagi cemburu," kataku sambil mencubit kedua pipinya dengan gemas.

"Anna! Sakit!" ujar Bimo tajam melepaskan dengan paksa tanganku di pipinya. Ucapan Bimo tak berpengaruh padaku. Aku menggandeng lengannya lalu menariknya ke ruang makan.

Sampai di ruang makan. Aku duduk di samping Bimo dan Bagas di hadapan kami. Dari sudut mataku aku bisa melihat Bimo yang selalu melemparkan tatapan permusuhan untuk Bagas. Yang di tanggapi tenang oleh Bagas. Entah kenapa Bimo terlihat tidak suka sekali pada Bagas.

Aku mengalas makan untuk Bimo. Setelah selesai aku mengalas makanan untuk Bagas.

"Tidak usah! Biar dia sendiri." Bimo menahan tanganku yang sedang ingin mengalas nasi di piring Bagas. "Kaya anak kecil saja di layani." Bimo menatap tajam Bagas.

"Lalu kamu apa?" Bagas membalas sambil menyendokan nasi ke piringnya.

"Aku suaminya. Sudah sewajarnya seorang istri melayani suaminya."

"Aku juga disini sebagai tamu. Harusnya di perlakukan dengan baik. Pendidikan sih boleh tinggi tapi etitude menjamu tamu saja tidak mengerti," sindir Bagas. Membuat Bimo menggeram kesal.

"Jangan mengajariku bocah! Dasar tamu tak di undang," seru Bimo sengit. Sebenarnya ada apa dengan mereka? Kenapa mereka tampak tidak saling menyukai?

"Sudah, sudah. Kalian ini kenapa kok malah beradu mulut. Kak, Bagas benar dia 'kan tamu. Jadi harus di perlakukan dengan baik," ucapku menciptakan senyum kemanangan di bibir Bagas.

"Hm... dengar itu om!" gumam Bagas setuju dengan ucapanku. Dia menunjukku dengan sendok nya di pengannya.

"Jadi kamu membelanya?" Bimo menyimpan sendok yang di pegangnya lalu menatapku tajam.

Aku menghela napas tak menjawab ucapan Bimo. Huft, umur sih boleh banyak. Tapi kelakuan gak jauh beda sama abege labil. Umur memang tidak menentukan kedewasan seseorang.

Selesai menyelesaikan sarapan yang tidak nyaman karena Bimo dan Bagas tak henti-hentinya melemparkan saling ingin membunuh. Aku mengikuti Bimo ke kamar untuk menyiapkan semua keperluan kerja Bimo

"Ingat jangan dekat-dekat dengan si Bagas-Bagas itu!" perintah Bimo saat aku sedang memasang dasinya.

"Dia itu sepupu sekaligus sahabat terbaikku sejak kecil, Mas." Aku merajuk.

"Tetap saja aku tidak suka sama dia. Pokoknya kamu tidak boleh membantah. Kalau kamu mau seharian ini kamu jangan ada dirumah. Pergi saja belanja dengan Firly, kamu bisa habiskan kartu debitmu. Asal kamu tida berada di dekat sepupumu itu!" Aku terkekeh geli melihat kecemburuan Bimo yang berlebihan.

Aku menggeleng-geleng melihat Bimo. "Sudah jangan berlebihan." Aku menarik dasi yang aku pakaikan ke atas. Lalu membenarkan kerah baju Bimo. "Nah sudah rapi. Ayo aku antar keluar." Aku menepuk-nepuk bahu Bimo setelah membantunya memakai jas kerjanya.

"Oh iya Mas, kemarin Mommy kesini. Katanya seminggu lagi akan mengadakan pertemuan keluarga."

Bimo merangkul bahuku dan menghelaku keluar kamar. "Iya Mas sudah tahu, kemarin Daddy menelpon dan memberitahu. Kita sewa jasa EO saja, jadi tidak usah repot-repot menyiapkannya sendiri." Aku mengangguk mengerti.

Bimo mencium keningku sebelum dia masuk ke dalam mobilnya. "Ingat kata-kataku!"

"Iya bawel," jawabku jengah. Aku menunggu mobil Bimo keluar dan menghilang di balik gerbang sebelum masuk kembali ke dalam rumah.

Di sofa ruang tamu tampak Bagas sedang sibuk dengan koran dan teh-nya. "Keluarga suamimu itu aneh-aneh ya prilakunya. Sepertinya mereka semua punya penyakit hypertensi." Gumam Bagas tanpa mengalihkan pandangannya dari bacaannya. "Hobi ko marah-marah." Tambahnya.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak menjawab ucapan Bagas. Lalu melanjutkan langkahku masuk ke dalam kamar untuk bersiap-siap. Karena sepertinya aku harus mencari EO itu dari sekarang biar tidak repot.

Sampai di dalam kamar aku menyambar ponselku dan mengutak-atik mengirim pesan untuk Firly.

Anna : Fir,lo dimana? Antar gue bisa?

Sent. Send.

Tak lama ponselku berdering. Ada pesan masuk.

Firly : Di apart. Boleh, mau kemana?

Anna : Cari Event Organizer.

Firly : Buat apaan? Lo ngadain pesta?

Anna : Buat acara keluarga. Setengah jam lagi gue jempu lo.

Selesai bersiap-siap aku menyambar tas dan kunci mobil lalu keluar dari dalam kamar. Kulihat Bagas masih sibuk dengan bacaannya di ruang tamu. Dia mengalihkan pandangannya dari bacaannya saat tahu kehadiranku.

"Mau kemana, Ve? Udah rapi aja," gumamnya menatap menyelidik.


"Aku mau cari EO buat acaran nanti. Kamu gak pa-pa kan aku tinggal?"

"Aku antar saja." Bagas melipat koran yang dibacanya dan beranjak berdiri menghampiriku.

"Tidak usah, aku sama temen, kok." Lebih tidak bersama Bagas. Soalnya lagi malas mencari masalah dengan Bimo. Biarlah kali ini aku memenuhi permintannya.

"Kenapa begitu? Kamu 'kan lagi hamil, Ve. Kamu jangan pergi sendirian. Lagipula aku bosan di rumah sendirian. Apalagi di rumah orang."

"Bagas, aku tidak sendiri. Aku bersama temanku. Lagipula aku mau melakukan aktifitas wanita yang lainnya. Kamu pasti bosan kalau ikut. Kamu di rumah saja. Atau mau jalan-jalan. Pakai saja mobil. Yasudah ya, aku pergi dulu." CUP. "Bye." Aku melengos pergi setelah mencium pipi sahabat baikku itu sebelum dia berkata-kata lagi.

Setengah jam aku berada di jalanan. Hingga mobil yang aku kendarai kini sudah terparkir di depan loby apart Firly dan Tian. Aku merogroh tasku dan mengirimi pesan pada Firly. Selang 10 menit Firly datang dengan tempat makan besar di tangannya.

"Sorry lama, tadi lagi motongin mangga dulu," ucapnya setelah masuk ke dalam mobil. Aku mengernyit melihat tempat makan yang dia tenteng.

"Gila!!" seruku membuat Firly kaget, dia menoleh dan menatapku bingung. "Itu mangga semuanya?" ucapku takjub tak percaya. Yang di balasnya dengan anggukan. "Helooooow nona Firly, buat apa bawa mangga sebanyak itu? Gak takut over dosis lo?" Makin aneh aja nih punya temen. Kalian pasti gak percaya sebesar apa tempat makan yang Firly bawa. Aku melongo dan mengerjapkan mata saat Firly mengangguk dan membuka tempat makannya. Bahkan aku sampai harus menelan salivaku karena tiba-tiba tenggorokanku terasa kering kaget melihat mangga-mangga muda itu.

"Biasa aja kali Ann, kaya gak tahu gue aja. Ini buat cemilan di jalan aja. Udah buruan jalan, keburu siang," ucapnya dengan santai sambil memasukan mangga-mangga itu ke mulutnya. Aku sampai bergidik melihatnya.

"Aneh lo gak ilang-ilang. Bahaya tahu Fir, lo kan lagi hamil. Terlalu berlebihan vitamin C juga gak baik tahu. Lo mau keguguran?" ucapku serius sambil menstarter mobil.

"Ya gue tahu, sesuatu yang berlebihan itu gak baik. Tapi kan gue suka, gimana dong?"

Aku mendelik mendengar jawabannya. "Hm... terserah lah, yang penting gue udah ingetin."

"Iya makasih udah ngingetin aku ya sahabatku."

"Sakit Pea!!" seruku saat Firly mencubit kedua pipiku dengan gemas.

Setelah cukup lama kami berkeliling memutari kota. Akhirnya 2 jam kemudian, kami sampai di tempat Event Organizer yang akan mengurus semua keperluan untuk acara keluarga nanti. Setelah selesai mengurus dan membuat janji dengan orang-orang EO. Kami langsung tancap gas ke salah satu mall dikota ini. Sudah lama sekali aku tidak menginjakkan kaki di mall. Apalagi setelah menikah.

"Oh my god, Fir gue baru lagi ke mall." ucapku takjub menatap kesekeliling. Percis sekali seperti orang yang baru pertama kali melihat mall. Sangat nora sekali.

"Lo malu-maluin gue deh, Ann! Jangan nora gitu. Udah buruan masuk!" rutuk Firly melihat-lihat keadaan sekitar. Memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang menyempatkan melirik kami dulu lalu menatap kami dengan tatapan aneh, Firly menarik tanganku masuk kedalam. Ya, sekali-kali buat si Firly gak pa-pa lah ya... Dia aja sering banget malu-maluin.

"Lo boleh beli apa aja yang lo mau Fir, gue traktir. Suami gue lagi baik, dia nyuruh gue buat abisin kartu debitnya." Aku bergumam saat Firly sibuk terpesona melihat barang-barang mahal yang di pajang di lemari kaca.

Firly mengalihkan pandangannya dan menatapku berbinar. "Beneran lo? Mau beliin gue apa aja?" ucapnya tak percaya. Dan aku membalasnya dengan senyuman dan anggukan yakin.

"Anggap aja ini bonus dari suami gue buat si Tian bodoh."

Ekspresi Firly berubah seketika membuatku tergelak tawa. "Jahat banget lo bilang suami gue bodoh. Gitu-gitu juga dia baik woy."

"Haha, becanda gue."

"Ah, bawel lo! Buruan gue mau tas itu." Firly langsung menarik tanganku masuk ke dalam toko yang isinya tas-tas branded. Dan aku mengikutinya menemani sahabat yang udah aku anggap saudaraku sendiri ini memilih-milih tas yang dia mau. Setelah selseai dengan tas-tas branded. Kami lanjutkan mencari barang-barang yang lainnya.

"Aduh Fir, pelan-pelan dong gue cape nih. Makan dulu yuk." Aku berusaha mengejar Firly yang masih semangat mencari barang-barang yang dia inginkan. "Aduh!!" pekikku saat aku menabrak seseorang. Semua paperbag yang ku pegang berjatuhan, untung saja aku masih bisa menyeimbangkan diri hingga tidak sampai terjatuh.

"Maaf, maaf mbak. Mbak tidak pa-pa?" ucap suara pria yang menabrakku. Aku menatapnya garang saat pria itu mengambil semua belanjaanku yang berceceran di lantai. "Ma-a... Anna?"

"Kak Divan?" ucapku setelah melihat pria itu. Lalu aku mendengus, kenapa setiap aku bertemu dengan Divan, pasti saja di awali dengan tabrakan dulu. "Harus ya kalau ketemu itu kita tabrakan dulu," ucapku terkekeh.

Kudengar Divan juga terkekeh setelah mendengar ucapanku. "Maaf Anna, tadi aku sedang sibuk menelpon dan tidak memperhatikan jalan." Divan menyerahkan semua paperbag milikku yang dia punguti.

"Iya gak pa-pa. Sekali lagi tabrakan bisa dapet payung cantik," ucapku tersenyum geli. "Kakak mau kemana?"

"Halo? Kamu masih disana-kan? Halo?" Kudengar suara wanita dari sebrang telpon. Tanpa menjawab ucapanku, pandangan Divan beralih pada ponsel di tangannya, lalu dia menempelkan lagi ponselnya itu pada telinganya. "Maaf Anna, kakak duluan ya," ucapnya lalu melangkah melewatiku. Pandanganku mengikuti Divan yang berjalan, ekpresinya berubah kesal setelah mendengar suara wanita di sebrang telpon. "Tak bisakah kau menunggu sebentar lagi? Semuanya akan berjalan sesuai rencana. One more step, dan kita akan hidup bahagia." Masih bisa kudengar Divan berucap dengan marah pada lawan bicaranya di sebrang.

Mungkin itu pacarnya, tapi ko marah-marah ya? Apa mereka sedang bertengkar? Aku mengangkat bahuku tak acuh lalu berbalik dan kembali mengerjar Firly yang sudah berada di toko jam tangan.

Setelah semua selesai, kami sudah membeli apa yang kami mau. Dan membuat ludes isi debit card-ku. Kami pulang sudah larut malam. Setelah mengantar Firly pulang aku pulang dengan perasaan was-was. Pasti aku akan kena marah Bimo karena sudah keluar dari pagi dan baru pulang malam hari. Ponsel sengaja aku matikan, tidak siap menerima ceramahan Bimo.

Sampai di halaman rumah, aku turun dari mobil dan menyuruh security untuk mengeluarkan semua barang belanjaanku. "Pak, suami saya sudah pulang?" ucapku melihat-lihat sekitar. Tidak ada mobil Bimo yang terparkir di halaman.

"Belum non, yang sudah pulang hanya sodara non Anna saja." Aku mengangguk mendengar jawaban Pak Mukhti, security rumah ini.

"Yasudah Pak, bawa kedalam ya." Aku melangkah ke dalam rumah setelah mengunci mobil.

"Darimana saja kamu Anna? Malam begini baru pulang, kamu itu lagi hamil Anna." Aku mengerjap menatap Bagas yang tiba-tiba bersuara dan berdiri tak jauh dari pintu menatapku serius.

"Bikin kaget aja, aku kira suamiku. Abis belanja bareng temen. Jadi lupa waktu." Aku melanjutkan langkahku masuk kedalam rumah.

"Huh, untung suamimu yang sensi itu belum pulang. Kalau sudah pulang, habis kamu Anna sama dia. Mana telpon gak bisa di hubungi lagi." Bagas juga mengekor di belakangku.

"Iya untung saja Mas Bimo belum pulang. Yasudah aku mau bersih-bersih dulu. Jangan bilang-bilang ya aku pulang larut," ucapku sebelum menutup pintu kamar meninggalkan Bagas yang menggeleng-geleng melihat kelakuanku.

Selesai bersih-bersih badanku, aku langsung menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur. Karena lelah seharian jalan-jalan, membuatku lebih cepat terlelap. Bahkan tidak biasanya aku tidak terbangun saat Bimo pulang. Pagi harinya aku sudah tertidur di pelukan suamiku.

Hari-hari berjalan dengan semestinya. Dan Bimo masih sibuk dengan pekerjaannya yang memakan waktu. Dia selalu pergi pagi-pagi sekali lalu pulang larut malam. Entah apa yang di kerjakannya, padahal waktu aku tanya kak Aliza tentang kak Radit. Kak Radit tidak sesibuk Bimo. Dia bekerja seperti biasanya. Bahkan kadang pulang masih siang. Lantas apa yang di kerjakan Bimo seharian? Tanya pada Firly juga, Tian tidak pernah pulang lebih dari pukul 7 malam.

Dan karena kesibukan Bimo itu, membuat Bagas mengundur kepulangannya. Karena dia tidak bisa menemaniku mengurus mempersiapkan acara nanti malam. Akhirnya dia meminta Bagas menemaniku mengurus semuanya. Bahkan hari ini saja Bimo masih menyempatkan untuk pergi ke kantor.

Hari ini di rumah banyak sekali orang yang mengurus semua keperluan. Belum lagi sebagian keluarga sudah berada disini. Karena kali ini adalah kali kedua aku bertemu dengan keluarga besar Suamiku. Jadi membuatku tidak lagi merasa canggung.

Seperti biasa, Mommy menyuruhku mengurus apapun yang berhubungan dengan makanan. Sedang Erika sibuk mengurus dengan halaman belakang bersama Fabian.

"Ada yang bisa aku bantu Anna?" Aku mengalihkan pandanganku dari buah-buahan yang sedang aku tata dan menatap Bagas yang baru saja muncul. Aku tersenyum dan mengangguk.

"Kemari, bantu aku tata kue-kue itu ya. Simpen di piring yang besar itu." Bagas mengangguk dan melangkah mendekatiku.

Saat sedang sibuk menata, tiba-tiba saja aku merasa ada yang menggelitik kakiku. Penasaran aku menunduk melihat kakiku. Dan seketika aku menjerit "Aaaaaaa..." pekikku langsung memeluk dan berusaha menaiki tubuh Bagas di sampingku.

"Ada apa Anna?" Bagas yang repleks langsung menggendongku dan aku langsung melingkarkan lenganku pada lehernya.

"Cicak Bagas," aku bergidik tak berani menatap ke bawah. Sumpah dari semua hewan yang ada di muka bumi ini. Cicak adalah hewan yang paling aku takuti. Jijik lebih tepatnya. Dan tadi hewan itu merayap-rayap di kakiku, ah rasanya aku ingin amputasi saja kakiku. Tak henti-hentinya aku bergidik dan menyembunyikan wajahku di lekukan leher Bagas.

Kudengar gelak tawa tiba-tiba dari mulut Bagas. "Haha... kamu masih saja takut sama cicak Anna. Engga berubah ya kamu." gumam Bagas di sela tawanya.

Aku menatap Bagas tajam lalu mencubit hidungnya dengan kuat. "Kalau takut ya takut aja. Jijik banget kaki aku di tempeli cicak. Aaaaa.. aku mau amputasi saja." ujarku merengek menggerakkan kakiku berontak.

"Diamlah Anna, kamu bisa jatuh. Lagian lebay banget sih kamu," ucap Bagas menyeimbangkan tubuhnya yang oleng.

"Anna!" seru seseorang marah. Aku dan bagas menoleh ke arah suara dan terkejut disana sudah ada beberapa orang yang menontonku. Pandanganku mengikuti Mommy yang berjalan ke arahku. "Apa-apaan kamu ini?! Turun!" serunya melepaskan pegangan Bagas di kaki-ku.

"Mommy?" ucapku menatapnya lalu mengalihkan pandanganku pada orang-orang yang berada disana menonton. Apakah jeritanku tadi begitu keras, membuat hampir semua orang yang berada di rumah ini kini berkerumun di ruang makan.

PLAK. Aku mengerjap setelah kurasakan pipiku memanas dan perih.

"Tante!"
"Mommy!" seru Bagas dan Daddy bersamaan.

"Kamu itu tak bisa di bilangin ya!" ucap Mommy yang tak mengindahkan orang yang memanggilnya.

Tanganku menyentuh pipiku yang terasa panas, dan masih terkejut menatap Mommy yang berdiri di hadapanku dengan marah.

"Mom, salah aku apa?"

"Apa salah kamu katamu? Aku benar-benar malu punya menantu sepertimu Anna! Bukankah aku sudah bilang kamu harus bisa jaga sikap." Mommy menatapku kesal dan mencengkran lenganku kuat hingga membuatku meringis. "Mommy menyuruhmu menyiapkan makanan, bukannya malah bermesraan!"

"Tante, kami tidak-"

"Diam kamu!" Mommy mengalihkan pandangannya pada Bagas yang menginnterupsi. Air mataku mengalir setelah menatap orang-orang yang menontonku di permalukan. "Kamu benar-benar keterlaluan. Mommy malu Anna setelah mendengar perpsepsi orang mengira-ngira hubungan kalian."

"Dela! Kamu yang keterlaluan!" ujar Daddy tajam menarik tangan Mommy menjauhkannya dariku.

"Diam, Dad! Kamu tidak tahu apa-apa!" tukas Mommy masih meledak-ledak.

"Kamu yang diam! Bukankah aku sudah bilang kamu jangan menyangkut-pautkan Anna dengan semuanya. Kamu masih saja bersikap seperti ini."

Air mataku sudah mengalir deras di pipiku. Segera aku meninggalkan dapur dan menerobos orang-orang yang berkumpul menonton dan bergegas melangkah masuk kedalam kamar. Tak memperdulikan teriakan Bagas, Erika dan Fabian yang mengejarku.

Bagaimana bisa aku diperlakukan seperti ini. Di hadapan semua orang aku dipermalukan. Tidak bisakah Mommy berbicara dengan baik-baik, bukannya malah membentak dan langsung menamparku seperti tadi.

"Anna, buka pintunya!" Aku tak memperdulikan Erika yang menggedor pintu kamarku.

Dadaku terasa sesak karena sakit hati. Kali ini aku benar-benar tak bisa mentolelir sikap Mommy padaku. Bahkan orangtua-ku saja belum pernah menamparku. Dan ini? Aku di tampar dan di permalukan di hadapan semua orang dengan kesalahan yang aku anggap sepele.

Aku menenggelamkan diri di pada bantal, menangis sekuat dan sepuas-puasnya. Tante Dela benar-benar keterlaluan! 'Kak Bimo...'

To Be Continue..

Ini selingan aja ya, gak ada konflik yang berarti, maaf datar. Tapi semoga masih bisa baper dan tehibur yaaa:))

Vote and comment-nya aku tunggu lhooo...



Continue Reading

You'll Also Like

2.3M 253K 45
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
25.7K 2.4K 26
"Gue Nanta Mahardika, cowok paling ganteng dan paling eksis di Sma Tri Sakti. Cowok paling rajin, paling soleh, dan suka menabung.Gue punya temen, na...
937K 46.1K 47
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
1.1M 30.9K 46
Sean Mitchell adalah sahabat masa kecil Fiona Richards. Semenjak Sean mengalami pubertas di kelas delapan, ia menjadi popular karena ia tampan dan ke...