Chasing Memories

By raatommo

2.4M 278K 12.9K

Nora tidak tahu apa yang telah terjadi hingga membuat semua orang memandangnya khawatir ketika dia bangun. Di... More

Perhatian
Prolog
Chapter 1
Flashback 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Flashback 2
Chapter 6
Chapter 7
Flashback 4
Chapter 8
Flashback 5
Chapter 9
Flashback 6
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Flashback 7
Chapter 14
Chapter 15
Flashback 8
Flashback 8 part 2
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Flashback 9
Flashback 10
Flashback 11
Flashback 11 Part 2
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Flashback 12
Flashback 13
Flashback 14
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Flashback : Memories
Chapter 29
Epilog
Chasing Memories : Segera Terbit
Bantu pilihin cover Wattpad, yuk!

Flashback 3

59.2K 6.4K 207
By raatommo

Sudah seminggu lamanya sejak kejadian mengerikan itu terjadi. Rasanya masih sulit untuk percaya kalau nyawa Rachel akan berakhir di tangan suaminya sendiri kalau saja bukan karena TV lokal menyiarkan penyergapan malam itu dan garis kuning milik polisi masih di pasang mengelilingi kediaman rumah Parker.

Kota kecil kami terkejut mendapati berita ini.

Tinggal di kota kecil berarti setiap orang mengenal satu sama lain. Putra siapa, berasal dari mana, dari keluarga seperti apa...
Semua orang saling mengenal.

Namun efek negatifnya mulai terasa disaat-saat seperti sekarang. Saat semua orang tidak bisa berhenti membahas hal ini. Ketika rasa empati mereka hanya bertahan beberapa hari dan mulai hilang, digantikan pertanyaan usil yang ingin tau.

Rumor beredar, kalau Derek kalap karena perselingkuhannya terungkap oleh Rachel. Ada juga yang mengatakan mereka bertengkar karena masalah ekonomi dan Rachel terlalu menuntut. Rumor menjijikkan yang bahkan membuatku kesal mendengarnya. Maksudku, kedua orang ini sudah meninggal lalu kenapa tidak tunjukkan sedikit rasa respect?

Namun rumor adalah bumbu kehidupan yang membosankan dan tidak bisa di hindari sebagian orang.
Tidak hanya diperuntukkan bagi kedua orang yang sudah meninggal itu, tapi juga pada dia yang di tinggalkan.

Sejak polisi berusaha menginvestigasi kejadian itu, bahkan hingga kasusnya ditutup, tidak ada yang melihat Jamie dimanapun. Dia tidak pernah terlihat di sekolah, bahkan di acara pemakaman kedua orangtuanya di kota ini. Disanalah rumor Jamie mulai muncul. Anggapan kalau dia sedang di rehabilitasi karena guncangan emosional yang dia alami. Stress berat, dan lari keluar kota. Juga masih banyak lagi gosip-gosip di sekolah dan di seluruh kota yang membuatku ingin berteriak, Mind your own business!! di depan wajah mereka.

Jamie memang pembully berhati dingin, tapi walaupun begitu menurutku dia tidak pantas mengalami hal buruk ini.
Begitu hebat tragedi, hingga aku merasa kasihan pada keluarga itu. Aku bahkan kasihan pada Jamie.

Hari itu di sekolah, selang beberapa detik setelah bel makan siang berbunyi, semua orang di kelas mulai membenahi barang-barangnya dan menuju kafetaria, dan seperti biasanya selama tiga tahun di SMA ini, aku selalu menunggu kerumunan menjadi sepi sebelum bergerak menuju perpustakaan untuk menghabiskan makan siang yang di buatkan Anita untukku.

Kedua tanganku di atas meja, jari-jarinya saling memuntir satu sama lain. Kepalaku tertunduk sebelum perlahan menoleh ke bangku belakang, tempat Jamie biasanya duduk. Bangku itu kosong, sudah hampir beberapa hari.

Ya kami berbagi homeroom bersama.

Aku kembali menghadap ke depan, dan bertemu pandang dengan Mr. Demour. Dia tersenyum waktu melihatku. Masih duduk di tempat yang sama, menunggu semua orang pergi ke kafetaria.

"Tidak mau buru-buru pergi ke kantin, Nora?" tanyanya basa-basi. Basa-basi yang selalu sama hingga benar-benar basi secara harafiah. Kurasa Mr.Demour selalu menanyakan hal yang sama setiap melihatku tetap tinggal menunggu yang lain pergi semua. Skenarionya selalu sama, Makan siang.

Aku mengedikkan bahu, berusaha mengulum senyum geli.

"Aku bawa makan siang sendiri."
Mr. Demour pun kurasa memikirkan hal yang sama dengan yang ku pikirkan dari caranya tersenyum sekarang.

"Makanan rumah memang lebih sehat dari pada yang mereka sajikan di kantin."

Aku tertawa geli.

"Ya. Aku bahkan tidak berani menyebutnya makanan." aku menyeringai, melihat Mr.Demour tertawa setelah mendengar perkataanku.

"Nora... Aku benar-benar akan merindukan pembicaraan membosankan kita ini, jika kau lulus nanti." ujarnya setelah sedikit tenang dari tertawanya.

"Aku juga begitu."

Mr.Demour menghela nafas. Perlahan dia mulai membenahi kertas-kertas di atas mejanya, bersamaan denganku yang mulai menyandang tas.

"Jadi Nora, kau sudah mengirimkan aplikasimu ke kampus yang kau inginkan?"

"Ya." aku mengagguk. Berdiri sambil menenteng kantung kertas berisi makan siang buatan Anita.
"Aku mengirimkannya semalam ke beberapa kampus."

Mr.Demour bergumam dan mengagguk. "Benarkah, kemana kau mengirimkannya?"

Aku tersenyum bangga tiap kali mereka menanyakan soal pendidikan padaku. Ini memang disebut sombong dan sifat yang jelek, tapi aku pantas mendapat rasa bangga ini.

"Oxford, dan Yale."

Mr.Demour tersenyum, "Sudah ku duga kau akan menjawab kedua universitas itu. Aku juga tidak terkejut kalau keduanya menerimamu."

Aku tersenyum puas, kepalaku menunduk sedikit.

"Well mungkin kau tidak membutuhkannya, tapi sebagai guru yang baik aku tetap harus mengatakan ini pada setiap murid untuk dukungan moral." dia tertawa, "Semoga beruntung Nora."

"Terima kasih Mr.Demour." kataku dan berjalan ke luar kelas menuju Perpustakaan.

Lorong sudah sepi saat aku berjalan menuju loker untuk menukar buku. Mereka semua pasti sudah ada di Kafetaria karena suara hanya terdengar dari satu ruangan saja.

Selesai mengambil buku, akupun langsung bergegas menuju perpustakaan waktu tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dan Sarah keluar dari sana dengan wajah merah dan mata sembab. Dia melihatku, tapi tidak memperdulikannya dan justru berjalan terus seolah aku tidak ada disana.

Itu memang hal yang biasa terjadi, yang aneh hingga membuatku berhenti melangkah dan menoleh ke belakang sampai dia menghilang di belokan koridor justru melihat Sarah yang biasa energik dan angkuh, menangis sampai seperti itu.

Sarah terlihat seperti kehilangan bagian dari dirinya saat Jamie tidak ada. Aku bisa melihatnya. Dia tidak lagi terlihat bersinar seperti dulu.
Mungkin ini memang ada kaitannya dengan Jamie atau justru tidak sama sekali. Tapi kalau memang alasannya Jamie, kenapa dia tidak memberi tau Sarah dimana keberadaannya?

Sekolah berjalan singkat dan saat tersadar, aku sudah berjalan pulang sendirian. Kedua tanganku memegang erat ransel di pundakku. Berjalan menunduk, memperhatikan bayanganku  bergerak di atas trotoar.

Rumahku mulai terlihat.

Tanganku terangkat untuk membuka gerbang dan menutupnya perlahan. Suara berderit dari pintu pagar yang kekurangan minyak adalah satu-satunya yang terdengar sore itu.
Kakiku tidak langsung melangkah masuk, tapi justru menoleh ke sebelah rumahku, tepat di jendela atas mereka.

Jendelanya terbuka.

"Hi Nora, sudah pulang." Anita menyapaku yang masuk dari pintu belakang. Dia sedang membersihkan panci dan menggunakan pakaian bagus seperti akan keluar rumah setelah itu.

"Kau mau pergi Anita?"

"Ya, Sayang. Aku harus menjemput pakaian Ibumu yang baru selesai di laundry dan mengirimkannya ke sana. Dia membutuhkannya untuk pertemuan penting. Aku sudah masakan makan malam, jadi kalau aku pulang terlambat kau bisa memulainya tanpa aku." Anita tersenyum.

"Apa akan lama?" tanyaku lagi, menyender di dinding sambil memperhatikan Anita yang sudah selesai menghilangkan kerak panci dan memasukkannya ke dalam mesin cuci piring.

"Kurasa tidak." Anita menyeka tangannya di serbet, "Kau mau menitip sesuatu? akan ku belikan sepulangnya dari sana nanti."

"Tidak terima kasih." kepalaku menggeleng, "Aku mau ke kamarku saja."

"Baiklah. Jangan lupa memberi makan Desy, Nora!"

"Baik!" seruku, berlari menuju kamarku di lantai atas.

Aku meletakkan tasku di atas meja belajar dan langsung menghambur ke tempat tidur. Mengubur wajahku di atas bantal sambil menghela nafas untuk menghilangkan rasa lelah.

Senang rasanya kembali ke rumah.

Dengan masih dalam posisi telungkup seperti ini, aku memperhatikan tanggal di kelenderku yang di gantung di dinding. Tanggal 10 di kelender itu di lingkari dengan spidol merah. Ulang tahunku. Aku benar-benar tidak sabar. Bukan karena hadiah atau pesta besar-besaran, tapi Ibu selalu pulang di hari itu. Dia berjanji akan mengajakku main ski dan menginap di penginapan untuk beberapa hari. Kami akan merayakan ulang tahunku berdua.

Waktu sedang membayangkan hari yang tinggal sebentar lagi itu, sambil bertahan pada posisi telungkup ini, ponsel yang ada di ransel kemudian berbunyi.

Aku mengerang malas, tapi tetap bangkit untuk mengambilnya. Di layar tertulia nama Ibu berkedip di layar. Kebetulan sekali...

"Ya Bu?"

"Hi Sayang, Apa Anita sudah pergi mengambil pakaian Ibu?"

"Hmmm." aku bergumam mengiyakan dan duduk di depan kursi belajarku. Memutar benda itu menghadap ke jendela, "Dia baru saja berangkat."

"Kau sendirian di rumah kalau begitu?"

"Tidak aku bersama Desy. Tapi dia belum menemuiku sejak aku pulang ke rumah. Mungkin dia sedang jalan-jalan."

"Jangan lupa memberinya makan, sayang."

"Iya iya, Akan ku beri makan saat dia mengeong padaku." jawabku, menumpukan wajah ke satu tangan yang berada di pinggiran meja.
"Ibu sedang sibuk?"

Aku memperhatikan jendela kamar rumah Parker yang terbuka dan terlihat gelap. Garis polisi masi melingkari rumah itu.

"Sebenarnya iya sayang. Ibu harus pergi ke kantor klien dan meminta sesuatu yang jika Ibu jelaskan padamu lebih detail, kau pasti akan bosan." dia tertawa. Dari suaranya Ibu memang seperti sedang mengemas sesuatu sambil menelponku.

"Aku ingin belajar hukum di Oxford, Bu. Hal-hal membosankan itu akan kupelajari nanti."

"Ibu tau. Rasanya tidak sabar dapat penerus sepertimu, sayangku." ujar Ibu.

Aku tersenyum bangga.

"Ibu harus pergi, supirnya sudah menunggu di luar. Nanti Ibu telpon lagi, sampai nanti sayang, I love you."

"I love you too."

Lalu sambungan terputus.

Suasana kembali hening. Pandanganku tidak mau pergi dari jendela rumah Parker yang sejak tadi ku perhatikan. Aku bahkan menghabiskan 5 menit penuh hanya duduk tidak bergerak, memperhatikan ruang gelap itu.

Lalu samar-samar aku mendengar suara batuk. Di ikuti sesuatu yang berjatuhan seperti kaca. Aku kemudian bangkit dari posisiku. Keluar menuju pekarangan, dan membuka pintu pagar mereka. Aku benar-benar tidak yakin dengan apa yang ku lakukan. Kepalaku menunduk untuk melewati garis kuning yang meminta orang ubtuk menjauh dari rumah ini.

Garis polisi ini seharusnya sudah di cabut, tapi entah kenapa masih ada sampai sekarang.

Aku berjalan ke arah pintu belakang mereka, melewati taman bunga yang dulu di rawat sepenuh hati oleh Rachel tapi sekarang bunganya terlihat patah terinjak-injak.

Ragu-ragu aku mulai mengetuk pintu belakang mereka, dan tidak heran saat tidak ada jawaban. Tanganku terangkat lagi untuk membuka pintu, dan tanpa perlawanan pintu coklat itu terbuka begitu saja.
Aku melangkah masuk menuju ruang depan yang juga di batasi garis polisi. Menolak untuk melihat secara detail ruangan yang menjadi tempat kesedihan keluarga Parker terjadi dan langsung menuju ke atas.

Tidak bisa ku bayangkan perasaan Jamie saat melihat ruangan itu,

Aku menoleh ke setiap ruangan atas hingga menemukan satu pintu yang tertutup. Suara batuk kembali terdengar dari dalam.
Perlahan aku membuka pintunya, dan disanalah Jamie tidur terlentang di atas ranjang. Botol minuman berserakan dimana-mana, asap rokok hampir membuatku tercekik karena sangat menyengat. Kamar itu terasa tidak sehat di huni walaupun jendelanya terbuka.

Jamie mendengar suara pintu yang ku buka, kepalanya menoleh, matanya merah waktu melihatku. Saat itulah aku tau apapun yang dia hisap di kamar ini, bukan hanya rokok biasa.

"Watson?" ujarnya tidak percaya dengan suara rendah yang serak.

Apa yang harus ku katakan sekarang? menyapanya? menanyakan kabarnya? Aku benar-benar bingung memikirkan hal yang bisa ku katakan tanpa terlihat bodoh.

"Apa yang kau lakukan disini, Watson?"

"Aku ingin..."

"Pergi."

"Kau terlihat tidak..."

"Pergilah!" dia berbalik memunggungiku.

Aku menumpukan berat badanku ke satu kaki sebsgai gestur kikuk. Tanganku tetap memegang erat knob pintu kamarnya.
Terus berdiri di tempatku, di ambang pintu tanpa ada tanda-tanda akan pergi seperti permintaannya, ataupun masuk ke dalam mendekatinya. Pintu ini seperti batas aman bagiku.

Aku tau Jamie ada disini sejak hari pertama dia mulai kembali kemari. Dia menyusup masuk di tengah malam, merusak pintu belakangnya sendiri untuk masuk. Aku mendengar semua suara dari sini setiap malam. Setiap suara samar, suara isak tangis memilukan, dan erangan kesakitan.  Aku mendengarnya sampai tidak bisa kembali tidur.

Ada yang mengatakan kalau kebaikan dan kebodohan hanya di pisahkan oleh satu garis tipis. Aku tidak tau apa yang ku lakukan ini adalah kebaikan atau kebodohan, tapi aku ingin melakukan sesuatu yang baik untuk Jamie. Bahkan untuk semua yang pernah dia lakukan padaku, aku kasihan padanya. Aku ingin membantunya sedikit.

Jadi saat dia tidak mengatakan apapun lagi, dan terus memunggungiku, aku duduk di lantai di depan pintu. Menyandar disana, sambil memperhatikan jari-jari tanganku.

Beberapa menit kemudian aku kemudian mulai mendengar dia mengerang kesakitan lagi, sambil memegangi kepalanya. Dia kembali terlentang mengarah ke langit-langit.

"Kau butuh sesuatu?"

"Air..." Jamie mendesis kesakitan.
Aku berdiri dari lantai dan bergegas ke bawah, mengambilkan segelas air dari dapur lalu kembali ke kamarnya. Menyerahkan gelas itu ke arah Jamie yang berusaha bangkit dengan susah payah.

Jamie meminum habis isi gelas di tangannya sebelum mengembalikannya padaku dan berbaring lagi.

"Kau mau ku carikan obat penghilang sakit?"

Jamie hanya diam.

Aku meletakkan gelas kosong itu di atas nightstand di sebelah kasurnya lalu kembali duduk di lantai, tempat ku tadi.

"Hei..."

Tidak ada jawaban. Entah karena dia tertidur atau memang mengabaikanku.

"Kau lapar tidak?"tanyaku lagi,

"Anita membuatkanku Salmon panggang, saus lemon. Aku bisa membawanya kesini kalau kau mau?"

"Aku tidak butuh belas kasihanmu. Yang aku mau hanya kau agar enyah dari sini sesegera mungkin."

Kali ini aku yang tidak menjawab. Bagaimana kalau keberadaanku memang tidak membantu sama sekali, dan justru membuatnya terganggu? Lagipula dia memang membenciku, dia pasti tidak suka aku disini.

Aku memelintir ujung t-shirt yang ku pakai. Sebelum bangkit dari tempat dudukku di lantai dan berjalan keluar tanpa mengatakan apapun.

Aku pulang dari pintu belakang, dan langsung membagi dua ikan salmon bagianku. Meletakkannya di atas piring bersama kentang tumbuk dan kacang polong. Lalu kembali ke kamar Jamie, meletakkan piring itu di atas nighstand disebelahnya. Dia terlihat sudah kembali tertidur, jadi mungkin dia tidak tau aku kembali.

Well... cuma ini yang bisa kulakukan.

Waktu aku pulang sekali lagi. Anita sudah ada di rumah. Dia bertanya kenapa Salmon bagianku hanya tinggal bagian kepala saja, dan ku jawab dengan Desy yang menyantap sebagian ikanku. Dan bukannya kuberikan pada tetangga yang membutuhkan.

***

Keesokan harinya saat aku kembali ke rumah Parker dan menuju ke lantai atas, hal yang pertama kali ku lihat adalah piring kosong di atas nighstandnya bersamaan dengan tulang ikan.

Aku tersenyum melihatnya, lalu melirik ke arah Jamie yang masih tidur di ranjang.

Botol-botol minuman semakin banyak berserakan di lantai. Jadi kubawa turun sebagian saat dia tidak sadar seperti sekarang, agar tempat ini tidak terlalu mirip tempat pembuangan akhir.

Aku mulai mengutip beberapa botol yang ada paling dekat denganku dan mmbawanya turun. Memasukkannya ke dalam kantung sampah, lalu mengambil segelas air untuk ku bawa ke atas. Ku letakkan gelas itu di atas nighstand, lalu duduk di depan pintu seperti kemarin dan mengeluarkan buku notes.

Aku mulai mengerjakan soal Logaritma yang di berikan tadi.
Baru dua soal yang ku kerjakan, Jamie mulai bergerak dari tidurnya yang seperti orang mati dan berbalik ke arahku. Karena dia tidak membuka matanya, aku lanjut mengerjakan tugasku.

"Kenapa kau kembali?" suaranya serak dan rendah. Tanganku berhenti menulis, dan mulai melihat ke atas, ke arah mata biru yang memandangiku.

"Aku membawakan tugasmu dari sekolah, ada banyak sekali. Kau harus kerjakan kalau mau menyelesaikannya sebelum Final test."

"Aku tidak peduli lagi soal sekolah. Aku cuma mau kau pergi." Dia berusaha duduk, dan mengambil gelas air di atas nighstandnya.

"Sombong sekali..." cibirku.

Dia berhenti minum dan melirik ke arahku, "Kau membisikkan sesuatu pengecut?"

"Aku bilang kau sombong." kataku lebih keras, "Kau bekeras tidak butuh bantuanku, tapi kau minum air yang ku bawakan. Harga dirimu terlalu tinggi untuk mengakui kau butuh."

Dia menatapku tajam, bibir gelas hanya berjarak beberapa senti dari bibirnya. Tanpa melepas pandangannya dariku, Jamie menumpahkan airnya ke lantai.

"Itu bantuanmu. Ada di lantai. Kutip dan pulanglah, aku tidak butuh."

"Lalu apa yang kau butuhkan sekarang?! mati?"

Dia meletakkan gelas kosong, di atas nighstandnya lalu menatapku dengan mata merah yang sama seperti semalam.

"Kalau iya, apa itu membuatmu senang? Kau membenciku kenapa ingin sekali membantu?"

Aku menatapnya lama.

"Kau tidak sungguh-sungguh ingin mati Jamie Parker. Karena kalau kau ingin mati, Salmon yang ku berikan padamu masih ada."

"Aku tidak bilang kalau ingin mati. Kau yang mengatakannya tadi." dia mengembalikan perkataanku.

"Dengan semua minuman dan benda yang hanya Tuhan dan kau yang tau, kau hisap setiap malam, cuma mati yang terlihat menjadi tujuanmu saat ini."

"Apa pedulimu?" tanyanya dingin.

"Kau mungkin mengagap semuanya sudah berakhir, tapi aku yakin Rachel berharap kau bisa memulai yang baru. Kau mungkin bilang kalau aku sok tau, tapi dia wanita baik. Jadi tidak sulit menebak harapannya padamu. Aku hanya ingin melakukan hal baik untuk Rachel."

Jamie terdiam. Dia menatapku lama sebelum kambali menghenyakkan tubuhnya di atas kasur.

Dia memandang ke langit-langit, lalu tiba-tiba tertawa. Samar-samar aku mendengar dia menyebut 'awal baru' seperti mengejek sebelum kembali tertawa.

"Awal baru ya? Setidaknya ceritakan padaku keadaan sekolah, aku ingin tau apa mereka sudah berhenti membicarakan keluargaku yang hancur lebur?"

Rasanya ingin sekali menjawab, hal yang ingin dia dengar. Tapi aku sadar kalau pertanyaan itu hanyalah penyataan retoris yang Jamie sendiri tau jawabannya.
"Belum. Mereka masih membicarakannya." kataku.

Dia tertawa getir, "Rumor dimana-mana?"

"Ya."

Jamie mengagguk. Lalu terdiam.

"Tidak ada awal baru bagiku." bisiknya tidak cukup pelan. Matanya menerawang jauh ke stas langit-langit.

"Aku tau perasaanmu--"

Jamie tertawa sinis dan mulai menentangku, "Ooh please, kau tidak tau!"

"...Aku tidak tau bagaimana rasanya kehilangan dua orangtua sekaligus, tapi aku tau rasanya tidak punya awal baru disini." perkataanku membuatnya terdiam. Ingatan saat aku di tolak dimanapun dan hanya bicara berdasarkan kepentingan semata di sekolah kembali teringat.

"Kau tau, mungkin dari seluruh siswa di sekolah kota ini cuma aku yang tidak punya beban sedikitpun meninggalkan SMA. Aku justru ingin sesegera mungkin pergi dari kota ini, yang hanya bicara padaku saat mereka menginginkan sesuatu dan akan ikut menertawaiku bersamamu saat mereka tidak butuh apapun lagi. Aku lebih lama mengalami fase ini Jamie, jadi aku tau perasaanmu."

"Aku ingin pergi dari kota ini, dengan cara yang baik. Lulus dari SMA dan pergi ke universitas adalah jalan keluarku menuju awal baru. Kau juga begitu, temukan jalan keluarmu dengan cara yang baik." aku menyelesaikan dialog monotonku tanpa ada selaan dari Jamie. Entah apa yang dia pikirkan saat ini, tapi dia terus memperhatikanku.

"Tapi setidaknya Sarah terlihat merindukanmu setiap hari." ujarku berusaha memecahkan keheningan di ruangan ini.

"Dia tau aku ada disini, tapi dia tidak pernah datang." jawab Jamie.

"Mungkin dia takut ada disini, karena garis polisi itu. Kau juga tidak seharusnya ada di disini."

"Kau juga tkdak seharusnya ada disini, tapi kau tetap ada disini." ujarnya menoleh ke arahku.

"Kau sebaiknya pulang. Pengasuhmu bisa khawatir."

"Dia bukan pengasuhku." kataku, tapi tetap membenahi barang-barangku. Aku melihatnya tersenyum mengejek.
Sebelum pulang, sama seperti semalam aku mengambil piring dan membagi makananku dengannya. Lalu kembali kesana untuk meletakkan piring di tanganku itu ke atas nighstand. Jamie tidak terlihat dimanapun, tapi pintu toiletnya tertutup. Jadi ku tinggalkan makannya disana dan kembali pulang untuk makan malam dengan Anita.

Lagi-lagi menuduh Desy memakan bagianku.

Mengunjungi Jamie sepulang sekolah mendadak menjadi kebiasaan rutin yang ku jalani dalam lima hari belakangan ini.
Selama lima hari itu, aku akan pergi ke sana lewat pintu belakang, lalu pergi ke kamarnya. Jamie selalu mabuk tiap aku kesana. Dia selalu tidur waktu aku mengambil gelas di atas meja, ataupun saat mengutip beberapa botol bir bekas agar kamar ini tidak terlalu mirip tempat pembuangan akhir. Botol-botol bekas itu kemudian ku bawa ke bawah, lalu mengambil segelas air sebelum naik ke atas lagi. Aku bakal duduk di depan pintu kamarnya seperti biasa, mengerjakan PR atau hanya sekedar membaca buku disana. Jamie akan bicara padaku kadang-kadang. Mungkin karena aku selalu melakukannya, dia tidak lagi terlalu sinis.

Di sekolah, semuanya berjalan seperti biasa. Belajar sampai makan siang, pergi ke perpustakaan sampai kembali masuk, lalu pulang setelah semuanya selesai. Semuanya sama.

Aku hanya tidak bisa berhenti menatap bingung kepada Sarah tiap kali aku melihatnya dari jauh. Hari ini dia menggunakan jersey bolanya dan bicara dengan anggota tim sepakbola putri di loker. Dia terlihat sedih di mataku, dia sering melamun saat yang lain bicara dengan riuh.

Dia tau aku ada disini, tapi dia tidak pernah datang.

Mungkin aku tidak tau jawaban masalah ini karena tidak pernah punya kekasih yang kedua orangtuanya membunuh yang lain, tapi kalau dia benar-benar sedih kenapa dia tidak menamui Jamie?

Ini membingungkan...

***

Pagi itu ketika aku bangun tidur, rasanya bibirku tidak bisa berhenti tersenyum.
Yuph! tanggal merah di kelenderku akhirnya terjadi.

Hari ini Ulang tahunku.

Sekarang aku berusia 18 tahun dan tidak ada yang lebih membutku bersemangat lagi, selain Ibu yang juga akan pulang malam ini.

Anita masuk ke kamarku, membawa kue tart besar buatannya pagi itu. Menyanyikan lagu selamat ulang tahun dalam bahasa Spanyol sambil tersenyum ke arahku. Rambut hitamnya di kucir tinggi, membuat Anita terlihat lebih muda. Dia sudah mengurusku lebih dari 15 tahun, dan tidak ada yang bisa menggantikannya dalam hidupku.

"Selamat Ulang tahun, sayangku Nora." Anita memelukku erat setelah aku meniup lilin, dia menatapku dengan mata berkaca-kaca, "Kau sudah besar sekarang, umurmu 18 tahun! Aku ingat waktu pertama kali dipekerjakan Ibumu, kau masih gadis kecil."

"Terima kasih Anita, untuk semuanya." aku balas tersenyum.

"Aku akan merindukanmu saat kau pergi ke universitas nanti, sayang."

"Aku juga." kataku, meremas tangannya lembut. "Terutama masakanmu."

Dia tertawa, "Ooh sayang, kalau kau mengunjungiku akan ku bustkan masakan apapun yang kau inginkan."

"Tapi kau yang akan lebih kurindukan Anita." Aku memeluknya, "Kau sudah seperti Ibuku."

Anita mengajakku turun ke bawah untuk menyantap kue ulang tahunku setelah itu. Dia juga bilang kalau Ibu belum menelpon untuk memberi tau pesawat jam berapa yang akan dia naiki.

"Sebaiknya kita tunggu saja telponnya ya." Anita pergi ke dapur untuk memasak makan siang.

Tanpa sadar hari sudah mulai gelap, tapi pikiranku masih tetap positif karena mungkin Ibu berusaha membuat surprise. Aku bahkan sudah siap memakai dress merah yang dia belikan padaku tahun lalu, Anita juga sudah memakai pakaian bagus untuk menjemput Ibu di bandara lalu pergi makan malam di restoran lokal.

Aku duduk di salah satu meja makan, sedangkan Anita tepat di sebelahku, mengusap-usap rambutku. Aku sudah mulai khawatir kalau ini bukan surprise sama sekali. Bagaimana kalau Ibu tidak bisa pulang?

"Bagaimana kalau kita telpon saja Ibumu dan tanyakan langsung?" Anita mulai menekan beberapa tombol di telpon rumah dan meletakkannya di telinga.

"Hi Amanda. Aku hanya ingin tanya jam berapa kami harus menjemputmu di bandara?"

Aku tidak bisa mendengar apa yang di katakan Ibu, tapi dari raut wajahnya sudah mengatakan semua yang ku butuhkan.

"Hari ini ulang tahun Nora, Amanda... kau janji... baiklah." Anita menyodorkan telponnya padaku. "Ibumu ingin bicara sayang."

"Tidak perlu." aku berdiri dari bangku dan berjalan ke depan menuju pintu keluar.

"Nora..." Anita mencoba memanggilku tapi aku terlalu marah. Aku hanya berjalan keluar rumah tanpa melihat sedikitpun.

Kami hanya bertemu setiap tiga bulan sekali, tapi dia bahkan merasa tidak perlu mengabariku kalau tidak jadi pulang. Tidak usah mengucapkan selamat ulang tahun, Ibu malah membiarkan kami menunggu hal yang tidak ada, dia tidak terlalu mengaggapku penting. Lau kenapa aku harus mendengarnya?
Mungkin hanya aku yang merindukannya selama dia berada di luar kota berbulan-bulan.

Aku menyeka air mataku dan berhenti di depan mini market 24 jam. Kakiku lelah berjalan dan memutuskan untuk beristirahat sebentar. Hari sudah gelap, udaranya juga menusuk kulitku yang tidak terbalut jaket. 

Waktu berdiri di trotoar sambil memegangi besi tempat parkir sepeda untuk menahan tubuhku, saat itulah pandanganku bertemu dengan seseorang berjaket jeans dengan rambuf sedikit berantakan. Membawa kantung plastik dan satu krat bir.
Dia juga tanpa sengaja melihatku. Alisnya menyatu, "Nora? Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya bingung.

"Ini negara bebas. Aku boleh kemana saja yang aku mau." jawabku datar. Lalu duduk di trotoar dengan kepala berpangku di atas kedua tanganku.

Jamie mendekat dan berdiri tepat di depanku."Maksudku ini sudah malam. Kau tidak pernah keluar selarut ini."

Aku tau maksud dia sebenarnya, tapi sengaja mengatakan itu agar dia kesal dan pergi. Pundakku mengedik, tidak ingin menjawab. Kepalaku menengadah untuk menatap wajahnya yang terlihat lebih sadar, dan lebih mirip seperti Jamie yang biasa kejam padaku, ketimbang Jamie terpuruk yang ku temani setiap pulang sekolah. Tapi kemudian aku melihat krat bir di tangannya, dan menggelen pelan.

Jamie mengedikkan kepalanya setelah aku tidak kunjung menjawab, "Ayo pulang."

"Aku tidak ingin pulang. Aku mau kabur."

Jamie mengikutiku duduk di trotoar, lalu membuka satu bir dari krat di tangannya dengan menggunakan pinggiran trotoar.

Dia terkekeh pelan, "Kabur? Maksudmu jalan-jalan sebentar sebelum makan malam, atau apa definisi kabur untuk anak rumahan sepertimu?"

Aku melototinya, dan mengabaikan pertanyaan itu.

"Pengasuhmu tau kau disini?"

"Tentu saja tidak!" kataku cepat sambil melotot, makin kesal waktu dia terus menyebut Anita pengasuhku. "Aku sedang kabur, kau mengerti? aku tidak ingin pulang. Aku mau disini saja."

"Ayolah aku tidak ada waktu dengan omong kosongmu. Berdiri, dan pulang ke rumahmu."

"Kau saja yang pulang."

"Kau serius?" dia bertanya masih dengan senyum mengejek. "Bagaimana kalau kau flu karena udara malam?"

Aku menatap matanya tanpa menjawab. Lalu buru-buru ku seka air mataku dan melihat ke arah lain. Jamie berhenti tersenyum. Dia terdiam, tidak pergi tapi juga tidak mengatakan apapun.

"Kalau kau tidak ingin pulang, kita ke rumahku saja." ujar Jamie setelah sekian lama, "Kau bisa kabur, tapi tidak kedinginan. Anak rumah sepertimu tidak akan bertahan satu malam tanpa selimut, ayolah." dia mengulurkan tangannya. Aku memperhatikannya ragu sebelum menjabat tangan itu dan membiarkan dia menarikku.

Aku tidak tau kenapa percaya begitu saja padanya malam itu. Kami memang sering bertemu selama seminggu belakangan ini, tapi Jamie tetaplah pembully selama hampir lebih dari seumur hidupku. Bagaimana caranya seumur hidup di kalahkan oleh lima hari aku juga tidak mengerti.

Dia lumayan baik padaku untuk ukuran Jamie Parker. Sesampainya di rumahnya, kami duduk di tepi kasur Jamie.
Dia mengeluarkan beberapa burger yang dia beli dan membuka bungkusannya. Makan tanpaku.

"Kau mau? uangku tidak cukup untuk membeli lebih."

"Tidak terima kasih." aku menggeleng.

"Jadi... kau mau cerita atau kita berdua saling mengabaikan saja? yang mana menurutmu bagus?"

Aku tidak tau.

"Kenapa kau selalu minum setiap malam? itu tidak baik untuk kesehatan."

"Ya, ini mungkin tidak baik untuk kesehatan tapi ini baik untuk mentalku." dia terkekeh, "Ini bisa membuatku lebih baik." aku memperhatikan dia minum.

Jamie kemudian menawarkannya padaku.

"Tidak terima kasih."

"Tidak akan ada yang  memarahimu. Kau juga tidak akan mati hanya mencoba sedikit, percayalah ini bahkan bisa membantu."

Aku menatap mata birunya, lalu ke botol di tangannya beberala kali dengan gugup. Tanganku terangkat untuk mengambil botol itu dan menerimanya, minum beberapa teguk secara langsung, hingga rasanya tenghorokanku seperti terbakar.

"Ti...tidak enak."

Jamie menertawaiku, "Kau payah."

Kami terdiam lagi setelahnya. Jamie membuka botol baru waktu aku masih berusaha menghilangkan rasa aneh di lidahku waktu mendadak Jamie bicara lagi.

"Kau tidak seperti yang kupikirkan."

"Apa?" kepalaku menoleh.

"Kau lebih baik dari yang kupikirkan. Itu saja." dia memgedik, dan minum lagi. "Ngomong-ngomong terima kasih untuk makananmu."

Aku tersenyum, "Tidak masalah. Kau seharusnya berterima kasih pada Desy kucingku, karena dia yang ku salahkan tiap Anita bertanya kemana separuh makananku.

Dia tertawa, "Kenapa tidak kau beri tau saja?"

"Aku tidak mau memberitaunya, karena jika kau ingin di temukan maka kau tidak akan pulang diam-diam. Aku menghormati keinginanmu." jawabku.

Jamie menoleh ke arahku, sebelum dia tersenyum lagi.

"Thanks."

Dia menawarkanku minumannya lagi dan ku terima untuk beberapa kali teguk sebelum kepalaku mulai pusing.

Perbincangan kami seperti tidak ada habisnya.
Jamie selalu tertawa tiap dia bercerita saat dia mulai mabuk. Suaranya rendah dan maskulin. Dia menatapku waktu aku ikut tertawa karena cerita konyol yang diceritakannya bersama sahabatnya Charlie. Jamie tidak pernah bisa berhenti.

Kepalaku yang terasa ringan, tidak menghalangiku untuk terus memperhatikan Jamie. Dia terlihat berbeda saat dia tertawa membuatku tidak bisa berhenti menatap. Jamie mendapatiku memperhatikannya, dia berhenti melucu dan ikut menatapku.

Matanya berwarna abu-abu di tengah cahaya yang minim di ruangan ini. Dia tersenyum tipis. lalu kepalanya mulai mendekati wajahku.

Aku tidak pernah di cium sebelumnya. Bibirnya lembut, membelai bibirku. Aku mencengkram jaket yang dia pakai, dan hanya itu yang di butuhkan Jamie untuk meletakkan botolnya. Tanganya mengusap rambutku turun ke belakang leherku untuk memperdalam ciuman kami.

Aku tidak mngatakan apapun. waktu dia menjauh untuk melihat wajahku, mengusap rambut yang mnghalangi wajahku, lalu kembali menciumku.

Aku tidak terlalu ingat hal selanjutnya.

Tapi setelah aku terbangun dengan kepala yang berdenyut-denyut dan Jamie yang tidur di belakangku.

Ini awal, aku kehilangan awal baruku.

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 218K 41
Sherenada tidak pernah ingin berhubungan dengan pria menyebalkan seperti atasannya yang selalu membuatnya lembur berhari-hari hingga seseorang makhlu...
1.9M 72.2K 60
"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang...
2.3M 235K 39
Cerita sudah dihapus sebagian untuk kepentingan penerbitan meet Karenina, gadis 23 tahun dengan penampilan seperti anak remaja dan nggak bisa pasang...
1.1M 124K 31
FLAWSOME "Your flaws are perfect for the heart that is meant to love you." -- Zhao Walker, adalah contoh pria langka masa kini. Bungsu keluarga Walke...