My Last Happiness (TELAH TERB...

By demimoy

2.1M 75.8K 4.3K

Sequel Of The Story 'My Possessive Hero' Masalah itu datang silih berganti dalam kehidupan rumah tangga Anna... More

Bagian 1
Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 9
Bagian 12
Bimo's Pov
Bagian 14
Bagian 15
Bagian 16
Bagian 17
Bagian 18
Bagian 19
1. Author's Pov -Sudut Pandang Bimo-
2. Author's Pov -Sudut Pandang Bimo-
3. Author's Pov -Sudut Pandang Bimo-
Bagian 21
Bagian 22
Bagian 23
Bagian 24
Dibaca! Butuh Jawaban
PO
OPEN PO - MY LAST HAPPINESS

Bagian 8

63.6K 3K 102
By demimoy

"Apa ini?"

Mampus ketahuan deh gue, umpatku dalam hati. Aku tidak bisa berkutik saat Bimo merebut kartu di tanganku. Kulihat keningnya mengernyit saat membaca apa yang dipegangnya. Lalu, pandangannya beralih padaku, tidak ada gurat kemarahan di wajahnya. Tampak biasa dan datar-datar saja. Yang ada malah kelihatan bingung.

Aku tersenyum saat pandangannya beralih pada bunga di tanganku. Setelah melihat bunga itu dia berbalik dan melangkah ke arah lemari baju. Sambil mengendap-endap aku juga berbalik hendak keluar dari kamar. Mungkin saja wajah datarnya tadi adalah bentuk kemarahan dia bukan, aku tidak tahu. Jadi, lebih baik aku menghindar dulu sebelum kena semprot Bimo.

"Diam disana Anna! Kamu pikir kamu mau kemana?" Tubuhku menegang saat suara dalam dan berat milik suamiku itu terdengar tegas dan tak terbantahkan. Reflek gerakanku terhenti setelah mendengar ucapan suamiku. Aku menghembuskan napas, merilekskan tubuhku yang menegang. Lalu, kembali berbalik dan duduk di tepi tempat tidur.

Sambil menunduk aku menunggu dia menggunakan pakaiannya. Setelah selesai memakai bajunya tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya maupun mulutku. Dia hanya berdiri di depanku dengan tangannya yang di lipat di dada. Setiap kali aku mendongkak dia melebarkan matanya dan menatapku tajam membuatku kembali menundukan kepalaku. Ini sama seperti anak kecil yang sedang di marahi karena tidak mau menurut.

Aku menunggu dia bicara sampai membuatku merasa bosan karena sama sekali dia tidak mengeluarkan suaranya. Dan kediamannya membuatku merasa tidak nyaman.

"Yasudah aku mau mandi dulu, kalau tidak bicara juga." Aku bangkit dan bergegas melangkah ke arah kamar mandi. Tapi, sayangnya tidak berhasil, Bimo menarik lenganku dan mendorong tubuhku -tidak terlalu keras- kembali duduk di tepi tempat tidur.

"Dari siapa bunga itu? Kamu membohongi suamimu, Anna?" gumamnya akhirnya dengan nada dingin.

Segera aku mendongkak, "Tidak, aku tidak berbohong. Toh, memang aku makan berdua saja sama Firly. Tapi, tiba-tiba kak Divan datang bersama Firly. Saat itu di cafe rame jadi kita ajak dia makan bareng. Terus pas pulangnya aku di antar pu-" aku segera membekap mulutku sendiri, karena baru tersadar aku keceplosan.

"Bagus, terima kasih sudah mengakuinya Annastasya!" dia mengucapkannya dengan penuh penekanan. Gawat tampaknya sirine berbahaya sudah berbunyi.

"Aku memang makan dan di antar pulang sama kak Divan. Tapi, aku tidak sendiri, 'kan?" Aku mengerucutkan bibirku lalu menunduk kembali.

"Jadi kabar yang aku terima itu benar?" Aku mengangkat kepalaku sesaat lalu menunduk kembali saat melihat Bimo menatapku tajam. "Kalau jujur aku tidak akan marah Anna, memangnya siapa Divan itu?"

"Dia kakak kelasku dulu. Aku saja baru bertemu lagi sama dia, Mas. Tidak ada apa-apa, kok."

Aku berdiri saat Bimo meraih tanganku dan menariknya. Aku menatap sedih, menyesali karena tidak memberitahu yang sebenarnya. Lagi pula kenapa aku harus takut mengatakan dan takut ketahuan aku jalan bersama Divan -ralat, bukan jalan tapi hanya bertemu-. Toh, aku tidak ada hubungan apapun.

"Kalian pernah menjalin hubungan?" Pertanyaannya aku jawab dengan gelangan pasti. Kedua tangan Bimo bergerak lalu menangkup wajahku.

"Jangan pernah ada yang kamu tutupi dariku. Lebih baik tahu dari mulutmu sendiri dari pada harus tahu dari mulut orang lain. Meski sesakit apapun yang akan aku rasakan nantinya. Berjanjilah," ucap Bimo dengan lembut mengusap rambutku.

"Maaf, Mas. Aku hanya tidak mau ada kesalah pahaman. Tapi sumpah aku tidak pernah memiliki hubungan dengan dia. Iya aku janji. Maafkan aku." Aku menghambur kedalam pelukannya. Memeluknya dengan sangat erat.

"Aku maafkan kamu sayang, jangan ulangi lagi." Aku mendongkak menatapnya tanpa melepaskan pelukanku.

"Mas Bim engga marah?" Aku tersenyum lalu kembali merapatkan kepalaku pada dada bidangnya.

Bimo melepaskan tanganku yang memeluknya lalu mengiringku duduk di tepi tempat tidur. Tangannya terulur kebelakang bahuku dan mendekapku.

"Suatu hubungan itu pasti akan selalu ada masalah di dalamnya. Di tempat dan waktu yang berbeda saja masalah akan selalu ada. Apalagi kalau kita berada di dalam satu tempat dan waktu yang sama. Akan banyak sekali pemicu masalah itu timbul. Radit mengatakan itu semua. Dan mas mengalaminya. Yang kita perlukan hanya menanamkan kepercayaan untuk pasangan kita. Apalagi sekarang ada dede bayi, kita harus menyingkirkan ego itu untuk sementara. Kamu tidak ingin dia menanggung imbasnya bukan?" Kata-kata yang Bimo ucapkan sama seperti yang kak Aliza bilang.

"Kak Radit bilang seperti itu? Mas Bim curhat sama dia?" Aku terkekeh geli saat tahu ternyata bukan hanya wanita saja yang ingin membagi masalahnya. Tapi pria juga.

"Mas belajar dari kehidupan dia , Sayang. Sebelum di titik sekarang, Mas tahu bahkan menjadi saksi akan kekuatan cinta mereka. Begitu banyak masalah yang menghadang mereka. Dan semua itu bukanlah masalah yang enteng. Tapi, mereka bisa melewatinya. Aku ingin kita seperti mereka Anna. Apapun yang terjadi, berjanjilah jangan pernah meninggalkan aku."

"Mereka memang pasangan yang cocok ya, kak. Bukan hanya Mas Bim yang mengadu pada kak Radit, akupun sama mengadu pada kak Aliza. Dan jawaban mereka sama. Kita harus mengenyampingkan ego demi dia." Aku menunduk dan mengusap perutku.

Bimo mengikuti tanganku yang mengelus perutku.

"Kak Radit beruntung bisa memiliki kak Aliza. Mereka beruntung karena Tuhan sudah mempertemukan mereka."

"Aku yang lebih beruntung punya istri seperti kamu, Sayang. Cantik, pintar, kuat dan pemberani. Terimakasih karena sudah mau menyempurnakan hidupku. Mengisi kekuranganku," ucapnya sebelum dia mencium kening, mata dan terakhir di bibirku.

Aku yang beruntung mempunyai suami seperti Bimo. Karena bukan hanya aku yang menjadi penyempurnanya. Tapi, dia pun begitu. Dengan sikap kedewasaannya dia mampu melengkapi kekuranganku. Menyeimbangkan sikap kekanakanku.

"I love you." Bimo melepaskan ciumannya lalu menarik tubuhku kedalam pelukannya.

"I love you more," bisikku di telinganya.

***

Besok paginya kami sibuk bersiap-siap untuk pergi berlibur ke villa bersama Aghnelli's family. Sejak kemarin sore Rana sudah pamit terlebih dahulu menginap di rumah mertuaku. Jadi, hari ini hanya aku dan Bimo yang akan menyusul ke villa.

Jangan senang dulu. Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan disana. Karena rasanya tidak mungkin Rana akan membiarkan kami adem ayem tanpa dia ganggu. Semoga saja apa yang akan di lakukan nanti aku bisa menghadapinya.

Hari ini hari Sabtu, dan Bimo sengaja meng-cancel semua jadwalnya di kantor hari ini. Karena akan menginap disana. Kemungkinan besok sore atau malam kami baru pulang.

"Mas, kemarin aku lihat Mas pake moge. Kita pakai itu aja, yu. Aku mau naik motor." Aku melingkarkan lenganku saat kami memasuki garasi yang cukup di penuhi mobil milik suamiku.

"Tidak boleh, Sayang. Kamu 'kan lagi hamil, dan perjalanan akan memakan waktu. Kita naik mobil aja, kapan-kapan saja kita keliling naik motor, ya."

Aku melepaskan lenganku dari lengannya lalu melipatnya di dada tak lupa mengerucutkan bibirku. "Kalau aku ngidam gimana?"

"Ditahan dulu ya sayang ngidamnya. Jangan cemberut dong, ini juga demi kebaikan kamu sama dede bayi nya." Bimo menyelipkan anak rambut yang tidak terikat pada telingaku.

"Tapi aku mau naik motor," rajukku dengan pipiku yang mengembung.

"Ngidamnya dapet ciuman dari orang ganteng aja ya, Sayang." Tiba-tiba Bimo memeluk dan sedikit mengangkat tubuhku lalu langsung membungkam mulutku yang hendak menjawab dengan mulutnya.

"Ih, nyebelin banget sih, nyium gak bilang-bilang dulu!" dengusku saat ciuman kami terlepas.

Bimo terkekeh mendengar ucapanku. "Makanya kalau lagi hamil itu jangan meminta yang macam-macam, Sayang. Mas akan mengabulkan permintaanmu kalau itu tidak membahayakan dede bayi." Bimo mencium keningku lalu membukakan pintu mobil untuk aku masuk. "Ayo Mommy sudah rewel sekali agar kita cepat menyusul."

***

Setelah berada dalam perjalanan yang cukup memakan waktu akhirnya kami sampai di tempat yang dituju. Mobil Bimo terparkir di sebuah halaman yang luas di depan sebuah rumah yang cukup besar yang berada di tengah-tengah perkebunan teh yang terhampar luas.

Setelah sampai di villa yang di maksud, belum apa-apa aku langsung di sibukan dengan berbagai pekerjaan. Karena hari ini akan mengadakan pesta barbeque jadi mau tak mau aku harus menuruti apa kata Mommy kalau aku harus membantunya menyiapkan semuanya.

Sambil memotong sayuran aku melirik pada Bimo, Daddy, Fabian dan Rana yang asik mengobrol. Menyebalkan sekali lihat Rana yang deket-deket sama Bimo. Ini semua gara-gara Mommy, katanya karena aku dan Erika sudah berkeluarga maka dari itu kami harus membantu menyiapkan semuanya. Sekaligus belajar memasak untuk suami.

"Anna, tanganmu bisa teriris kalau kamu terus menerus memperhatikan suamimu!" tegur Mommy saat aku tak melepaskan Bimo dan Rana dari pandanganku.

"Mom, bisakah aku istirahat sebentar. Aku cape baru sampai langsung di suruh masak begini," protesku membanting pisau yang aku pegang. Sebenarnya bukan hanya karena cape tapi terlebih aku marah dan kesal melihat si Rana itu deket-deket sama suamiku.

"Kamu ini kenapa? Jadi perempuan itu jangan lembek. Ayo teruskan potong sayurannya."

Aku mendengus dan melanjutkan memotong sayurannya dengan asal.

"Anna kamu kenapa? Dari tadi aku liatin kamu kayanya kesel banget tiap kali liat Rana sama Kak Bimo." Aku menoleh ke arah Erika yang sudah berda di sampingku.

"Emang Er, sebel banget aku sama si Rana ish!" Aku memotong-motong sayuran dengan cepat, lebih tepatnya mencincang sayuran itu hingga tak berbentuk.

"Kok kita bisa sama ya, Ann? Dari awal aku lihat dia, rasanya ada aura yang dia pancarkan sehingga buat aku jadi gak suka. Fabian juga kayanya tidak terlalu akrab dengan dia. Di tambah lagi pas dia main ke rumah dia sempet nyakitin Abel."

Keningku berkerut melihat Erika yang juga tampak kesal saat membicarakan si Rana. "Abel disakiti? Maksudnya?"

"Iya, waktu itu 'kan Abel lagi main sama Mommy. Terus si Rana itu datang. Tadinya aku mau bawa Abek karena takut ganggu mereka. Eh Mommy larang, yasudah aku tinggal Abel main sama mereka. Tahu-tahu aku denger Abel nangis kenceng banget. Pas aku lihat, di ruangan itu hanya ada Rana sama Abel saja. Saat itu juga aku mergokin dia lagi cubitin paha Abel."

"Di cubit?" Aku menghentikan gerakanku yang sedang memotong sayuran. Tega banget si Rana sama anak kecil aja sampe kaya gitu kelakuannya.

"Iya, aku marah, dong. Eh, bukannya Mommy marahin si Rana malah aku yang di marahin. Katanya kalau mau ngasih tahu itu jangan pake marah-marah."

"Terus Fabian tahu?"

"Tahulah, Fabian marah besar, dia tidak mengijinkan Rana tinggal di rumah walau hanya beberapa hari. Dan Mommy mengajaknya ke rumahmu. Yang aku tahu, Fabian emang kurang akur sama Rana. Beda sama kak Bimo. Mereka dekat sekali."

Iya dekat sekali. Saking dekatnya si Rana itu malah menyimpan perasaan lebih.

"Kamu ada masalah sama dia, Ann?"

Aku menoleh ke arah Erika lalu kembali memotong sayuran. "Ya, dia cewe gak beres. Dia pernah bilang kalau dia menyukai suamiku."

"Apa!" pekik Erika setelah aku berucap. Kulihat mulut Erika sedang menganga sempurna dengan mata yang membulat seakan tidak percaya dengan ucapanku.

"Anna, Erika! Ayo cepat bereskan pekerjaannya. Kapan mau selesainya kalau terus-terus mengobrol?" Tiba-tiba suara Mommy terdengar menginterupsi kami.

"Iya Mom... kamu yang bener, Anna?" Erika sedikit berteriak menjawab ucapan Mommy. Lalu berbisik saat bertanya padaku.

Aku mengangguk dengan yakin. "Dia sendiri yang bilang. Jujur aku aja gak tahu sebenarnya apa rencana dia mengajak kami kesini. Mana dari tadi dia hanya berlenje-lenje sama suami orang lagi," ucapku kesal saat melirik ke arah Bimo dan Rana. Mereka tampak sedang tertawa lepas setelah mendengar Daddy bicara. Tidak tahu menertawakan apa.

"Tenang Anna. Ada Erika disini. Kita akan bersekutu melawan si kutu kupret Rana. Oke?"

Aku tersenyum melihat Erika yang sedang menaik-turunkan alisnya. Lalu membalas tepukan tangannya dan tertawa bersama.

"Kita lihat apa yang akan dia lakukan nanti. Satu lawan dua," gumam Erika penuh percaya diri. Ya, seengganya sekarang aku punya teman untuk melawan si Rana itu.

"Anna, Erika!" Seru Mommy kembali menginterupsi kami. Kali ini kami tanggapi dengan cengengesan.

***

To be continue..

Author : Part ini datar banget ya pemirsah. Maaf ya udh lama gak update. Pas update bikin kecewa.

Readers : Kalau datar kenapa di lanjut? Harusnya nunggu sampe dapet ide.

Author : Kalau nunggu gak akan dapet-dapet idenya :((

Readers : Kalau gak punya ide. Mendingan gak usah bikin cerita, hentikan aja penayangannya!!

Author : -____-

Semoga baper ya meski datar haha. Vote and comment nya aku tunggu lhooo..

Continue Reading

You'll Also Like

785K 43K 50
[COMPLETED] NATE & KALEA Tentang dua orang dengan sifat keras kepala yang saling jatuh cinta. Tetapi, apakah mereka benar-benar mencintai, melihat ba...
939K 51.7K 34
Olla Agustine Bosse Dia arogan, playboy, egois, tak berhati dan suka seenaknya saja. Dia menganggap semua orang itu adalah sebuah properti. Aku benar...
15.5K 1K 75
#14 in action (01-02/02/2019) Setiap kali mata ini terbuka, semua orang akan berkata betapa indahnya dunia ini. Tuhan menghiasnya dengan hangat s...
121K 10.4K 51
[WARNING] Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika anda mengalami efek samping seperti ; kram pada daerah bibir. ketawa jungkir balik, perut melilit. Itu...