Agent 'Nerds' Carter | ✔

By __youngbae_

261K 11.7K 210

[COMPLETED] [MAJOR EDITING IN PROGRESS] Highest rank #312 in Random (21.01.17) Namaku Satria, Satria Syujana... More

01 | Revised
Beberapa Kalimat dari sang Author
02 | Revised
Dream Cast
03 | Revised
04 | Revised
05 | Revised
06 | Revised
7 : Seorang Nerd yang Jago Beladiri
8 : Senja, Taman, dan Es Krim
9 : Sore Bersama Littleworm
10 : "Ready, Set, Fight!!"
Agent 'Nerds' Carter Official Cast : Edisi Revisi
11 : Bertemu Joshua Han
12: Kembali ke Jakarta?
13 : Jakarta, They're Back!
The History : (Intermezzo)
14 : Pihak Kanan dan Pihak Kiri
15 : Keluarga Carter
16 : Aaron Carter
17 : Makan Siang di Senopati
18 : Hari Minggu di Tahun 2023
19 : Retria
20 : Penyiksaan Dengan Kecemburuan
My Imagination is Dead, Like Seriously
21 : Seminggu Lagi
Ini Bukan Chapter Baru -- Gapenting
22 : Berkunjung
Kuda Kebenaran dan Bintang Keadilan
Stuck Parah
Season Finale
It Was Always You
The End of Everything
Last But Not Least
Q&A kuy

Agent 'Nerds' Carter

5.7K 188 7
By __youngbae_

BONUS CHAPTER
sekaligus
PROLOG (ide nya baru kepikiran abis gue nulis epilog)

*
23 Juli 2001

Saat itu umur gue delapanbelas. Aaron sembilanbelas. Dan Leila delapanbelas, sama sepertiku. Tiga serangkai. Trio Pengubah Dunia, julukan kami pada diri sendiri. Kami memang belum mengetahuinya saat itu, tapi kami bertiga memang akan mengubah dunia kelak.

"Gue gapercaya kalian berdua malah satu jurusan. Masa gue ngambil MIPA sendirian?" kata Aaron, sok ngambek.

Aku dan Leila tertawa. "Lagian siapa suruh otak lu kepinteran?" jawab Leila. Aku menyeruput kopi ku. Udara panas sekali siang itu.

"Yee dimana mana pinteran kalian lagi. Anak Teknik."

"Udahlah. Tapi gue serius nanya. Yang lebih pinter itu anak Teknik atau anak MIPA?" tanyaku.

"Gatau. Mana mau gue mikirin masalah kayak gituan?" jawab Leila tak peduli.

"Tau, lu, Jon. Masih sempet aja mikirin hal hal deteil kayak gitu," timpal Aaron.

"Berapa kali gue harus bilang?" gerutuku. "Nama gue Jonathan. Panggil aja Jo, kan bisa."

"Iya iya, Jon. Jangan marah," Leila ikut ikutan.

Sudahlah.

"Eh, siapa, tuh? Anak baru, ya? Kok gue gapernah ngeliat dia? Cakep lagi," kata Aaron, menunjuk ke dua anak cewek yang lagi nongkrong juga di cafe ini.

"Oh. Itu yang pake kacamata namanya Hani. Yang satu lagi Diandra," jawabku. "Hani anak Farmasi. Diandra anak Sastra."

"Kok lu tau?"

"Mata mata gue dimana mana, Aaron."

"Si Diandra cantik banget, ih," kata Aaron. Aku tak sengaja melihat perubahan ekspresi Leila. Tapi gadis itu cepat cepat menutupinya.

Tiba tiba si Diandra berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri kami. Langsung saja si Aaron salah tingkah.

"Maaf. Tapi apa ada dari kalian yang namanya Jonathan?"

Pandangan Aaron dan Leila langsung beralih padaku. "Gue sendiri. Kenapa emangnya?" tanyaku. Tak begitu peduli.

"Asal tau aja, temen gue yang itu, tuh." Dia nunjuk Hani, yang sibuk menyembunyikan dirinya di balik buku sastra punya Diandra. "Namanya Hani. Dan dia suka sama lu." Diandra nunjuk muka gue.

"Oh gitu," kata gue nyantai. Aelah. Gue mah udah tau banyak cewek yang suka sama gue.

"Eh, nama lu Diandra, kan?" tanya Leila. "Kenalin, gue Leila Ramsay. Dia Aaron Carter. Dan dia, dia Jonathan Syujana."

Diandra menyambut uluran tangan Leila. "Gue Diandra Payne. Anak Sastra."

"Oh. Salam kenal, Di," kata gue cuek. "Gue anak Teknik. Leila juga. Aaron dia...eh, lu anak apa?"

"Gue anak MIPA," kata Aaron dengan muka semerah kepiting rebus.

"Eh, kalau lu lagi gak sama temen lu itu, lu bisa gabung bareng kita, kok," kata Leila. Kontan gue dan Aaron langsung ngeliat ke dia. Enak aja ni orang ngomong. Maksud gue, Trio Pengubah Dunia sudah terbentuk sejak kami SMP. Namanya juga trio. Anggotanya harus tiga, kan?

"Eh, iya. Makasih atas tawarannya. Gue balik dulu, ya? Senang kenalan dengan kalian, btw," kata Diandra, beranjak pergi.

Begitu ngerasa Diandra gabisa denger percakapan kami, langsung lah gue dan Aaron nyemprot Leila bareng bareng. Dan tahukah kalian apa jawabannya?

"Gapapa elah. Nambah nambahin temen ini. Lagian, Aaron, bukannya lu harusnya seneng? Lu bisa lebih leluasa PDKT, kan?" Gue sempat menangkap adanya nada kecemburuan di suaranya. Tapi kayaknya itu cuma perasaan gue doang.

• • •

"Lho? Lu Diandra, kan? Yang kemaren nyapa?" Gue ganyangka dia juga nunggu hujan reda di halte bus. Cuaca nya agak aneh belakangan ini. Kemarin panas terik, sekarang malah hujan deras.

Diandra mengangguk. "Lu Jonathan, pasti. Habis darimana?" Di halte itu cuma ada kami berdua.

"Abis ke rumah pacar."

"Oh. Anak mana?" Pasti cuma khayalan gue doang waktu gue mendeteksi ada suatu nada yg aneh di suara Diandra. Ya, pasti pendengaran gue rusak gara gara kena air hujan (?).

"Anak Sastra. Namanya Diandra."

"Oh." Butuh beberapa saat sebelum wajahnya memerah. Baru sadar dengan perkataanku.

"Enggak deng. Gue gapunya pacar. Ganteng ganteng gini gue jomblo."

"Idih ganteng. Pede amat."

"Lah emang iya, kan, gue ganteng?"

"Iyadeh iya. Gue iya in aja. Eh lu darimana sebenernya? Kayaknya lu kuyup banget."

"Abis ke kantor pos. Ngirim surat ke emak. Lu sendiri darimana?"

"Tadi ada rapat pengurus perkumpulan buku gitu. Gue jadi wakil ketua nya."

"Wedeh. Nanti, deh, kapan kapan gue dateng. Siapa tau gue malah trtarik gabung."

"Eh hujannya udah reda nih. Gue duluan, ya?"

"Diandra! Tunggu."

"Kenapa?"

"Lu mau gak bantuin ngedit cerita gue? Lu kan anak Sastra. Bisa dong bantu?"

"Oh lu bikin cerita? Tentang apa?"

"Fiksi sih. Roman gitu. Bantuin dong. Mau, ya?"

Diandra diam sejenak. Berpikir. "Oke. Gue bakal bantuin lu. Asal..."

"Apaan?"

"Bikinin gue mie instan rebus begitu gue selesai bantuin lu."

"Deal."

• • •

"Lah? Diandra? Ngapain ke sini?" Wajah Leila langsung menyambut gue dan Diandra ketika kami masuk ke kos kos an.

"Lu sendiri ngapain ke sini?" tanya gue.

"Gue lagi bantuin si Aaron ngerjain tugas. Kurang baik apa coba gue."

"Si Aaron mana?"

"Kenapa manggil manggil?" Aaron muncul dari dapur sambil pake celemek. Aaron lah yang paling pintar memasak di kos kos an ini. Jadi dia memang biasa memakai celemek.

Tapi begitu melihat Diandra, dia langsung ngibrit ke dapur. Malu. Gue terkekeh.

"Kebetulan lu lagi disini, Di. Tadi katanya Aaron lagi buat risoles. Risolesnya enak lho btw."

"Oh gitu. Jo, gue ngedit dimana nih?"

"Di kamar gue mau?"

"Astaga, gue jangan diapa apain," seru Diandra panik.

"Aelah. Di kamar gue soalnya adem. Ada AC nya."

"Bused. Kaya amat lu. Di kos kos an gue aja gue harus bagi bagi kipas angin sama temen sekos an," ujar Leila.

"Oh kalian gak sekos?"

"Enggaklah, Diandra. Kos ini cuma boleh buat cowok. Gue sama Aaron yang kos disini," jawabku. "Ayok ah. Lagian komputer nya ada di kamar gue kok."

"Kamar lu yang dimana?"

• • •

"Itu mie buat siapa?" tanya Aaron waktu ngeliat gue nuangin mie rebus ke dalam mangkok yang sudah terdapat bumbu di dalam mangkok itu. Oke, deskripsi nya terlalu berlebihan.

"Diandra," jawabku. "Lu mau juga?"

"Sejak kapan kalian deket?" tanyanya balik. "Jangan temen makan temen ya lu."

"Enggaklah. Yakali gue sebejat itu."

"Yah, siapa tau lu khilaf."

Gue cuma muter mata. Sambil bawa mangkok berisi mie panas itu ke dalam kamar gue. Dimana duduk seorang Diandra Payne di kursi depan komputer gue.

"Ini, Nyonya. Silahkan dinikmati."

"Iya. Makasih, Jo."

"Masama. Jangan salahin gue kalo gue tiba tiba minta, ya."

"Dih. Bikin sendiri gabisa?"

"Bisa sih. Tapi males."

Diandra hanya memutar bola matanya. Gue duduk di tempat tidur. Ngeliatin layar komputer. Ngeliatin si Diandra yang dengan cepetnya ngedit naskah cerita gue.

"Ceritanya bagus. Gue suka idenya," katanya tiba tiba, tanpa menoleh dari layar. "Tokohnya kenapa namanya harus Satria Syujana dan Luna Carter?"

Gue tersenyum. "Satria adalah nama yang pengin gue pake kalo gue punya anak. Dan Luna, dia adalah nama yang pengin Aaron pake kalo dia punya anak."

"Kenapa istri Jonathan namanya Diandra? Dan Aaron-Leila Carter?"

"Soal itu..." Sialan. Muka gue memerah. "Diandra itu nama cewek yang gue taksir sejak SMP. Dia udah meninggal," kata gue bohong. "Kalau soal Aaron dan Leila...jangan bilang bilang ke mereka, tapi gue ngedukung bangt kalau mereka jadian. Lu liat aja. Mereka cocok banget."

"Iya sih. Lu bener juga. Tapi lu kayaknya nulis buku ini kayak nulis masa depan. Dapet banget emosi nya. Gue merinding sendiri, serius. Lucu kali kalau beneran terjadi kayak gini di masa depan."

"Ya. Lucu banget."

• • •
20 Agustus 2004

Gue berumur duapuluh satu. Aaron duapuluh dua. Leila sama sepertiku, duapuluh satu. Dan Diandra sembilanbelas. Kami sudah setahun lulus kuliah. Kami putus hubungan sejak Aaron tahu kalau gue dan Diandra pacaran. Leila, dia gak jelas keberadaannya. Kami mengambil jalan kami sendiri sendiri.

"Menurut lu gimana kabar si Aaron dan Leila sekarang?" tanya Diandra. Kami baru tunangan sebulan yang lalu. Dan akan menikah enam bulan lagi.

"Entahlah. Kurasa mereka pacaran sekarang. Atau malah sudah jadi suami-istri?"

"Oh, ya? Kayak yang lu tulis di buku lu itu, ya?"

Gue melayangkan pandangan ke rak buku. Disana terlihat jelas buku terbitan gue sendiri, yang judulnya Agent 'Nerds' Carter. Gue emang udah ngirimin naskah nya ke penerbit, tapi ditolak. Dengan alasan rasionalitas ide tidak dapat diterima akal sehat. Apa pula maksudnya itu?

Tapi Diandra berbaik hati mencetak naskahnya dan membuatnya seolah olah buku itu diterbitin oleh penerbit dan dijual di toko toko buku. Padahal sih, cetakannnya cuma ada satu di dunia. Yaitu yang ada di rak buku gue.

"Mungkin apa yang gue tulis bakal jadi kenyataan, pada akhirnya."

Diandra tertawa. "Lu jadi pemimpin organisasi secretservice? White Horse? Bakalan ada organisasi penguasa blackmarket? Bleeding Tree? Oh, ayolah, Jo."

"Kau tak akan tahu, Diandra."

Dia hanya menggeleng gelengkan kepalanya. "Kemungkinannya sangat kecil, Jonathan."

"Kau tak akan tahu."

"Tentu saja aku tahu : itu tak mungkin." Lagi lagi membahas ini. Topik yang tak habis habis dibahas.

"Apa pun mungkin di masa depan."

Dia masih mencoba mendebat. Aku tak begitu peduli. Toh kenyataannya dia tak tahu, kan? Kalau cerita yang kalian baca ini adalah buku ku yang telah diterbitkan. Diandra tak akan tahu cerita ini akan menjadi kenyataan.

• • •

Pada akhirnya, kami memang menikah. Kami punya anak yang kuberi nama Satria Syujana ("Namanya sama dengan tokoh mu itu, huh?"). Aku menjadi pemimpin White Hose. Aaron Carter ternyata memang menikah dengan Leila. Memiliki anak bernama Luna Carter. Semuanya sesuai dengan buku ku.

Jepang, 17 Agustus 2027

Umurku empatpuluh enam sekarang. Diandra empatpuluh lima.

"Katakan padaku, Jonathan, bagaimana kau bisa memprediksi masa depan dengan tepatnya?" tanya Diandra, suatu hari. Kami tengah duduk duduk di halaman belakang rumah kami di Jepang. Menikmati masa tua di tempat tenang seperti ini.

"Aku tak tahu."

"Apa kau semacam penyihir?"

"Entahlah. Tapi setidaknya kita mendapatkan happy ending kita sendiri, kan?" Aku menepuk nepuk sampul tua buku itu. Buku yang baru saja kalian baca sampai habis.

"Kita mungkin mendapatkannya. Bagaimana dengan yang lain? Luna Carter? Anak kita, Satria?"

"Mereka sudah mendaptkan happy ending mereka, Di. Tenang saja."

"Tapi...aku belum mengerti."

"Aku tak mengharapkanmu untuk mengerti, Diandra." Aku menaruh buku itu di rumput. Mengeluarkan pemantik api dan sebotol kecil minyak tanah dari dalam saku.

"Apa yang kaulakukan?" tanya Diandra, menghampiriku. "Kau ingin membakarnya?"

"Ya."

"Kenapa?"

"Tugas kita sudah selesai, Sayang. Saatnya untuk pergi."

"Jika kau membakarnya, kita tak pernah ada. Satria dan Luna...mereka tak akan ada. Semua hal ini...tak ada."

"Biarlah hal itu terjadi."

"Bagaimana dengan kita? Apa kita bisa bersatu lagi? Bersama sama lagi?"

"Kita sudah dikutuk untuk selalu bersama, Diandra. Kau dan aku. Kita akan bersama sama, bahkan jika buku ini terbakar, kita tetap akan besatu. Di Ketiadaan."

Diandra diam.

Aku mulai menyiramkan minyak tanah ke buku itu. "Siap?" tanyaku pada Diandra.

Diandra diam. Kuanggap itu sebagai iya.

Aku menyalakan pemantik dan mengarahkannya ke buku itu, yang sudah basah oleh minyak tanah. Dengan hitungan detik, buku itu terbakar. Bunyi berderak. Aku menggenggam tangan Diandra. Dingin.

Satu pesatu halaman terbakar. Suara suara keluar dari dalam buku itu. Kejadian kejadian. Saat Satria bertemu Luna. Sampai aku dan Diandra, di umur tua kami, menyaksikan buku itu terbakar. Kejadian kejadian.

Satu persatu kejadian kejadian itu terhisap ke Ketiadaan, dimensi yang berbeda. Dimensi itu membentuk sebuah lubang. Dan lubang itu mulai menyedot apa saja. Seperti sebuah blackhole.

Hingga tibalah waktu kami untuk memasuki dimensi itu. Aku menggenggam erat tangan Diandra, seraya raga kami tersedot, bersama seisi dunia.

Aku sempat menoleh ke belakang selama sedetik. Semuanya hitam. Begitu mengerikan. Begitu kosong.

Ketika aku kembali menoleh ke depan, yang kulihat selanjutnya adalah putih.

Putih.

Warna Ketiadaan.

Continue Reading

You'll Also Like

8.4M 519K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
912K 67.2K 31
ace, bocah imut yang kehadirannya disembunyikan oleh kedua orangtuanya hingga keluarga besarnya pun tidak mengetahui bahwa mereka memiliki cucu, adik...
640K 25K 36
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.8M 84.7K 38
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...