Agent 'Nerds' Carter | ✔

By __youngbae_

261K 11.7K 210

[COMPLETED] [MAJOR EDITING IN PROGRESS] Highest rank #312 in Random (21.01.17) Namaku Satria, Satria Syujana... More

01 | Revised
Beberapa Kalimat dari sang Author
02 | Revised
Dream Cast
03 | Revised
04 | Revised
05 | Revised
06 | Revised
7 : Seorang Nerd yang Jago Beladiri
8 : Senja, Taman, dan Es Krim
9 : Sore Bersama Littleworm
10 : "Ready, Set, Fight!!"
Agent 'Nerds' Carter Official Cast : Edisi Revisi
11 : Bertemu Joshua Han
12: Kembali ke Jakarta?
13 : Jakarta, They're Back!
The History : (Intermezzo)
14 : Pihak Kanan dan Pihak Kiri
15 : Keluarga Carter
16 : Aaron Carter
17 : Makan Siang di Senopati
18 : Hari Minggu di Tahun 2023
19 : Retria
20 : Penyiksaan Dengan Kecemburuan
My Imagination is Dead, Like Seriously
21 : Seminggu Lagi
Ini Bukan Chapter Baru -- Gapenting
22 : Berkunjung
Kuda Kebenaran dan Bintang Keadilan
Stuck Parah
Season Finale
Agent 'Nerds' Carter
The End of Everything
Last But Not Least
Q&A kuy

It Was Always You

4.9K 260 5
By __youngbae_

Ini adalah EPILOG dari Agent 'Nerds' Carter

Yang selama ini jadi Dark Reader, tolong keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan cara vote, comment, atau apalah.

*

"Sir, ada yang ingin bertemu dengan Anda," Itu sekretaris ku, Darian. Aku langsung tahu begitu mendengar suaranya.

Aku mengangkat kepala dari tablet ku. "Siapa?"

Darian membuka pintu kantor lebar lebar. Beberapa detik kemudian tamu ku itu memasuki ruangan. Aku terlonjak. Buru buru mengambil pistol yang kutaruh di laci meja.

"Kenapa kau membiarkan dia masuk, idiot!" bentakku ke Darian.

"Ma...maaf, sir. Tapi kami sudah menggeledahnya dan tak menemukan apa apa yang bisa melukai Anda."

"Kau yakin?"

"Ya. Jorge sendiri yang memeriksanya." Jorge adalah kepala keamanan markas.

"Well, kalau begitu, Darian, kau boleh keluar." Setelah Darian undur diri, aku beralih ke tamu ku itu. "Jadi, Daniel, sahabatku, apa yang kau lakukan di markas musuh mu sendiri?"

• • •

"Kita harus menyebrang, Gina. Itu harus."

"Apa? Sudah berapa kali kubilang aku tak akan sudi menyebrang ke Bleeding Tree sialan itu."

"Ayolah, Gina. Kita baru balikan dua minggu yang lalu. Aku harus menyebrang. Sahabatku sendiri yang memimpin Bleeding Tree sekarang." Kabar diangkatnya seorang Satria Syujana memang sudah tersebar luas di White Horse sejak seminggu yang lalu.

"Jadi kau lebih memilih sahabatmu? Dibanding negara mu? Dibanding White Horse?" Selama sedetik air mata itu hampir lolos menitik dari mata seorang Gina Jasmine White, seorang agen White Horse kelas 5. Tapi ia berhasil menahan air mata itu, untunglah.

"Bukan begitu, Gina..."

"Apa kau lebih memilih sahabatmu dibanding Luna? Dibanding aku?"

"Gina..."

Gina menghela napas. "Sialan. Aku tak peduli jika kau ingin menyebrang, tapi aku tetap dengan Luna."

Hening. Akhirnya Daniel yang memecahkannya. "Sampai jumpa lagi?" bisiknya.

"Tidak dalam waktu yang dekat."

• • •

"Darimana kau tahu aku seorang agen White Horse?" Bahkan saat Dani menanyakannya ke pemimpin Bleeding Tree, ia sendiri merasa dirinya terdengar bodoh.

"Oh, ayolah. Kau harus mengakui bahwa teknologi intel Bleeding Tree jauh lebih canggih dibanding teknologi intel White Horse." Satria menghela napas. "Katakan, Dani, apa yang membuatmu datang ke markas Bleeding Tree yang hina ini?"

"Aku ingin...menyebrang."

"Kenapa?"

"Karena kau sahabatku. Dan sahabat harus saling mendukung, kan?"

• • •
Jakarta, 28 Januari 2018

Hujan makin deras ketika aku sampai di depan pintu kontrakan itu. Inikah tempatnya? Apa dia tak salah memberi alamat? Karena kontrakan di gang kumuh seperti ini...rasanya tak mungkin jika seorang Ian Parker tinggal di di daerah seperti ini.

Aku mengetuk pintu. Pukul 18.59.

"Siapa itu?" Sebuah wajah dengan rahang tegas menyambutku. "Jika kau datang kemari untuk menawarkan sesuatu, maka jawabannya tidak." Ada sesuatu yang ganjil di wajah lelaki itu. Entah apa.

"Bu...bukan. Aku kemari untuk menemui Ian Parker?"

"Siapa? Aku tak pernah mendengar nama itu sebelumnya."

"Oh. Ya, pastilah ia salah memberi alamat. Maafkan aku."

Aku bisa mendengar suara jam berdentang 7 kali dari dalam rumah itu. Saat itu aku hendak pergi ketika lelaki berwajah ganjil itu menahan siku ku.

"Apa kau Satria Syujana?" bisiknya, masih mencengkram siku ku dengan keras. Aku mengaduh pelan.

"Ya. Itu aku."

Lelaki itu memegang telinganya. Aku baru sadar di telinga nya ada sebuah alat jadul yang saking jadulnya aku pun tak tahu apa namanya. Tapi yang jelas fungsinya adalah untuk berkomunikasi dengan orang lain. Alat itu sejenis ponsel. "Apa, sir? Ya, tunggu sebentar."

Dia mengalihkan pandangannya ke arahku. "Satria Syujana, tolong berdiri tegap menghadapku. Nah, seperti itu. Sekarang diamlah." Lelaki itu mengedipkan matanya tiga kali. Saat itulah aku tahu di matanya terdapat sebuah alat temuan terbaru yang fungsi nya adalah untuk memotret tanpa kamera. Kedipkan saja matamu, dan kau sudah menangkap momennya.

"Perkenalkan, aku Jacob. Ya, sir?" Jacob lagi lagi memegang telinganya. Kemungkinan berbicara dengan Ian. "Baiklah baiklah. Satria, silahkan ikuti aku."

• • •

"Gina? Apa yang kau lakukan disini? Kau tak bisa menemuiku begitu saja..."

"Maaf, maam. Aku sudah mencoba untuk menahannya. Tapi ia memaksa," kata Bea merasa sangat bersalah.

"Luna, dengar, Dani berkhianat."

Pikiran Luna langsung berputar cepat. "Bea, tinggalkan kami."

Seketaris nya menurut. Ia keluar dengan mmberikan tatapan aneh ke Gina.

"Apa maksudmu?" tanya Luna, kembali duduk di kursi kantornya. Sementara Gina duduk di hadapannya.

"Daniel menyebrang."

"Ia berkhianat?"

"Ya."

"Darimana kau...maksudku, kapan kau tahu?"

"Dua hari yang lalu. Dia mengatakan ia lebih memilih sahabatnya dibanding White Horse."

"Son of a bitch ," umpat Luna. "Kenapa semuanya menjadi rumit seperti ini, huh? Awalnya Satria. Lalu Daniel. Selanjutnya apa? Kau?"

"Aku tak akan sudi menyebrang ke sisi menjijikan itu. Tidak, aku akan terus bersamamu. Kalau perlu, aku akan mati bersamamu."

Luna tersenyum miring. "Apa yang kaukatakan itu memiliki arti yang dalam. Terima kasih."

"Well, itu sudah kewajiban agen White Horse, kan?"

• • •

Elevator itu berdengung dengung, menuju ke dalam perut bumi. Membawaku dan Jacob di dalamnya. Tak ada dari kami yang berbicara selama perjalanan singkat itu.

Pintu elevator terbuka dengan suara dentingan. Yang kulihat pertama kali adalah sebuah ruang tamu yang mewah dan luas. Semuanya berwarna putih. Bahkan karpet nya pun berwarna putih.

"Ikuti aku," kata Jacob singkat. Tanpa menunggu jawabanku, dia mulai berjalan. Akulah yang harus menyamakan langkahnya yang panjang panjang.

Kami melewati berbagai macam ruangan. Mulai dari ruang tamu itu sendiri, dapur, dan ruang keluarga. Semuanya berwarna putih.

Hingga sampailah kami di depan sebuah ruangan. Dengan pintu kayu berwarna putih, tentu saja. Jacob mengtuk pintu dua kali.

"Jacob? Apa kau membawanya bersamamu?" Terdengar seruan dari dalam. Aku bisa melihat Jacob menelan ludahnya.

"Ya, sir. Satria besamaku."

"Bagus. Masuklah."

Jacob membuka pintu. Dan yang kulihat selanjutnya adalah ruang kerja paling fantastis yang pernah kulihat seumur hidupku.

Dan di balik meja kerja besar di tengah tengah ruangan, duduklah pemimpin Bleeding Tree itu sendiri, Ian Parker.

"Selamat datang di rumahku," katanya sambil menyeringai.

• • •
Bandung, 19 Mei 2013

"Luna, ada yang ingin bertemu denganmu." Wajah Emma muncul di pintu kamar.

Luna yang saat itu sedang membaca buku, menjawab, "Siapa?"

"Ikuti aku dulu." Dengan malas malasan Luna beranjak dari tempat tidur dan menutup bukunya. Padahal ia hampir selesai membacanya.

"Siapa, sih, yang ingin bertemu denganku?" gerutu Luna. Saat itu umurnya baru 6 tahun. Dan ia sudah hobi membaca buku buku kelas berat. Buku buku yang isinya tentang sejarah sejarah Indonesia sejak jaman kerajaan hingga sekarang. Buku buku yang isinya tentang tata kenegaraan Indonesia dari era ke era.

"Nah. Beri salam ke Menteri Pertahanan dan Keamanan kita. Dia yang ingin bertemu denganmu, Luna."

Luna bersalaman dengan menteri itu. Ia tak gentar meski Menteri Pertahanan dan Keamanan itu menatapnya terus menerus.

"Namaku Jonathan. Dan kau pastinya Luna?" kata lelaki berumur 28 tahun itu. Luna mengangguk menjawab.

"Siapa nama lengkapnya?" tanya Jonathan begitu mereka bertiga duduk berhadapan di kursi.

"Waktu kami menemukannya di depan pintu panti, ada secarik kertas yang isinya nama lengkap dia. Jika berdasarkan kertas itu, maka namanya adalah Luna Carter."

Jonathan berjengit. "Kau tahu sesuatu...apa saja, tentang keluarganya?"

Emma, selaku pengurus sekaligus ibu panti, menggeleng. "Kami sudah mencari nama Carter setahun terakhir. Tapi hasilnya nihil."

Jonathan meminum teh earl grey nya, yang sudah disiapkan pihak panti. "Katamu, dia jenius di bidang IT?" tanya lelaki itu, menaruh gelasnya di meja lagi.

"Ya. Baru baru ini ia sudah bisa membuat remote control sendiri. Di umurnya yang baru saja beranjak 6. Harus kauakui, dia memiliki bakat."

Jonathan lagi lagi memandang Luna. Kali ini dengan senyum simpul. Yang dipandang hanya memandangi lantai. Dalam hatinya bertanya tanya apakah yang akan terjadi padanya. Apa dia akan diadopsi?

Jawabannya muncul semenit kemudian. Ketika Jonathan mengatakan, "Jadi, dimana aku bisa mulai menandatangi dokumen untuk mengadopsinya?"

• • •

"Sejak umur berapa kau mulai membaca?" tanya Jonathan, yang duduk tak jauh darinya. Setengah jam sudah berlalu sejak mereka berangkat dari Bandra Soetta dengan pesawat jet pribadi White Horse. Tujuannya adalah Medan.

"Aku mulai membaca buku science fiction saat umurku 4 tahun. Tak begitu mngerti isinya, namun aku paham maksudnya."

"Siapa yang mengajarimu membaca?"

"Emma."

"Emma? Ibu panti mu itu?"

"Ya."

"Buku seperti apa yang menjadi kesukaanmu?"

"Sejarah. Dan ketatanegaraan."

"Pilihan yang menarik, Luna. Pilihan yang menarik."

"Kenapa kita naik pesawat?"

"Kita mau ke Medan. Apa kau ingat sesuatu tentang keluargamu? Keluarga Carter?"

"Ada anggota DPRD yang memiliki nama belakang Carter. Jules Carter. Asalnya dari Bandung."

"Apa kau hapal nama nama anggota DPRD?" tanya Jonathan mengangkat kedua alisnya.

"DPRD dan DPR. Saat ini aku sdang menghapal nama anggota MPR."

"Sejak kapan kau menghapalnya?"

"3 tahun. Aku belajar sendiri. Apa yang akan kita lakukan di Medan?"

Jonathan terdiam. Memikirkan jawaban yang paling tepat. "Kau akan dijadikan orang yang lebih hebat di Medan, Luna. Kau akan menjadi agen White Horse yang paling jenius dan terbaik yang pernah ada. Aku yakin itu."

"Jonathan?"

"Ya?"

"Aku boleh bertanya?"

"Tentu, Carter. Tentu."

"Apa itu White Horse?"

• • •

Dering keempat. Belum diangkat juga. Ini sudah percobaan yang kedua puluh an sejak seminggu yang lalu. Apa dia sudah ganti nomer? Sepertinya iya.

"Apa maumu, Luna?" Akhirnya suara itu muncul di ujung telepon. Ia mengangkat teleponnya. Walaupun suara itu menjadi dingin dan kaku sekarang.

Luna terkekeh. "Sejak kapan lu jadi dingin dan kaku kayak gitu, Sat?"

"Sejak tau seberapa busuknya White Horse lu itu."

Luna terdiam. Ia lupa. Satria pasti sudah berubah 180° sejak diangkat menjadi pemimpin organisasi penguasa blackmarket terbesar di dunia.

"Katakan maumu."

"Temui gue besok di taman itu. Jam 17.30."

"Taman?"

"Taman di Medan. Tempat dimana semua berawal. Lu tau dimana tempatnya. Dan, Satria? Bawa tiga orang pengawal saja bersamamu. Seharusnya itu cukup untuk melawanku, yang datang tanpa membawa apa apa."

Dan tanpa menunggu jawaban Satria, Luna menutup telepon.

Apa ia benar benar melakukan ini?

• • •

"Darian, tolong undur jadwal ku besok pada pukul 16.30 sampai pukul 22.00. Dan tolong siapkan salah satu pesawat jet kita dengan seorang pilot."

"Maaf, sir, jika aku boleh bertanya, kemana Anda hendak pergi?"

"Medan."

"Ada urusan apa? Bukankah Anda besok ada rapat dengan Amelia Carter?"

"Jadwal ulang semuanya, Darian. Untuk urusan apa, katamu? Yang jelas itu bukan urusanmu."

"Berapa agen yang akan menemani Anda? Saya sarankan..."

"Jangan suruh siapa pun untuk ikut denganku. Aku ingin ke sana sendirian."

"Tanpa pengawalan, sir? Anda tahu itu melanggar protoko..."

"Persetan dengan protokol. Lakukan saja apa yang kusuruh."

• • •
Medan, 28 Januari 2026

Pukul 17 tepat. Dan Luna sudah duduk rapih di kursi taman. Kursi yang pernah didudukinya bersama Satria beberapa tahun yang lalu. Betapa cepatnya waktu berlalu. Kios es krim yang terletak di pojok taman, sekarang sudah tutup.

Luna baru saja ingin melanjutkan membaca buku nya ketika ia mendengar derap kaki yang menghampirinya. Ia mengangkat kepalanya dan disanalah dia berdiri. Luna tak melihat pengawalnya, tapi ia rasa pengawal pemimpin Bleeding Tree itu bersembunyi di suatu tempat.

Satria Syujana berdiri tak sampai beberapa meter di depannya. Luna tak bisa membaca ekspresi nya sekarang.

"Hai," katanya, masih berdiri di tempatnya.

"Hai." Luna memberikan senyuman andalannya : senyuman miring. "Lama tak berjumpa."

• • •

"Kau tahu, waktu aku menikah dengan Ian, aku bodohnya berpikir kau akan datang dan menghentikan pernikahannya."

"Untuk apa aku menghentikannya? Bahkan jika kukatakan aku mencintaimu, kau tak akan meninggalkannya begitu saja, kan? Kau mencintainya juga, Luna."

"Hanya ada satu orang dan hanya akan ada satu orang yang kucintai, Satria."

"Siapa?" Satria menoleh ke Luna.

Luna tersenyum simpul. "Kenapa kau bertanya saat kau sudah tahu jawabannya?"

Hening. Matahari sore menyinari wajah mereka berdua.

"Apa yang akan terjadi selanjutnya, Sat?" kata Luna memecah keheningan.

Satria terdiam, memikirkan jawaban. "Entahlah. Kita tak mungkin bertemu seperti ini lagi."

"Apa persahabatan kita akan...hancur?" Sialan. Suaranya mulai pecah.

Setelah bertahun tahun dan kau masih menganggap kita hanya sebatas sahabat? pikir Satria.

"Apa kau akan melupakan tentang kita? Apakah kau akan melupakan aku?" Luna tertawa getir. "Banyak yang harus dilupakan hanya karena jurang antara sisi jahat dan sisi baik sialan ini."

"Tak peduli seberapa aku berusaha, kau tahu aku tak bisa melupakan kenangan kenangan itu."

"Tapi itu harus, kan? Itu kewajiban kita, Sat. Sebagai dua pemimpin sisi jahat dan sisi baik. Tak peduli kita berada di sisi yang baik atau yang buruk."

Hening lagi. Angin sepoi sepoi menyapu wajah keduanya. Luna memejamkan matanya ketika merasakan angin menyapu wajahnya.

"Kau ingat waktu kita dipasangkan berdua oleh Bu Eva? Waktu kelas 11?"

Luna tersenyum sekilas. "Ingat aku pura pura kaget mendengar kau ingin pindah ke Medan? Yah padahal sebenarnya kita bertemu lagi, kan?"

Satria tergelak. "Dan kau memenangkan turnamen itu? Ingat saat kita kabur dengan mobil Pip? Kita duduk disini, dan..." Suaranya pecah. Sialan. Ia tak akan menangis. Tidak dihadapan pemimpin musuh nya.

"Ya. Aku ingat semuanya. Dengan jelas. Kenangan yang indah. Dan sekarang kita harus melepaskannya. Berdamai dengannya. Mencoba melupakan."

Satria tak menjawab. Ia menghela napas. "Kau tahu, Luna," katanya setelah terdiam lumayan lama. "Aku tahu ini akan terdengar gila, mengatakannya pada seseorang yang sudah bersuami. Tapi aku terus mencoba mengatakannya selama ini. Rasanya pasti akan lega jika aku berhasil mengatakannya sekarang."

Luna diam.

"Dengar, Luna Carter. Aku mencintaimu, oke? Aku mencintaimu sejak pertama kali bertemu. Sejak...sejak..."

Luna tersenyum. "Aku tahu, Sat. Aku tahu sejak lama. Dan kau tahu..."

"Apa?"

"Lupakan saja. Lagipula aku sudah punya suami yang harus kuurus."

"Apa?"

"Anggap aku tak pernah mengatakannya. Lupakan, oke?"

"Katakan saja, demi Tuhan!"

"Aku tak perlu mengatakannya. Kurasa kau sudah tahu aku mau mengatakan apa."

Lagi lagi keheningan menyelimuti kedua orang itu. Langit Medan kemerah merahan, matahari sudah berada di ufuk barat. Bersiap siap untuk mengucapkan selamat tinggal.

Akhirnya Satria cukup berani untuk menanyakannya, "Lelaki itu...lelaki yang kaucintai lebih dari kau mencintai Ian...aku masih belum bisa menebaknya. Siapa lelaki itu, Luna?"

Luna menjawab dengan gumaman. Gumaman pelan, tapi cukup jelas untuk didengar oleh seorang Satria Syujana, "Lelaki itu kau, Satria. Selama ini...lelaki itu selalu kau."

AGENT 'NERDS' CARTER
akhirnya

| S.E.L.E.S.A.I |

yipeee :D

Continue Reading

You'll Also Like

2M 328K 66
Angel's Secret S2⚠️ "Masalahnya tidak selesai begitu saja, bahkan kembali dengan kasus yang jauh lebih berat" -Setelah Angel's Secret- •BACK TO GAME•...
588K 27.8K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
1M 16.9K 27
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
7M 295K 59
On Going Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...