Chasing Memories

By raatommo

2.4M 278K 12.9K

Nora tidak tahu apa yang telah terjadi hingga membuat semua orang memandangnya khawatir ketika dia bangun. Di... More

Perhatian
Prolog
Chapter 1
Flashback 1
Chapter 2
Chapter 4
Chapter 5
Flashback 2
Chapter 6
Flashback 3
Chapter 7
Flashback 4
Chapter 8
Flashback 5
Chapter 9
Flashback 6
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Flashback 7
Chapter 14
Chapter 15
Flashback 8
Flashback 8 part 2
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Flashback 9
Flashback 10
Flashback 11
Flashback 11 Part 2
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Flashback 12
Flashback 13
Flashback 14
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Flashback : Memories
Chapter 29
Epilog
Chasing Memories : Segera Terbit
Bantu pilihin cover Wattpad, yuk!

Chapter 3

67.5K 8.4K 277
By raatommo

"Welcome home."

Jamie berbisik sekilas sebelum berjalan masuk lebih dulu, meletakkan Shawn dan kursi bayinya di atas sofa yang berada di ruang tengah rumah ini.
Dia membiarkan aku berdiri diam di teras, tepat di depan pintu dengan alis nyaris menyatu, memperhatikan setiap detail rumah ini di tempatku berdiri.

Rumah besar yang terlihat tua itu dindingnya dipoles dengan cat minyak yang membuat kayunya mengkilap. Gayanya sederhana dan ada aroma cemara setiap kali aku menarik nafas.

Di depanku tempat Jamie meletakkan Shawn, Sofa sederhana berwarna abu-abu terlihat disusun menghadap ke TV. Karpet merah di bawahnya dan jendela besar menerangi ruangan itu.

Mataku kemudian bertemu pada kumpulan foto yang digantung di dinding. Mereka berhasil merayu kakiku mengambil langkah pertamanya memasuki rumah ini. Ada begitu banyak foto di sana. Beberapa wajahnya ku kenali, dan kebanyakan tidak sama sekali. Tapi kurasa ada beberapa foto yang di turunkan karena ada paku yang kosong dan tidak menahan foto apapun.

Jamie berdiri di belakangku, tanpa menoleh pun aku tau dia juga memperhatikan apa yang ku pandangi.

"Ini liburan musim panas tahun lalu." Jamie bicara di belakangku dengan suara yang pelan, tapi tetap terdengar sangat jelas. Dia menunjuk ke arah foto kami berdua duduk bersama di atas kain yang di bentang di tengah pasir putih. Dan Shawn dengan versi yang lebih kecil duduk di pangkuanku. Kuperhatikan semua foto yang ada di dinding itu. Kebanyakan foto Shawn yang masih bayi atau aku dan Jamie.

Tanganku terangkat menyentuh wajah Shawn yang masih merah di balut selimut biru, membelainya dari balik frame foto.

"Dia?" Perhatianku kemudian tertarik pada sebuah foto dengan seorang gadis yang memelukku dari belakang. Berdua kami tertawa geli ke arah kamera.

"Yang ini waktu kita menghadiri pesta ulang tahun Carry."

"Carry?"

Jamie mengagguk, "Sahabatmu."

"Aku punya sahabat?" Tanyaku tidak percaya. Langsung berbalik cepat melihat Jamie yang memang sedang memperhatikanku.

Jamie tertawa pelan "Iya. Kau bertemu dengannya di toko buku di kota. Kalian sangat akrab, dia menjengukmu beberapa kali sebelum kau sadar, tapi dia harus pergi karena kakaknya akan menikah di Australia." Jelasnya. "Kenapa kau kaget sekali mendengar kau punya sahabat?" Tanyanya geli.

Aku tidak tersenyum seperti Jamie. Bagiku tidak ada yang lucu dengan alasan kenapa aku sangat terkejut mendengar fakta kalau aku punya sahabat. Jamie pasti langsung merasa kalau dia mengatakan hal yang salah karena perlahan senyumnya memudar.

Aku mendengus geli, "Kau masih harus bertanya kenapa aku sekaget itu?" Tanyaku.

"A... Aku... Nora aku tidak bermaksud__"

"No one wants to see my face let alone become friend with me after those rumor your girlfriend spread in Saphomore year about me. Friendly reminder, In case you forget it, Jamie." Kataku tanpa memutuskan tatapan mata kami.

Rumor yang di sebarkan Sarah kalau aku punya Sugar daddy... bagaimana mungkin dia lupa? Tidak ada anak manapun yang mau berteman denganku setelah itu. Bagi mereka aku hanya bahan. Aku yakin Jamie pasti ambil andil dalam hal itu. Buktinya, dia langsung memutuskan adu pandang kami dan melihat ke arah lain.

Aku pun tersenyum getir. Mendadak hilang ketertarikan pada foto-foto itu dan mulai berjalan ke arah Shawn yang masih menghisap ibu jarinya.

Langkahku masih pincang saat berusaha menuju sofa untuk duduk disana dan walaupun perlahan, tetap saja meringis karena tubuhku yang masih sakit-sakit. Aku melepaskan Shawn dari kursi bayinya dan memangkunya bersamaku.

Aku membelai rambutnya. Rambut keemasan yang serupa dengan milik Jamie tapi justru terlihat sangat manis untuk Shawn. Dia menatapku dengan mata hazel yang mulai menutup dan mengantuk. Pipinya gergerak-gerak karena dia terus menghisap Ibu jarinya.

"Hi..." aku tersenyum. "Kau tukang ngantuk ya?"

Dia memperhatikanku. Lalu tak lama melepas Ibu jarinya dari mulut dan memberiku senyum dengan bibir yang basah dengan saliva. Matanya masih setengah terbuka karena mengantuk.

Senyumku makin lebar, aku mengecup keningnya dan mengusap kepala balita itu.

"Kau manis sekali." Bisikku, terus mengusap punggunya setelah ku sandarkan kepalanya di leherku. Waktu itulah aku melihat Jamie di ambang pintu. Entah sejak kapan dia disana memperhatikan seperti penguntit. Aku langsung mengabaikannya dan kembali mengusap punggung Shawn yang sekarang makin pulas.
Dari sudut mataku bisa kulihat Jamie akhirnya berbalik dan kembali ke mobil, kurasa untuk mengambil barang-barang milikku yang tersisa di dalam trucknya.
Beberapa kali dia naik turun ke lantai atas, pintu depan terdengar di tutup dan dia kembali berdiri di depan pintu masuk ruang tengah ini sudah dengan kaus putih polos tipis dan celana khaki yang terlihat nyaman.

"Ku siapkan makan malam. Kau bisa taruh Shawn di kamarnya. Setelah naik tangga, belok ke kiri, Kamar paling sudut di sebelah kiri. Kalau kau ingin menyegarkan diri, pakaianmu ada di lemari di kamar sebrangnya." Jelasnya dan tanpa menunggu jawaban dari ku dia mulai berjalan ke arah lain. Kurasa dapur.

Aku menurut dan membawa Shawn ke kamarnya dengan sangat perlahan agar dia tidak terbangun. Berbelok ke arah kiri dan berjalan terus hingga menemukan kamar paling ujung seperti yang di instruksikan. Kamar penuh barang-barang bayi itu sudah pasti milik Shawn Kecil yang sekarang sudah tidak sadar lagi akan dunia nyata.

Aku meletakkan Shawn ke dalam box bayi, tidak lupa mencium keningnya sebelum pergi ke kamar sebrang yang kata Jamie ada pakaian bersih milikku disana.

Ku putar knob pintu itu dan mendorongnya terbuka.
Atmosfer nostalgia kembali menghantamku, sama seperti saat pertama kali aku melihat Shawn. Aku merasa kenal dengan tempat ini.

Tempat tidur di letakkan di depan membelakangi jendela yang sekarang tirai putihnya disingkap. Aroma kayu cemara sepertinya tercium di hampir setiap ruangan rumah, karena kamar ini pun juga punya aroma yang sama.

Di sebelah kanannya, lemari kayu besar tua yang terlihat antik merapat ke dinding yang berwarna abu-abu. Di sebelah kasur terdapat nightstand dan lampu meja yang terlihat normal dan biasa. Yang menarik perhatianku lagi-lagi adalah foto di dinding.

Ya, ada lebih banyak foto disini.
Kebanyakan adalah wajahku dan Jamie yang tersenyum ke kamera. Atau aku yang menyandar ke pundak laki-laki itu menatap ke kamera sedangkan Jamie melihatku dengan senyumnya yang selalu terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu. Tampang yang selalu terlihat bengis bahkan di mimpiku dulu, adalah laki-laki paling di inginkan di sekolahku. Dia bahkan terkenal sampai ke kota sebelah karena partisipasinya di olahraga Rugby dan Sepak Bola sekolah. Dia mudah bersosialisasi dengan semua orang. Semua orang kecuali aku.

Aneh sekali sekarang saat melihat salah satu foto ini, saat Jamie terlihat merangkul pundakku atau aku yang mnyandarkan kepalaku ke pundaknya. Atau dia yang tidur di pangkuanku.

Foto-foto ini sepertinya sudah tergantung lama disini. Dan sama seperti di bawah tadi, ada foto yang tidak berada di tempatnya karena ada beberapa paku kosong di dinding.

Aku memperhatikan lama sebelum kehilangan rasa tertarikku dan pergi ke lemari untuk membukanya. Di sebelah kanan seluruhnya adalah pakaianku, sedangkan di sebelah kiri adalah milik Jamie. Aku menarik pakaian yang kurasa nyaman dan membawanya ke kamar mandi.

Kamar mandinya juga cukup besar dan modren untuk ukuran rumah lama di tengah hutan cemara seperti ini.
Ada konter panjang dengan kaca panjang di depannya. Lalu ada Shower di belakangku.

Aku tidak pergi mandi, dan hanya mengganti pakaian. Berjalan ke arah konter untuk mengusap wajahku dengan air segar. Kuperhatikan bayanganku di kaca yang terlihat berbeda dengan bayang yang terakhir kali ku lihat di kaca sesuai ingatanku.

Aku lebih dewasa, aku buka lagi gadis 17 tahun kutu buku. Aku istri Jamie Parker sekarang.

Memikirkan hal itu saja sudah membuatku pusing...

Ku usap wajahku dengan handuk merah di sebelahku sambil memperhatikan produk-produk kebersihan yang ada di konter. Benda-benda normal seperti biasa. Parfum, deodoran, mouthwash, dan kondom...

TUNGGU DULU!!!

Kondom?!!!!!

Wtf
Aku meraih kora hitam itu dan memperhatikannya dengan mata melebar seperti habis melihat hantu. Wajahku merah padam.

Aku mengguncang kotaknya dan melihat isinya, 6 strip lagi.
Lalu membaca kotaknya dalam hati.

"12... 12!!"

Berarti... aku bergidik jijik dan melempar kotak itu ke dalam keranjang sampah. Berjalan cepat, nyaris berlari keluar kamar mandi dan duduk di tepi kasur sambil meremas handukku.

Tentu saja kami pernah melakukan 'itu' kalau tidak mana mungkin ada Shawn kan?! Astaga Nora kau dapat A di pelajaran reproduksi kenapa baru sekarang kau panik!!!

Iiiiiik... tapi Jamie dan aku... MUSTAHIL!!!

Aku menggigit handukku dan berteriak. Suara teriakanku terendam benda itu.

Menjijikkan!! Kenapa aku harus memikirkan hal itu sekarang?!!!!!

"Nora..."

Aku menoleh cepat ke arah suara yang memanggil namaku dan melihat Jamie berdiri di depan pintu.

"Kau baik-baik saja?" Tanyanya cemas melihatku menggigit handuk.

Cepat-cepat kutarik handuk keluar dari mulutku dan mengagguk.

"Ya."

"Baiklah. Cepat turun, kau harus..." melihat kondom tadi mataku turun ke arah yang tidak harusnya kuperhatikan... ke arah celananya... dimana ada restleting...

Wajahku memerah lagi.

MENJIJIKKAN!!!

"Lalu kau bisa minum obat. Nora kau dengar aku? Kau yakin baik-baik saja? Wajahmu hampir sama warnanya dengan handuk itu." Dia berjalan ke arahku.

"TIDAK! TIDAK! BERHENTI DISITU JANGAN MENDEKAT!!' teriakku panik.

Jamie berhenti mendekat, sekilas raut terluka kembali terlihat di wajahnya dia sepertinya salah mengartikan teriakanku sebagai tanda kebencianku, walaupun memang benar aku membencinya tapi kali ini bukan itu masalahku.

Jamie lihai menutupi rasa sedihnya, karena sedetik wajahnya sudah datar kembali, sebelum dia menganggukan dan berbalik kembali keluar kamar.

"Keluarlah kalau sudah siap." Katanya tanpa melihatku.

Aku mulai menampari pipiku sendiri. Masih bergidik jijik.

Itu tidak mungkin... sex dengan Jamie? Diriku yang dulu pasti sudah gila.

Astaga menjijikkan!!

Aku kembali ke kamar mandi dan mengusap wajahku sekali lagi dengan air. Walaupun masih bergidik jijik, tetap memaksakan diri untuk siap turun ke bawah dan makan sebelum Jamie kembali menghampiri.

Aku duduk di kursi dan menatap ke permukaan meja di depanku sampai Jamie menyodorkan mangkuk berisi sup. Dari penampilannya sepertinya sup instan kaleng.

Dia tidak bisa masak masih bisa di maklumi karena Jamie memang tidak bisa apapun selain olahraga dan mem-bully.

Sup itu terlihat mengerikan. Jamie sepertinya berusaha berinovasi, karena ada benda aneh yang tidak seharusnya ada di sup kaleng mengapung di atas cairan itu. Benda berwarna merah dan terlihat belum matang. Sup ini justru jadi terlihat makin menjijikkan.

"Maaf kalau rasanya tidak terlalu enak." Dia bergumam. Aku menggangguk tidak menjawab, juga tidak melihatnya dan mulai menyuapkan cairan itu ke mulutku, tanpa mengikutsertakan benda terapung itu.

Dia meletakkan segelas air di dekatku, dan piring kecil berisi beberapa butir obat.

"Kau butuh yang lain?"

Aku masih makan dengan menatap meja. Kepalaku menggeleng.

Lama dia berdiri disana sebelum tiba-tiba dia melempar serbet yang di pegangnya dan pergi dari dapur ini. Kepalaku terangkat dan melihat dia melangkah ke luar rumah. Pintu depan terdengar di buka lalu di tutup lagi. Tak lama truck Jamie mulai menyala dan keluar dari pekarangan.

Saat itulah aku baru bisa mengangkat kepala dengan bebas dan menghela nafas. Dalam hati mengutuk diriku kenapa usil memperhatikan konter hingga dapat gambaran 'itu' di pikiranku.

Ew...

Aku bergidik sekali lagi.

***
Jamie tidak kembali bahkan sampai malam tiba.
Tak lama setelah Papanya pergi, Shawn memutuskan untuk bangun dan menangis, aku mengambilnya dan membawanya turun untuk makan dan mandi. Ku ganti pakaiannya dengan piama dan kembali lagi ke ruang tengah di bawah untuk menonton TV atau semacamnya. Tidak lupa membawa mainan Shawn agar dia tidak menangis.

Bisa di bilang aku melakukan tanpa sadar. Aku tidak cemas sama sekali, dia mau pergi kemana itu urusannya. Aku justru kesal karena dia begitu egois meninggalkanku dan Shawn sendirian di rumah yang jauh dari jalanan besar hingga malam seperti ini. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Shawn atau aku? Sifat egoisnya tidak pernah berubah. Dasar.

Di TV acara talkshow yang ku tonton tidak sepenuhnya menarik perhatianku.
Karena untuk kesekian kalinya mataku kembali melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 8. Shawn sudah dari setengah jam yang lalu memutuskan tidur di sofa di dekatku.

Jamie masih belum pulang.

Aku pergi mengunci pintu depan dan mengangkat Shawn dengan perlahan, membawanya ke atas ke dalam kamarnya.
Walapun sebenarnya aku tidak mau dia tidur di kamar lain karena takut dia bakal menangis tengah malam dan aku tidak tau. Tapi mengingat badanku yang masih babak belur, juga tidak kuat kalau harus mendorong box bayi ke kamar sebrang. Akhirnya ku putuskan untuk menidurkan Shawn dan membiarkan kedua pintu kamar kami yang saling berhadapan tetap terbuka, jadi aku bisa mendengar suara tangisnya.

Dia menggeliat-geliat, sebelum kembali tenang. Ibu jarinya masih di dalam mulutnya. Matanya tertutup rapat. Aku memperhatikan Shawn sebelum mencium kepalanya dan berjalan ke kamar di sebrang.
Lampu ku matikan, sebelum merebahkan tubuhku ke kasur. Hanya butuh beberapa menit sebelum tidur menjangkau, dan menarikku ke alamnya.

Aku baru akan terlelap waktu mendengar suara hentakan kaki seseorang. Hentakan kaki itu berjalan dekat, berhenti di kamar depan. Tak lama pintu kamar Shawn terdengar di tutup pelan. Lalu pintu kamarku di buka.

Mataku yang sudah terbiasa dengan gelap bisa melihatnya dengan jelas.
Dia berjalan ke arah lemari dan menarik kaus lain dan mengganti pakaiannya tanla mau repot-repot ke kamar mandi.

"Apa yang kau lakukan disini?"tanyaku setelah dia duduk di tepi kasur. Dia menoleh ke arahku. Terlihat terkejut.

"Kau belum tidur?"

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanyaku lagi, mengabaikan pertanyaan bodoh yang sudah jelas dia lihat sendiri jawabannya.

"Aku juga ingin tidur."

"Tapi aku tidur disini!"

"Ini juga kamarku Nora." Dia mulai membentakku, sepertinya kehilangan kesabarannga "Jadi kalau kau tidak suka aku disini, kau bisa tidur di kamar lain. Atau di sofa lantai bawah. Terserah kau saja." Dia merebahkan dirinya tanpa mau repot mendengar jawabanku.

"Aku lebih dulu disini, kenapa tidak kau saja yang pergi?!"

Dia hanya diam.

Tentu saja, perkataanku tidak pernah penting untuknya.

"Baiklah." Aku menyingkap selimutku dan ingin turun. Jamie berbalik dan mulai menumpukan tubuhnya ke satu siku.

"Apa yang mau kau lakukan?"

"Mencari kamar lain untuk tidur. Atau perlu di sofa bawah seperti yang kau bilang."

Aku berusaha bangkit, Jamie menarik tanganku hingga aku kembali terduduk. Hempasannya membuatku meringis sakit, tapi tidak menunjukkannya pada Jamie.

"Jangan konyol." Geramnya.

"Kau tidak bisa memaksaku tidur disini denganmu." Aku menarik tanganku darinya tapi setelah lepas, Jamie kembali menarikku lagi hingga kembali jatuh berbaring.

Dia dengan cepat memosisikan tubuhnya di atasku. Kedua tanganku di tahan olehnya di atas kepala. Nafasnya menerpa wajahku.

"Parker kau sudah gila! Menjauh dariku!!"

"Kau tidak akan kemanapun."

"Aku bersumpah Parker kalau kau tidak segera menjauh dariku, aku akan berteriak!!"

"Kau sudah berteriak sekarang!! Lagipula tidak ada yang akan mendengarmu."

"MENJAUH DARIKU!!"

"KENAPA KAU SEPERTI INI NORA?!"

"KAU MENANYAKAN HAL ITU KE ORANG YANG SALAH!! TANYAKAN ITU PADA DIRIMU, HAL BURUK APA YANG KAU LAKUKAN SAMPAI HAL INI TERJADI?!"

Jawabanku memancing rahang Jamie mengatup. Dia terlihat sangat menyeramkan seperti akan memukulku. Refleks aku berhenti menggeliat dan mataku tertutup defensif.

"Kenapa kau menutup matamu?! Buka dan lihat aku!!"

Mataku terbuka dan melihat ke arahnya, jantungku mengepak-ngepak ketakutan.

Aku menggeliat mencoba melepaskan diri tapi sepertinya mustahil keluar dari situasi seperti ini kalau bukan karena dia yang ingin melepaskanku.

"Apa kau pikir aku akan memukulmu Nora?"

Aku tidak menjawab dan terus berusaha melepaskan diri.

"JAWAB AKU!" Shawn terlihat lepas kendali dan di kamar lain Shawn terdengar mulai menangis.

"IYA!!" aku balas berteriak, usahaku melepaskan diri justru membuatku bergerak ke arah yang salah hingga pundakku dihantam rasa nyeri dan berdenyut. "Kupikir kau akan memukulku, kupikir kau akan menyakitiku." Tambahku dengan suara lebih pelan.

Wajahnya yang terluka tidak bisa ku abaikan bahkan di kamar yang gelap seperti ini. Untuk pertama kalinya aku menyesal, aku menyesal memgatakan hal yang menyakiti hatinya hingga seperti ini. Dia melepas genggaman tangannya di kedua tanganku, tapi aku tidak langsung menjauh. Yang ada aku justru memperhatikannya saat dia menunduk.

"Nora..." Bisiknya sangat pelan. "Nora... aku tidak akan menyakitimu aku tidak akan melakukan itu."

Kepalanya terangkat, dan tidak salah lagi mata itu berkaca-kaca.

"Aku tidak ingin seperti Ayahku."
Katanya di telingaku sebelum pergi dari kamar ini.

Apa yang baru saja ku katakan... kenapa aku mengatakan itu?

Di depan pintu ku lihat dia berada di kamar Shawn yang menangis karena teriakan kami berdua tadi. Aku pun tidak menghabiskan waktu lama, dan mencari kamar lain untukku. Di ujung lain lantai atas ini, ada dua kamar lagi. Aku mencoba membuka satu kamar yang ternyata terkunci lalu mencoba lagi ke kamar di sebelahnya dan terbuka. Tidak terlalu besar seperti kamar yang tadi. Tapi kurasa ini cukup untuk membuatku tenang.

***

Ini bukan chapter terbaik saya tapi... well ya hope you enjoyed this Chapter.

Jangan lupa Komentar dan votenya, komentar terbaik dapat dedikasi di chapter selanjutnya ;)

Kiss kiss
-Raa

Continue Reading

You'll Also Like

1.7M 126K 22
Nara terpenjara dalam sangkar emas ciptaan Akira. Pria yang menikahinya lima tahun yang lalu ketika ia masih berusia dua puluh tiga tahun. Pernikahan...
1.3M 62.9K 69
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
1.9M 72.2K 60
"Kenapa semua orang selalu ngebandingin aku sama Radith? Aku tau penampilanku emang jadul, cupu, beda seratus depalan puluh derajat sama Radith yang...
5.1K 159 7
Kumpulan cerpen, kata-kata ringan, curahan hati, dan apapun itu yang ditulis di waktu senggang dengan kesungguan hati. Ingin menyumbang karya? Tidak...