AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]

By bleubels

7.8K 1.7K 177

[COMPLETED] Taksa, adalah ambigu; keragu-raguan, kabur. Keragu-raguan dalam memahami pemaknaan, apakah benar... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Duabelas
Tigabelas
Empatbelas
Limabelas
Enambelas
Tujuhbelas
Delapanbelas
Sembilanbelas
Duapuluh
Duapuluh Satu
Duapuluh Dua
Duapuluh Tiga
Duapuluh Empat
Duapuluh Lima
Duapuluh Enam
Duapuluh Tujuh - EPILOG
Catatan Penulis

Lampiran Spesial: Sisipan Kisah

37 6 3
By bleubels

(Sisipan Kisah: 01)

Wajah si Nona yang wajahnya lebih suram dari awan kelabu yang mendung itu menguarkan kesedihan dari kejauhan. Ino berjalan setapak dengan ritme cepat, mencari permukaan aspal yang tidak digenangi air sembari menggunakan tasnya untuk menutupi kepalanya dari serangan masif rerintik air hujan. Di sudut pujasera yang lengang, helaan nafas dengan tarikan berat dihembuskan beberapa kali oleh Nona yang baru menyelesaikan satu momen penentuan kelulusan pendidikannya itu. Ia duduk di meja yang ada di balik pilar, sengaja menyembunyikan diri.

Langkah Ino terhenti sejenak, lantas dengan sigap mengambil posisi duduk di hadapan sang Nona yang pandangannya kosong meratapi tumpukan lembar dengan klip berwarna hitam di sudut lembaran itu. Tampak beberapa guratan—atau lebih cocok disebut sebagai coretan dengan pena merah. Ino membasahi bibirnya yang terasa kering—walau sebenarnya telah basah diguyur air hujan.

"Adik Kicil," ujar Ino berhati-hati. Tentulah, panggilan itu berhasil memecahkan atensi Lia dari tumpukan lembar yang dianggapnya sebagai lambang 'kegagalan' itu. Kepalanya mendongak, menampilkan wajahnya yang sendu pada sosok pria yang memanggilnya.

Bibir yang telah dipoles warna ranum itu tidak mengeluarkan sepatah aksara. Sudut-sudutnya lantas terangkat, tersenyum singkat tanpa mampu menyembunyikan kesedihan yang menguar di dalamnya. Senyuman yang selalu menghangatkan Ino, namun kini senyuman itu tidak mampu melingkupi perasaan sedih yang bergejolak di dalam perempuan itu.

Ada beberapa pertanyaan yang mengitari kepala Ino. Pertama, apa yang terjadi? Kedua, apa yang menjadi alasan perempuan di depannya ini sedih? Ketiga, kenapa pula perempuan ini tidak memberitahunya bahwa hari ini adalah hari sidang skripsinya?

"Kenapa?" tanya Ino lirih. Kedua pandangannya yang teduh diarahkan lamat-lamat pada Nona di depannya. Ia mencoba mencari jawaban dari sang Empunya sendiri.

"Lia? Kenapa?" Ino merepetisi.

"Lia, nggak apa-apa?"

Bukannya memberikan jawaban, Lia malah menangis. Air mata yang semula ditahan dalam kubangan matanya itu, kini telah tumpah ruah membasahi pipinya. Ia menangis sesenggukan, pundaknya bergetar, telapak tangannya menutupi wajahnya.

"Aku... aku kalau lagi diem, jangan ditanya kenapa.. Jadi nangis kan aku."

Ino mencoba menyembunyikan kekehannya, "Iya, maaf ya. Enggak tanya lagi, deh. Diem ini, aku diem." Kedua matanya dilemparkan ke arah lain. Walau susah-susah betul untuk Ino menyembunyikan esemnya.

"Aku nggak lulus sidang," jawab Lia lugas.

Arah netra yang menyebar langsung diarahkan Ino kepada Lia. Sebaliknya, pandangan Lia mengarah ke hal lain, menolak menatap kedua netra Ino yang dipenuhi banyak pertanyaan. "Maaf, aku nggak bilang ke Mas Ino kalau hari ini sidang. Aku juga nggak bilang ke siapa-siapa kalau hari ini aku sidang. Aku takut hal kaya gini kejadian." Suaranya terdengar semakin getir.

"Aah, aku malu banget. Bodoh banget," Telapak tangan Lia kini dikatupkan menutupi wajahnya yang menangis. Bukan, bukan menangis merengek. Tangisannya getir, tersedu-sedu meratapi nasib dirinya. Kepalanya penuh, merutuki kebodohannya.

Tanpa Lia tahu, Ino berpindah duduk di sampingnya. Ia mengambil jas almamater Lia yang tergeletak di atas meja setelah digunakan sidang itu, lalu melingkupi kepala dan wajah Lia. Tujuannya, agar si Nona bisa menangis lebih lega. Tangan lelaki itu terjulur, menepuk-tepuk pelan pundak Lia—berharap mampu memberikan ketenangan. Tangannya terus menepuk pelan, sesekali mengusap-usapnya lembut. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Ino. Ia membiarkan perempuan yang dipanggilnya 'Adik Kicil' itu menangis memenuhi pujasera yang lengang. Memeluk Lia, adalah sejatinya yang ingin Ino lakukan. Namun, takut. Takut digebuk.

Hujan masih turun, bertempias diterpa cahaya matahari yang gagal meredam langit kelabu. Beberapa menit kemudian, sedu-sedan Lia perlahan berhenti. Sesekali Ia sesenggukan, mengatur ritme nafasnya. Di balik jas almamater, Lia membuka wajahnya dari katupan telapak tangannya. Mengusap air matanya dengan punggung matanya, lantas ia menyingkap jaket itu ke belakang menutupi rambutnya—seperti tudung.

Kepalanya menoleh, pandangannya bertemu dengan kedua netra berwarna coklat gelap milik Ino yang memandangnya tenang, sudah tidak penuh tanya seperti tadi.

"Sudah?" tanya Ino lembut. Lia mengangguk, mengusap sisa-sisa air matanya. Ino merogoh botol minum yang ada di atas meja, membuka tutupnya lalu menyerahkan pada Lia. Jemari Lia menerimanya, lantas meneguk air di dalam botol itu sampai tandas seperempat. Ino mengambil botolnya lagi, lalu mengulir tutupnya.

"Sudah tenang? Mau nangis lagi?"

Lia menggelengkan kepalanya. Sudah. Ia sudah puas nangis—dan malu. Walau pujasera saat ini kosong, hanya ada beberapa orang penjaga kedai, Ia tetap malu. Ia memarahi Ino, menyalahkannya karena bertanya, membuatnya menangis.

Oh, bodohnya. Sangat kekanakan, pikir Lia.

Ino tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menganggukkan kepalanya. Enggan bertanya lebih jauh, kecuali si Nona ini bercerita, atau ingin melakukan sesuatu; pulang, misalnya.

"Katanya, dataku kurang. Disuruh cari lagi. Terus metodeku, dibilang kurang relevan. Kalau aku pakai metode itu, katanya harus wawancara berulang kali, observasinya nggak dalam waktu singkat. Dataku, kata pengujiku, kurang kaya dan kompleks. Terlalu sederhana, terlalu sedikit," Helaan nafas mengakhiri kalimat itu.

"Aku, dibantai banget." Lagi. Suaranya mulai getir lagi. "Dosen pembimbingku diem aja. Padahal beliau yang bimbing aku terus. Tapi.. tapi kenapa.. kenapa disalahin banget? Kenapa kurang banget?" ujar Lia. Tangisannya tidak jadi keluar.

"Enggak apa-apa."

"Aku kenapa-kenapa."

Ino terkekeh pelan, "Iya, aku tahu. Tapi, nggak apa-apa."

"Aku.. emang bodoh banget, ya, Mas Ino?'

Ino, tentunya menggelengkan kepalanya. Pembawaan dan gesturnya entah kenapa menjadi tenang. Sorot matanya teduh, memandangi sosok perempuan di hadapannya yang seperti anak kecil menangis selepas dimarahi ibunya.

"Setiap dosen itu punya standar penelitiannya masing-masing," ujarnya mula-mula dengan bariton suara yang lembut.

"Bisa jadi, menurut Dosbim kamu sudah sempurna, tapi menurut dosen penguji belum. Sebaliknya, bisa jadi menurut dosen penguji kamu sempurna, tapi di pandangan Dosbim kamu belum. Sesederhana gaya tulisan aja, sudah bisa dibedakan, kan? Apalagi di penelitian kualitatif, ada yang suka pakai kata-kata dan istilah yang melankolis, ada yang lebih terkesan agresif-konstruktif."

"Beliau beliau semua, punya standar dan pikirannya masing-masing."

"Ilmu sosial—apalagi disiplin ilmu kamu dan aku ini, semuanya serba relatif karena peristiwa antar manusia dan hubungan sesamanya nggak bisa disamaratakan, apalagi pengukurannya yang nggak bisa saklek. Iya, kan?"

Tangan Ino terulur lagi, menurunkan jas almamater dari kepala Lia di pundak. Membenahi sedemikian rupa agar melingkupi tubuh kecilnya agar tidak kedinginan terkena udara bertemperatur rendah karena hujan.

"Mungkin, maksudnya dosen penguji kamu, mau kamu untuk eksplor lebih jauh. Sejauh mana topik kamu bisa dibawa, dan kedalamannya diharapkan bisa lebih rich."

"Wajar kalau kamu sedih, tapi nggak apa-apa, kan bisa diperbaiki?" Jemarinya merapihkan anak rambut Lia yang berantakan sebab bergesekan dengan jaket tadi. Netra Ino menangkap betapa berantakannya Nona ini. Matanya sembab, raut rupanya penuh kesedihan. Belum lagi kemeja lengan panjangnya yang dilipat berantakan, dengan beberapa bercak basah terkena air matanya.

Lia menganggukkan kepalanya, memahami ucapan Ino. Berterimakasih atas segala afirmasi yang diberikan oleh Ino, yang tak pelak membuatnya tenang.

Tentulah Ino tahu kalau Lia pun paham tentang perkara ini. Namun, mungkin yang Lia sesali adalah kenekatannya—atau dosen pembimbingnya, untuk berangkat sidang. Padahal, Ia seharusnya masih bisa menerima banyak revisi terlebih dahulu.

Tetapi, mau bagaimana lagi? Diuji oleh guru besar—dua guru besar. Sedangkan dosen pembimbingnya adalah seorang dosen muda. Belum ada sematan apa-apa, selain dosen saja. Tentu dari sudut pandang hierarki, posisinya tidak lebih kuat, baik dari jabatan maupun kadar keilmuan.

"Nanti aku bilang gimana, ya, sama orang rumah?" tanya Lia. Itu yang ditakutkan. Takut membuat orang tuanya kecewa.

"Kalau berani jujur, bilang aja: gagal, disuruh cari data lagi terus sidang lagi. Tapi menurutku sih, kemungkinan besar bakalan diomelin." Lia mengerucutkan bibirnya, ia tahu itu.

Ino dengan sengaja malah tertawa, "Kalau mau cari aman, bilang aja, aman gitu. Cuma revisi."

Lia menganggukkan kepala, menyetujui. Jawaban itu sepertinya cukup membuat orang tuanya tenang dan membuatnya aman. Toh, itu tidak bohong, kan? Semuanya aman. Skripsinya bisa dibenahi lagi, walau yang dibenahi banyak—sangat banyak.

"Jujur yang bikin aku kepikiran, nanti aku lulusnya telat, gimana?"

"Telat? Masuk BK aja, alesan ban bocor. Nanti juga disuruh nyapu, ketemu aku sama Bayu. Nanti aku titipin flashdisk lagi."

Ucapan Ino sukses membuat Lia tertawa. Mengenang masa-masa SMA dimana Ia masih menyukai Ino dalam diamnya. Lia merindukan masa-masa itu.

"Nanti tasku ditinggalin lagi, nggak?"

Kini gantian Ino yang terkekeh, "Nggak, dong. Aku anterin cepet. Sekalian tiga buah loli milkita, gimana?"

Senyuman Lia terbit lagi. Dari hujan air mata yang semula menenggelamkan, kini senyuman cerah itu muncul kembali. Matanya tidak terlihat, melengkung lucu seperti pelangi, selaras dengan gurat mesemnya. Kepalanya mengangguk mantap, menyetujui tawaran itu.

Tiba-tiba Ino bergegas pergi menuju salah satu kedai di pujasera yang masih terbuka. Ia bernegosiasi, agar diizinkan membeli tiga buah milkita dengan pembayaran elektronik karena tidak punya uang recehan. Di tempat ia duduk, Lia melihat punggung lelaki itu yang tegap—masih seperti dahulu kala. Punggung yang senang Ia lihati saat empunya berlarian bermain bola, atau mengantre tini wini biti.

Punggung milik seseorang yang telah mengizinkannya untuk bersandar dengan aman di sana.

***


writer's note:

hai, teman-teman pembaca! bagian ini ditulis (dan dirilis) karena aku kangen banget sama pasangan loli milkita tiniwinibiti ini T__T 

anyway, sebenernya mau nulis cast dari anak-anak skitzy lagi, tapi bingung mau pakai siapa. kalau ada yang mau kasih saran atau rekomendasi, aku bakalan seneng dan berterimakasih sekali.

last, semoga suka, dan yang kangen sama Ino-Lia semoga bisa terobati kangennya juga ya! semoga sehat selalu <3

Continue Reading

You'll Also Like

G By NurAeni

Teen Fiction

1.1K 122 5
[2A1 Series] Macan ganas pengendali Genzz yang takluk pada kucing pemalu nan labil. "Gue tunggu sampai yes" "Padahal dari awal enggak pernah no" -G;...
477 79 6
𝑳𝒆𝒕'𝒔 𝒋𝒖𝒔𝒕 𝒔𝒂𝒚 𝒕𝒉𝒂𝒕 𝒂𝒍𝒍 𝒍𝒐𝒗𝒆 𝒕𝒉𝒊𝒏𝒈𝒔 𝒂𝒓𝒆 𝒂𝒃𝒐𝒖𝒕 𝒖𝒔. Kalau bukan karena pertemuan di halte waktu itu, mungkin Aksa...
22.1K 2.9K 20
Ini rumah kita, yang memiliki banyak kenangan indah di dalamnya. --- Highest rank: 1 in #02line 1 in #aespa 1 in #ningning 1 in #giselle 2 in #enhype...
Shadow By Felia

Fanfiction

1.4K 202 10
"Bahkan dalam kegelapan pun, kami akan tetap berusaha mendapatkan hati orang yang kami cintai." "Menyedihkan sekali, bukan? Tapi tidak apa-apa. Aku b...