Tujuhbelas

203 52 3
                                    

Seperti angin lalu.

Tidak ada kecanggungan yang terjadi di antara Lia dan Ben mengenai pengungkapan perasaan Ben terhadap Lia semalam. Lia hanya menganggap itu sebuah omong kosong dan gurauan khas lelaki buaya, jadi ia tidak memusingkan hal itu.

Hari ini adalah hari kepulangan dan berakhirnya kegiatan kuliah lapangan Lia. Data-data sudah diambil dan diverifikasi keabsahannya untuk menghindari kembali ke desa ini lagi guna mengumpulkan data yang sekiranya invalid. Plakat sebagai simbol terima kasih serta justifikasi simbolis juga sudah dilakukan pada acara penutupan pagi tadi di kantor desa yang ada di seberang rumah tinggal kelompok Lia.

Kini mereka sedang sibuk berkemas, membereskan sisa-sisa amunisi selama berperang beberapa hari lalu. Lia sudah berkemas sejak tadi subuh lepas mandi pagi. Kesibukannya kini adalah melakukan pendataan terhadap obat-obatan kebutuhan kesehatan teman-temannya.

"Nana, inhaler lo mau gue yang bawa atau lo bawa sendiri?" tanyanya pada Nana yang sibuk mengemasi barang-barangnya yang beberapa masih terlihat berserakan.

"Lo bawain dulu aja, Li. Gue takut ketelisut."

Lia tertawa pelan, kawannya itu memang teledornya bukan main. Lia lantas memasukkan inhaler milik Nana di kotak P3K miliknya.

"Sini gue bantu. Handuk lo di jemuran udah lo ambil belum?" Lia mengambil posisi di samping Nana, membantunya mengemasi barang-barangnya, melipati baju, memunguti skincare milik Nana yang terhampar di atas lantai.

"OH IYA!" Nana lantas bangkit, lalu berlari menuju area jemuran untuk mengambil handuknya. Lia tidak habis pikir, rupanya ada seseorang yang lebih ceroboh dan teledor darinya. Dirinya jua bingung, ia kira Nana sama dengan ketiga temannya—Yesi, Nakia, dan Soya yang notabene teramat disiplin, jeli, dan jauh dari kata ceroboh. Ya walau Nakia tidak jauh beda tulalitnya dengan Lia, tapi Nana berlebih lagi.

Ada kebanggaan yang muncul di diri Lia.

Oke gue pinter sekarang.

Tak lama, Nana kembali dengan membawa serta handuknya dan melanjutkan kegiatan berkemasnya. Beberapa obrolan ringan juga dilakukan. Kegiatan mereka terdistraksi oleh teriakan gila yang dilontarkan dari mulut biang keladi.

Siapa lagi kalau bukan Benedict—Ben? Ia dengan kegilaannya mulai lagi. Entah, masih mabok mungkin, pikir Lia.

"Ben tuh dari semalem maboknya nggak kelar-kelar. Gue heran banget Pak Mantri kasih dia obat apa, sih?"

Nana tertawa, menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah, Nana juga tidak tahu.

"Dia kan emang gila, Li."

Lia mengangguk, "Iya. Mana semalem mabok banget. Dia halu. Masa dia bilang dia suka ke gue?"

"SERIUS?!"

Bukannya memberikan jawaban atas pertanyaan Nana, Lia malah mengerutkan keningnya kebingungan.

"Iya? Kenapa emang?"

Dan yang diberikan Nana adalah tawaan menggelegar menyaingi Ben. Satu linear pemikirannya dengan pemikiran Lia: Ben benar-benar mabuk.

"Tapi..."

"... apa beneran bercanda, Li?"

Lia tertawa ringan. Tentunya. Tentu Ben hanya bergurau.

Teriakan dari ketua kelompoknya menggelegar meneriakkan instruksi untuk segera bergegas masuk kendaraan untuk kembali pulang ke kota asal.

Di perjalanan, Lia sibuk dengan ponselnya. Jemarinya menari di atas layar menggulir sebuah akun yang berisi potret-potret berjajar rapi. Benar, itu akun instagram milik Kasino Ishak.

Lia masih belum bisa memahami bagaimana kondisi hatinya saat ini. Lia tidak tahu apakah masih ada secercah perasaannya untuk Ino yang telah mendiami hatinya sejak ia di bangku SMA dulu. Ia merasa biasa saja, jujur. Namun, bila memang biasa saja dan tidak menggelora saat dahulu kala, kenapa pipinya masih senang memanas dan merona merah? Kenapa bibirnya masih kelu dan tertatih-tatih tiap kali membalas dialog yang dilontarkan oleh Ino terhadapnya? Kenapa dentum jantungnya semakin menggelegar tiap kali berpapasan dengan Ino—utamanya saat ia menatap dua mata berwarna coklat hazel itu.

Apakah— itu dapat disebut biasa saja?

"Hoi,"

Tepukan kecil mendarat di pundak Lia tatkala ia berdiam diri sibuk dengan pikirannya yang melanglangbuana. Lia menolehkan pandangannya, mendapati Ben yang sudah duduk di sampingnya.

"Apa?" jawabnya tidak begitu bergairah. Semalam tubuhnya meringkuk seperti orang tipes, sekarang sudah mulai melancarkan kejahilannya lagi.

"Yang semalem, gimana?"

Lia mengerutkan keningnya, menoleh ke arah Ben dengan melempar tatapan penuh tanya terhadapnya.

"Semalem apaan?"

"Ck," Ben berdecak malas. "Lo beneran ngira gue mabok paracetamol?"

Ah, Lia tahu kemana arah pembicaraannya.

"Terus? Lo ngigo?" tanya Lia ketus.

Kedua sudut bibir Ben tersungging, lantas mengeluarkan kekehan yang sama sekali tidak renyah. Sungguh aneh puan ini, pikir Ben. Bisa-bisanya mengira ungkapan perasaannya semalam adalah hasil dari konsumsi paracetamol. Padahal, butuh sekian putaran di dalam kepala Ben untuk benar-benar mengatakannya atau tidak.

Mungkin memang terlalu dini, atau tidak? Entahlah. Sudah lebih dari satu semester Ben mengenal Lia karena berada di satu kelompok yang sama. Interaksi di antara keduanya seringkali tercipta. Lia juga tidak begitu cantik—bila dibandingkan dengan jajaran para mantan Ben.

Namun ada setitik nirwana tiapkali Ben melihat senyum yang merekah pada bibir Lia. Senyuman yang membuatnya bahagia bukan kepalang.

"Gimana?" tanya Ben sekali lagi.

Lia kembali menolehkan pandangannya ke arah Ben. Matanya melempar dua tatapan dalam kepada dua mata Ben.

"Kalo emang beneran, lihat ke mata gue dan bilang sekali lagi."

Ben menatap mata Lia lagi. Ia menenggak salivanya sebab gugup mengalir bersama darah di dalam tubuhnya. Lidahnya kelu, ia hanya menatap Lia tanpa mengucapkan sepatah kata.

"Lima detik."

Ben masih diam. Ia benar-benar memutuskan diam.

"See? Lo tuh emang mabok paracetamol," Lia terkekeh pelan sembari membenahi posisinya duduk.

"Gue tuh bukan kaya mantan-mantan lo ya, Ben. Yang lo hadiahi ucapan seperti itu lalu puff langsung suka. Hahaha, enggak. Gue sama sekali nggak kaya gitu, even gue cuma punya mantan satu."

Lia menoleh ke arah Ben, "Perasaan itu bukan mainan, terlebih di usia lo saat ini. Jadi, saran gue say it when you mean it. Lo bukan playboy kampungan jaman SMP dulu, 'kan?" katanya seraya tangannya terulur menepuk pundak sang teruna.

Kendaraan yang ditumpangi keduanya telah memasuki area parkiran fakultas. Sepi. Tidak ada kendaraan lain selain iring-iringan disang yang memuat mahasiswa baru pulang kuliah lapangan. Intruksi diberikan untuk segera turun dan membawa barang masing-masing.

"Gue duluan, Ben. Selamat istirahat, biar lo nggak mabok paracetamol lagi."

Lia lantas turun dari kendaraan, meninggalkan Ben yang diam termangu masih di atas posisi duduknya. Ben seperti dilucuti harga dirinya oleh seorang perempuan.

Sedangkan di bawah kendaraan sana, Lia tersenyum kecil melihat kedua orang tuanya datang menjemputnya. Dua orang yang memiliki sebenar-benarnya serta sepenuhnya perasaan cinta pada Lia.

***

AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Where stories live. Discover now