Dua

484 97 7
                                    

Mungkin dua tahun berlalu. Perasaannya kepada sosok manusia penikmat tini-wini-biti sudah tidak terlalu muncul ke permukaan. Namun bila terlintas dalam pikiran, Lia masih merasakan bagaimana tiga buah loli milkita dapat menghangatkan perasannya. Bahkan diantara tiga loli itu belum ada satupun yang masuk ke mulutnya sebab ketiganya bersemedi rapi di rak lemari es yang ada di dapur rumahnya.

Informasi terakhir yang berhasil Lia dapatkan mengenai keberadaan sang tuan adalah di kota bertajuk daerah istimewa. Sejauh yang ia tahu, laki-laki itu mengabdikan dirinya pada sebuah jurusan yang kental dengan manusia dengan segala pengobatannya. Ya, kedokteran. Lia juga tidak habis pikir bagaimana bisa manusia spesies seperti itu—err, maksudnya manusia yang tinggi tingkat sosialnya menyasar masuk ke jurusan yang bernotabene susah untuk dimasuki, terlebih untuk seorang manusia agak berandal dan lepas-lepasan seperti laki-laki itu.

"Gue juga nggak paham kenapa Mas Ino masuk sana," ujar Haris menceritakan informasi terkait pada saat itu.

"Gue lebih nggak paham kok orang modelan dia bisa keterima?" Felix menimpali, mengetahui Mas Ino berasal dari jurusan peminatan kelas sosial semasa SMA.

Lia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak pernah paham dengan segala jalan pikiran yang berlarian dalam benak wira bernama lengkap Kasino Ishak itu.

Kini, telah tepat pukul empat sore. Lia bersama empat rekan satu kelompoknya yang lain sudah bertengger apik di bangku galeri menunggu kedatangan dua orang mentor yang merupakan kakak tingkat. Bukan tanpa tujuan, dosen pengampu mata kuliah pengantar jurusannya memberlakukan sistem mentoring oleh kakak tingkat—kating, kepada mahasiswa baru—maba, untuk membantu menyusun laporan penelitian kebutuhan penugasan kuliah.

Sudah gila memang, pikir Lia. Baru saja masuk, tapi sudah diharuskan terjun ke masyarakat mencari permasalahan. 

Yah walaupun dirinya sudah terbiasa saat masih di bangku SMA, tapi ayolah, sistematika metodologi penelitian yang lebih kompleks mutlak membuat kepalanya pening.

"Lo ada bayangan mau penelitian dimana nggak?"

Nana mengendikkan bahunya, "Aduh, gue bukan orang sini, Li. Mana tau."

"Lo... Ada info nggak, Ben?"

Benedict bla-bla-bla yang susah namanya itu merupakan lulusan dari sekolah yang kerap menjadi rival sekolah Lia dalam pertandingan basket saat SMA. Sedikit informasi yang agak terlalu banyak juga, Ben lulus dari almamater menengah pertama yang sama dengan Lia tapi mereka tidak saling mengenal. Hanya sekedar tahu satu sama lain bahwa mereka lulus dari sekolah yang sama.

"Gue ngikut aja lo maunya kemana. Bisa diatur."

Lia memutar matanya malas dengan jawaban Ben yang selalu tidak solutif. Kebiasaan seperti manusia Begundal waktu jaman Lia SMA dulu: ngikut, manut, terserah—yang teramat tidak solutif walau itu lebih untuk representasi manusia fleksibel.

"Materi pertama apaan sih? Pola interaksi kan, ya? Gue rasa kalau ambil di lingkungan sini juga kelompok lain udah ada."

Ben mengangguk-anggukan kepalanya malas, "Lo buru-buru banget. Tungguin aja mentornya dateng, dengerin arahannya dulu."

Lia menautkan alisnya saat kepala rekan-rekannya yang lain mengangguk menyetujui argumen dari Ben. Daripada sudah mengerjakan ini dan itu tapi ternyata salah juga sia-sia, kan?

"Btw, Ben, lo kenal sama mentornya?" Nana mengajukan pertanyaan kepada Ben karena mendapati sebuah keanehan. Jarang sekali seorang Ben 'mengurusi' masalah penugasannya.

"Iye, kenape?" jawab Ben pada Nana yang tidak ada ramah-ramahnya menurut Lia. Itu adalah satu dari rentetan alasan Lia kurang menyenangi Ben.

Di tengah-tengah obrolan yang tengah berlangsung, ada raga dari seorang laki-laki yang menginterupsi.

"Sorry-sorry telat, gais. Tadi ada urusan ke Departemen bentar. Udah bahas sampai mana?"

Atensi Lia terdistraksi pada bahana yang baru saja bertamu di telinganya. Sontak kepalanya mendongak menatap wira berbalut atasan berwarna hitam dengan paduan jaket jeans berwarna biru gelap yang baru datang itu, lantas termangu entah kemana jalan pikirannya. Sosok yang selama ini tersembunyi di antah berantah bagian relung perasaannya. Semua yang sempat mati terasa hidup kembali.

"Nah ini orangnya. Kaga kurang lama lo, Mas Ino?"

***



"...wira berbalut atasan berwarna hitam dengan paduan jaket jeans berwarna biru gelap yang baru datang itu."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
AMOR TAKSA [Leeknow x Lia]Where stories live. Discover now